Saat pandang menyirat beribu makna
Terselip satu tanya dalam hati
“Kapan datangnya kedamaian?
Saat orang telah jauh dari nurani
Mengaku diri penguasa bumi
Tiada makna dari sebuah kata
Tiada arti dari sebuah janji
Tidakkah mereka ingat !
Tatkala dilukiskan kepadanya satu perumpamaan
Tentang mereka yang dibelenggu pada hari yang dijanjikan
“ Wahai, kiranya kematian itulah yang menyudahi segala sesuatu
Hartaku sama sekali tidak berguna bagiku
Kekuasaanku telah hilang dariku”
Satu pengakuan diri yang sia-sia
Saat tiada lagi seorang pun yang dapat menolongnya
Dan Sang Segala berkata;
“ tangkaplah dia lalu belenggulah tangannya kelehernya
Kemudian masukkanlah dia ke dalam api neraka yang menyala-nyala
Kemudian belitlah dia dengan rantai yang panjangnya tujuh puluh hasta”
Bukankah telah nyata peringatan itu baginya?
***
Kini antara ada dan tiada
Keberadaan diri yang sulit diterka
Pengabdian umat yang ternoda
Namun kau tetap berdiri, mengaku dirimulah Sang penguasa
Tidakkah kau jerah dengan rakyatmu yang tersiksa?
Sudahkah nuranimu meraba?
Dunia kini mulai mengecam
Keadilan yang lama terbungkam
Menanti sosok pemimpin sejati
Di akhir masa yang mulai letih
Maka aku senantiasa menyeru jiwa-jiwa batu
Agar selalu ingat keringat rakyat yang dengan
tangan-tangan penuh lumpur mengaduk-aduk nasib
Mengolah masa depan yang suram
Aku senantiasa menyeru kamu yang dengan
kejam memakan insan-insan malang
Aku senantiasa menyeru kamu yang tanpa ragu
memangsa sesama yang begitu menderita
Senantiasa menyeru kamu yang tanpa perasaan
memakan masa depan demi memuaskan nafsu-nafsu menggebu
_____________________
Muhammad Nur
Khartoum, Sudan
13/04/11
This entry was posted
on Jumat, 22 April 2011
at 12.26
and is filed under
Puisi,
Refleksi,
renungan
. You can follow any responses to this entry through the
comments feed
.