[PART 4] MENUNTUT ILMU-- “DALAM PENGAWASAN ALLAH”
Perasaan apa yang muncul tatkala Anda merasa diawasi oleh seseorang? Ge’er, was-was, takut, ragu, panas-dingin atau sebaliknya kuat mental, percaya diri, dll. jawabannya pasti akan bermacam-macam sesuai pengalaman masing-masing. Tatkala menghadapi tes ujian misalnya, yang diadakan pihak tertentu; Universitas saat ujian masuk, UN (ujian nasional), melamar pekerjaan, dsb, kita akan berusaha sebaik mungkin agar tampil sempurna dalam menghadapi kesemuanya. Berusaha agar dapat melewati fase-fase tersebut dengan mudah dan tanpa halangan.
Nah, kalau saja rasa takut itu muncul tatkala tidak ingin terlihat buruk dalam pandangan manusia atau orang yang mengawasi, serta ujian-ujian formalitas yang belum tentu keabsahan serta tingkat kesulitannya, bagaimana pula halnya dengan Tuhan yang menciptakan. Allah yang memberikan rasa takut, yang Maha Tahu atas segala sesuatu dimuka bumi. Allah yang selalu Maha mengawasi tingkah-laku, tidak kenal waktu, tidak merasakan letih dan lesu. Apakah diri telah siap menghadapi ujian nyata yang diberikan-Nya dalam kehidupan sehari-hari? Tidak takutkah seandainya nilai yang diterima merah atau angka nol (0) disetiap perbuatan yang dilakukan?
Semuanya sia-sia seandainya benar kalau saja kita tidak memperhatikan masalah urgent seperti ini. Karena sejatinya, sebagai hamba-Nya yang patuh kita dituntut agar senantiasa menjaga diri demi mempersembahkan hal terbaik itu kepada-Nya. Karena memang kita adalah makhuk-Nya dengan sebaik-baik penciptaan (Q.S. At-Tin 4) Salah satunya dengan menimbulkan rasa pengawasan itu dalam diri. Perasaan diawasi yang dengannya dituntut agar tingkah laku dan perbuatannya terlihat baik; tidak nyeleneh atau melanggar rambu-rambu yang sudah ada. Merasa diri sulit untuk melakukan tindakan penyimpangan, maupun hal-hal yang berkaitan dengannya. Karena fitrah manusia akan berusaha untuk menampilkan hal yang terbaik dalam hidupnya. Ia akan berusaha agar tingkah lakunya sempurna dipandangan orang yang mengawasinya.
Dalam bahasa arab kalimat pengawasaan dikenal dengan istilah Muraqabah. Masdhar ( sumber kata) dari rooqoba-yuooqibu, yang dapat diartikan dengan berbagai definisi yang saling berkaitan. Bisa diartikan dengan memonitori-roqoobah, menjaga-hars, mewaspadai-hadzar, atau perlindungan-ri’ayah. (Lihat Atabik Ali & Ahmad Juhdi Mudhar- Al-‘Ashri, Kamus kontemporer Arab-Indonesia Hal-985) Masing-masing memiliki keterkaitan makna yang erat dalam lingkup pengawasan secara tafshili (rinci). Keempat defenisi tersebut seperti empat tahapan yang timbul tatkala kegiatan muraqabah dilakukan:
(1) Merasa diri diawasi bahwa Allah senantiasa memonitori, baik itu secara langsung, ataupun dengan kedua malaikatnya (Raqib-‘Atid), yang bertugas mencatat hasanaat-wassayi’aat. Allah SWT bersabda: “Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya Malaikat Pengawas yang selalu hadir”. (Q.S.Qaf 18)
(2) Menjaga diri dari perbuatan buruk dan keji. Melakukan semua hal terbaik untuk dipersembahkann, baik itu dalam keterbukaan maupun sendiri. Karena memang manusia sebagai makhuk-Nya dengan sebaik-baik penciptaan (Q.S. At-Tin 4) Mengingat tujuan hidup hanya untuk beribadah kepada-Nya semata (QS. Az-Dzariat 56)
(3) Mewaspadai dari gangguan yang datang menyeringai yang dengannya seseorang dituntut untuk mempersiapkan diri dengan bekal, ilmu dan mental yang kuat. Ilmu yang bersumber dari Allah SWT dan Rasul-Nya. Agar tidak mudah terpengaruh dengan aura negatif di sekitar.
(4) Nah, kalau ketiga tahapan diatas sudah terpenuhi, maka muncul-lah rasa di-ayomi (perlindungan) bahwa tiada suatu perbuatan yang luput kecuali dengan Kuasa-Nya. Bahwa Ialah yang Maha Besar. Merasakan kedekatan diri yang senantiasa dijaga dari Zat yang Maha melindungi.
Dari Ibn Abbas bahwa Rasulullah SAW berkata : “Jaga Allah maka Allah akan menjagamu. Jagalah Allah, maka kamu niscaya akan mendapatinya dihadapanmu. Apabila kamu meminta sesuatu mintalah kepada Allah, dan apabila kamu ingin meminta bantuan, mintalah pertolongan kepada-Nya. Dan ketahuilah, bahwa tiada suatu kaum yang mampu memanfaatkanmu kecuali telah ditetapkan-Nya bagimu, dan tiada pula mampu untuk mencelakai kecuali telah ditetapkan-Nya bagimu… (HR. Tirmidzi).
Jelaslah bahwa Muraqabah lillah, akan menimbulkan keterjagaan dan perlindungan yang membuat hati seorang hamba akan senantiasa tertaut dalam naungan kasih-Nya, kepada-Nya tempat bersandar dan meminta.
***
Demikian pula dalam menuntut ilmu. Dengan keempat tahapan diatas, seorang thalib’ilm dituntut agar senantiasa menjaga diri dari hal-hal yang membuat dirinya terhina. Menghindari timbulnya perbuatan diluar batas yang merusak diri, serta menjauhkannya dari barakah ilmu.
Sebagaimana pada refleksi ilmu sebelumnya, seorang alim dapat dikatakan alim apabila ia merasakan ketakutan atas kebesaraan-Nya, bahwa Allah-lah Maha Segala. Merasakan ketakutan hanya kepada-Nya, karena ia tahu akan kebesaran-Nya. “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.”(Q.S.Al-Fathir 28) Bukan sekedar tahu. Namun diaplikasikan dengan perbuatan dan tingkah-laku serta ucapan.
Berhati-hati dalam bertindak. Mengingat perkataan-Nya tatkala wudhu’ hendak menunaikan Shalat, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku…”(Q.S. Maidah 6), berwudhu’ seakan melihat Rasulullah SAW saat berwudhu’ dan berkata “ Barang siapa yang berwudhu’ seperti –cara- aku berwudhu’…”(HR. Muslim) dan ini sebaik-baiknya bermuraqabah. Karena ia takut, namun ketakutan yang disertai ilmu dan aturan.
Syaikh Abu Zaid berkata, bahwa Muraqabah yang dimaksud hendaklah dibarengi rasa takut dan pengharapan. Seperti halnya sayap seekor burung, seimbang tatkala terbang mengangkasa. Dari perkataannya ini, timbul suatu pertanyaan: Apakah seseorang itu bermuraqabah lillah dengan keduanya secara berbarengan, atau salah-satunya lebih diunggulkan dari yang lain?
Imam Ahmad –rahimahullah- berkata: “selayaknya ketakutan itu disertai dengan pengharapan, seandainya hanya salah satu diantara keduanya, maka kecelakaanlah yang datang”. dari perkataanya ini, sebagian ulama juga memberikan pendapat lain bahwa : “tatkala seseorang menginginkan ketaatan, hendaklah ia lebih mengutamakan pengharapan kepada-Nya, berharaplah semua amal dan perbuatan diterima oleh Allah, serta mintalah kepada-Nya ditinggikan derajat dengan ketakwaan. Dan apabila suatu ketika ia hendak bermaksiat, segeralah menyadari keberadaan, serta takut akan kebesaran-Nya hingga tidak terjerumus ke lembah maksiat, bahwa penyertaan antara pengharapan-ketakutan sesuai kadar kemampuan dan keadaan yang dihadapi.
Kesimpulannya, Syaikh Utsaimin dalam kitab Syarh Hilyah Tholib’ilm lebih cenderung kepada pendapat yang kedua, bahwa apabila ingin berbuat baik hendaklah cenderung mengutamakan sikap roja’ (berharap) sebagaimana pendapat diatas, dan sebaliknya tatkala timbul keinginan untuk bermaksiat, bersegeralah menimbulkan rasa takut dalam diri dan ini pendapat yang mendekati kebenaran.
Kronologi yang sering terjadi dengan apa yang kita rasakan sudah menjadi fithrah manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya. Karena memang manusia dituntut agar senantiasa menjaga martabat diri baik itu dalam hubungan horizontal (dengan manusia) maupun vertical (dengan Allah). Oleh karenanya sangat penting untuk menimbulkan rasa selalu diawasi (muraqabah) agar diri senantiasa terjaga. Wallahu A'lam Bihowab
Ya Allah, tetapkanlah hati kami atas agama dan ketaatan kepada-Mu, Sesungguhnya kami termasuk orang-orang yang dholim. Dan berkahilah kami ilmu dan ketakutan kepada-Mu, agar rekat qalbu, senantiasa berdzikir dan mengukir goresan dakwah, untuk mencapai ridho-Mu.[El-Ahmady]
Khartoum, Sudan
25/06/2011
Catatan seorang Thalib’ilm di Negeri Dua Nil
“Sesungguhnya bagi Allah tidak ada satupun yang tersembunyi di bumi dan tidak (pula) di langit.” (Q.S. Ali Imran 5)
“yang melihat kamu ketika kamu berdiri (untuk sembahyang), dan (melihat pula) perobahan gerak badanmu di antara orang-orang yang sujud.”( Q.S. As-Syu’ara’ 218-219)
Perasaan apa yang muncul tatkala Anda merasa diawasi oleh seseorang? Ge’er, was-was, takut, ragu, panas-dingin atau sebaliknya kuat mental, percaya diri, dll. jawabannya pasti akan bermacam-macam sesuai pengalaman masing-masing. Tatkala menghadapi tes ujian misalnya, yang diadakan pihak tertentu; Universitas saat ujian masuk, UN (ujian nasional), melamar pekerjaan, dsb, kita akan berusaha sebaik mungkin agar tampil sempurna dalam menghadapi kesemuanya. Berusaha agar dapat melewati fase-fase tersebut dengan mudah dan tanpa halangan.
Nah, kalau saja rasa takut itu muncul tatkala tidak ingin terlihat buruk dalam pandangan manusia atau orang yang mengawasi, serta ujian-ujian formalitas yang belum tentu keabsahan serta tingkat kesulitannya, bagaimana pula halnya dengan Tuhan yang menciptakan. Allah yang memberikan rasa takut, yang Maha Tahu atas segala sesuatu dimuka bumi. Allah yang selalu Maha mengawasi tingkah-laku, tidak kenal waktu, tidak merasakan letih dan lesu. Apakah diri telah siap menghadapi ujian nyata yang diberikan-Nya dalam kehidupan sehari-hari? Tidak takutkah seandainya nilai yang diterima merah atau angka nol (0) disetiap perbuatan yang dilakukan?
Semuanya sia-sia seandainya benar kalau saja kita tidak memperhatikan masalah urgent seperti ini. Karena sejatinya, sebagai hamba-Nya yang patuh kita dituntut agar senantiasa menjaga diri demi mempersembahkan hal terbaik itu kepada-Nya. Karena memang kita adalah makhuk-Nya dengan sebaik-baik penciptaan (Q.S. At-Tin 4) Salah satunya dengan menimbulkan rasa pengawasan itu dalam diri. Perasaan diawasi yang dengannya dituntut agar tingkah laku dan perbuatannya terlihat baik; tidak nyeleneh atau melanggar rambu-rambu yang sudah ada. Merasa diri sulit untuk melakukan tindakan penyimpangan, maupun hal-hal yang berkaitan dengannya. Karena fitrah manusia akan berusaha untuk menampilkan hal yang terbaik dalam hidupnya. Ia akan berusaha agar tingkah lakunya sempurna dipandangan orang yang mengawasinya.
Dalam bahasa arab kalimat pengawasaan dikenal dengan istilah Muraqabah. Masdhar ( sumber kata) dari rooqoba-yuooqibu, yang dapat diartikan dengan berbagai definisi yang saling berkaitan. Bisa diartikan dengan memonitori-roqoobah, menjaga-hars, mewaspadai-hadzar, atau perlindungan-ri’ayah. (Lihat Atabik Ali & Ahmad Juhdi Mudhar- Al-‘Ashri, Kamus kontemporer Arab-Indonesia Hal-985) Masing-masing memiliki keterkaitan makna yang erat dalam lingkup pengawasan secara tafshili (rinci). Keempat defenisi tersebut seperti empat tahapan yang timbul tatkala kegiatan muraqabah dilakukan:
(1) Merasa diri diawasi bahwa Allah senantiasa memonitori, baik itu secara langsung, ataupun dengan kedua malaikatnya (Raqib-‘Atid), yang bertugas mencatat hasanaat-wassayi’aat. Allah SWT bersabda: “Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya Malaikat Pengawas yang selalu hadir”. (Q.S.Qaf 18)
(2) Menjaga diri dari perbuatan buruk dan keji. Melakukan semua hal terbaik untuk dipersembahkann, baik itu dalam keterbukaan maupun sendiri. Karena memang manusia sebagai makhuk-Nya dengan sebaik-baik penciptaan (Q.S. At-Tin 4) Mengingat tujuan hidup hanya untuk beribadah kepada-Nya semata (QS. Az-Dzariat 56)
(3) Mewaspadai dari gangguan yang datang menyeringai yang dengannya seseorang dituntut untuk mempersiapkan diri dengan bekal, ilmu dan mental yang kuat. Ilmu yang bersumber dari Allah SWT dan Rasul-Nya. Agar tidak mudah terpengaruh dengan aura negatif di sekitar.
(4) Nah, kalau ketiga tahapan diatas sudah terpenuhi, maka muncul-lah rasa di-ayomi (perlindungan) bahwa tiada suatu perbuatan yang luput kecuali dengan Kuasa-Nya. Bahwa Ialah yang Maha Besar. Merasakan kedekatan diri yang senantiasa dijaga dari Zat yang Maha melindungi.
Dari Ibn Abbas bahwa Rasulullah SAW berkata : “Jaga Allah maka Allah akan menjagamu. Jagalah Allah, maka kamu niscaya akan mendapatinya dihadapanmu. Apabila kamu meminta sesuatu mintalah kepada Allah, dan apabila kamu ingin meminta bantuan, mintalah pertolongan kepada-Nya. Dan ketahuilah, bahwa tiada suatu kaum yang mampu memanfaatkanmu kecuali telah ditetapkan-Nya bagimu, dan tiada pula mampu untuk mencelakai kecuali telah ditetapkan-Nya bagimu… (HR. Tirmidzi).
Jelaslah bahwa Muraqabah lillah, akan menimbulkan keterjagaan dan perlindungan yang membuat hati seorang hamba akan senantiasa tertaut dalam naungan kasih-Nya, kepada-Nya tempat bersandar dan meminta.
***
Demikian pula dalam menuntut ilmu. Dengan keempat tahapan diatas, seorang thalib’ilm dituntut agar senantiasa menjaga diri dari hal-hal yang membuat dirinya terhina. Menghindari timbulnya perbuatan diluar batas yang merusak diri, serta menjauhkannya dari barakah ilmu.
Sebagaimana pada refleksi ilmu sebelumnya, seorang alim dapat dikatakan alim apabila ia merasakan ketakutan atas kebesaraan-Nya, bahwa Allah-lah Maha Segala. Merasakan ketakutan hanya kepada-Nya, karena ia tahu akan kebesaran-Nya. “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.”(Q.S.Al-Fathir 28) Bukan sekedar tahu. Namun diaplikasikan dengan perbuatan dan tingkah-laku serta ucapan.
Berhati-hati dalam bertindak. Mengingat perkataan-Nya tatkala wudhu’ hendak menunaikan Shalat, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku…”(Q.S. Maidah 6), berwudhu’ seakan melihat Rasulullah SAW saat berwudhu’ dan berkata “ Barang siapa yang berwudhu’ seperti –cara- aku berwudhu’…”(HR. Muslim) dan ini sebaik-baiknya bermuraqabah. Karena ia takut, namun ketakutan yang disertai ilmu dan aturan.
Syaikh Abu Zaid berkata, bahwa Muraqabah yang dimaksud hendaklah dibarengi rasa takut dan pengharapan. Seperti halnya sayap seekor burung, seimbang tatkala terbang mengangkasa. Dari perkataannya ini, timbul suatu pertanyaan: Apakah seseorang itu bermuraqabah lillah dengan keduanya secara berbarengan, atau salah-satunya lebih diunggulkan dari yang lain?
Imam Ahmad –rahimahullah- berkata: “selayaknya ketakutan itu disertai dengan pengharapan, seandainya hanya salah satu diantara keduanya, maka kecelakaanlah yang datang”. dari perkataanya ini, sebagian ulama juga memberikan pendapat lain bahwa : “tatkala seseorang menginginkan ketaatan, hendaklah ia lebih mengutamakan pengharapan kepada-Nya, berharaplah semua amal dan perbuatan diterima oleh Allah, serta mintalah kepada-Nya ditinggikan derajat dengan ketakwaan. Dan apabila suatu ketika ia hendak bermaksiat, segeralah menyadari keberadaan, serta takut akan kebesaran-Nya hingga tidak terjerumus ke lembah maksiat, bahwa penyertaan antara pengharapan-ketakutan sesuai kadar kemampuan dan keadaan yang dihadapi.
Kesimpulannya, Syaikh Utsaimin dalam kitab Syarh Hilyah Tholib’ilm lebih cenderung kepada pendapat yang kedua, bahwa apabila ingin berbuat baik hendaklah cenderung mengutamakan sikap roja’ (berharap) sebagaimana pendapat diatas, dan sebaliknya tatkala timbul keinginan untuk bermaksiat, bersegeralah menimbulkan rasa takut dalam diri dan ini pendapat yang mendekati kebenaran.
Kronologi yang sering terjadi dengan apa yang kita rasakan sudah menjadi fithrah manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya. Karena memang manusia dituntut agar senantiasa menjaga martabat diri baik itu dalam hubungan horizontal (dengan manusia) maupun vertical (dengan Allah). Oleh karenanya sangat penting untuk menimbulkan rasa selalu diawasi (muraqabah) agar diri senantiasa terjaga. Wallahu A'lam Bihowab
Ya Allah, tetapkanlah hati kami atas agama dan ketaatan kepada-Mu, Sesungguhnya kami termasuk orang-orang yang dholim. Dan berkahilah kami ilmu dan ketakutan kepada-Mu, agar rekat qalbu, senantiasa berdzikir dan mengukir goresan dakwah, untuk mencapai ridho-Mu.[El-Ahmady]
اللهم ثبت قلوبنا على دينك وعلى طاعتك سبحانك إنا كنا من الظاليمنMuhammad Nur
Khartoum, Sudan
25/06/2011
This entry was posted
on Sabtu, 25 Juni 2011
at 01.15
and is filed under
Artikel,
Buletin,
Refleksi
. You can follow any responses to this entry through the
comments feed
.