PENGABDIAN SEORANG HAMBA
(Refleksi buku 30 Ways to Serve Religion, Syaikh Ridho Shamadi)
Ke mana pun aku palingkan wajah, yang kulihat hanyalah hak yang dirampas
Di mana pun aku berada, yang kudengar hanyalah rintihan tangisan
Ke mana pun kakiku melangkah, yang kudapati hanyalah jalan buntu,
barisan yang menakjubkan, dan kehinaan yang menakutkan, aku pun menyeru,
“Wahai umatku! Bangkitlah, raih kemulia!”
Namun, tak satu pun aku dapati orang yang menjawab seruanku
(Syaikh Ridha Shamadi)
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Bismillah…..
Dengan menyebut Asma-Mu Ya Allah, kuawali kembali jemari kasarku mengetik huruf demi huruf menjadi rangkaian kata. Menuliskannya demi menulusuri kembali hikmah yang terselip dari hati yang mulai buta ibrah. Semoga dapat tercerahkan walau harus kesekian kalinya terjatuh dalam lembah nista.
Saudaraku, insan sejati! Saat kubaca doa yang kau tuliskan di dinding biru (facebook) dengan bertambahnya usia ini. Membuat hati ini tergerak kembali untuk segera berbenah diri, yang pada intinya, mengharapkan kebaikan dari diri yang kerdil ini. Harapan untuk memanfaatkan usia dengan sebaik mungkin, agar menjadi hamba-Nya yang menebarkan manfaat dan maslahat di muka bumi. Menjadi satu alasan penting yang perlu kukutahui, agar mempersiapkan diri sedini mungkin menuju satu pengabdian abadi pada-Nya.
Ya, pengabdian! Makna pengabdian tiada akhir seorang hamba pada Tuhannya. Seketika aku terhenyak dari lamunan menatap barisan kata. Bahwa aku tidak ingin terjebak dalam ritual ulang tahun sebagaimana biasa. Karena menurut pandangan syar’I hal tersebut dilarang, karena ditakutkan adanya unsur tasyabbuh (mengikuti ) tradisi kaum kuffar. Hal ini secara jelas menyalahi sunnah Nabi, Sahabat, dan para tabi’in yang sama sekali tidak menyontohkannya. Aku pun baru menyadari itu, setelah belajar dan banyak bertanya dengan para Masyaikh dan buku yang kubaca.
Tentu sangat berat untuk pertama kalinya mengetahui hal itu, disebabkan tradisi ini sudah mendarah daging ditubuh umat, khususnya kebiasaanku sebelum-sebelumnya. Baik itu dengan istilah-istilah yang lain sekalipun (Doa selamatan, minta dipanjangkan usia) Dikarenakan, panjang umur bagi seseorang tidak selalu berbuah baik, kecuali kalau dihabiskan dalam menggapai keridhaan Allah dan ketaatanNya. Sebaik-baik orang adalah orang yang panjang umurnya dan baik amalannya. Sementara orang yang paling buruk adalah manusia yang panjang umurnya dan buruk amalanya.
Karena itulah, sebagian ulama tidak menyukai do'a agar dikaruniakan umur panjang secara mutlak. Mereka kurang setuju dengan ungkapan : "Semoga Allah memanjangkan umurmu" kecuali dengan keterangan "Dalam ketaatanNya" atau "Dalam kebaikan" atau kalimat yang serupa. Alasannya umur panjang kadangkala tidak baik bagi yang bersangkutan, karena umur yang panjang jika disertai dengan amalan yang buruk -semoga Allah menjauhkan kita darinya- hanya akan membawa keburukan baginya, serta menambah siksaan dan malapetaka.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
" Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (kearah kebinasaan), dengan cara yang tidak mereka ketahui. Dan Aku memberi tangguh kepada mereka. Sesungguhnya rencana amat teguh". [QS. Al-A'raf : 182-183]
Tentu, dalam ranah saling mengingatkan. Semoga tidak keliru. Aku cenderung ingin menanggapi harapan dan doa yang kau titipkan padaku. Sungguh.., membacanya membuat lidah keluh harus berkata apa. Saat mengetahui diri belum mampu berbuat apa-apa. Ketika ku mendapati diriku masih saja terlalaikan oleh roda waktu yang berlari begitu cepat, hingga tertatih-tatih kumelangkah mencari penyebab di balik semua penyesalan.
Akhirnya timbul dalam benakku, untuk melihat kembali apa sebenarnya yang menjadi inti permasalahan, yakni dengan bertanya dan terus bertanya. Hingga sampailah aku pada satu pertanyaan yang sempat kulupakan; Apa yang telah kupersembahkan untuk umat? Lagi-lagi pertanyaan ini mengusik nurani, saat kusadari, ternyata aku belum banyak menyumbangkan apa-apa untuk umat dan agamaku.
Saat kurebahkan punggung di atas kasur, kulihat langit-langit kamar yang bisu. Kuedarkan pandangan melirik buku-buku yang berjajar rapi di rak kardus disampingku. Teringat buku yang pernah kubeli setahun yang lalu sebelum keberadaanku di Negeri dua nil ini. 30 Ways to Serve Relegion (30 Cara mengabdi pada agama), buku yang ditulis oleh Syaikh Ridho Shamadi yang diterjemahkan oleh Azzam Center, penerbit Qisthi cetakan Desember 2007. Seketika aku bergumam “Mengapa baru sekarang aku tersadar untuk membacanya?” Buku pemberian sahabatku sepengabdian saat mengajar di pondok dahulu ternyata menyimpan makna yang sangat mendalam. Sungguh, buku ini menghipnotisku!. Mengingatkanku kembali tentang arti hidup di muka bumi. Bahwa tugas dan amanah umat begitu besarnya di pundak. Agar senantiasa tetap dalam ranah fi sabilillah.
Kucoba untuk membacanya untuk kedua kalinya, berharap ia kembali menyadarkanku atas kelalaianku. Maka disinilah kembali diri ingin menyampaikan kepadamu beberapa point penting, yang aku dapatkan tatkala mencoba mengutip hikmah dari buku beliau yang mungkin bermanfaat pula bagimu. Izinkanlah, kutulis kembali penuturan beliau di ruang muhasabah ini, semoga kita dapat menyelami dan menyadari peranan diri sebagai hamba-Nya yang berbakti.
PENGABDIAN PADA AGAMA ADALAH SUATU KEHARUSAN.
Saudaraku, insan sejati! Pelajaran pertama yang kudapatkan dari buku itu berbicara tentang Pengabdian kepada Agama. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:
“. Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagiNya; dan demikian Itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)" (QS. Al-An’am: 162-163)
Ayat ini menyatakan dengan tegas ikrar yang seharusnya kita ingat selalu, bahwa hidup-mati kita adalah untuk beribadah kepadanya. Namun, kerap kali hal ini hanya sebatas teori semata. Bacalah sejenak penuturan syaikh Shamadi tentang makna pengabdian berikut:
“Semakin besar pengabdian yang diberikan seorang hamba maka semakin tinggi derajatnya di sisi Allah. Pengabdian ini bukanlah satu pekerjaan biasa atau jabatan kehormatan yang setiap orang bisa menerimanya atau menolaknya. Ia juga bukan pekerjaan sukarela, dan bukan pula fardhu kifayah. Pengabdian untuk agama bukan sekadar kewajiban biasa. Ia adalah tiang penting penyangga tegaknya agama, sesuatu yang tidak boleh ditinggalkan, dan pondasi yang melandasi bangunan agama. Pemahaman seperti inilah yang tertanam dalam hati para pendahulu kita dari kalangan as-salaf ash-shalih. Pemahaman ini seolah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari akidah mereka. tak perlu mencari dalil-dalil untuk membuktikan kebenaran pemahaman ini. Hanya dengan mengucapkan ikrar dua kalimat syahadat lalu disertai dengan keimanan yang kokoh dalam dada, mereka masing-masing secara otomatis akan memahami bahwa dirinya adalah pelayan agama ini sekaligus bagian dari barisan tentara yang siap mengorbankan segala sesuatu yang dimilikinya demi membela kehormatan agama ini”
Imam Ghozali turut berujar: " Orang yang tinggal diam di rumah saja tanpa mau memperdulikan keadaan masyarakat sekitarnya, tidak mau menyampaikan ajaran agama yang diketahuinya kepada orang lain maka ia telah melakukan satu kemungkaran. Saat ini, masyarakat di daerah perkotaan banyak yang belum memahami agama. Mereka mengenal Islam hanya sekadar namanya saja. Banyak dari mereka yang belum mengetahui ajaran-ajaran Islam, seperti tata cara Shalat. Kalau di daerah perkotaan saja seperti itu maka bagaimana dengan keadaan di daerah-daerah pelosok? Keadaannya tentu akan lebih parah lagi. Oleh karena itu, di setiap Masjid atau desa seharusnya ada minimal satu orang ulama yang mengajari masyarakat. Kemudian setelah menunaikan kewajiban di tempat tersebut, ia hendaknya tidak berhenti sampai di situ saja. Ia harus meneruskan dakwahnya ke tempat lain untuk mengajari manusia ajaran agamanya."
Saudaraku, apa yang kau rasakan setelah membaca penuturan para ulama di atas? Tentu bagi mereka yang ‘benar-benar sadar’ arti pengabdian, akan mengatakan benar adanya apa yang beliau utarakan. Bahwa pada akhirnya seseorang akan menyadari, makna pengabdian itu bagi dirinya merupakan pelayanan pada agama ini. Bahwa pengorbanan segala sesuatu yang dimilikinya demi membela kehormatan agama ini merupakan tugas yang wajib untuk ditunaikan. Nah, yang menjadi pertanyaan kembali, “pelayanan apakah yang harus kita tunaikan?”
Allah Subhanahu wata’ala berfirman:
“Hai orang yang berselimut, bangunlah lalu berilah peringatan” (QS. Al-Muddatsir: 1-2)
“Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-Mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik”. (QS. An-Nahl:125)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -rahimahullah- menyatakan, menyangkut penafsiran surat Al-Muddatsir ayat 1-2 di atas : “ Umat Islam wajib menyampaikan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam dan memberi peringatan sebagaimana beliau dulu memberi peringatan” (Majmu’ al-Fatawa, jilid XVI, hlm 327)
Syaikh Ibnu Al-Qoyyim –rahimahullah- juga berkata:
“Menyampaikan sunnah Nabi Muhammad kepada umat lebih utama daripada berjuang memerangi musuh. Sebab, berjuang melawan musuh banyak yang bisa melakukannya. Sedangkan menyampaikan sunnah, tidak ada yang bisa melakukannya kecuali para pewaris nabi dan penerusnya”(At-Tafsir al-Qoyyim, hlm 431)
Dari kalam Ilahi juga kedua ulama mu’tabar di atas, jelaslah, bahwa pelayanan yang semestinya ditunaikan ialah mengajak orang kembali kepada fitrahnya sebagai hamba. Beribadah sepenuh hati pada-Nya, meng-Esa-kan Allah dari para penyekutu-Nya. Apapun profesinya, yang pasti tidak melanggar aturan syari’at, hendaklah melestarikan kembali sunnah Nabi yang tentunya disertai dengan ilmu dan dalil-dalil yang menyertai. Harus ada usaha untuk mencari kebenaran dan tidak sekedar taklid buta. Tidak mencari Pembenaran dari ucapan, namun kebenaranlah yang menjadi pegangan dan sandaran.
Jika kita perhatikan dengan seksama, akan kita dapati bahwa setiap orang yang mengaku berkomitmen kepada agama ini dengan sendirinya akan menjadi bagian dari penyeru yang mengajak manusia kepada jalan kebenarannya. Nah, sudahkah Kita menjadi salah satu penyeru itu?
Pelajaran kedua yang Aku dapatkan, yakni : Inti Persoalan Umat dalam Berdakwah.
Syaikh Shamadi, kemudian berujar dalam muqaddimah buku: “Perlu diketahui bahwa penghalang keterlibatan kaum Muslimin dalam berdakwah adalah anggapan bahwa yang bertanggung jawab untuk berdakwah hanyalah mereka yang memakai sorban dan berjenggot. Ditambah lagi dengan anggapan bahwa jika seseorang sudah mengerjakan beberapa kewajiban agama seperti shalat, puasa, dan haji maka ia tidak wajib untuk memikirkan permasalahan kaum Muslimin.”.
Beliau menambahkan, “Loyalitas terhadap agama yang telah mengakar dalam diri pribadi setiap Muslim kini telah tergerus karena kuatnya arus budaya Jahiliyah modern. Nasionalisme dan fanatisme golongan telah menjadikan kaum Muslimin terkotak-kotak dalam sekat ideology yang sempit. Besarnya reaksi seseorang terhadap permasahalan yang dia hadapi sangat tergantung pada ideology yang dia yakini. Kaum Muslimin sekarang telah terjebak dalam sekat-sekat ideology sempit. Sehingga, agama tidak lagi menjadi prioritas uatama. Penyakit ini bukan hanya menjangkiti orang-orang awam saja, tapi juga menyebar di kalangan orang-orang yang selama ini terlihat sangat berkomitmen terhadap agama”
Di sinilah, menurut beliau inti persoalan sebenarnya yang harus kita cari solusinya. Sungguh sangat sulit untuk memulai darimana dan mau kemana jalan dakwah ini hendak dibawa. Karena benar adanya, fenomena yang beliau tuturkan merupakan kenyataan yang kini mengganjal langkah untuk segera bangkit dari segala keterpurukan. Keengganan untuk berjihad merupakan bencana besar yang telah menimpa umat dari dulu hingga sekarang. Kalau dulu dengan kekerasan dan penyiksaan, kaum Muslimin dipaksa meninggalkan agamanya. Namun, pada abad ke-20 ini mereka justru dipaksa untuk meninggalkan agamanya, namun dengan cara yang sangat halus dan pasti-dampak kerusakannya.
Salah satu faktornya adalah media-media. Sudah bukan rahasia lagi bahwa media-media yang memusuhi Islam sekarang sedang menggelar perang informasi melawan kaum Muslimin. Perang ini dikenal dengan istilah penyatuan opini publik. Media-media informasi- bukan hanya yang ada di negeri-negeri kaum kuffar saja tapi juga di negeri-negeri muslim- ternyata mempunyai satu misi yang sama yaitu menebarkan nilai-nilai penghancur agama. Ketika nilai-nilai tersebut diterima oleh public maka mereka semakin giat untuk menyungguhkan informasi dan tayangan yang mengajak masyarakat untuk tenggelam dalam kesenangan nafsu yang rendah.
Beberapa orang akitifis dakwah bertutur dalam buku yang ditulis oleh Syaikh Shamadi, “ Maka, sudah tidak aneh lagi, jika ada acara yang bersifat religious kemudian dilanjutkan dengan film kuffar yang tidak bermoral. Sudah tidak dianggap aib lagi, jika ada pembawa acara televisi – dengan pakaian mengumbar aurat – melakukan wawancara via telepon dengan seorang syaikh yang bersorban. Kita juga akan tercengan keheranan menyaksikan sebuah acara yang dikatakan religious tapi ternyata berisi tentang kisah para imam yang digambarkan sebagai orang-orang yang dimabuk cinta, suka bersenang-senang dengan music, terbuai dengan keindahan seni dan kecantikan wanita”
Nah, kondisi ini sengaja diciptakan untuk menghapus loyalitas seorang Muslim terhadap agamanya. Akibatnya sekarang, perbuatan maksiat dianggap sebagai kebiasaan orang-orang modern dan berpikiran maju. Sedangkan orang yang menjalankan ajaran agamanya dengan baik dianggap sebagai orang kolot dan ketinggalan zaman. Jilbab dan Niqob dianggap sebagai satu bentuk kemunduran. Sebaliknya, pakaian yang memperlihatkan aurat dianggap sebagai satu bentuk kemajuan. Ketika ada seseorang ingin konsisten mengerjakan ajaran agamanya, akan dikatakan padanya, “Agama itu mudah, janganlah terlalu ekstrem dalam beragama karena akan berakibat tidak baik.” Hal itu belum seberapa bila dibandingkan dengan mereka yang melarang orang untuk menjalankan ajaran agama, kemudian menciptakan satu opini bahwa komitmen terhadap agama akan berakhir dengan hukuman penjara.
Dan yang lebih mengherankan lagi adalah sebagian sarjana Muslim ternyata turut berperan besar dalam membantu media-media kafir untuk menjalankan misi busuknya. Bahkan terkadang kerusakan yang ditimbulkan mereka lebih besar daripada yang ditimbulkan media. Para sarjana tersebut telah berhasil menanamkan satu pemahaman bahwa dakwah adalah spesialisasi bagi segelintir orang saja dan bukan merupakan kewajiban bagi setiap pribadi Muslim. Menurut mereka, dakwah boleh dilaksanakan jika ada izin dari pihak-pihak yang berwenang dalam masalah ini. Itu diperparah lagi dengan peran mereka yang besar dalam meracuni pemikiran para mahasiswa yang merupakan generasi penerus perjuangan dakwah. Wal ‘Iyadzu billah…
Aku jadi teringat dengan sebuah nadzhom dalam kitab Ta’liim al-Muta’allim Thoriqa at-Ta’allum, karya Syaikh Burhanuddin Az-Zurnuji:
***
Setelah memahami inti dari semua permasalahan, sekarang tinggal bagaimana mencari solusi yang tepat. Jika mereka menyesatkan manusia dengan menyebarkan kebatilan lewat media yang mereka miliki, maka kita pula harus melawan mereka dengan menyebarkan kebenaran lewat gerakan dakwah kita. Namun, tindakan ini saja belum cukup, karena kita masih mempunyai satu pertanyaan besar yang harus dijawab, yakni “Bagaimanakah cara menanamkan dalam diri kaum Muslimin – khususnya para aktifis dakwah dan orang-orang yang masih memiliki ghirah perjuangan – satu kesadaran akan tanggung jawab untuk membela dan memperjuangkan agama?”
Pertanyaan ini jika bisa dijawab dan direalisasikan, tentu akan bisa memberikan kemajuan yang signifikan dalam gerakan dakwah. Kalau kita hanya mencari-cari alasan untuk lari dari kenyataan ini, maka selamanya permasalahan umat tidak akan terselesaikan.
Semoga dengan refleksi bacaan yang singkat ini, mengingatkan kita pada arti ‘Pengabdian’ yang sebenarnya, serta memanfaatkan usia yang kian bertambah agar tidak terjerumus dalam perangkap dan tipu daya musuh-musuh umat dalam ranah perbaikan bersama. Amin.
واجعل الحياة زيادة لنا في كل خير, و اجعل الموت راحة لنا من كل شر, يــا رب العــــــــــــــــــــــــــامين....
Wallahu A’lam Bishowab...
Muhammad Nur
17 Dzulqo'dah 1432 H
Khortoum- Sudan
(Refleksi buku 30 Ways to Serve Religion, Syaikh Ridho Shamadi)
Ke mana pun aku palingkan wajah, yang kulihat hanyalah hak yang dirampas
Di mana pun aku berada, yang kudengar hanyalah rintihan tangisan
Ke mana pun kakiku melangkah, yang kudapati hanyalah jalan buntu,
barisan yang menakjubkan, dan kehinaan yang menakutkan, aku pun menyeru,
“Wahai umatku! Bangkitlah, raih kemulia!”
Namun, tak satu pun aku dapati orang yang menjawab seruanku
(Syaikh Ridha Shamadi)
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Bismillah…..
Dengan menyebut Asma-Mu Ya Allah, kuawali kembali jemari kasarku mengetik huruf demi huruf menjadi rangkaian kata. Menuliskannya demi menulusuri kembali hikmah yang terselip dari hati yang mulai buta ibrah. Semoga dapat tercerahkan walau harus kesekian kalinya terjatuh dalam lembah nista.
Saudaraku, insan sejati! Saat kubaca doa yang kau tuliskan di dinding biru (facebook) dengan bertambahnya usia ini. Membuat hati ini tergerak kembali untuk segera berbenah diri, yang pada intinya, mengharapkan kebaikan dari diri yang kerdil ini. Harapan untuk memanfaatkan usia dengan sebaik mungkin, agar menjadi hamba-Nya yang menebarkan manfaat dan maslahat di muka bumi. Menjadi satu alasan penting yang perlu kukutahui, agar mempersiapkan diri sedini mungkin menuju satu pengabdian abadi pada-Nya.
Ya, pengabdian! Makna pengabdian tiada akhir seorang hamba pada Tuhannya. Seketika aku terhenyak dari lamunan menatap barisan kata. Bahwa aku tidak ingin terjebak dalam ritual ulang tahun sebagaimana biasa. Karena menurut pandangan syar’I hal tersebut dilarang, karena ditakutkan adanya unsur tasyabbuh (mengikuti ) tradisi kaum kuffar. Hal ini secara jelas menyalahi sunnah Nabi, Sahabat, dan para tabi’in yang sama sekali tidak menyontohkannya. Aku pun baru menyadari itu, setelah belajar dan banyak bertanya dengan para Masyaikh dan buku yang kubaca.
Tentu sangat berat untuk pertama kalinya mengetahui hal itu, disebabkan tradisi ini sudah mendarah daging ditubuh umat, khususnya kebiasaanku sebelum-sebelumnya. Baik itu dengan istilah-istilah yang lain sekalipun (Doa selamatan, minta dipanjangkan usia) Dikarenakan, panjang umur bagi seseorang tidak selalu berbuah baik, kecuali kalau dihabiskan dalam menggapai keridhaan Allah dan ketaatanNya. Sebaik-baik orang adalah orang yang panjang umurnya dan baik amalannya. Sementara orang yang paling buruk adalah manusia yang panjang umurnya dan buruk amalanya.
Karena itulah, sebagian ulama tidak menyukai do'a agar dikaruniakan umur panjang secara mutlak. Mereka kurang setuju dengan ungkapan : "Semoga Allah memanjangkan umurmu" kecuali dengan keterangan "Dalam ketaatanNya" atau "Dalam kebaikan" atau kalimat yang serupa. Alasannya umur panjang kadangkala tidak baik bagi yang bersangkutan, karena umur yang panjang jika disertai dengan amalan yang buruk -semoga Allah menjauhkan kita darinya- hanya akan membawa keburukan baginya, serta menambah siksaan dan malapetaka.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
" Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (kearah kebinasaan), dengan cara yang tidak mereka ketahui. Dan Aku memberi tangguh kepada mereka. Sesungguhnya rencana amat teguh". [QS. Al-A'raf : 182-183]
Tentu, dalam ranah saling mengingatkan. Semoga tidak keliru. Aku cenderung ingin menanggapi harapan dan doa yang kau titipkan padaku. Sungguh.., membacanya membuat lidah keluh harus berkata apa. Saat mengetahui diri belum mampu berbuat apa-apa. Ketika ku mendapati diriku masih saja terlalaikan oleh roda waktu yang berlari begitu cepat, hingga tertatih-tatih kumelangkah mencari penyebab di balik semua penyesalan.
Akhirnya timbul dalam benakku, untuk melihat kembali apa sebenarnya yang menjadi inti permasalahan, yakni dengan bertanya dan terus bertanya. Hingga sampailah aku pada satu pertanyaan yang sempat kulupakan; Apa yang telah kupersembahkan untuk umat? Lagi-lagi pertanyaan ini mengusik nurani, saat kusadari, ternyata aku belum banyak menyumbangkan apa-apa untuk umat dan agamaku.
Saat kurebahkan punggung di atas kasur, kulihat langit-langit kamar yang bisu. Kuedarkan pandangan melirik buku-buku yang berjajar rapi di rak kardus disampingku. Teringat buku yang pernah kubeli setahun yang lalu sebelum keberadaanku di Negeri dua nil ini. 30 Ways to Serve Relegion (30 Cara mengabdi pada agama), buku yang ditulis oleh Syaikh Ridho Shamadi yang diterjemahkan oleh Azzam Center, penerbit Qisthi cetakan Desember 2007. Seketika aku bergumam “Mengapa baru sekarang aku tersadar untuk membacanya?” Buku pemberian sahabatku sepengabdian saat mengajar di pondok dahulu ternyata menyimpan makna yang sangat mendalam. Sungguh, buku ini menghipnotisku!. Mengingatkanku kembali tentang arti hidup di muka bumi. Bahwa tugas dan amanah umat begitu besarnya di pundak. Agar senantiasa tetap dalam ranah fi sabilillah.
Kucoba untuk membacanya untuk kedua kalinya, berharap ia kembali menyadarkanku atas kelalaianku. Maka disinilah kembali diri ingin menyampaikan kepadamu beberapa point penting, yang aku dapatkan tatkala mencoba mengutip hikmah dari buku beliau yang mungkin bermanfaat pula bagimu. Izinkanlah, kutulis kembali penuturan beliau di ruang muhasabah ini, semoga kita dapat menyelami dan menyadari peranan diri sebagai hamba-Nya yang berbakti.
PENGABDIAN PADA AGAMA ADALAH SUATU KEHARUSAN.
Saudaraku, insan sejati! Pelajaran pertama yang kudapatkan dari buku itu berbicara tentang Pengabdian kepada Agama. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:
“. Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagiNya; dan demikian Itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)" (QS. Al-An’am: 162-163)
Ayat ini menyatakan dengan tegas ikrar yang seharusnya kita ingat selalu, bahwa hidup-mati kita adalah untuk beribadah kepadanya. Namun, kerap kali hal ini hanya sebatas teori semata. Bacalah sejenak penuturan syaikh Shamadi tentang makna pengabdian berikut:
“Semakin besar pengabdian yang diberikan seorang hamba maka semakin tinggi derajatnya di sisi Allah. Pengabdian ini bukanlah satu pekerjaan biasa atau jabatan kehormatan yang setiap orang bisa menerimanya atau menolaknya. Ia juga bukan pekerjaan sukarela, dan bukan pula fardhu kifayah. Pengabdian untuk agama bukan sekadar kewajiban biasa. Ia adalah tiang penting penyangga tegaknya agama, sesuatu yang tidak boleh ditinggalkan, dan pondasi yang melandasi bangunan agama. Pemahaman seperti inilah yang tertanam dalam hati para pendahulu kita dari kalangan as-salaf ash-shalih. Pemahaman ini seolah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari akidah mereka. tak perlu mencari dalil-dalil untuk membuktikan kebenaran pemahaman ini. Hanya dengan mengucapkan ikrar dua kalimat syahadat lalu disertai dengan keimanan yang kokoh dalam dada, mereka masing-masing secara otomatis akan memahami bahwa dirinya adalah pelayan agama ini sekaligus bagian dari barisan tentara yang siap mengorbankan segala sesuatu yang dimilikinya demi membela kehormatan agama ini”
Imam Ghozali turut berujar: " Orang yang tinggal diam di rumah saja tanpa mau memperdulikan keadaan masyarakat sekitarnya, tidak mau menyampaikan ajaran agama yang diketahuinya kepada orang lain maka ia telah melakukan satu kemungkaran. Saat ini, masyarakat di daerah perkotaan banyak yang belum memahami agama. Mereka mengenal Islam hanya sekadar namanya saja. Banyak dari mereka yang belum mengetahui ajaran-ajaran Islam, seperti tata cara Shalat. Kalau di daerah perkotaan saja seperti itu maka bagaimana dengan keadaan di daerah-daerah pelosok? Keadaannya tentu akan lebih parah lagi. Oleh karena itu, di setiap Masjid atau desa seharusnya ada minimal satu orang ulama yang mengajari masyarakat. Kemudian setelah menunaikan kewajiban di tempat tersebut, ia hendaknya tidak berhenti sampai di situ saja. Ia harus meneruskan dakwahnya ke tempat lain untuk mengajari manusia ajaran agamanya."
Saudaraku, apa yang kau rasakan setelah membaca penuturan para ulama di atas? Tentu bagi mereka yang ‘benar-benar sadar’ arti pengabdian, akan mengatakan benar adanya apa yang beliau utarakan. Bahwa pada akhirnya seseorang akan menyadari, makna pengabdian itu bagi dirinya merupakan pelayanan pada agama ini. Bahwa pengorbanan segala sesuatu yang dimilikinya demi membela kehormatan agama ini merupakan tugas yang wajib untuk ditunaikan. Nah, yang menjadi pertanyaan kembali, “pelayanan apakah yang harus kita tunaikan?”
Allah Subhanahu wata’ala berfirman:
“Hai orang yang berselimut, bangunlah lalu berilah peringatan” (QS. Al-Muddatsir: 1-2)
“Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-Mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik”. (QS. An-Nahl:125)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -rahimahullah- menyatakan, menyangkut penafsiran surat Al-Muddatsir ayat 1-2 di atas : “ Umat Islam wajib menyampaikan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam dan memberi peringatan sebagaimana beliau dulu memberi peringatan” (Majmu’ al-Fatawa, jilid XVI, hlm 327)
Syaikh Ibnu Al-Qoyyim –rahimahullah- juga berkata:
“Menyampaikan sunnah Nabi Muhammad kepada umat lebih utama daripada berjuang memerangi musuh. Sebab, berjuang melawan musuh banyak yang bisa melakukannya. Sedangkan menyampaikan sunnah, tidak ada yang bisa melakukannya kecuali para pewaris nabi dan penerusnya”(At-Tafsir al-Qoyyim, hlm 431)
Dari kalam Ilahi juga kedua ulama mu’tabar di atas, jelaslah, bahwa pelayanan yang semestinya ditunaikan ialah mengajak orang kembali kepada fitrahnya sebagai hamba. Beribadah sepenuh hati pada-Nya, meng-Esa-kan Allah dari para penyekutu-Nya. Apapun profesinya, yang pasti tidak melanggar aturan syari’at, hendaklah melestarikan kembali sunnah Nabi yang tentunya disertai dengan ilmu dan dalil-dalil yang menyertai. Harus ada usaha untuk mencari kebenaran dan tidak sekedar taklid buta. Tidak mencari Pembenaran dari ucapan, namun kebenaranlah yang menjadi pegangan dan sandaran.
Jika kita perhatikan dengan seksama, akan kita dapati bahwa setiap orang yang mengaku berkomitmen kepada agama ini dengan sendirinya akan menjadi bagian dari penyeru yang mengajak manusia kepada jalan kebenarannya. Nah, sudahkah Kita menjadi salah satu penyeru itu?
Pelajaran kedua yang Aku dapatkan, yakni : Inti Persoalan Umat dalam Berdakwah.
Syaikh Shamadi, kemudian berujar dalam muqaddimah buku: “Perlu diketahui bahwa penghalang keterlibatan kaum Muslimin dalam berdakwah adalah anggapan bahwa yang bertanggung jawab untuk berdakwah hanyalah mereka yang memakai sorban dan berjenggot. Ditambah lagi dengan anggapan bahwa jika seseorang sudah mengerjakan beberapa kewajiban agama seperti shalat, puasa, dan haji maka ia tidak wajib untuk memikirkan permasalahan kaum Muslimin.”.
Beliau menambahkan, “Loyalitas terhadap agama yang telah mengakar dalam diri pribadi setiap Muslim kini telah tergerus karena kuatnya arus budaya Jahiliyah modern. Nasionalisme dan fanatisme golongan telah menjadikan kaum Muslimin terkotak-kotak dalam sekat ideology yang sempit. Besarnya reaksi seseorang terhadap permasahalan yang dia hadapi sangat tergantung pada ideology yang dia yakini. Kaum Muslimin sekarang telah terjebak dalam sekat-sekat ideology sempit. Sehingga, agama tidak lagi menjadi prioritas uatama. Penyakit ini bukan hanya menjangkiti orang-orang awam saja, tapi juga menyebar di kalangan orang-orang yang selama ini terlihat sangat berkomitmen terhadap agama”
Di sinilah, menurut beliau inti persoalan sebenarnya yang harus kita cari solusinya. Sungguh sangat sulit untuk memulai darimana dan mau kemana jalan dakwah ini hendak dibawa. Karena benar adanya, fenomena yang beliau tuturkan merupakan kenyataan yang kini mengganjal langkah untuk segera bangkit dari segala keterpurukan. Keengganan untuk berjihad merupakan bencana besar yang telah menimpa umat dari dulu hingga sekarang. Kalau dulu dengan kekerasan dan penyiksaan, kaum Muslimin dipaksa meninggalkan agamanya. Namun, pada abad ke-20 ini mereka justru dipaksa untuk meninggalkan agamanya, namun dengan cara yang sangat halus dan pasti-dampak kerusakannya.
Salah satu faktornya adalah media-media. Sudah bukan rahasia lagi bahwa media-media yang memusuhi Islam sekarang sedang menggelar perang informasi melawan kaum Muslimin. Perang ini dikenal dengan istilah penyatuan opini publik. Media-media informasi- bukan hanya yang ada di negeri-negeri kaum kuffar saja tapi juga di negeri-negeri muslim- ternyata mempunyai satu misi yang sama yaitu menebarkan nilai-nilai penghancur agama. Ketika nilai-nilai tersebut diterima oleh public maka mereka semakin giat untuk menyungguhkan informasi dan tayangan yang mengajak masyarakat untuk tenggelam dalam kesenangan nafsu yang rendah.
Beberapa orang akitifis dakwah bertutur dalam buku yang ditulis oleh Syaikh Shamadi, “ Maka, sudah tidak aneh lagi, jika ada acara yang bersifat religious kemudian dilanjutkan dengan film kuffar yang tidak bermoral. Sudah tidak dianggap aib lagi, jika ada pembawa acara televisi – dengan pakaian mengumbar aurat – melakukan wawancara via telepon dengan seorang syaikh yang bersorban. Kita juga akan tercengan keheranan menyaksikan sebuah acara yang dikatakan religious tapi ternyata berisi tentang kisah para imam yang digambarkan sebagai orang-orang yang dimabuk cinta, suka bersenang-senang dengan music, terbuai dengan keindahan seni dan kecantikan wanita”
Nah, kondisi ini sengaja diciptakan untuk menghapus loyalitas seorang Muslim terhadap agamanya. Akibatnya sekarang, perbuatan maksiat dianggap sebagai kebiasaan orang-orang modern dan berpikiran maju. Sedangkan orang yang menjalankan ajaran agamanya dengan baik dianggap sebagai orang kolot dan ketinggalan zaman. Jilbab dan Niqob dianggap sebagai satu bentuk kemunduran. Sebaliknya, pakaian yang memperlihatkan aurat dianggap sebagai satu bentuk kemajuan. Ketika ada seseorang ingin konsisten mengerjakan ajaran agamanya, akan dikatakan padanya, “Agama itu mudah, janganlah terlalu ekstrem dalam beragama karena akan berakibat tidak baik.” Hal itu belum seberapa bila dibandingkan dengan mereka yang melarang orang untuk menjalankan ajaran agama, kemudian menciptakan satu opini bahwa komitmen terhadap agama akan berakhir dengan hukuman penjara.
Dan yang lebih mengherankan lagi adalah sebagian sarjana Muslim ternyata turut berperan besar dalam membantu media-media kafir untuk menjalankan misi busuknya. Bahkan terkadang kerusakan yang ditimbulkan mereka lebih besar daripada yang ditimbulkan media. Para sarjana tersebut telah berhasil menanamkan satu pemahaman bahwa dakwah adalah spesialisasi bagi segelintir orang saja dan bukan merupakan kewajiban bagi setiap pribadi Muslim. Menurut mereka, dakwah boleh dilaksanakan jika ada izin dari pihak-pihak yang berwenang dalam masalah ini. Itu diperparah lagi dengan peran mereka yang besar dalam meracuni pemikiran para mahasiswa yang merupakan generasi penerus perjuangan dakwah. Wal ‘Iyadzu billah…
Aku jadi teringat dengan sebuah nadzhom dalam kitab Ta’liim al-Muta’allim Thoriqa at-Ta’allum, karya Syaikh Burhanuddin Az-Zurnuji:
“Kerusakan yang besar bagi seorang ‘Alim yang rusak-akhlaknya, dan lebih besar lagi kerusakannya bagi seorang awam – yang membenarkan perbuatannya. Keduanya merupakan bencana yang besar bagi seorang ‘Alim yang berpegang teguh pada agamanya”
***
Setelah memahami inti dari semua permasalahan, sekarang tinggal bagaimana mencari solusi yang tepat. Jika mereka menyesatkan manusia dengan menyebarkan kebatilan lewat media yang mereka miliki, maka kita pula harus melawan mereka dengan menyebarkan kebenaran lewat gerakan dakwah kita. Namun, tindakan ini saja belum cukup, karena kita masih mempunyai satu pertanyaan besar yang harus dijawab, yakni “Bagaimanakah cara menanamkan dalam diri kaum Muslimin – khususnya para aktifis dakwah dan orang-orang yang masih memiliki ghirah perjuangan – satu kesadaran akan tanggung jawab untuk membela dan memperjuangkan agama?”
Pertanyaan ini jika bisa dijawab dan direalisasikan, tentu akan bisa memberikan kemajuan yang signifikan dalam gerakan dakwah. Kalau kita hanya mencari-cari alasan untuk lari dari kenyataan ini, maka selamanya permasalahan umat tidak akan terselesaikan.
Semoga dengan refleksi bacaan yang singkat ini, mengingatkan kita pada arti ‘Pengabdian’ yang sebenarnya, serta memanfaatkan usia yang kian bertambah agar tidak terjerumus dalam perangkap dan tipu daya musuh-musuh umat dalam ranah perbaikan bersama. Amin.
واجعل الحياة زيادة لنا في كل خير, و اجعل الموت راحة لنا من كل شر, يــا رب العــــــــــــــــــــــــــامين....
Wallahu A’lam Bishowab...
Muhammad Nur
17 Dzulqo'dah 1432 H
Khortoum- Sudan
This entry was posted
on Sabtu, 15 Oktober 2011
at 02.11
and is filed under
Artikel,
Makalah Kajian,
Refleksi
. You can follow any responses to this entry through the
comments feed
.