Prolog
Buya Hamka (1908-1981) pernah membicarakan tentang fenomena Al-Ghazwul Fikri (perang pemikiran). Menurut beliau, al-Ghazwul Fikri ialah suatu tehnik propaganda hebat, melalui segala jalan, baik kasar atau halus, baik secara kebudayaan atau secara ilmiah, agar cara Dunia Islam berfikir berubah dari pangkalan agamanya dan dengan tidak disadarinya dia berfikir bahwa jalan benar satu-satunya supaya orang Islam maju, ialah meninggalkan Fikiran Islam. Untuk ini, tak usah menukar agama. Biar tetap jadi orang Islam juga, tetapi tidak lagi meyakini ajaran Islam.[1]
Apa yang dikatakan Buya benar adanya. Dalam cara berpikir saja umat Islam menjadi inferior. Pelopor Islamic Studies rata-rata adalah orang Barat, Yahudi-Kristen dan missionaris-orientalis. Al-Ghazwul Fikri benar-benar sudah “membobol” banyak pemikir Muslim. Sekarang memang tengah terjadi “invasi” pemikiran besar-besaran. Segala macam model studi Islam ditawarkan, hanya untuk “merusak” dan menghancurkan konstruksi pemikiran Islam yang mapan sejak ribuan tahun. Salah satu dari bentuk “invasi pemikiran” itu adalah diterapkannya “hermeneutika” dalam studi Al-Qur’an. Ironisnya, justru sebagian pemikir Muslim malah “getol” mengkampanyekan metode baru ini. Mereka sedang bahu-membahu dengan para missionaris-orientalis untuk “menggeser” dan “menggusur” metode tafsir dalam Islam.
Membongkar Konsep Tafsir
Sejak belasan abad, metode tafsir merupakan metode yang mapan dalam mengupas kandungan Al-Qur’an (baik secara linguistik (al-lughawiy), kalam, tasawuf (al-tafsir al-sufiy), sains (al-tafsir al-‘ilmiy), tematik (al-tafsir al-maudhu‘iy), maupun fikih (al-tafsir al-fiqhiy), dlsb).
Hermeneutika, yang jelas-jelas belum tentu arah-tujuannya, mencoba untuk diterapkan dan ‘menggantikan’ metode tafsir yang sudah teruji ribuan tahun ini. Salah seorang pendukung “keras” hermeneutika, Amin Abdullah, memberikan kata sambutan terhadap buku Hermeneutika Pembebasan: “Metode penafsiran Al-Qur’an selama ini senantiasa hanya memperhatikan hubungan penafsir dan teks Al-Qur’an tanpa pernah mengeksplisitkan kepentingan audiens terhadap teks. Hal ini mungkin dapat dimaklumi sebab para mufasir klasik lebih menganggap tafsir Al-Qur’an sebagai hasil kerja-kerja kesalehan yang dengan demikian harus bersih dari kepentingan mufasirnya. Atau barangkali juga karena trauma mereka pada penafsiran-penafsiran teologis yang pernah melahirkan pertarungan politik yang mahadahsyat pada masa-masa awal Islam. Terlepas dari alasan-alasan tersebut, tafsir-tafsir klasik Al-Qur’an tidak lagi memberi makna dan fungsi yang jelas dalam kehidupan umat Islam.”[2]
Maklum diketahui bahwa Amin Abdullah dijuluki sebagai “Bapak Hermeneutika” di Indonesia. Maka wajar, jika dia sangat mendukung konsep penafsiran ala Bible ini. Statemennya yang menyatakan bahwa tafsir-tafsir klasik Al-Qur’an tidak lagi memberikan makna dan fungsi yang jelas dan hidup dan kehidupan umat Islam, jelas ini merupakan tuduhan “tak berdasar”. Tafsir Ibnu Jarir al-Thabari (w. 310 H), misalnya, buku tafsirnya sampai hari ini tetap menjadi rujukan para mufasir. Karena secara jamak diakui, bahawa al-Thabari merupakan mufasir awal yang dengan cermat mencantumkan berbagai riwayat dan pendapat dalam tafsirnya. Dia pulalah mufasir awal yang menggabungkan metode tafsir berdasarkan “riwayat” dan “ijtihad” (al-tafsir bi al-ma’tsur wa al-tafsir bi al-ra’yi).
Lain lagi dengan Ibnu Katsir (w. 774 H/1373 M). Tafsirnya dikenal ringkas, padat, dan sangat kritis dan jeli terhadap riwayat-riwayat yang sahih. Maka, tafsirnya menjadi rujukan para sarjana Muslim dalam mempelajari Al-Qur’an. Jika kembali dipertanyakan: apa yang telah diberikan oleh “hermeneutika” terhadap Al-Qur’an? Sampai sekarang para “pendukung” dan “aplikator” hermeneutika (semisal Mohammed Arkoun dan Nasr Hamid Abu Zayd) sendiri belum menghasilkan apa-apa terhadap studi Al-Qur’an. Begitu juga dengan Amina Wadud-Muhsin. Bukunya Qur’an Menurut Perempuan: Membaca Kembali Kitab Suci dengan Semangat Keadilan hanya menawarkan “metodologi”, belum mencapai “esensi” penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an.[3] Namun begitu, Wadud juga mengakui bahwa metode yang dia lakukan dalam mengkaji semua ayat yang mengandung perujukan pada perempuan, secara terpisah maupun bersama-sama dengan laki-laki, akan dianalisis dengan metode tradisional tafsîr al-Qur’ân bi al-Qur’ân (penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Qur’an).[4]
Hermeneutika yang ditawarkan oleh Amina Wadud adalah “hermeneutika tauhid”. Dimana ia ingin menegaskan bahwa kesatuan Al-Qur’an berlaku pada seluruh bagiannya.[5] Tujuan dari “hermeneutika tauhid” ini menurutnya adalah: menjelaskan dinamika antara hal-hal yang universal dan partikular dalam Al-Qur’an. Yang terpenting, menurutnya, Al-Qur’an berusaha menetapkan basis-pedoman-moral yang universal. Tentu saja, kondisi Jazirah Arab abad ke-7 menjadi melatarbelakangi Al-Qur’an dan tujuannya sebagai pedoman universal.[6]
Saya kira aneh apa yang ditawarkan oleh Wadud. Di satu sisi dia ingin menyajikan bahwa Al-Qur’an itu universal, tapi pada sisi yang lain dia menyatakan bahwa latar belakang universalitas itu dibingkai oleh kondisi Jaziran Arab abad ke-7.
Tentu saja paradoks. Bagaimana mungkin pedoman moral “universal” dibatasi oleh kondisi yang “yang tidak universal” (Jazirah Arab). Oleh karena itu, Amina menyatakan bahwa “generasi muslim belakangan harus memperhatikan betapa kitab suci ini terkungkung oleh berbagai hal yang khas masa itu”. Misalnya, lanjut Wadud, bahasa dalam konteks tersebut digunakan agar wahyu dapat dipahami, bukan agar bahasa Arab menjadi suci. Sungguh aneh jika Tuhan semesta alam tidak mengerti berbagai bahasa.[7]
Jelas Allah mengerti seluruh bahasa, karena Allah Mahapencipta “seluruh bahasa”, baik bahasa manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Di sini tampak bahwa Amina menapikan “universalitas” bahasa Arab, sebagai bahasa Al-Qur’an.
Selain Wadud, seorang yang menawarkan metode hermeneutika adalah Farid Esack. Pemikir liberal asal Afrika ini mendukung metode ‘impor’ ini. Esack menulis:
“Tidak adanya suatu istilah hermeneutika yang jelas dalam disiplin Islam klasik atau tidak digunakannya istilah tersebut secara signifikan dalam literatur kontemporer tidak meniscayakan ketiadaan gagasan-gagasan hermeneutika yang jelas atau operasi-operasinya dalam studi Al-Qur’an. Meskipun istilah hermeneutika itu sendiri baru muncul pada abad tujuhbelasan, operasi-operasi penafsiran tekstual dan teori-teori penafsiran –religius, literer, dan legal/hukum—sudah ada sejak dahulu kala.”[8]
Apa yang diklaim Esack jelas tidak tepat. Ulama salaf sejak zaman Abdullah ibn ‘Abbas telah menggunakan kata “tafsir”. Apa yang dikompilasikan oleh Fairuz Abadi dalam Tanwîr al-Miqbâs min Tafsîr Ibn ‘Abbâs merupakan bukti otentik penggunaan kata “tafsir” sudah ada sejak awal. Selain itu, ulama salaf sudah menggunakan kata “takwil” sebagai “interpretasi” ayat-ayat Al-Qur’an. Sebut saja, misalnya, Ibnu Jarir al-Thabari (w. 310 H) yang menulis buku tafsirnya dengan tajuk Jâmi‘ al-Bayân ‘an Ta’wîl Ay al-Qur’ân. Dia menggunakan kata “takwil”, bukan tafsir. Di sini kata “takwil” identik dengan “tafsir”. Jadi, hermeneutika benar-benar tidak dikenal dalam kamus para mufassir Muslim.
Esack juga mengusung pendahulunya, seperti Fazlur Rahman, disamping mengusung juga pemikir liberal-sekular semacam Arkoun dan Abu Zayd.[9] Khusus tentang Abu Zayd, Esack menyatakan:
“Jika Rahman maupun Arkoun menekankan pada konteks historis pewahyuan Al-Qur’an, Abu Zayd memberi tekanan pada sifat kearabannya dan perlunya pendekatan terhadapnya sebagai sebuah karya sastra Arab. Meskipun ia tidak mengingkari asal-usul keilahian Al-Qur’an (“Al-Qur’an adalah teks ilahiah selama asal-muasalnya diperhatikan”), ia berpendapat bahwa sia-sia saja mempelajari hal ini, karena ketuhanan berada di luar jangkauan penelitian ilmiah.”[10]
Jelas sekali bahwa ketuhanan sifatnya “abstrak”, tapi tidak berati tak dapat difahami dengan baik. Sejak zaman Nabi SAW, para sahabat dan tabi’in, tidak ada seorangpun yang memahami bahwa “Allah” itu “real”. Allah adalah “abstrak”, tapi dapat dirasakan kehadirannya. Maka, dalam Islam konsep ketuhanan itu dimunculkan dalam dua konsep penting dalam ilmu Tauhid: tawhîd al-ulûhiyyah dan tawhîd al-rubûbiyyah. Dari sinilah kita dapat melihat bahwa konsep ketuhanan itu tidak “abstrak”, melainkan konkret.
Metode penafsiran Al-Qur’an adalah dinamis, tidak pernah mati. Di negara Mesir sendiri, yang dikenal sebagai negara yang kaya akan mufasir, metode tafsir tematik (al-tafsir al-maudhu’iy) terus berkembang pesat. Syeikh Muhammad al-Ghazali (w. 1997), pengarang buku Fiqh al-Sirah, menulis buku terkenal tentang “tafsir tematik”. Dosen senior di Universitas Al-Azhar, Prof. Dr. Abdul Hayy al-Farmawi dan bidang tafsir dan ilmu-ilmu Al-Qur’an terus mengembangkan metode tafsir ini. Meskipun ulama salaf sudah membahasnya sejak awal, seperti Ibnu Qayyim al-Jauziyah lewat bukunya al-Tibyân fî Aqsâm al-Qur’ân. Di dalamnya dia membahas model-model “sumpah” (al-qasam, jamak: al-aqsâm) Allah yang ada di dalam Al-Qur’an.
Di Indonesia, metode tafsir ini terus dikembangkan oleh Quraish Shihab lewat-buku-bukunya, seperti Lentera Hati dan Wawasan Al-Qur’an. Lalu makhluk apa hermeneutika itu?
Dari Tradisi Penafsiran Bible
Secara harfiah, hermeneutika artinya ‘tafsir’. Secara etimologis, istilah hermeneutika dari bahasa Yunani, hermeneuin yang berarti menafsirkan. Istilah ini merujuk kepada seorang tokoh mitologis dalam mitologi Yunani yang dikenal dengan nama Hermes (Mercurius). Di kalangan pendukung hermeneutika ada yang menghubungkan sosok Hermes dengan Nabi Idris. Dalam mitologi Yunani, Hermes dikenal sebagai dewa yang bertugas menyampaikan pesan-pesan Dewa kepada manusia. Dari tradisi Yunani, hermeneutika berkembang menjadi metode penafsiran Bibel, yang dikemdian hari dikembangkan oleh para teolog dan filosof Barat sebagai metode penafsiran secara umum dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora.
The New Encyclopedia Britannica menulis, bahwa hermeneutika adalah studi prinsip-prinsip interpretasi Bibel (the study of the general principle of biblical interpretation). Tujuan dari hermeneutika adalah untuk menemukan kebeneran dan nilai-nilai dalam Bibel. Dalam sejarah interpretasi Bibel, ada empat model utama interpretasi Bibel, yaitu (1) literal interpretation, (2) moral interpretation, (3) allegorical interpretation, dan (4) anagogical interpretation.[11]
Adalah salah kaprah, ketika E. Sumaryono menyamakan teori penafsiran Bible dan Al-Qur’an. Dia menulis: “Disiplin ilmu yang pertama yang banyak menggunakan hermeneutik adalah ilmu tafsir kitab suci. Sebab, semua karya yang mendapatkan âinspirasi Ilahi seperti Al-Qur’an, kitab Taurat, kitab-kitab Veda, dan Upanishad supaya dapat dimengerti memerlukan interpretasi atau hermeneutika.”[12]
Adalah Friedrich Schleirmacher, seorang teolog Protestan, yang pertama kali memperluas wilayah hermeneutika dari sebatas teknik interpretasi kitab suci (biblische Hermeneutik) menjadi “hermeneutika umum” yang mengkaji prasyarat atau kondisi-kondisi apa saja yang memungkinkan terwujudnya suatu pemahaman atau penafsiran yang betul dari sebuah teks. Schleirmacher bukan hanya meneruskan usaha para pendahulunya semisal Semler dan Ernesti yang berupaya “membebaskan tafsir dari dogma”. Lebih dari itu, ia juga mengajukan perlunya melakukan desakralisasi teks. Dalam perspektif hermeneutika umum ini, “semua teks harus diperlakukan sama,” tidak ada yang perlu diistimewakan, tak peduli apakah itu kitab suci (Bible) ataupun teks hasil karangan manusia biasa.
Kemudian muncul Dilthey yang menekankan gagasan “historisitas teks” dan pentingnya “kesadaran sejarah” (Geschichtliches Bewusstsein). Seorang pembaca teks, menurut pemikir asal Jerman ini, harus bersikap kritis terhadap teks beserta konteks sejarahnya, meskipun pada saat yang sama dituntut untuk berusaha melompati ‘jarak sejarah’ antara masa lalu teks dan dirinya. Pemahaman kita akan suatu teks, ujarnya, ditentukan oleh kemampuan kita ‘mengalami kembali’ (Nacherleben) dan menghayati isi teks tersebut.
Di awal abad ke-20, hermeneutika menjadi sangat filosofis. Dikatakan bahwa interpretasi merupakan interaksi keberadaan kita dengan wahana sang Wujud (Sein) yang memanifestasikan dirinya melalui bahasa. Demikian ungkap Heidegger. Yang tak terelakan dalam interaksi tersebut adalah terjadinya ‘hermeneutic circle’, semacam lingkaran setan atau proses tak berujung pangkal antara teks, praduga-praduga, interpretasi, dan peninjauan kembali (revisi). Demikian pula rumusan Gadamer, yang membayangkan interaksi pembaca dengan teks sebagai sebuah dialog atau dialektika soal-jawab, dimana cakrawala kedua belah pihak melebur jadi satu (Horizontverschmelzung), hingga terjadi kesepakatan dan kesepahaman. Interaksi tersebut tidak boleh diganti, tegas Gadamer. Setiap jawaban adalah relatif dan tentatif kebenarannya, senantiasa dikritik dan ditolak
Jurgen Habermas pergi lebih jauh. Bagi tokoh terkemuka Frankfurt School, hermeneutika bertujuan membongkar motif-motif tersembunyi dan kepentingan terselubung yang melatarbelakangi lahirnya sebuah teks. Sebagai kritik ideologi, hermeneutika harus bisa mengungkapkan manipulasi, dominasi, dan propaganda di balik bahasa sebuah teks, segala sesuatu yang mungkin telah mendistorsi pesan atau makna secara sistematis.[13]
Menyamakan Al-Qur’an dengan kitab-kitab suci lainnya adalah tidak benar. Al-Qur’an tidak berdasarkan “inspirasi Ilahi”, sebagaimana Injil dalam keyakinan Kristen. Dimana 70 orang penulis (Septuagint) Bible menulis dalam tempat yang berbeda, tapi hasilnya identik. Dengan alasan, karena mereka seluruhnya mendapat “inspirasi” dari Tuhan. Begitu juga dengan kitab-kita agama Hindu (Veda), Budha (Tri Pitaka), dll. Apalagi dalam agama Budha. Kitab sucinya ada yang merupakan kumpulan-kumpulan ceramah (khutbah) Sidharta Gautama (Budha), bukan lewat “inspirasi”. Dan Al-Qur’an tidak membutuhkan hermeneutika. Al-Qur’an cukup dengan “tafsir” dan “takwil”.
Hermeneutika pun tidak terbatas pada penafsiran kitab suci saja (Bible), tetapi meluas. Setidaknya ada enam cakupan hermeneutika; (1) sebagai penafsiran kitab suci, (2) sebagai metodologi filologi, (3) sebagai ilmu pemahaman linguistik, (4) sebagai dasar metodologi ilmu-ilmu sejarah, (5) sebagai fenomenologi Dasein dan pemahaman eksistensial, dan (6) sebagai sistem penafsiran.[14] Sedangkan tafsir dan takwil, secara khusus berkutat pada penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an.
Setidaknya ada dua pemikir Muslim yang memorinya ‘dirusak’ oleh metodologi Bible dalam mengkaji Al-Qur’an, khususnya “hermeneutika”. Yaitu, Mohammed Arkoun (Aljazair, sekarang tinggal di Prancis) dan Nasr Hamid Abu Zayd (Mesir, sekarang tinggal di Leiden, Belanda). Arkoun dan Abu Zayd merusak Al-Qur’an lewat teori “historisitas” (historicity) dan teori lughawiy (linguistik: pendekatan sastra), karena menurut Abu Zayd Al-Qur’an sebagai “muntâj tsaqâfî” (produk budaya).
Yang diinginkan oleh Arkoun sejatinya adalah teori “dekonstruksi”. Seperti dikutip Adnin Armas, Arkoun sangat menyayangkan jika sarjanan Muslim tidak mau mengikuti jejak kaum Yahudi-Kristen. Ia menyatakan:
“Sayang sekali kritik-kritik filsafat tentang teks-teks suci –yang telah diaplikasikan kepada Bibel Ibrani dan Perjanjian Baru, sekalipun tanpa menghasilkan konsekuensi negatif untuk ide wahyu terus ditolak oleh pendapat kesarjanaan Muslim. Karya-karya mazhab Jerman terus ditolak, dan kesarjanaan Muslim tidak berani menempuh penelitian seperti itu sekalipun penelitian tersebut akan menguatkan sejarah mushaf dan teologi wahyu.”[15]
Ambisi Arkoun ini mirip dengan ambisi Alphonse Mingana. Pendeta asal Irak dan mantan guru besar di Universitas Birmingham, Inggris, mengumumkan bahwa “sudah tiba saatnya sekarang untuk melakukan studi kritis terhadap teks Al-Qur’an sebagaimana telah kita lakukan terhadap kitab suci Yahudi yang berbahasa Ibrani-Arami dan kitab suci Kristen yang berbahasa Yunani (The time has surely come to subject the text of the Kur’an to the same criticism as that to which we subject the Hebrew and Aramaic of the Jewish Bible, and the Greek of the Christian scriptures).[16]
Tentu saja Mingana bukan yang pertama kali melontarkan seruan semacam itu, dan dia juga tidak sendirian. Jauh sebelum dia, tepatnya pada tahun 1834 di Leipzig (Jerman), seorang orientalis bernama Gustav Flugel menerbitkan ‘mushaf’ hasil kajian filologinya. Naskah yang dibuatkan itu dinamakan Corani Textus Arabicus. Kemudian muncul Theodor Noldeke yang ingin merekonstruksi sejarah Al-Qur’an dalam karyanya Geschichte des Qorans (1860), sebuah upaya yang belakangan ditiru oleh segelintir kaum Liberal di Indonesia.[17]
Arkoun mendekonstruksi dengan menggunakan pendekatan historisitas sebagaimana yang telah digunakan para hermeneut Barat seperti Giambattista Vico (1833-1911); J.G. Herder (1744-1803); W. Dilthey (1833-1911); M. Heidegger (1889-1976), J. P. Sartre (1905-1980), R. Aron, P. Recoeur, dan lain-lain.[18]
Mohammed Arkoun sangat menyadari jika pendekatan historisitas akan menantang segala bentuk pensakralan dan penafsiran transenden yang dibuat teolog tradisional. Dalam pandangan Mohammed Arkoun, sekalipun Muslim ortodoks menganggap pendekatan tersebut sebagai tak terpikirkan (impensable), namun ia justru percaya jika pendekatan tersebut akan memberikan akibat yang baik terhadap Al-Qur’an. Metodologi tersebut adalah ijtihâd, sekalipun dalam berbagai hal mengguncang cara berfikir konvensional. Menurut Arkoun, pendekatan tersebut dapat memperkaya sejarah pemikiran dan memberikan sebuah pemahaman yang lebih baik tentang Al-Qur’an. Pendekatan tersebut adalah baik karena membongkar lapisan-lapisan konsep Al-Qur’an yang sudah mengendap lama dalam pandangan geologis kaum Muslim ortodoks yang membeku. Padahal, dalam pandangan Arkoun, konsep Al-Qur’an merupakan hasil pembakuan dan pembekuan tokoh-tokoh historis, yang mengangkat statusnya menjadi kitab suci.[19]
Jadi, konsep Al-Qur’an (mulai dari defenisi, konsep pewahyuan, pembagian asbâb al-nuzûl, dlsb) menurut Arkoun adalah hasil ‘olah-pikir’ para ulama salaf yang harus didekonstruksi (dibongkar). Karena menurut Arkoun, pendapat dan ijtihad mereka adalah membekukan kreativitas berfikir umat Islam. Bila perlu, konsep Al-Qur’an yang sudah mapan itu dikritisi dan digantikan dengan konsep Bible, dari segala sisi dan metodologi pengkajiannya. Ini jelas konsep dan metode Orientalis dalam membongkar Al-Qur’an.
Pemikir Muslim kontemporer yang juga “getol” menawarkan metode baru adalah Abu Zayd. Pemikir liberal asal Mesir ini mengusulkan studi linguistik (al-manhaj al-lughawî) atas Al-Qur’an.
Metode kritik sastra (literary criticism) yang diterapkan Nasr Hamid merupakan bagian dari teori-teori hermeneutika. Nasr Hamid mulai mengenal teori-teori hermeneutika ketika berada di Universitas Pennsylvania, Philadelphia pada tahun 1978-1980. Ia mengakui hermeneutika telah membuka cakrawala dunia baru kepadanya. Ia menyatakan: “Aku banyak membaca sendiri, khususnya di bidang filsafat dan hermeneutika. Hermeneutika, ilmu menafsirkan teks-teks, telah membuka cakrawala dunia baru kepadaku.” (I did a lot of reading on my own, especially in the fields of philosophy and hermeneutics. Hermeneutics, the science of interpreting texts, opened up a brandnew world for me). Sekembali dari Amerika, Nasr Hamid menyelesaikan disertasi doktornya pada tahun 1980 dengan judul Falsafah al-Ta’wîl: Dirâsah fî Ta’wîl Al-Qur’ân ‘inda Muhy al-Dîn ibn ‘Arabî (Filsafat Hermeneutika: Studi Terhadap Hermeneutika Al-Qur’an menurut Ibnu Arabi).
Ia mengklaim bahwa dirinyalah yang pertama kali menulis tentang hermeneutika di dalam bahasa Arab dengan tulisannya al-Hirminiyûthiqâ wa Mu‘dhilat Tafsîr al-Nash (Hermeneutika dan Problema Penafsiran Teks) pada tahun 1981.[20]
Menurut Henri Shalahuddin, Abu Zayd memiliki keterkaitan pemikiran dengan teologi kekristenan. Henri menulis:
“Untuk merunut pemikiran Abu Zayd yang memandang Al-Qur’an adalah teks historis, teks manusia, teks linguistik, dan bagian dari fenomena sejarah (Arab klasik), sebenarnya dapat diterka dengan mudah. Dengan merujuk pengakuannya yang tertulis dalam otobiografinya, Voice of an Exile: Reflection on Islam, dia menyatakan bahwa hermeneutika adalah “anugerah terbesar” yang didapatkan selama bermukim di Amerika (1978-1980). Hermeneutikalah yang membuka akal pikirannya dalam berinteraksi dengan teks-teks agama.”[21]
Henri kemudian memperkuat argumentasinya, bahwa hermeneutika telah banyak digunakan oleh para cendekiawan Kristen sebagai perangkat interpretasi kitab Bibel. Kajian mereka ini berhasil membongkar permasalahan yang terdapat dalam naskah standar Bibel versi Erasmus (1469-1536) yang telah disepakati (textus receptus). Adalah seorang pendeta Prancis, Richard Simon (1638-1712), yang pertama kali mengkritik naskah Bibel yang dijadikan sebagai textus receptus dengan metode kritik historis, lebih spesifiknya metode kritik teks. Oleh karena itu dia dijuluki sebagai “Pendiri Kritik Bible”.[22]
Sebagai contoh dari keterpengaruhan Abu Zayd oleh teologi kekristenan, Henri mencatat bahwa dalam tradisi Kristen, masalah ketuhanan Yesus, menjadi salah satu problem serius bagi para penganutnya selama berabad-abad. Bahkan ‘problem’ tersebut masih berlanjut hingga saat ini. Tafsiran baru mengenai Yesus sebagai “Tuhan” yang historis dapat kita simak melalui tulisan Paul F. Knitter berikut ini,
“Realitas Tertinggi yang dialami sebagai Allah Yesus adalah Allah yang dikenal dalam sejarah, yang mengusahakan kesejarahan kaum tertindas, dan yang setia kepada mereka yang bekerja bagi Kerajaan Allah di Bumi.”
Tafsiran ini memberi penjelasan bahwa proses historisitas “Tuhan” yang menjelma ke dalam diri Yesus, tidak perlu diragukan lagi. Bahkan apa yang dialami Yesus juga dapat dialami oleh umat Kristiani lainnya, bila mereka mau terlibat aktif dalam misi-misi kemanusiaan. Tuhan yang telah mengejawantahkan diri-Nya dalam diri Yesus, tidak lagi bersifat abstrak, metafisis, dan tidak terjangkau. Tapi sebaliknya, Dia telah merealisasikan diri-Nya dan dikenal oleh sejarah kemudian menjadi bagian dalam sejarah.
Paul F. Knitter kemudian memperjelas penafsirannya dengan tulisannya seperti berikut,
“Bagi Yesus, sebagaimana bagi nabi Yahudi yang baik, Allah merupakan Realitas transenden yang tidak dapat tetap transenden. Dari hakikat ilahi-Nya, Allah harus terlibat (mengungkapkan diri-Nya sendiri) dalam yang terbatas, dalam sejarah. Cara pengungkapan filosofis mengenai cara yang selalu digunakan Yesus saat berbicara tentang Allah dalam hubungannya dengan Kerajaan Allah merupakan sesuatu yang dapat kita sebut non-dualitas antara Yang Ilahi dan yang historis. Hal ini tidak mereduksikan Yang Ilahi kepada historis, tetapi menegaskan bahwa untuk menemukan atau menjadi bagian dari Yang Ilahi orang harus mengusahakannya melalui keterlibatan dalam sejarah. Yesus tidak dapat dipenuhi Roh kecuali jika Dia secara profetis terlibat dalam masyarakat-Nya. Kendati dua realitas itu berbeda, masing-masing tidak dapat ada tanpa yang lain.”[23]
Untuk memperkuat pendapatnya, Paul F. Knitter mengutip John Sobrino, Gustavo Gutierrez dan Edward Schillebeeckx yang mengatakan bahwa umat Kristen harus berbicara mengenai “bipolaritas” atau “kesatuan yang terbeda-bedakan”, atau “ikatan yang tidak terpecahkan” antara Yang Ilahi dan yang historis.
Tafsiran atas problem teologis Kristen di atas bila dibandingkan dengan pemikiran Abu Zayd seperti tersebut di bawah ini, tentunya tidak jauh berbeda.
“...Sumber ketuhanan (al-mashdar al-Ilâhî) teks-teks tersebut secara mutlak tidak dapat menggagalkan hakikatnya sebagai teks linguistik, yang senantiasa berkaitan dengan zaman, ruang historis dan latar belakang sosialnya...”
Dalam hal ini, Abu Zayd berusaha menerapkan pengalaman sarjana Kristen dalam studi Al-Qur’an. Usahanya ini semakin kentara, saat dia memandang Al-Qur’an sebatas fenomena sejarah.
“...maka sesungguhnya firman itu adalah fenomena sejarah. Sebab semua Perbuatan Tuhan adalah Perbuatan yang telah teraktualisasi dalam dunia yang bersifat temporal atau historis. Dengan demikian Al-Qur’an juga termasuk fenomena sejarah...”
Dengan metode historis, Abu Zayd menganggap Al-Qur’an hanyalah teks manusia sejak dia diterima dan dipahami oleh Nabi Muhammad kemudian disampaikan kepada umatnya dalam bahasa Arab. Anggapan Abu Zayd terhadap Al-Qur’an sama persis dengan apa yang dihasilkan oleh metode Historis-Kritis yang digunakan dalam pendekatan kitab Bibel. Komisi Kitab Suci Kepausan menjelaskan hakikat metode Historis-Kritis sebagai berikut:
“Metode Historis-Kritis adalah sebuah metode yang sangat diperlukan bagi studi ilmiah atas makna-makna teks kuno. Kitab suci, sejauh merupakan “Sabda Allah dalam bahasa manusia”, disusun oleh para pengarang manusia dalam semua bagiannya dan dalam semua sumber-sumber yang ada di belakangnya. Oleh karena itu untuk mendapatkan pemahaman yang tepat, penggunaan metode ini tidak hanya dimungkinkan, tetapi sebenarnya diperlukan.”[24]
Jika Abu Zayd mengadopsi ide dan pemikirannya dari Kristen, yang memandang bahwa metode Historis-Kritis dibutuhkan, maka dia “salah besar”. Karena Al-Qur’an tidak memiliki “pengarang”, sebagaimana Bible. Dan perlu dicatat, bahwa tidak ada satu ayat Bible pun yang menyatakan bahwa Bible turun dari “Allah”. Sedangkan dalam Al-Qur’an, bertebaran ayat-ayat yang menyatakan bahwa Al-Qur’an turun dari “sisi Allah”.
Teks Al-Qur’an tidak mengalami problema sebagaimana problema teks Bible. Norman Daniel dalam bukunya Islam and The West: Making of an Image menegaskan, “Al-Qur’an tidak ada yang sepadan dengannya di luar Islam (The Qur’an has no parallel outside Islam).” Di kalangan Kristen, hanya kelompok fundamentalis saja yang masih percaya bahwa Bible adalah kata-kata tuhan (dei verbum).[25]
Al-Qur’an Tidak Butuh Hermeneutika!?
Mungkin Syed M. Naquib Al-Attas lah orang pertama yang menolak secara ilmiah metode “hermeneutika” yang ingin digunakan oleh mayoritas kaum Liberal-Sekular sebagai ‘pisau analisis’nya dalam mengkaji Al-Qur’an.
Dalam hal ini, Al-Attas berbeda secara substantif dengan Fazlur Rahman dan modernis atau postmodernis Muslim lainnya, seperti Arkoun, Hasan Hanafi, dan A. Karim Soroush. Pada Konferensi Dunia yang Kedua mengenai Pendidikan Islam di Islamabad, Al-Attas menggarisbawahi bahwa ilmu pertama di kalangan umat Islam –ilmu tafsir—bisa berkembang karena sifat ilmiah struktur bahasa Arab. Tafsir “benar-benar tidak identik dengan hermeneutika Yunani, Kristen, dan tidak sama dengan ilmu interpretasi kitab suci dari kultur dan agama lain”.[26]
Dalam membandingkan Al-Qur’an dengan kitab Hindu, Crollius mencatat bahwa analisis semantik lebih berkembang dalam kajian Al-Qur’an dibandingkan dengan kitab-kitab suci Hindu. Dia menambahkan:
“Alasannya adalah Al-Qur’an dari sudut pandang linguistik menyuguhkan suatu kesatuan yang lebih besar dibandingkan kitab-kitab suci Hindu. Selain itu, beberapa situasi dalam Al-Qur’an harus dipahami dalam konteks latar belakang situasi keagamaan tempat penyebarang Al-Qur’an berlangsung. Seting kesejarahan yang dapat diidentifikasi secara jelas hampir-hampir tidak ada pada sebagian besar kitab-kitab suci Hindu. Ringkasnya, arti istilah-istilah Al-Qur’an telah dijelaskan secara otoritatif oleh para ahli tafsir Muslim. Tafsir yang otoritatif seprti ini tidak terdapat dalam agama Hindu.”[27]
Tentu saja Al-Qur’an sangat berbeda dengan kitab-kita suci lainnya, baik kitab suci agama langit (samawi), maupun agama kultural (Hindu, Budha, Konfusius, Taoisme, dll). Bahkan menurut J. Alberto Soggin dalam bukunya Introduction to the Old Testament: From its Origin to the Closing of the Alexandrian Canon, seperti yang dikutip oleh Wan Daud mengakui bahwa Bible berbahasa Ibrani datang agak terlambat. Artinya, tidak orisinil. Soggin mencatat:
“Teks Ibrani yang sekarang berada di tangan kita memiliki satu kekhususan: meskipun usianya cukup lama, ia datang kepada kita dalam bentuk manuskrip-manuskrip yang agak terlambat. Oleh karena itu, dengan perjalanan waktu (lebih kurang hingga seribu tahun) banyak yang telah berubah dari aslinya)...tidak ada satupun dari manuskrip-manuskrip itu yang (datang) lebih awal dari abad ke-9 M.”[28]
Ketiadaan teks asli saja sudah merupakan “problem” serius Bible. Maka lewat hermeneutiak itu lah para teolog Kristen ingin mencari “kebenaran Bible”. Karena teks aslinya sudah tidak terselamatkan lagi. Berbeda dengan Al-Qur’an, yang secara elegan memang menjadi “penyelamat” bahasa Arab, bukan sebaliknya.
Bible dianggap sebagai “kalam Tuhan” atau “tidak” pun dalam agama Kristen menjadi masalah. Menarik apa yang dicatat oleh Encyclopedia Britannica:
“Literal interpretation asserts that a biblical text is to be interpreted according to the “plain meaning” conveyed by its gramatical construction and historical context. The literal meaning is held to correspond to the intention of the authors. This type of hermeneutics is often, but not necessarily, associated with belief in the verbal inspiration of the Bible, according to which individual word of the divine message were divinely chosen. Extreme forms of this view are critizied on the ground the they do not account adequately for the evident individuality of style and vocabulary found in the various biblical authors.”
Perhatikan frasa terakhir yang berbunyi “individuality of style and vocabulary found in the various biblical authors” (gaya dan kosakata masing-masing yang ditemukan pada berbagai pengarang mengenai Bible). Adanya perbedaan pengarang itulah yang menyebabkan Bible tidak bisa dikatakan Kalam Tuhan (the Word of God) secara harfiah (literal). Oleh sebab itu para teolog Kristen memerlukan hermeneutika untuk memahami Kalam Tuhan yang sebenarnya. Mereka hampir sepakat bahwa Bible secara harfiah bukan Kalam Tuhan. Oleh karena itu mereka merasa perlu untum membaca Bible “between the line” demi memahami firman Tuhan yang sebenarnya. Di sinilah peranan hermeneutika dalam membantu memahami Bible bagi para teolog Kristen.[29]
Dari sini saja para pemikir Muslim semestinya sudah punya alasan untuk menolak metode hermeneutika dalam memahami (bahkan menafsirkan) Al-Qur’an. Al-Qur’an tidak pernah punya masalah serius dalam penafsiran. Umat Islam juga tidak pernah bermasalah dengan Al-Qur’an mereka. Sehingga mereka tidak butuh hermeneutika untuk menggantikan metode tafsir dan takwil yang sudah mapan. Dengan begitu, Al-Qur’an tidak membutuhkan “hermeneutika”.
Epilog
Hermeneutik yang sudah berubah menjadi aliran filsafat perlu mendapat perhatian serius. Karena, menurut Ugi, walaupun Schleiermacher (1768-1834) merupakan sarjana pertama yang membawa hermeneutika dari tataran teologi ke tataran filsafat, namun hermeneutika Schleiermacher pada akhirnya hanya menjadi salah satu aliran hermeneutics yang ada. Di sana ada hermeneutics of Betti yang digagas oleh Emilio Betti (1890-1968) seorang sarjana hukum Romawi berbangsa Italia; ada hermeneutics of Hirsch yang digagas oleh Eric D. Hirsch (1928- ) seorang kritikus sastra berbangsa Amerika; ada hermeneutics of Gadamer yang digagas oleh Hans-Georg Gadamer (1900- ) seorang ahli filsafat dan bahasa, dan ada lagi aliran-aliran hermeneutika yang lain seperti aliran Dilthey (m. 1911), Heidegger (m. 1976), dan lain-lain.[30]
Rasanya tidak mungkin seluruh aliran hermeneutika di atas diadopsi dan diterapkan dalam kajian Al-Qur’an. Karena itu adalah absurd. Kemungkinan adalah seperti buah simalakama. Diterima seluruhnya adalah “tidak mungkin”, karena berbeda alirannya. Ditolak seluruhnya juga mustahil, karena semuanya punya pandangan yang berbeda dan tidak akan bertemu satu sama lain. Maka hermeneutika “wajib” ditolak.
Alasan lain juga, kenapa harus menolak hermeneutika adalah. Pertama, hermeneutika menganggap semua teks adalah sama, semuanya merupakan karya manusia. Asumsi ini lahir dari kekecewaan mereka terhadap Bible. Teks yang semual dianggap suci belakangan diragukan keasliannya. Campur tangan manusia dalam Perjanjian Lama (Torah) dan Perjanjian Baru (Gospels) ternyata didapati lebih banyak ketimbang apa yang sebenarnya diwahyukan Allah kepada Nabi Musa dan Nabi Isa as. Bila diterapkan pada Al-Qur’an, hermeneutika otomatis menghendaki penolakan terhadap status Al-Qur’an sebagai Kalamullah, mempertanyakan otentisitasnya, dan pada gilirannya juga menggugat kemutawatiran mushaf Utsmani.
Kedua, hermeneutika menganggap setiap teks sebagai ‘produk sejarah’ –sebuah asumsi yang sangat tepat dalam kasus Bible, mengingat sejarahnya yang amat problematik. Hal ini tidak berlaku untuk Al-Qur’an, yang kebenarannya melintasi batas-batas ruang dan waktu (trans-historical) dan pesan-pesannya ditujukan kepada seluruh umat manusia (hudan li al-nâs).
Ketiga, praktisi hermeneutika dituntut untuk bersikap skeptis, selalu meragukan kebenaran dari manapun datangnya, dan terus terperangkap dalam apa yang disebut ‘lingkaran hermeneutika’, dimana makna senantiasa berubah. Sikap semacam ini hanya sesuai untuk Bible, yang telah mengalami gonta-ganti bahasa (dari Hebrew dan Syiriac ke Greek lalu ke Latin) dan memuat banyak perubah serta kesalahan redakis (textual corruption and scribal errors). Tetapi tidak untuk Al-Qur’an yang jelas kesahihan proses transimisinya dari zaman ke zaman.
Terakhir, hermeneutika menghendaki pelakunya untuk menganut relativisme epistemologis. Tidak ada tafsir yang mutlak benar, semuanya relatif. Yang benar menurut seseorang boleh jadi salah menurut orang lain. Kebenaran terikat dan bergantung pada konteks (zaman dan tempat) tertentu. Selain mengaburkan dan menolak kebenaran, faham ini juga akan melahirkan mufassir-mufassir gadungan dan pemikir-pemikir liar yang sesat lagi menyesatkan.[31]
Seyogyanya para sarjana Muslim “tidak latah”, lalu mengekor pada metode asing yang belum tentu benar dan belum teruji keampuhannya. Tafsir dan takwil adalah dua metode yang sudah teruji sejak belasan abad silam. Dan sampai hari ini metode tafsir terus dikembangkan dan –hasilnya—semakin dinikmati oleh umat. Adalah keliru jika ada pemikir Muslim yang mencoba untuk “mendekonstruksi” metode ini dan menggantikannya dengan hermeneutika.
[1] Prof. Dr. Hamka, Ghirah dan Tantangan Terhadap Islam, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982), hlm. 29.
[2] Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan, (Jakarta: Teraju, cet. I, 2002), hlm. Xxv-xxvi, 10.
[3] Lihat, Aminah Wadud, Qur’an Menurut Perempuan: Membaca Kembali Kitab Suci dengan Semangat Keadilan, Terj. Abdullah Ali, (Jakarta: Serambi, cet. I, 2006), hlm. 19-23 dan 181-188. Wadud mengakui mengikuti metode penafsiran Fazlur Rahman (Pakistan). Wadud menyatakan: “Jadi, saya mencoba menggunakan metode penafsiran Al-Qur’an yang dikemukakan oleh Fazlur Rahmah. Dia menganjurkan agar semua ayat, yang diturunkan pada titik sejarah tertentu dan dalam suasana umum dan khusus tertentu, diungkap menurut waktu dan suasana penurunannya. Namun, pesan yang terkandung dalam ayat tersebut tidak terbatas pada waktu atau suasana historis tersebut.” (hlm. 19). Wadud kemudian menawarkan: “Kaum mukmin yang yang menghadapi suasana berbeda dari suasana turunnya ayat tertentu harus membuat aplikasi praktis yang sejalan dengan tujuan orisinil dari ayat itu, yang terefleksi atau termanifestasi dalam suasana penurunannya. Inilah yang pada zaman modern disebut dengan “spirit” Al-Qur’an. Namun, untuk menemukan “spirit” itu dibutuhkan beberapa model hermeneutic yang sistematis dan mudah dipahami.” (hlm. 20). Ide Wadud ini “diadopsi” olehnya dari buku Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: The University of Chicago Press, 1982). Apa yang ditawarkan oleh Wadud sebenarnya “riskan”, apalagi jika sudah menyentuh permasalahan “tekstualn-kontekstual”. Saya kira ini yang diinginkan oleh Wadud –lewat Rahman—ketika menyatakan ide “spirit” Al-Qur’an, karena dia ingin mencari “tujuan orisinil” dari satu ayat tertentu. Untuk penjelasan luas tentang teori penafsiran Rahman, lihat Dr. H. Ahmad Syukri Saleh, MA, Metodologi Tafsir Al-Qur’an Kontemporer dalam Pandangan Fazlur Rahman, (Jambi: Sultan Thaha Press bekerjasama dengan Gaung Persada Press Jakarta, cet. I, 2007).
[4] Ibid., hlm. 21. Artinya, Wadud di sini tampil “mendua”. Di satu sisi dia ingin menawarkan metode baru (hermeneutika), di sisi lain dia masih berpegang teguh kepada metode penafsiran yang dilakukan oleh ulama salaf (klasik), yakni tafsîr Al-Qur’ân bi al-Qur’ân.
[5] Ibid., hlm.182.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Farid Esack, Samudera Al-Qur’an, Terj. Nuril Hidayah, (Jogyakarta: DIVA Press, cet. I, 2007), hlm. 255.
[9] Ibid., hlm. 256-257.
[10] Ibid.
[11] Lihat, Adian Husaini dan Abdurrahman Al-Baghdadi, Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’an, (Jakarta: Gema Insani Press, cet. I, 2007), hlm. 7-8. Tentang contoh-contoh dari model interpretasi Bible di atas, dapat dilihat dalam Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal, (Jakarta: Gema Insani Press, cet. I, 2057), hlm. 290-292. Contohnya adalah kata “Jerusalem”. Pada level literal, Jerusalem adalah nama kota yang ada di bumi. Pada makna alegoris, Jerusalem diartikan sebagai “gereja Kristen”. Menurut makna moral, Jerusalem berarti “jiwa” (soul). Dan pada level anagogical (escathological), Jerusalem adalah “kota Tuhan di masa depan”.
[12] E. Sumaryoni, Hermeneutika: Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1999), hlm. 28.
[13] Dr. Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, (Jakarta: Gema Insani Press, cet. I, 2008), hlm. 180-181.
[14] Lihat, Ahmala, Lahirnya Hermeneutika, dalam Nafisul Atha’ dan Arif Fahruddin (ed), Hermeneutika Transendental: Dari Konfigurasi Filosofis menuju Praksis Islamic Studies, (Yogyakarta: IrciSoD, cet. I, 2003), hlm. 18, 19, 20 dan 21.
[15] Lihat, Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi Al-Qur’an: Kajian Kritis, (Jakarta: Gema Insani Press, cet. I, 2005), hlm. 63.
[16] Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, op. cit. hlm. 3. Buku Syamsuddin ini merupakan karya yang sangat baik –disamping karya Adnin Armas, Metodologi Bible dalam Studi Al-Qur’an, GIP: 2005— dalam “membongkar” borok-borok missionaris-orientalis, yang mencoba ingin mengobrak-abrik bangunan ajaran Islam.
[17] Ibid., hlm. 4-5.
[18] Adnin, Metodologi, op.cit., hlm. 65.
[19] Adnin, ibid., 66-67.
[20] Ibid., hlm. 70-71.
[21] Henri Shalahuddin, Al-Qur’an Dihujat, (Jakarta: Al-Qalam/Kelompok GEMA INSANI, cet. I, 2007), hlm. 126. Buku Henri ini ditulis khusus untuk mengkritisi pemikiran (khususnya teori hermeneutika) Abu Zayd).
[22] Ibid., hlm. 126-127.
[23] Ibid., hlm.128-129.
[24] Henri, ibid., hlm. 129-130.
[25] Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal, (Jakarta: Gema Insani Press, cet. I, 2005), hlm. 306-307.
[26] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsfat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas, (Bandung: Mizan, cet. I, 2003), hlm. 363.
[27] Ibid., hlm. 364.
[28] Ibid., hlm. 365-366.
[29] Lihat Ugi Suharto, Apakah Al-Qur’an Memerlukan Hermeneutika? (dalam Jurnal Al-‘Ibrah, vol. 1, no. 3, Maret, 2005), hlm. 26-27.
[30] Ibid., hlm. 30.
[31] Syamsuddin Arif, op. cit., hlm. 181-183.
This entry was posted
on Senin, 19 Oktober 2009
at 08.22
and is filed under
Makalah Kajian
. You can follow any responses to this entry through the
comments feed
.
Diberdayakan oleh Blogger.
Follow Me!
Pengunjung
Contributors
- Unknown
Categories
Archives
-
▼
2009
(40)
-
▼
Oktober
(17)
- Hermeneutika dan Studi Al-Qur'an
- Islam Moderat Sebagai Pilihan
- Hukum Musik & Nyanyian Menurut pandangan Islam.
- MEMBINA DIRI DARI PERPECAHAN
- Menggapai "Itqun Minannar"
- Syarat Utama Diterimanya Amal
- Tabayun Dulu Saudaraku...!
- Tiga Derajat Hikmah
- Terbentuknya Masyarakat Satu Tubuh
- Tugas Dan Peran Manusia
- Waktu Adalah Pahala
- Rangkaian Utama Meraih Sukses
- Bayaran Untuk Sukses
- "Jangan Takut Gagal"
- Bukan Sekedar Harta
- Demam Yang Diharapkan
- Bahan Bakar Kehidupan
-
▼
Oktober
(17)