SUDAN; Bumi Inspirasi
dan Harapan
(Catatan Singkat Tholib 'Ilm di Penghujung Senja)
*Abu Abdillah
Ayyash Al-Miidany
(Catatan Singkat Tholib 'Ilm di Penghujung Senja)
Setelah sekian lama kupendam semua hasrat untuk menuliskan setiap
hikmah yang terbesit. Akhirnya tercurahkan juga, walaupun belum sepenuhnya
terangkum dalam kalimat dan kata. Ingin sekali kuceritakan semua kisah ini.
Kisah persahabatanku dengan mereka, rekan-rekan dari berbagai Negara, ras
kulit, dan bahasa. Suka-duka, canda-tawa, juga yang menghiasi warna hidup.
Berharap kelak menjadi kenangan istimewa diakhir usia, bahwa inilah sebait
ungkapan cinta yang pernah terangkum dalam proposal hidupku, untuk selanjutnya
kuserahkan pada-Nya.
Mungkin telah banyak kisah yang pernah diungkapkan dan ditulis oleh
sebagian rekan-rekan tanah air tentang keunikkan hidup di Negeri ini. Kiranya,
aku hanyalah seberkas mozaik dari kisah yang ada. Karena begitu banyaknya metafora
inspirasi yang bertebaran dibenak setiap orang yang pernah menginjakkan kakinya
di sini. Setiap kisah penuh makna yang mampu menjelma menjadi pribadi yang kuat
menghadapi cobaan. Kisah yang memiliki makna tersendiri bagi mereka yang
merasakan. Tentunya bagi mereka yang
mampu mengambil pelajaran. Bukan sekedar berleha tanpa mau berusaha, mampir
tanpa tujuan.
Dengan alasan mencari pengalaman di Negeri orang, manis-pahitnya
perjuangan, menjadi satu hal yang sangat menarik yang dengannya setiap individu
mampu berkisah kepada anak-cucu kelak. Ya, mungkin inilah salah satu alasan
mengapa aku berada di Sudan. Bukan sekedar mencari Ilmu, tapi juga pengalaman
hidup yang berarti. Hidup mandiri, penuh inspirasi.
Tentu bagiku, Sudan tidak sebanding dengan Negara-negara arab
lainnya, sebagaimana Mesir, Arab Saudi, Beirut, Turki, yang menjadi negera tujuan mahasiswa tanah air
untuk melanjutkan studinya. Di samping ekonomi yang carut marut akibat kurs
dolar yang naik turun, juga dari segi system yang belum teratur. Namun, hal itu
bukanlah menjadi penghalang bagi siapa saja yang benar-benar ingin menuntut
ilmu. Buktinya, belakangan ini banyak kalangan mahasiswa dari berbagai Negara,
baik dari Benua Asia, Afrika, bahkan Eropa yang berbondong-bondong mendaftar, bahkan memelas mendapatkan 'qobul'
dari pihak Universitas. Maka, tidaklah heran kalau saja di masa-masa
pendaftaran kelak, antrian panjang kerap menjadi pemandangan unik di bagian Administrasi
Jami'ah. Berbagai jurus dikerahkan untuk menarik simpati para petugas
yang dalam istilah orang Sudan, di-mujamalahin (semacam tawar-menawar),
ada pula yang marah-marah, dll. Unik dikarenakan dari tahun ketahun tidak
adanya perbaikan sama sekali mengenai system yang diberlakukan, bahkan
bertambah ribet dan njelimet! Bayangkan saja, untuk mengurus
pendaftaran saja harus menunggu antrian dari bakda Subuh yang itu pun terkadang
sudah sesak. Itu semua tidak lain untuk
masuk ke Universitas yang katanya 'International' lho! ^.^
Tapi itulah Sudan, selalu memiliki warna tersendiri bagi para
mahasiswanya. Begitupun masih saja banyak yang datang dari tahun ketahun,
bahkan bertambah! Ko' bisa? Nah itu dia yang sampai sekarang ini aku
tidak tahu alasannya apa. Mungkin dikarenakan di Negara-negara tetangga banyak
konflik. Atau mungkin pula dikarenakan penerimaan mahasiswa yang terbatas. Ah,
pastinya ada alasan tersendiri bagi setiap individunya.
Membuka Cakrawala Pikiran
Masih teringat awal hari mengijakkan kaki di atas tandus tanah
bandara, uap panas mengepul sejauh mata memandang. Bersama ke-14 rekan
seangkatan. Bagaikan wisatawan asing yang sok belagu, kulangkahkan kaki
keluar pintu pesawat. Fiuh!! Terik menukik pusaran kepala. Hembus angin
kering seiring menerpa wajah. Gerah, panas, juga resah, setibanya di pintu bandara
yang menjadi akhir perjalanan siang itu. Untuk pertama kalinya aku berkunjung
di negeri orang, yang sempat terpikir hanyalah satu Negara dengan komunitas
orang-orang berkulit hitam legam, dengan suhu panas yang mencekam juga
kebutuhan hidup yang teramat susah seperti kisah yang pernah kudengar dari
sesepuh Mahasiswa. Juga orang-orang yang berpengalaman, yang bersinggah bahkan
mengais rezeki sebagai pahlawan devisa di negeri ini.
Kalau dulu di Pondok pernah ada pertanyaan; Ke-RH (Ar-Raudhatul
Hasanah) apa yang kau cari? Maka begitupula halnya di sini. Pertanyaan itu kembali
menyapaku setelah menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di bumi tandus ini.
Kalau dulu dalam lingkup yang berjarak, terbatasi oleh system pendidikan yang
baku, peraturan yang sudah dirancang sedemikian rupa. Maka saat ini sebaliknya,
harus bisa mawas diri melihat situasi yang berbeda. Tanpa ada yang melarang
tatkala menyalahi aturan. Tanpa ada tekanan untuk taat. Tanpa ada paksaan untuk
masuk keberbagai golongan. Yang pastinya waktulah yang akan berbicara pada diri
tentang kenyataan yang ada; keberhasilankah, atau sebaliknya, penyesalan yang
tak tahu hendak dibawa kemana.
Kalau di Pondok dulu sering ditegur dengan
istilah; "Sal Dhomiirok!" (Bertanyalah pada nurani!) Kini
kedua kata ini sungguh nyata. Dibumi yang luas tak terbatas. Seakan memberikan
satu wejangan untuk senantiasa berjalan pada aturan sebab-akibat. "Ya,
bertanyalah pada mata batin yang peka akan lingkungan sekitarmu. Bertanyalah pada
hati bersih untuk menyikapi semua aturan yang berlaku. Karena itulah yang akan membimbingmu pada
tujuan dan impianmu."
Dengan dua kata ini, aku pun seakan terbimbing kembali. Tanpa adanya
dogma-dogma yang meracuni, juga unsur paksaan dan intimidasi. Kubuka pintu
kesadaran melihat dunia disekitar. Betapa luasnya, betapa banyak pintu-pintu
kebaikan disetiap lini. Dan diantara pintu-pintu kebaikan itu, ada satu pintu
yang membuatku terpesona dengan indahnya. Ingin segera kuketuk lantas
memasukinya. Namun, ada saja yang menggodaku untuk menjauhinya. Dialah hawa-nafsu.
Ia menggodaku untuk lari dari tujuanku. Dengan kenikmatan yang sementara,
diilhami mereka yang sudah terjatuh. Kerap kali aku turut tenggelam pada hasrat
dan ambisi. Demi satu pengakuan dan pujian yang tidak berarti. Kekhawatiran
yang belum terkondisi, membuatku lupa akan mimpi.
"Ah, sungguh meruginya aku! Waktu terbuang demi pengabdian
semu. Jauh-jauh ke Negeri orang hanya untuk melakukan hal itu. Apa bedanya aku
saat ini dengan yang dulu, kalau hanya masih berkecimpung dengan hal-hal yang bersifat
tabu, tetap pada kesibukan yang melalaikan diri pada ilmu" seru
batinku kala itu.
Walau harus kuakui, banyak pengalaman yang bisa kumanfaatkan kala
itu, terlebih relasi yang luas yang merupakan satu point penting mencapai mimpi.
Juga keahlian membidani suatu moment besar yang bersifat duniawi. Akan tetapi
hal ini belum membuat batinku tenang. Kekhawatiranku semakin menjadi. Bagaimana
mungkin mimpi diraih tanpa adanya 'pengejawantahan diri'? Bagaimana mungkin
kudahulukan keahlian dunia dari minimnya ilmu akhirat?
Aku pun berdiri menyapa mentari, kukabarkan padanya mimpiku. Ia
hanya tersenyum bersama terik. Aku belum mendapatkan jawaban dari seruanku
padanya. Sampai pada akhirnya senja pun tiba. Kuning keemasan langit mulai
merona. kulihat sosok hitam tertatih dengan jalabiyah ala sudani-nya.
Seperti paruh baya yang sudah memiliki dua istri. Ia menghampiri dan mengajakku
berjalan bersama. Senyum senja terlukis indah. Sampai bila mataku tertuju pada
pintu gerbang Mesjid, yang kini dan in syaa' Allah seterusnya akan
kujadikan taman kebahagiaanku di bumi tandus ini. Taman para penuntut ilmu. Taman
para perindu Syurga. Tempat bernaung dari segala keculasan, sirami rohani
dengan barisan-barisan tinta kehidupan yang terukir dari karya para Salaful
Ummah. Melihat wajah-wajah para lelaki semesta yang haus akan ilmu, yang
senantiasa memotivasi untuk intropeksi diri.
Sudan; Ladang Ilmu dan Pengalaman
Sal Dhomiirok! Saat kusadari ilmu yang kumiliki sangat-sangat
minim. Tak ayal kusesali hari-hari yang berlalu tanpa arti. Saat kutahu bahwa
hanya dengan ilmu hidup terarahkan; berbicara dengan ilmu, beramal dengan ilmu.
Begitulah seruan baik para generasi terbaik. Al-Ilmu Qobla al-Qauli wal-Amal
(Berilmu sebelum berbicara dan berbuat). Adapun mereka yang hanya
menuhankan akal. Enggan kembali pada tuntunan yang sudah ditetapkan Sang
Pencipta dan Sang Pembawa Risalah. Tak sadar bahwa hidupnya nelangsa. Dikelabui
oleh angan-angan hampa.
Lihatlah, betapa banyak orang yang telah melukis sketsa hidupnya di
kanvas merah tanah ini. Betapa banyak orang tersadarkan nikmat Tuhannya yang
seringkali terlupa, saat menginjakkan kaki dibumi tandusmu. Walau cuaca yang
terkadang mencekam, kondisi perekonomian yang labil. Itu semua semakin membuat
banyak orang terbangun dari kenyamanan yang melalaikan. Saat kudengar seorang
rekan berujar dalam catatan hidupnya tentang sosokmu yang sederhana, bahwa
engkau "Ibarat matahari yang tiada bosannya memberikan cahaya dan
kehangatan setiap waktu walau dicerca dan di caci. Ibarat pohon yang subur,
yang lebat dedaunannya, yang banyak dan harum baunya, walaupun dilempari namun
tetap memberi kebaikan dan mamfaat. Kau ibarat " wahana tarbiyah"
terbesar yang ada dan yang pernah ada.
Dalam hati aku seraya mengiyakan tuturnya. Tanpa harus berlebihan.
Karena memang itulah kenyataan. Carut-marut kondisi negerimu, tak secarut
Negeriku yang kini ramai kasus korupsi. Berlomba mencari kedudukan dan ambisi.
Bahkan terkadang terdengar olehku sindiran orang-orang tentang negeriku; Negara
mayoritas Muslim, namun belum mampu mengayomi kaum muslim untuk mengaplikasikan
keislamannya yang hakiki. Berbagai pemikiran liberal yang rancu telah meracuni
pemikiran para penguasa. Kuasa diperebutkan orang yang bukan ahlinya. Asik
membanggakan diri dengan pujian-pujian keji. Yang pada hakikatnya hanya
pencitraan palsu (Syahaadah az-Zuur). Kalaulah di Negeri-negeri muslim
kebanyakan ditabuh genderang perang fisik, namun tidak di Negeriku yang lebih
kepada perang pemikiran dan aqidah. Aqidah rapuh masyarakat yang kian jauh pada
Tuhannya, melengkapi jajaran rusaknya pondasi agama. Allahu Musta'aan…
Inilah pekerjaan rumah yang harus diperbaiki, tidak lain tugas dari
para penuntut ilmu. Lantas, masih berdiamkah diri dengan semua keluhan yang ada?
Haruskah keluhan mengalahkan tujuan
suci. Dengan amanah umat di pundak yang mesti diemban segera. Bukan semena-mena
gelar yang disandang, jauh-jauh ke Negeri seberang hanya untuk sebuah pengakuan
nista, tanpa adanya ilmu yang dibawa.
Akhirnya harus kuakui. Kau telah menyadarkan tentang pentingnya
perjuangan menuntut ilmu. Walau terkadang panas-terik mengiri langkah. Badai
debu mengusik mata. Terlebih dingin malam bersama hembusan angin bertasbih.
Menjadi panorama indah yang patut disyukuri. Panas terikmu terobati dengan
wajah-wajah para penuntut ilmu yang tangguh, yang kerap memotivasi diri untuk
terus berlatih. Para Ulama yang gigih dan rendah hati menentramkan jiwa yang
haus akan ilmu. Sungguh, wajah teduh mereka mengobati terik keculasanku pada
keluh. Tatkala mereka bercerita tentang generasi terbaik umat yang terus
mewariskan ilmu; waktu, jarak, dan kesabaran yang dipertaruhkan demi kemuliaan
agama. Walau jari-jari beku karena dinginnya cuaca dimalam hari, telapak kaki
terbelah oleh panas debu dan terik mentari. Itu semua menjadi qudwah yang
tak terlupakan zaman. Dari generasi ke-generasi. Yang kerap membuatku malu
untuk sekedar berkaca pada diri jikalau dibandingkan dengan mereka.
Adapun mereka yang tak ingin letih mencari ilmu. Sibuk dengan
urusan pribadi dan materi, enggan memikirkan nasib umat demi niat terhormat, maka
pesan dari diri yang hina ini: "Sadarlah Saudaraku, betapa hidupmu
amatlah berarti. Hidup hanya sekali perjuangkanlah untuk mencari ilmu dan
kebenaran (terlebih ilmu agama yang menjadi bekal akhiratmu). Karena disana
cahaya kehidupan berada. Disanalah pintu kebenaran kau sapa. Tanyakan pada
diri, apa yang telah kau sumbangkan untuk dunia dan akhiratmu. Dengan tinta apa
kau torehkan garis hidupmu; dengan kemuliaan, atau kehinaan. Ingatlah, bahwa
Ilmu harus didatangi, bukan mendatangi. Bahwa Ilmu didapat dengan merendah
diri, merasa hina didepan para ahli. (Man lam yadzuq dzulla at-ta'allumi saa'atan
tajarra'a dzulla al-Jahli thuula hayaatihi). Akan kau dapati dirimu begitu kerdilnya
saat kau selami lautan ilmu yang luas…"
Akhirnya, telah kulewati masa-masa indah ini; penuh cobaan, penuh
tantangan. Berbagai hal terlewati bersama iringan waktu yang singkat. Tanpa
kusadari, sekarang telah memasuki semester akhir dari masa studiku. Kini masa
itu sudah di ujung tanduk. Dalam hati aku masih bertanya; Apa yang telah aku
dapatkan dari masa-masa yang terlewati? Ilmu apa yang sudah aku wariskan dari
para ulama' rabbani di Negeri ini? Pengalaman apa yang sudah membentuk karakterku
agar mawas diri? Ah, Semuanya terangkum dalam berbagai pertanyaan hati yang
senantiasa bergejolak. Harus segera bertindak, memanfaatkan waktu yang tersisa.
Sudan, sungguh kau telah menginspirasi…!
To be continued…
Khartoum, Sudan.
14-5-1435 H