SUDAN; Bumi Inspirasi dan Harapan  

Posted by Unknown in ,

SUDAN; Bumi Inspirasi dan Harapan 
(Catatan Singkat Tholib 'Ilm di Penghujung Senja)

*Abu Abdillah Ayyash Al-Miidany


Setelah sekian lama kupendam semua hasrat untuk menuliskan setiap hikmah yang terbesit. Akhirnya tercurahkan juga, walaupun belum sepenuhnya terangkum dalam kalimat dan kata. Ingin sekali kuceritakan semua kisah ini. Kisah persahabatanku dengan mereka, rekan-rekan dari berbagai Negara, ras kulit, dan bahasa. Suka-duka, canda-tawa, juga yang menghiasi warna hidup. Berharap kelak menjadi kenangan istimewa diakhir usia, bahwa inilah sebait ungkapan cinta yang pernah terangkum dalam proposal hidupku, untuk selanjutnya kuserahkan pada-Nya. 

Mungkin telah banyak kisah yang pernah diungkapkan dan ditulis oleh sebagian rekan-rekan tanah air tentang keunikkan hidup di Negeri ini. Kiranya, aku hanyalah seberkas mozaik dari kisah yang ada. Karena begitu banyaknya metafora inspirasi yang bertebaran dibenak setiap orang yang pernah menginjakkan kakinya di sini. Setiap kisah penuh makna yang mampu menjelma menjadi pribadi yang kuat menghadapi cobaan. Kisah yang memiliki makna tersendiri bagi mereka yang merasakan.  Tentunya bagi mereka yang mampu mengambil pelajaran. Bukan sekedar berleha tanpa mau berusaha, mampir tanpa tujuan.

Dengan alasan mencari pengalaman di Negeri orang, manis-pahitnya perjuangan, menjadi satu hal yang sangat menarik yang dengannya setiap individu mampu berkisah kepada anak-cucu kelak. Ya, mungkin inilah salah satu alasan mengapa aku berada di Sudan. Bukan sekedar mencari Ilmu, tapi juga pengalaman hidup yang berarti. Hidup mandiri, penuh inspirasi. 

Tentu bagiku, Sudan tidak sebanding dengan Negara-negara arab lainnya, sebagaimana Mesir, Arab Saudi, Beirut, Turki,  yang menjadi negera tujuan mahasiswa tanah air untuk melanjutkan studinya. Di samping ekonomi yang carut marut akibat kurs dolar yang naik turun, juga dari segi system yang belum teratur. Namun, hal itu bukanlah menjadi penghalang bagi siapa saja yang benar-benar ingin menuntut ilmu. Buktinya, belakangan ini banyak kalangan mahasiswa dari berbagai Negara, baik dari Benua Asia, Afrika, bahkan Eropa yang berbondong-bondong  mendaftar, bahkan memelas mendapatkan 'qobul' dari pihak Universitas. Maka, tidaklah heran kalau saja di masa-masa pendaftaran kelak, antrian panjang kerap menjadi pemandangan unik di bagian Administrasi Jami'ah. Berbagai jurus dikerahkan untuk menarik simpati para petugas yang dalam istilah orang Sudan, di-mujamalahin (semacam tawar-menawar), ada pula yang marah-marah, dll. Unik dikarenakan dari tahun ketahun tidak adanya perbaikan sama sekali mengenai system yang diberlakukan, bahkan bertambah ribet dan njelimet! Bayangkan saja, untuk mengurus pendaftaran saja harus menunggu antrian dari bakda Subuh yang itu pun terkadang sudah sesak.  Itu semua tidak lain untuk masuk ke Universitas yang katanya 'International' lho! ^.^

Tapi itulah Sudan, selalu memiliki warna tersendiri bagi para mahasiswanya. Begitupun masih saja banyak yang datang dari tahun ketahun, bahkan bertambah! Ko' bisa? Nah itu dia yang sampai sekarang ini aku tidak tahu alasannya apa. Mungkin dikarenakan di Negara-negara tetangga banyak konflik. Atau mungkin pula dikarenakan penerimaan mahasiswa yang terbatas. Ah, pastinya ada alasan tersendiri bagi setiap individunya.

Membuka Cakrawala Pikiran

Masih teringat awal hari mengijakkan kaki di atas tandus tanah bandara, uap panas mengepul sejauh mata memandang. Bersama ke-14 rekan seangkatan. Bagaikan wisatawan asing yang sok belagu, kulangkahkan kaki keluar pintu pesawat. Fiuh!! Terik menukik pusaran kepala. Hembus angin kering seiring menerpa wajah. Gerah, panas, juga resah, setibanya di pintu bandara yang menjadi akhir perjalanan siang itu. Untuk pertama kalinya aku berkunjung di negeri orang, yang sempat terpikir hanyalah satu Negara dengan komunitas orang-orang berkulit hitam legam, dengan suhu panas yang mencekam juga kebutuhan hidup yang teramat susah seperti kisah yang pernah kudengar dari sesepuh Mahasiswa. Juga orang-orang yang berpengalaman, yang bersinggah bahkan mengais rezeki sebagai pahlawan devisa di negeri ini.  

Kalau dulu di Pondok pernah ada pertanyaan; Ke-RH (Ar-Raudhatul Hasanah) apa yang kau cari? Maka begitupula halnya di sini. Pertanyaan itu kembali menyapaku setelah menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di bumi tandus ini. Kalau dulu dalam lingkup yang berjarak, terbatasi oleh system pendidikan yang baku, peraturan yang sudah dirancang sedemikian rupa. Maka saat ini sebaliknya, harus bisa mawas diri melihat situasi yang berbeda. Tanpa ada yang melarang tatkala menyalahi aturan. Tanpa ada tekanan untuk taat. Tanpa ada paksaan untuk masuk keberbagai golongan. Yang pastinya waktulah yang akan berbicara pada diri tentang kenyataan yang ada; keberhasilankah, atau sebaliknya, penyesalan yang tak tahu hendak dibawa kemana.

Kalau di Pondok dulu sering ditegur dengan istilah; "Sal Dhomiirok!" (Bertanyalah pada nurani!) Kini kedua kata ini sungguh nyata. Dibumi yang luas tak terbatas. Seakan memberikan satu wejangan untuk senantiasa berjalan pada aturan sebab-akibat. "Ya, bertanyalah pada mata batin yang peka akan lingkungan sekitarmu. Bertanyalah pada hati bersih untuk menyikapi semua aturan yang berlaku.  Karena itulah yang akan membimbingmu pada tujuan dan impianmu."

Dengan dua kata ini, aku pun seakan terbimbing kembali. Tanpa adanya dogma-dogma yang meracuni, juga unsur paksaan dan intimidasi. Kubuka pintu kesadaran melihat dunia disekitar. Betapa luasnya, betapa banyak pintu-pintu kebaikan disetiap lini. Dan diantara pintu-pintu kebaikan itu, ada satu pintu yang membuatku terpesona dengan indahnya. Ingin segera kuketuk lantas memasukinya. Namun, ada saja yang menggodaku untuk menjauhinya. Dialah hawa-nafsu. Ia menggodaku untuk lari dari tujuanku. Dengan kenikmatan yang sementara, diilhami mereka yang sudah terjatuh. Kerap kali aku turut tenggelam pada hasrat dan ambisi. Demi satu pengakuan dan pujian yang tidak berarti. Kekhawatiran yang belum terkondisi, membuatku lupa akan mimpi.

"Ah, sungguh meruginya aku! Waktu terbuang demi pengabdian semu. Jauh-jauh ke Negeri orang hanya untuk melakukan hal itu. Apa bedanya aku saat ini dengan yang dulu, kalau hanya masih berkecimpung dengan hal-hal yang bersifat tabu, tetap pada kesibukan yang melalaikan diri pada ilmu" seru batinku kala itu. 

Walau harus kuakui, banyak pengalaman yang bisa kumanfaatkan kala itu, terlebih relasi yang luas yang merupakan satu point penting mencapai mimpi. Juga keahlian membidani suatu moment besar yang bersifat duniawi. Akan tetapi hal ini belum membuat batinku tenang. Kekhawatiranku semakin menjadi. Bagaimana mungkin mimpi diraih tanpa adanya 'pengejawantahan diri'? Bagaimana mungkin kudahulukan keahlian dunia dari minimnya ilmu akhirat? 

Aku pun berdiri menyapa mentari, kukabarkan padanya mimpiku. Ia hanya tersenyum bersama terik. Aku belum mendapatkan jawaban dari seruanku padanya. Sampai pada akhirnya senja pun tiba. Kuning keemasan langit mulai merona. kulihat sosok hitam tertatih dengan jalabiyah ala sudani-nya. Seperti paruh baya yang sudah memiliki dua istri. Ia menghampiri dan mengajakku berjalan bersama. Senyum senja terlukis indah. Sampai bila mataku tertuju pada pintu gerbang Mesjid, yang kini dan in syaa' Allah seterusnya akan kujadikan taman kebahagiaanku di bumi tandus ini. Taman para penuntut ilmu. Taman para perindu Syurga. Tempat bernaung dari segala keculasan, sirami rohani dengan barisan-barisan tinta kehidupan yang terukir dari karya para Salaful Ummah. Melihat wajah-wajah para lelaki semesta yang haus akan ilmu, yang senantiasa memotivasi untuk intropeksi diri. 

Sudan; Ladang Ilmu dan Pengalaman
 
Sal Dhomiirok!  Saat kusadari ilmu yang kumiliki sangat-sangat minim. Tak ayal kusesali hari-hari yang berlalu tanpa arti. Saat kutahu bahwa hanya dengan ilmu hidup terarahkan; berbicara dengan ilmu, beramal dengan ilmu. Begitulah seruan baik para generasi terbaik. Al-Ilmu Qobla al-Qauli wal-Amal (Berilmu sebelum berbicara dan berbuat). Adapun mereka yang hanya menuhankan akal. Enggan kembali pada tuntunan yang sudah ditetapkan Sang Pencipta dan Sang Pembawa Risalah. Tak sadar bahwa hidupnya nelangsa. Dikelabui oleh angan-angan hampa. 

Lihatlah, betapa banyak orang yang telah melukis sketsa hidupnya di kanvas merah tanah ini. Betapa banyak orang tersadarkan nikmat Tuhannya yang seringkali terlupa, saat menginjakkan kaki dibumi tandusmu. Walau cuaca yang terkadang mencekam, kondisi perekonomian yang labil. Itu semua semakin membuat banyak orang terbangun dari kenyamanan yang melalaikan. Saat kudengar seorang rekan berujar dalam catatan hidupnya tentang sosokmu yang sederhana, bahwa engkau "Ibarat matahari yang tiada bosannya memberikan cahaya dan kehangatan setiap waktu walau dicerca dan di caci. Ibarat pohon yang subur, yang lebat dedaunannya, yang banyak dan harum baunya, walaupun dilempari namun tetap memberi kebaikan dan mamfaat. Kau ibarat " wahana tarbiyah" terbesar yang ada dan yang pernah ada.
 
Dalam hati aku seraya mengiyakan tuturnya. Tanpa harus berlebihan. Karena memang itulah kenyataan. Carut-marut kondisi negerimu, tak secarut Negeriku yang kini ramai kasus korupsi. Berlomba mencari kedudukan dan ambisi. Bahkan terkadang terdengar olehku sindiran orang-orang tentang negeriku; Negara mayoritas Muslim, namun belum mampu mengayomi kaum muslim untuk mengaplikasikan keislamannya yang hakiki. Berbagai pemikiran liberal yang rancu telah meracuni pemikiran para penguasa. Kuasa diperebutkan orang yang bukan ahlinya. Asik membanggakan diri dengan pujian-pujian keji. Yang pada hakikatnya hanya pencitraan palsu (Syahaadah az-Zuur). Kalaulah di Negeri-negeri muslim kebanyakan ditabuh genderang perang fisik, namun tidak di Negeriku yang lebih kepada perang pemikiran dan aqidah. Aqidah rapuh masyarakat yang kian jauh pada Tuhannya, melengkapi jajaran rusaknya pondasi agama. Allahu Musta'aan…

Inilah pekerjaan rumah yang harus diperbaiki, tidak lain tugas dari para penuntut ilmu. Lantas, masih berdiamkah diri dengan semua keluhan yang ada? Haruskah keluhan mengalahkan  tujuan suci. Dengan amanah umat di pundak yang mesti diemban segera. Bukan semena-mena gelar yang disandang, jauh-jauh ke Negeri seberang hanya untuk sebuah pengakuan nista, tanpa adanya ilmu yang dibawa.  

Akhirnya harus kuakui. Kau telah menyadarkan tentang pentingnya perjuangan menuntut ilmu. Walau terkadang panas-terik mengiri langkah. Badai debu mengusik mata. Terlebih dingin malam bersama hembusan angin bertasbih. Menjadi panorama indah yang patut disyukuri. Panas terikmu terobati dengan wajah-wajah para penuntut ilmu yang tangguh, yang kerap memotivasi diri untuk terus berlatih. Para Ulama yang gigih dan rendah hati menentramkan jiwa yang haus akan ilmu. Sungguh, wajah teduh mereka mengobati terik keculasanku pada keluh. Tatkala mereka bercerita tentang generasi terbaik umat yang terus mewariskan ilmu; waktu, jarak, dan kesabaran yang dipertaruhkan demi kemuliaan agama. Walau jari-jari beku karena dinginnya cuaca dimalam hari, telapak kaki terbelah oleh panas debu dan terik mentari. Itu semua menjadi qudwah yang tak terlupakan zaman. Dari generasi ke-generasi. Yang kerap membuatku malu untuk sekedar berkaca pada diri jikalau dibandingkan dengan mereka. 

Adapun mereka yang tak ingin letih mencari ilmu. Sibuk dengan urusan pribadi dan materi, enggan memikirkan nasib umat demi niat terhormat, maka pesan dari diri yang hina ini: "Sadarlah Saudaraku, betapa hidupmu amatlah berarti. Hidup hanya sekali perjuangkanlah untuk mencari ilmu dan kebenaran (terlebih ilmu agama yang menjadi bekal akhiratmu). Karena disana cahaya kehidupan berada. Disanalah pintu kebenaran kau sapa. Tanyakan pada diri, apa yang telah kau sumbangkan untuk dunia dan akhiratmu. Dengan tinta apa kau torehkan garis hidupmu; dengan kemuliaan, atau kehinaan. Ingatlah, bahwa Ilmu harus didatangi, bukan mendatangi. Bahwa Ilmu didapat dengan merendah diri, merasa hina didepan para ahli. (Man lam yadzuq dzulla at-ta'allumi saa'atan tajarra'a dzulla al-Jahli thuula hayaatihi). Akan kau dapati dirimu begitu kerdilnya saat kau selami lautan ilmu yang luas…"

Akhirnya, telah kulewati masa-masa indah ini; penuh cobaan, penuh tantangan. Berbagai hal terlewati bersama iringan waktu yang singkat. Tanpa kusadari, sekarang telah memasuki semester akhir dari masa studiku. Kini masa itu sudah di ujung tanduk. Dalam hati aku masih bertanya; Apa yang telah aku dapatkan dari masa-masa yang terlewati? Ilmu apa yang sudah aku wariskan dari para ulama' rabbani di Negeri ini? Pengalaman apa yang sudah membentuk karakterku agar mawas diri? Ah, Semuanya terangkum dalam berbagai pertanyaan hati yang senantiasa bergejolak. Harus segera bertindak, memanfaatkan waktu yang tersisa.

Sudan, sungguh kau telah menginspirasi…!
To be continued…

Khartoum, Sudan.
14-5-1435 H

REFLEKSI [SEPEKAN] RAMADHAN : INDAHNYA KEBERSAMAAN BERBUKA PUASA  

Posted by Unknown in

Tidak seperti biasa, hari ini ingin rasanya mencari suasana baru. Setelah sepekan berbuka puasa bersama rekan-rekan Indonesia di dalam Asrama. Ingin rasanya berbuka bersama kalangan masyarakat Sudan di luar Asrama. Sepertinya akan lebih menarik, karena disamping melihat suasana luar ketika berbuka, juga mencari menu yang berbeda [ walau terkadang tak sesuai lidah, hehe…]

Adalah kebiasaan mayoritas masyarakat Sudan menjelang berbuka, kerap menyediakan tempat-tempat berbuka yang mudah dijangkau masyarakat dari berbagai kalangan. Banyak dari kalangan atas, para pebisnis dan semacamnya, menyumbangkan sebagian rezeki yang mereka miliki berupa sembako, uang tunai, ataupun dengan berbuka puasa bersama. Hal itu ditujukan kepada orang-orang yang tidak mampu juga ke berbagai yayasan kemanusiaan. Dijalan-jalan sangat mudah ditemukan tenda, maupun tikar-tikar tempat berbuka menjelang senja.

Kalau di Jami’ah [Universitas] sendiri, biasanya akan ditandai dengan datangnya mobil gerobak berisikan iftor disetiap sorenya. Kalau sudah demikian, mahasiswa bak segerombolan lebah yang menyerbu tatkala sarangnya diserang. Datang dari berbagai penjuru Asrama dengan mangkuk dan piring besar. Bilamana harus berlari untuk menjadi yang terdepan. Berharap mendapatkan jatah. Walau terkadang sebaliknya, hanya mampu ‘mengisap jempol’ belaka, tidak mendapatkan apa-apa. Hadeuh, capek deh!

Bagaimana tidak? Stok yang sebenarnya ‘cukup’ untuk dibagikan merata, menjadi barang obralan yang terkadang terbuang akibat pembagian yang tidak sistematik. Selalu saja berebut. Tak ada yang mau mengalah. Ya, kalau sudah begitu, apa nak dikato? Memang sudah menjadi kebiasaan yang sulit untuk dirubah. Sebenarnya sih, bisa! Kalau saja dari awal ditegaskan untuk mengantri secara teratur. Tapi, pasti ada saja yang nyeleneh! Tetap keras kepala untuk segera mendapatkan jatah. Selalu saja ada yang mencari sensasi dengan merusuh ketertiban. Nah, kalau kalau sudah seperti ini kejadiannya. Berbuka puasa diluar asrama menjadi salah satu solusi, selain bersilaturrahmi dengan masyarakat sekitar, juga gratissss!!...

Ok, lets go to outside of campus!

Hari ini, saya bersama teman saya dari Kamerun berniat sholat di salah satu masjid yang biasa di Imami oleh Qori’ ternama Sudan. Syaikh Muhammad Abdul Kariem. Beliau sudah dikenal banyak kalangan Masyarakat Sudan, maupun dunia. Nama beliau tertera di Salah satu situs yang memuat Qori’-qori ternama dunia, www.mp3quran.net. Bilamana Syaikh Maher Al-Mu’aiqily yang kini menjadi salah satu Imam di Masjidil Haram, adalah satu diantara murid yang pernah berguru kepadanya. Tilawah qur’annya hampir sama. Beliau menguasai riwayat-riwayat qira’ah baik yang mutawaatir [ yang diakui keshohihannya dengan periwatan beruntun] maupun yang syaadzah. Maka tidak diragukan lagi, banyak kalangan masyarakat yang berguru kepada beliau. Baik orang Sudan maupun dari kalangan mahasiswa asing. Namun bukanlah hal yang mudah, karena persyaratan berguru kepada beliau harus hafal Al-Qur’an terlebih dahulu. Diuji tajwid dan kuatnya hafalan dengan tepat. Pastinya harus benar-benar menguasai seluk-beluk hafalan dengan baik.

Untuk menghindari jama’ah yang membludak ketika Shalat Tarawih, kami sengaja datang lebih awal, yakni sebelum magrib. Ini untuk pertama kalinya saya berbuka di Mesjid beliau yang ternyata menyediakan iftor  [makanan berbuka] untuk kalangan masyarakat sekitar yang tidak sempat berbuka dirumah. Wah, tidak kalah menariknya! menu yang disediakan cukup ‘menggoyang lidah’ walaupun tidak ada yang berbeda. Selalu sama dengan tempat-tempat lainnya. Ful, Adas, Mulaah bil lahm  [Seperti disemur] dan Tho’miah [ gorengannya Sudan] kerap menjadi menu setia. ‘Ashirr [Jus] 3 warna [Karikade, abrey, dan Asem Jawa]  menjadi pelengkapnya. Terlihat orang-orang sudah duduk rapi menunggu waktu berbuka. Subhanallah, sungguh indahnya suasana ini! Ramadhan telah menyatukan mereka dalam indahnya kebersamaan. Kaya-miskin, tua-muda, bersama menikmati hidangan dengan tertibnya. Berbeda dengan suasana didalam Asrama ketika berebut antrian. Mereka tampak bersahaja…

Selepas berbuka kami mendengar kabar dari remaja masjid, ternyata untuk malam ini Syaikh Muhammad tidak mengimami jama’ah Shalat. Beliau lagi safar diluar kota. Ya, sudah menjadi hal biasa bagi jama’ah masjid, karena kesibukan beliau yang super padat. Khususnya tatkala Ramadhan tiba. Beliau kerap mendapat undangan dari Negara-negara tetangga untuk mengisi kajian maupun menjadi Imam Shalat. Beliau kerap digantikan oleh adik-adik beliau yang juga merupakan qori’ Sudan. Subhanallah! Lagi-lagi saya harus berdecak kagum dengan keluarga qori’ dan huffadz ini. Bagaimanakah mereka terbesarkan dalam lingkungan yang cinta akan Al-Qur’an? Pendidikan yang bagaimanakah yang diterapkan kepada mereka?  Dalam benak saya iri, mengapa hingga saat ini saya belum hafal Al-Qur’an secara keseluruhan. Sungguh, kelalaian telah mengambil peran banyak dalam hidup saya yang telah berlalu. Ah, walaupun begitu tidak ada kata untuk terlambat, insyaAllah masih ada waktu untuk berbuat! Akan saya usahakan di sisa waktu yang ada untuk menghafal Al-Qur’an. Bismillah…

***
Menjelang Isya’, Seorang kakek tua dengan tongkat ditangan berjalan memasuki Masjid. Dengan langkah kecilnya ia berjalan menuju kursi yang biasa disediakan bagi para Jama’ah yang lanjut usia, maupun mereka yang tidak mampu untuk berdiri lama. Ia duduk satu shaf tepat dibelakang saya. Perawakannya yang lemah tampak tidak menyurutkan semangatnya untuk menghiasi ramadhan kali dengan membaca Al-Qur’an. Jama’ah masjid kala itu belum banyak yang datang, maka sangat memungkinkan bagi saya mendengar bacaan kakek tua itu walau tampak samar. Sesekali suaranya meninggi, lantas tenggelam dalam renungan. Dibantu dengan kaca-mata besarnya, ia membaca dengan terbata-bata. Ah, sungguh, pemandangan yang mengharukan bagi saya. Di usia yang selanjutnya ini, masih memiliki semangat yang tinggi. Dalam hati saya hanya mampu bergumam, wahai diri dimanakah dirimu dari sosok setua ini! Dimanakah dirimu, wahai pemuda, dari semangatnya yang bergelora, sementara dirimu masih sibuk dengan dunia? Dimanakah dirimu yang asyik melantunkan lagu-lagu kemaksiatan, dari dirinya yang sibukbermuhaadatsah [berkomunikasi] dengan firman Tuhan?

Hati saya berguncang. Tak mampu menyembunyikan malu yang ada. Hanya gemuruh hati yang lamban laun melahirkan tetesan air mata penyesalan. Tak tahu mengapa? Apakah ini akibat maksiat yang telah berkarat, ataukah kerasnya hati yang selama ini mengendap dalam diri. Sungguh, bacaan kakek tua itu menggugah jiwa...!!

[8 Ramadhan 1434 H]

 

Posted by Unknown in , ,


 

Keadilan manakah yang kini tersisa?

Tatkala kehormatan dihina, jiwa terluka oleh tangan-tangan nista
Diatas pengakuan dusta, kebenaran berpaling makna;
ムBerwajah duaメ
Setiap perjuangan dianggap kejahatan
Langkah terjerembab onak kemunafikan
Sementara penyeru risalah mulai dikekang
dalam jeruji srigala berbulu domba
Menghadang setiap harakah dakwah

Keadilan manakah yang kini tersisa?

Ketika pandangan terusik di depan mata
Melihat dirimu berjuang sepenuh jiwa  dan raga
Berlumur darah suci  mempertahankan hak yang diusik
Para penjajah yang kian berisik
Sementara diri masih terdiam dalam renungan panjang
Sibuk dengan nafsu dan angan-angan meradang
Bergumul dengan pertanyaan tak berkesudahan
Usailah diri dari kebinasaan

Kedamaian manakah yang kini tersisa?

Saat diri tersakiti, ringkih tulang tak lagi peduli
Mungil tubuh menjadi saksi setiap jeritan perih
Tangisan gersang mengering bersama seruan perjuangan
Yang kerap terbungkam oleh kesaksian durja para penyeru agama kekufuran
Memperjuangkan kebatilan dalam selimut indahnya lisan
Diatas genderang perang pemikiran
Menguliti aqidah yang rapuh dalam jerembab peluh kemiskinan

Kedamaian manakah yang kini tersisa?

Saat kemuliaan enggan lagi berdiri
Jiwa-jiwa semesta satu- persatu pergi
Menyisakan generasi instan, budak angan-angan
Tiadalah tahu hakikat penciptaan, menuhankan akal pikiran
Bahwa hanya kepada-Nyalah tertuju satu pengabdian
Hanya kepada-Nyalah datangnya pertolongan

Wahai penyeru Keadilan....

Masihkah kau tinggal diam tatkala saudaramu dihujam?
Tentara-tentara iblis yang meraung dan menikam
Sampai kapankah kau berselimut kenikmatan?
Sementara mereka bertelanjang badan dinista kemiskinan

Wahai penyeru perdamaian...

Masihkah kau perjuangkan janji-janji kemunafikan
Di atas aqidah yang saling bertentangan; Putih-hitam
Tidakkah kau beri'tibar dari kaum-kaum  yang dihinakan
Bahwa khianat adalah siimah yang kerap mereka terapkan
Masihkah kau enggan mengambil pelajaran?

Kini, keadilan dan kedamaian manakah yang kau perjuangkan?



Abu Ayyash Al-Ahmady
Khartoum-Sudan
7/4/1439 H

Masihkah Aku Mengeluh ?  

Posted by Unknown in , ,





Masihkah aku mengeluh…
Tatkala diriku tak kuasa menahan nafsu
lewati hari-hari peluh dan ragu
kenikmatan sesaat menghiasi rona-rona semu
aku tetap saja berdalih oleh kelemahan yang menyatu
dalam diri, bersama angan-angan yang tiada menentu
Akankah aku tetap tertidur nyenyak  di bawah naungan pohon di siang hari
Yang pasti pergi bersama perginya jejak mentari

Masihkah aku mengeluh…
Tatkala noda-noda hitam masih menyelemuti hati,
Bisikan-bisikan syeitan turut menyertai
Setiap hembusan nafas dan langkah kaki
Tiada kusadari, terkadang aku mengikuti ‘sang penabur mimpi’
pengumbar janji-janji tiada pasti
‘Bahwa ialah pengelabu antara hitam dan putih
‘Bahwa ialah musuh sejati yang harus diperangi

Masihkah aku mengeluh…
Tatkala ayat-ayat pengaduan hanya sekedar kalam
Penyesalan pun hanya bualan kelam
Aku tetap saja diam, bergumul dengan suara hati
janji-janji teringkari
Enggan menyuarakan kebenaran,..
Kerdil dengan berbagai pertanyaan…
Akankah aku tetap bungkam oleh setiap kemungkaran;
dalam pandangan yang takkan usai sebelum mata terpejam
dalam setiap hela nafas yang takkan berhenti sebelum nyawa pergi
dalam setiap kegelisahan jiwa atas pertanggung jawaban ilmu yang dibawa

Tiadalah yang tersisa kini selain rasa pasrah kepada-Mu
Tiadalah yang tersisa kini selain kerinduan dalam naungan kasih-Mu
Ampunilah diri yang kerap lalai dari mengingat-Mu
Atas nikmat-nikmat yang Engkau anugerahkan
Atas setiap kesempatan menghirup nafas kehidupan

Akulah hamba-Mu yang rapuh tanpa kuasa-Mu
Kokohkanlah diri dengan cinta dan ridho-Mu
Sadarkan diri dari alfa dan dosa
Ingatkan diri disetiap sujud telimpuh menghamba
Terangi kelamku dengan 'nuurrahmah' di jiwa

Bahwa tiada kuasa selain kuasa-Mu;
Kuasa diatas kuasa ...
Cahaya di atas cahaya...
Yang senantiasa menghiasai Jiwa-jiwa semesta dibawah naungan Hidayah

Ya Robby, Engkaulah Pelita hati...
Hanya kepada-Mu  tempatku mengeluh
Sandaran bagi perindu Syurga-Mu


By : Ibnoe Amier
Di Lentera Muhasabah
Khartoum-Sudan 
29/3/1434 H