"MENUNTUT ILMU ADALAH IBADAH"
Ilmu adalah ibadah. sudah barang tentu ibadah hendaklah diniatkan untuk mencari ridho-Nya semata. (QS. Al-Bayyinah 5.) Lebih tepatnya lagi, kita dituntut untuk IKHLAS berniat. jangan sampai ibadah kita dikelabuhi oleh hal-hal yang merusak bahkan memalingkan kita dari-Nya. Barang siapa hijrah dengan berniat untuk Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya-bernilaikan-untuk Allah dan rasul-Nya (HR. Bukhari No 1 & Muslim 1907). Niat seseorang akan berpengaruh terhadap apa yang akan dikerjakan setelahnya. Maka niatkanlah menuntut ilmu untuk Allah; berdakwah dijalannya, meneruskan kembali warisan nabi yang terlupa. Agar barakah ilmu dapat diraih, dan tidak sekedar letih belaka.
Seandainya ada sebuah pertanyaan, bagaimana caranya ikhlas dalam menuntut ilmu? Maka di sini Syaikh Utsaimin menjawab hal yang sama : “(1) Niatkanlah semata-mata untuk mendapatkan ridho Allah SWT (Q.S. Muhammad. 19). (2) melestarikan Syari’at-Nya (3) Menjaga Syari’at-Nya dan berusaha untuk melawan semua hal yang merusak bahkan tidak menginginkan Syari’at itu ada.(4) Dan ikutilah sunnah Rasulullah SAW. Dan sebaliknya, kalau menuntut ilmu hanya untuk mencari title maupun kebanggaan semata; agar dikenal, diakui, dipuji. Maka ketahuilah! jaman akan menenggelamkannya dengan kebanggaan, pujian, dan gelarnya tersebut. Bahkan Rasulullah SAW mengatakan bahwa orang berilmu yang hanya ingin mendapatkan kebanggaan di dunia saja, tidak akan mencium aroma syurga diakhirat kelak [HR. Abu Daud]. Wal ‘Iyadzu billlah
Harus ada kerinduan dan kecintaan kepada ilmu. Keinginan kita kepada ilmu pun harus "benar-benar, jujur", penuh kesadaran. Apakah itu sudah cukup? Ternyata belum. Menukil perkataan Syeikh Nawawi al-Banteni yang menyatakan bahwa: "Jika Anda menuntut ilmu untuk perlombaan tanpa makna; atau ingin dianggap Alim seorang diri karena ilmu ini begitu berharga; berbangga-bangga; mencari muka di hadapan manusia; mencari glamour duniawi; untuk dekat-dekat dengan penguasa; maka Anda sedang menghancurkan agama Anda dan merusak diri Anda sendiri. Anda pun sedang mengundang murka Allah, karena menjual akhirat Anda dengan agama Anda. Dengan begitu, sejatinya Anda sedang rugi dalam perniagaan Anda. Karena yang Anda perjual-belikan adalah agama Anda. Karena glamour duniawi dibanding akhirat tidak ada apa-apanya." (Syeikh Muhammad Nawawi al-Jawi, "Maraqi al-`Ubudiyyah", (Semarang: Karya Toha Putra, 3).
Artinya, menuntut ilmu itu harus dengan qalbu, bukan dengan nafsu. Harus ada kerendahan hati di sana. Bukan sembarang menuntut atau mencari ilmu. Karena niat dalam Islam sangat menentukan hasil akhir dari sebuah pencarian dan perbuatan.
Ilmu adalah ibadah. Tidak diragukan lagi, orang berilmu merupakan tonggaknya suatu kaum. Tanpa seorang Alim, apa jadi suatu daerah. Maka kita dituntut untuk rihlah- keluar- daerah untuk menuntut ilmu sebagaimana jelas firman Allah SAW yang berbunyi: “Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk bertafaqquh fid dien -memperdalam pengetahuan agama- mereka dan untuk member peringatan kepada kaumnbya apabila mereka telah kembali agar mereka dapat menjadi dirinya” (Q.S At-Taubah : 122)”
Ya, setiap kita hendaklah menjadi perwakilan atas daerah tempat ia berada untuk menuntut ilmu. Keluar menuntut ilmu demi ‘memberi peringatan’ kepada orang-orang yang dicintai. Tentunya peringatan yang dimaksud ialah demi kemashlahatan umat, dan bukan sebaliknya, membawa mafsadah. Kita yang diberi kesempatan waktu dan materi juga kemampuan untuk menuntut ilmu hendaklah memanfaatkannya sebaik mungkin dan hendaklah mensyukuri apa yang telah didapatkan. Karena disini Allah SWT menginginkan kita suatu kebaikan. “Barang siapa yang diinginkan oleh Allah suatu kebaikan, maka akan ditafaqquhkan fied din- ditetapkan baginya agamanya.”( HR. Bukhari 17 & Muslim 1038).
Namun yang dimaksud dengan tafaqquh di sini, ialah dibukakan baginya jalan untuk memperdalami ilmu syar’i, bukan yang lain. Tanpa mendeskritkan ilmu yang lain; ilmu humaniora, social, atau yang lain. Karena memang ilmu syar’i merupakan azas tegaknya ilmu agama. Ilmu yang bersumber Al-Qur’an dan Sunnah. Ilmu Akhirat yang kelak akan kita bawa tatkala maut menyapa. Yang dengannya kita dituntut untuk mengenali Al-Ushul at-Tsalasah ;Allah, Rasul, Agama. Maka sepantasnya kita mengagunggkan ilmu dan memperdalami secara mendetail unsur-unsur yang ada didalamnya.
Ilmu adalah ibadah. Tiada suatu usaha yang paling indah selain menuntut ilmu. Bahkan ia adalah sebaik-baik perbendaharaan yang paling indah. Ia ringan di bawa, namun besar manfaatnya. Di tengah-tengah orang banyak ia indah, sedangkan dalam kesendirian ia menghibur. Ia hiasan bagi orang kaya dan penolong bagi orang fakir
Sebagian ulama mengatakan Ilmu ibarat shalat sirri-nya seseorang dan ibadahnya qalbu. Sebagaimana perut yang membutuhkan makanan, Ilmu merupakan makanan qalbu dan pikiran. Hendaklah kita menyeimbangkan diri dalam mengkonsumsi apa yang menjadi kebutuhan pokok. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata bahwa "Kebutuhan manusia kepada ilmu lebih penting- dan hendaklah diprioritaskan- dari pada kebutuhan makan dan minum". Maka hendaklah kita memperjuangkan sepenuh hati demi memenuhi kebutuhan pokok itu kalau memang diri kita ingin mencapai suatu kemuliaan.
Kita dianjurkan menuntut ilmu sebagai Jihad fi sabillillah. Ini sejalur dengan hadis nabi SAW yang mengatakan : "Barang siapa yang keluar- dari suatu daerah tempat ia berada- untuk menuntut ilmu. Maka ia fi sabilillah- selama masa itu- hingga ia kembali pulang. (HR. Tarmidzi). Artinya, alasan kita meninggalkan kampung halaman adalah karena kita cinta ilmu. Seorang pencinta ilmu ini lah yang benar-benar rela dan berani meninggalkan keluarga demi ilmu yang mulia dan sangat berharga. Bahkan, sang kekasihpun akan dia tinggalkan demi ilmu. Karena yang kekal menemaninya nanti adalah ilmunya, bukan kekasihnya. Lihat lah apa yang dikatakan oleh Ibn Qayyim al-Jauziyyah dalam bukunya "Raudhat al-Muhibbin" (Taman Para Pecinta). Dia menyatakan, "Sungguh, para pecinta ilmu itu sangat rindu dan sangat mabuk kepayang kepada ilmu. Lebih dari kerinduan dan mabuk kepayangnya kepada kekasihnya sendiri. Dan kebanyakan mereka tidak peduli dengan sosok manusia yang sangat ganteng (cantik) sekalipun." Dia pun menambahkan, "Sekiranya ilmu itu digambarkan dalam bentuk manusia. Niscaya dia akan lebih indah dan cantik dari matahari dan bulan."
Tapi, sekali lagi, perasaan itu hanya dimiliki oleh para perindu dan pecinta ilmu. Jika dalam qalbu kita tidak ada sedikitpun rasa ini, jangan harap kita akan mengejar ilmu. Tak usah mengejar, rasa ingin tahu akan sesuatu pun tidak akan pernah lahir dari qalbu kita yang gersang dari rasa ini. Karena orang yang cinta kepada sesuatu, dia akan banyak menyebutkan. Selain itu, dia akan cari dimana dan kemanapun dia pergi. Itu semua karena rasa cinta dan rindu yang bersangatan terhadap ilmu. Maka, rasa letih tak terasa, rasa capek tak dihiraukan. Semua demi ilmu, ilmu, dan ilmu. Niatkanlah! bahwa semua usaha itu tidak lain hanya untuk mencari keridhohan-Nya. Berharap kita termasuk hamba-hambanya yang kelak mencium aroma syurga serta menjadi ahli didalamnya. Semoga! [El-Ahmady]
Khartoum, Sudan
Jum'at,16/6/1432 H
Catatan Seorang Thalib'ilm dari Negeri Dua nil.
By: El-Ahmady
Setelah mendengar Muqaddimah yang disampaikan Syaikh Abu Zaid minggu lalu. Saya kembali menyelami kata demi kata yang mengalir indah di buku beliau 'Hilyah Thalib ‘Ilm' ini. Pada tahap pertama yang beliau sampaikan, hati saya terhentak dengan kata-kata beliau yang mengibaratkan ilmu sebagai ‘Ibadah’. Ya, ibadah!. Penghambaan. Satu kata yang mengakumulasikan seluruh aktifitas seseorang kepada apa yang ia sembah. Tentunya dalam hal ini, ibadah yang dimaksud ialah kepada Allah SWT (QS.Az-Dzariat, 57 ). Bahkan ia merupakan ibadah yang paling diutamakan. Karena ibadah tanpa ilmu ibarat menimba air dengan gayung berlubang. Tidak mendapatkan segarnya hanya letih yang tersisa.“Jadikanlah hari-harimu bermanfaat dengan bertambahnya ilmu, niscaya kau arungi samudera hikmah. Bertafaqquhlah fid dien sesungguhnya ia sebaik-baik petunjuk kepada ketaatan dan taqwa” ( Syaikh Muhammad Ibn-Hasan, Kitab Ta’lim al-Muta’allim Thariqa at-Ta’allum)
Ilmu adalah ibadah. sudah barang tentu ibadah hendaklah diniatkan untuk mencari ridho-Nya semata. (QS. Al-Bayyinah 5.) Lebih tepatnya lagi, kita dituntut untuk IKHLAS berniat. jangan sampai ibadah kita dikelabuhi oleh hal-hal yang merusak bahkan memalingkan kita dari-Nya. Barang siapa hijrah dengan berniat untuk Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya-bernilaikan-untuk Allah dan rasul-Nya (HR. Bukhari No 1 & Muslim 1907). Niat seseorang akan berpengaruh terhadap apa yang akan dikerjakan setelahnya. Maka niatkanlah menuntut ilmu untuk Allah; berdakwah dijalannya, meneruskan kembali warisan nabi yang terlupa. Agar barakah ilmu dapat diraih, dan tidak sekedar letih belaka.
Seandainya ada sebuah pertanyaan, bagaimana caranya ikhlas dalam menuntut ilmu? Maka di sini Syaikh Utsaimin menjawab hal yang sama : “(1) Niatkanlah semata-mata untuk mendapatkan ridho Allah SWT (Q.S. Muhammad. 19). (2) melestarikan Syari’at-Nya (3) Menjaga Syari’at-Nya dan berusaha untuk melawan semua hal yang merusak bahkan tidak menginginkan Syari’at itu ada.(4) Dan ikutilah sunnah Rasulullah SAW. Dan sebaliknya, kalau menuntut ilmu hanya untuk mencari title maupun kebanggaan semata; agar dikenal, diakui, dipuji. Maka ketahuilah! jaman akan menenggelamkannya dengan kebanggaan, pujian, dan gelarnya tersebut. Bahkan Rasulullah SAW mengatakan bahwa orang berilmu yang hanya ingin mendapatkan kebanggaan di dunia saja, tidak akan mencium aroma syurga diakhirat kelak [HR. Abu Daud]. Wal ‘Iyadzu billlah
Harus ada kerinduan dan kecintaan kepada ilmu. Keinginan kita kepada ilmu pun harus "benar-benar, jujur", penuh kesadaran. Apakah itu sudah cukup? Ternyata belum. Menukil perkataan Syeikh Nawawi al-Banteni yang menyatakan bahwa: "Jika Anda menuntut ilmu untuk perlombaan tanpa makna; atau ingin dianggap Alim seorang diri karena ilmu ini begitu berharga; berbangga-bangga; mencari muka di hadapan manusia; mencari glamour duniawi; untuk dekat-dekat dengan penguasa; maka Anda sedang menghancurkan agama Anda dan merusak diri Anda sendiri. Anda pun sedang mengundang murka Allah, karena menjual akhirat Anda dengan agama Anda. Dengan begitu, sejatinya Anda sedang rugi dalam perniagaan Anda. Karena yang Anda perjual-belikan adalah agama Anda. Karena glamour duniawi dibanding akhirat tidak ada apa-apanya." (Syeikh Muhammad Nawawi al-Jawi, "Maraqi al-`Ubudiyyah", (Semarang: Karya Toha Putra, 3).
Artinya, menuntut ilmu itu harus dengan qalbu, bukan dengan nafsu. Harus ada kerendahan hati di sana. Bukan sembarang menuntut atau mencari ilmu. Karena niat dalam Islam sangat menentukan hasil akhir dari sebuah pencarian dan perbuatan.
Ilmu adalah ibadah. Tidak diragukan lagi, orang berilmu merupakan tonggaknya suatu kaum. Tanpa seorang Alim, apa jadi suatu daerah. Maka kita dituntut untuk rihlah- keluar- daerah untuk menuntut ilmu sebagaimana jelas firman Allah SAW yang berbunyi: “Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk bertafaqquh fid dien -memperdalam pengetahuan agama- mereka dan untuk member peringatan kepada kaumnbya apabila mereka telah kembali agar mereka dapat menjadi dirinya” (Q.S At-Taubah : 122)”
Ya, setiap kita hendaklah menjadi perwakilan atas daerah tempat ia berada untuk menuntut ilmu. Keluar menuntut ilmu demi ‘memberi peringatan’ kepada orang-orang yang dicintai. Tentunya peringatan yang dimaksud ialah demi kemashlahatan umat, dan bukan sebaliknya, membawa mafsadah. Kita yang diberi kesempatan waktu dan materi juga kemampuan untuk menuntut ilmu hendaklah memanfaatkannya sebaik mungkin dan hendaklah mensyukuri apa yang telah didapatkan. Karena disini Allah SWT menginginkan kita suatu kebaikan. “Barang siapa yang diinginkan oleh Allah suatu kebaikan, maka akan ditafaqquhkan fied din- ditetapkan baginya agamanya.”( HR. Bukhari 17 & Muslim 1038).
Namun yang dimaksud dengan tafaqquh di sini, ialah dibukakan baginya jalan untuk memperdalami ilmu syar’i, bukan yang lain. Tanpa mendeskritkan ilmu yang lain; ilmu humaniora, social, atau yang lain. Karena memang ilmu syar’i merupakan azas tegaknya ilmu agama. Ilmu yang bersumber Al-Qur’an dan Sunnah. Ilmu Akhirat yang kelak akan kita bawa tatkala maut menyapa. Yang dengannya kita dituntut untuk mengenali Al-Ushul at-Tsalasah ;Allah, Rasul, Agama. Maka sepantasnya kita mengagunggkan ilmu dan memperdalami secara mendetail unsur-unsur yang ada didalamnya.
Ilmu adalah ibadah. Tiada suatu usaha yang paling indah selain menuntut ilmu. Bahkan ia adalah sebaik-baik perbendaharaan yang paling indah. Ia ringan di bawa, namun besar manfaatnya. Di tengah-tengah orang banyak ia indah, sedangkan dalam kesendirian ia menghibur. Ia hiasan bagi orang kaya dan penolong bagi orang fakir
Sebagian ulama mengatakan Ilmu ibarat shalat sirri-nya seseorang dan ibadahnya qalbu. Sebagaimana perut yang membutuhkan makanan, Ilmu merupakan makanan qalbu dan pikiran. Hendaklah kita menyeimbangkan diri dalam mengkonsumsi apa yang menjadi kebutuhan pokok. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata bahwa "Kebutuhan manusia kepada ilmu lebih penting- dan hendaklah diprioritaskan- dari pada kebutuhan makan dan minum". Maka hendaklah kita memperjuangkan sepenuh hati demi memenuhi kebutuhan pokok itu kalau memang diri kita ingin mencapai suatu kemuliaan.
Kita dianjurkan menuntut ilmu sebagai Jihad fi sabillillah. Ini sejalur dengan hadis nabi SAW yang mengatakan : "Barang siapa yang keluar- dari suatu daerah tempat ia berada- untuk menuntut ilmu. Maka ia fi sabilillah- selama masa itu- hingga ia kembali pulang. (HR. Tarmidzi). Artinya, alasan kita meninggalkan kampung halaman adalah karena kita cinta ilmu. Seorang pencinta ilmu ini lah yang benar-benar rela dan berani meninggalkan keluarga demi ilmu yang mulia dan sangat berharga. Bahkan, sang kekasihpun akan dia tinggalkan demi ilmu. Karena yang kekal menemaninya nanti adalah ilmunya, bukan kekasihnya. Lihat lah apa yang dikatakan oleh Ibn Qayyim al-Jauziyyah dalam bukunya "Raudhat al-Muhibbin" (Taman Para Pecinta). Dia menyatakan, "Sungguh, para pecinta ilmu itu sangat rindu dan sangat mabuk kepayang kepada ilmu. Lebih dari kerinduan dan mabuk kepayangnya kepada kekasihnya sendiri. Dan kebanyakan mereka tidak peduli dengan sosok manusia yang sangat ganteng (cantik) sekalipun." Dia pun menambahkan, "Sekiranya ilmu itu digambarkan dalam bentuk manusia. Niscaya dia akan lebih indah dan cantik dari matahari dan bulan."
Tapi, sekali lagi, perasaan itu hanya dimiliki oleh para perindu dan pecinta ilmu. Jika dalam qalbu kita tidak ada sedikitpun rasa ini, jangan harap kita akan mengejar ilmu. Tak usah mengejar, rasa ingin tahu akan sesuatu pun tidak akan pernah lahir dari qalbu kita yang gersang dari rasa ini. Karena orang yang cinta kepada sesuatu, dia akan banyak menyebutkan. Selain itu, dia akan cari dimana dan kemanapun dia pergi. Itu semua karena rasa cinta dan rindu yang bersangatan terhadap ilmu. Maka, rasa letih tak terasa, rasa capek tak dihiraukan. Semua demi ilmu, ilmu, dan ilmu. Niatkanlah! bahwa semua usaha itu tidak lain hanya untuk mencari keridhohan-Nya. Berharap kita termasuk hamba-hambanya yang kelak mencium aroma syurga serta menjadi ahli didalamnya. Semoga! [El-Ahmady]
Khartoum, Sudan
Jum'at,16/6/1432 H
This entry was posted
on Jumat, 20 Mei 2011
at 13.34
and is filed under
Artikel
. You can follow any responses to this entry through the
comments feed
.