Sobat, pernahkah dirimu merasakan apa yang sedang kurasakan saat ini? Rasa bersalah yang teramat sangat. Jauh dari orang tua yang sekarang hanya tinggal berdua. Tak ada lagi putera-puteri yang tersisa. Semuanya berada dalam radius yang sangat jauh, menempuh episode kehidupan masing-masing. Betapa sepinya mereka.
Sewaktu bayi, entah berapa kali kita mengganggu tidur nyenyak ayah yang mungkin sangat kelelahan setelah seharian bekerja untuk memenuhi kebutuhan kita. Mungkin juga kotoran kita ikut tertelan Ibu ketika kita buang “kotoran” di saat ibu sedang makan. Ibu juga tidak peduli ketika teman-temannya marah karena membatalkan acara yang sangat penting karena tiba-tiba anaknya sakit. Kekhawatiran demi kekhawatiran tiada pernah henti mengunjungi mereka setiap kali kita melangkah.
Beranjak dewasa, betapa tabahnya ayah dan Ibu menerima pembangkangan demi pembangkangan yang kita lakukan. Mereka hanya bisa mengelus dada karena teman-teman di luar sana lebih berarti daripada mereka. Jarang sekali sekali kita mau menyisakan waktu untuk menyelami mimik wajah mereka yang penuh kecemasan ketika kita pulang telat karena ayah dan ibu selalu menyambut kita dengan senyum.
Sobat, pernahkah dirimu bangun tengah malam dan mendengar tangisan Ibu dalam doanya seperti yang pernah aku dengar?
Sewaktu bayi, entah berapa kali kita mengganggu tidur nyenyak ayah yang mungkin sangat kelelahan setelah seharian bekerja untuk memenuhi kebutuhan kita. Mungkin juga kotoran kita ikut tertelan Ibu ketika kita buang “kotoran” di saat ibu sedang makan. Ibu juga tidak peduli ketika teman-temannya marah karena membatalkan acara yang sangat penting karena tiba-tiba anaknya sakit. Kekhawatiran demi kekhawatiran tiada pernah henti mengunjungi mereka setiap kali kita melangkah.
Beranjak dewasa, betapa tabahnya ayah dan Ibu menerima pembangkangan demi pembangkangan yang kita lakukan. Mereka hanya bisa mengelus dada karena teman-teman di luar sana lebih berarti daripada mereka. Jarang sekali sekali kita mau menyisakan waktu untuk menyelami mimik wajah mereka yang penuh kecemasan ketika kita pulang telat karena ayah dan ibu selalu menyambut kita dengan senyum.
Sobat, pernahkah dirimu bangun tengah malam dan mendengar tangisan Ibu dalam doanya seperti yang pernah aku dengar?
Tangisan dan doa itulah yang mengantar kesuksesan kita. Pernahkah kita tahu Ayah dan ibu terluka dan mengiba kepada Allah agar kita jangan dilaknat, agar Allah mau mengampuni kita dan memberikan kehidupan terbaik untuk kita? Astaghfirullaahal ‘adziim.
Pernahkah kita berterimakasih ketika kita dapati ayah dan ibu berbicara berbisik-bisik karena takut membangunkan kita yang tertidur kelelahan? Pernahkah kita menghargai patah demi patah kata yang mereka susun sebaik mungkin untuk meminta maaf karena mereka tidak sengaja memecahkan kristal kecil hadiah ulang tahun dari teman kita? Pernahkah kita menyesal karena lupa menyertakan mereka di dalam doa?
Ah, Sobat, betapa tak sebanding cinta dan pengorbanan mereka dengan balasan kasih sayang yang kita berikan. Setelah dewasa dan bisa “menghidupi” diri sendiri, kita masih bisa melenggang ringan meninggalkan mereka (mereka ikhlas asal kita bahagia). Lalu? Mungkinkah kita bisa seperti Ismail as yang merelakan dirinya disembelih ayah kandung demi menuruti perintah Allah? Atau seperti Musa as yang dihanyutkan ketika bayi?
Ternyata kita masih sangat jauh...
Lalu bakti seperti apakah yang bisa kita persembahkan?
teruntukmu wahai ayah dan ibu, walau diri ini belumlah dapat membalas segala jasa-jasamu. belum cukup untuk ku menutupi lubang-lubang kesalahan direlung hatimu atas kekhilafanku. diranah pengabdian ini doakan anakmu agar bijaksana dalam menghadapi berbagai macam hal.agar kiranya ucapan dan tindakan menjadi matang dan lebih dewasa. walaupun tindakan ku belum cukup untuk menyunggingkan senyuman kebahagiaan di bibirmu yang kusut dengan segala prestasi. namun ku masih berusaha untuk itu dengan harapan limpahan doa dan kasih darimu.walau terkadang amarahmu membuatku salah sangka yang itu adalah bukti cintamu terhadapku. ku tak tahu harus bagaimana menyikapinya.
Sobat, bantu aku agar optimis! Ya, masih banyak waktu untuk membahagiakan mereka. Hal yang terkecil yang bisa kita lakukan adalah: tak mengatakan “tidak” ketika mereka menyuruh atau menginginkan sesuatu (tentu saja bukan yang bertentangan dengan agama) dan segera ambil alat komunikasi, hubungi mereka saat ini juga, sapa mereka dengan hangat, pastikan nada suara kita bahagia! Bahagiakan ayah, bahagiakan Ibu! Mulai dari sekarang, selagi Allah masih memberi kesempatan. Walau takkan pernah sebanding, doa-doa kitalah yang mereka harapkan menemani di peristirahatan terakhir nanti.
"Ya Allah, ampunilah dosa-dosa kami dan dosa kedua orang tua kami, kasihilah mereka sebagaimana mereka mengasihi kami sedari kecil. Jadikan kami termasuk anak-anak yang shaleh ya Allah hingga doa-doa kami termasuk doa-doa yang Engkau ijabah". Aamin.
Tulisan ini kupersembahkan kepada segenap saudara-saudarku diranah perjuangan. semoga kiranya dapat mengobati keriinduan yang berkecamuk dihati. walaupun hanya sekedar kata-kata, namun tindakan nyatalah harapan semestinya. Aku hanya merenung belum berbuat apa-apa. semoga kita dapat melihat senyum kebahagian dibibir mereka.
mari sobat. tunjukkan ghirah kita untuk membahagiakannya.
Pernahkah kita berterimakasih ketika kita dapati ayah dan ibu berbicara berbisik-bisik karena takut membangunkan kita yang tertidur kelelahan? Pernahkah kita menghargai patah demi patah kata yang mereka susun sebaik mungkin untuk meminta maaf karena mereka tidak sengaja memecahkan kristal kecil hadiah ulang tahun dari teman kita? Pernahkah kita menyesal karena lupa menyertakan mereka di dalam doa?
Ah, Sobat, betapa tak sebanding cinta dan pengorbanan mereka dengan balasan kasih sayang yang kita berikan. Setelah dewasa dan bisa “menghidupi” diri sendiri, kita masih bisa melenggang ringan meninggalkan mereka (mereka ikhlas asal kita bahagia). Lalu? Mungkinkah kita bisa seperti Ismail as yang merelakan dirinya disembelih ayah kandung demi menuruti perintah Allah? Atau seperti Musa as yang dihanyutkan ketika bayi?
Ternyata kita masih sangat jauh...
Lalu bakti seperti apakah yang bisa kita persembahkan?
teruntukmu wahai ayah dan ibu, walau diri ini belumlah dapat membalas segala jasa-jasamu. belum cukup untuk ku menutupi lubang-lubang kesalahan direlung hatimu atas kekhilafanku. diranah pengabdian ini doakan anakmu agar bijaksana dalam menghadapi berbagai macam hal.agar kiranya ucapan dan tindakan menjadi matang dan lebih dewasa. walaupun tindakan ku belum cukup untuk menyunggingkan senyuman kebahagiaan di bibirmu yang kusut dengan segala prestasi. namun ku masih berusaha untuk itu dengan harapan limpahan doa dan kasih darimu.walau terkadang amarahmu membuatku salah sangka yang itu adalah bukti cintamu terhadapku. ku tak tahu harus bagaimana menyikapinya.
Sobat, bantu aku agar optimis! Ya, masih banyak waktu untuk membahagiakan mereka. Hal yang terkecil yang bisa kita lakukan adalah: tak mengatakan “tidak” ketika mereka menyuruh atau menginginkan sesuatu (tentu saja bukan yang bertentangan dengan agama) dan segera ambil alat komunikasi, hubungi mereka saat ini juga, sapa mereka dengan hangat, pastikan nada suara kita bahagia! Bahagiakan ayah, bahagiakan Ibu! Mulai dari sekarang, selagi Allah masih memberi kesempatan. Walau takkan pernah sebanding, doa-doa kitalah yang mereka harapkan menemani di peristirahatan terakhir nanti.
"Ya Allah, ampunilah dosa-dosa kami dan dosa kedua orang tua kami, kasihilah mereka sebagaimana mereka mengasihi kami sedari kecil. Jadikan kami termasuk anak-anak yang shaleh ya Allah hingga doa-doa kami termasuk doa-doa yang Engkau ijabah". Aamin.
Tulisan ini kupersembahkan kepada segenap saudara-saudarku diranah perjuangan. semoga kiranya dapat mengobati keriinduan yang berkecamuk dihati. walaupun hanya sekedar kata-kata, namun tindakan nyatalah harapan semestinya. Aku hanya merenung belum berbuat apa-apa. semoga kita dapat melihat senyum kebahagian dibibir mereka.
mari sobat. tunjukkan ghirah kita untuk membahagiakannya.
Ayah dan ibuku yang tercinta, semoga Anakmu menjadi kebangganmu nantinya.
This entry was posted
on Rabu, 10 Februari 2010
at 19.37
and is filed under
renungan
. You can follow any responses to this entry through the
comments feed
.