“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS al-Qashash [28]: 77)
Dewasa ini, isu tentang moderatisme Islam kerap terdengar sejak berbagai peristiwa kekerasan aupun terorisme dituduhkan kepada umat Islam. Benar tidaknya masalah itu, tentu itu urusan lain yang kadang-kadang menjurus kepada persoalan politik. Tapi harus kita akui bahwa ada sekelompok kecil umat Islam melakukan aksi-aksi kekerasan dengan mengatasnamakan jihad. Hal ini disebabkan pemahaman agama mereka yang sempit. Dalam konteks ini, saya tidak ingin membicarakan soal kekerasan maupun terorisme. Saya ingin membahas masalah moderatisme dalam Islam, karena saya anggap ini masalah penting.
Bagi saya, kemoderatan adalah ciri khas agama Islam yang tidak ditemui dalam agama lain. Kemoderatan Islam (moderatisme Islam) merupakan gabungan antara dunia dan akhirat (QS al-Qashash [28]: 77), kerohanian dan kejasmanian, kombinasi wahyu dan akal, kitab yang tertulis dan kitab yang terhampar di alam semesta. Karena itulah, umat Islam tak boleh ragu, sebab Islam sedari awal memang moderat.
Beberapa pihak kerap menuduh Islam sebagai agama yang tidak berperadaban dan di luar logika manusia. Sebagaimana pernyataan yang dilansir Paus Benekdiktus XVI, bahwa jihad identik dengan kekerasan dan pedang. Pernyataan Paus ini dengan yang diucapkan oleh Abu Jahal 15 abad yang silam, semestinya pernyataan tersebut tidak dilontarkan oleh Paus. Tuduhan bahwa Islam tidak sejalan dengan akal tidak benar sama sekali.
Dalam Alquran sendiri terdapat 49 ayat yang berbicara tentang akal. Sekitar 300 ayat yang berbicara tentang tafakkur, tasyakkur, al-qolb, kebijaksanaan (al-hikmah). Karena itu, kita memiliki aliran moderatisme; sebuah sikap yang berbeda dengan sikap berlebihan dan ekstrem yang ada di Barat. Orang yang mengatakan bahwa Islam tidak rasional, bukanlah jaminan bahwa agama yang meraka anut mengajarkan rasionalitas.
Dalam doktrin Kristen, seseorang diwajibkan untuk beriman sesuai dengan apa yang diyakini agama itu. Bahwa keimanan dalam Kristen itu tidak membutuhkan rasionalitas. Sementara menurut Islam, Allah dapat diketahui dengan akal. Sebelum kita beriman kepada Nabi dan Rasul, kita mesti beriman kepada Allah dengan perantara akal.
Dalam Kristen ada tradisi acara makan sampai malam terakhir, makan daging dan roti Kristus. Dalam antitesanya, ada materialisme Barat yang sangat menyia-nyiakan akal bahwa tidak ada otoritas kecuali akal itu sendiri. Mereka mengingkari wahyu sehingga mengatakan bahwa agama dan wahyu itu rasional. Mereka membaca wahyu dengan akal.
Sementara dalam “Islam moderat,” kita menyintesakan/menggabungkan antara akal dengan wahyu. Sebuah gambaran yang sangat indah seperti digambarkan seorang pemahat, bahwa akal itu seperti pemandangan mata dan syariat itu seperti cahayanya. Nah, apakah cahaya itu dapat dilihat tanpa pandangan mata?
Akal bersama syariat menurut agama adalah cahaya di atas cahaya. Yang menggabungkan alam nyata dunia ini dengan alam akhirat, yang fisik dan non-fisik, dan tidak mengingkari alam ghaib. Mereka (Barat) adalah orang-orang yang realistis, yang hanya percaya pada bukti materi fisik kehidupan di dunia semata. Hanya mengetahui unsur-unsur permukaaan saja dari kehidupan dunia ini.
Moderatisme mengajarkan kepada kita metodologi yang tepat dan baik untuk menggabungkan antara wahyu dan rasio manusia. Kapitalisme dikatakan sebagai “The End of History.” Mereka hanya mengeksploitasi alam, berbuat sewenang-wenang di mana-mana karena melihat dirinya merasa sudah cukup. Ada kapitalisme yang radikal, di samping juga ada marxisme, sosialisme, dan komunisme. Islam selalu mengedepankan konsep moderat yang tidak ada padanannya dalam peradaban lain.
Misalnya dalam konsep harta, ia adalah milik Tuhan. Sementara manusia adalah khalifah, yaitu orang yang diberi kepercayaan untuk mengolah dan mengelola, tidak hanya dinimati sendiri, tapi juga berbagai dengan kaum miskin. Menurut Islam, manusia adalah umat yang satu dan tidak dibedakan berdasarkan sistem kasta; sebagai alat untuk menindas fakir miskin. Di masa Umar bin Khattab, tidak ada satu orang fakir pun yang datang kepada orang kaya, kemudian tidak diberi santunan. Orang yang tidak mengakui solidaritas sosial dalam Islam, maka dia terlepas dari agama Islam.
Dalam hukum, di tengah sistem tata dunia baru, kita tahu bahwa hukum dan perjanjian internasional telah mengabaikan perjanjian yang telah disepakati setiap bangsa. Sayangnya, Dewan Keamanan PBB seolah-olah seperti Dewan Keamanan untuk negara-negara Barat. PBB dianggap sebagai persatuan wilayah sekutu-sekutu negara Barat untuk menyokong atau mendukung Israel. Karenanya, Israel saat ini merupakan satu entitas yang tidak bisa dijamah hukum internasional.
Islam dengan kemoderatannya berbicara bahwasannya Allah memuliakan semua anak manusia, tanpa membedakan suku bangsa, bahasa, dan agama. Keutamaan manusia ditentukan oleh ketakwaannya, bukan realitas sosialnya. Sejatinya manusia membangun hubungan yag harmonis antar mereka. Permasalahannya sekarang, ada pihak yang tidak mengakui keberadaan pihak lain sehingga harmonisasi kehidupan manusia tidak tercipta. Islam mengakui eksistensi Yahudi dan Nasrani, sementara mereka tidak mengakui eksistensi Islam. Kita mengakui dan mengimani semua Nabi dan Rasul, tidak membedakan mereka.
Kita selalu beriman kepada kitab-kitab dan risalah yang diberikan kepada nabi-nabi. Fungsi Alquran adalah sebagai tulang punggung, sebagai batu ujian, dan pada hari-hari ini kita sering mendengarkan apa yang dikatakan Abu Jahal modern, yaitu Sri Paus Benekdiktus. Kita mengakui eksistensi agama mereka sebagai bagian dari wahyu Tuhan, tapi mereka tidak mengakui Islam. Dan tidak mengakui Muhammad sebagai nabi dan rasul. Tidak mungkin terjadi satu dialog, kecuali monolog semata, karena persyaratan dialog adalah adanya pengakuan terhadap pihak lain.
Islam menghendaki dunia ini sebagai satu forum peradaban yang di situ bertemu, kita bisa saling berbeda pendapat tetapi sepakat untuk tidak sepakat. Sayangnya, globalisasi justru ingin menghapus semua peradaban yang ada di dunia ini untuk dibentuk dalam satu bentuk saja dan masuk dalam putaran peradaban dunia.
Oleh karena itu, “Islam moderat” adalah sebuah upaya penyelamatan terhadap kondisi dunia sekarang ini. Islam moderat berbeda dengan sifat orang-orang batiniyah yang tidak mengakui adanya syariah. Sementara peradaban Islam moderat dibangun dari akal, intuisi, wahyu, syariat, dan beriman kepada dua kitab: pertama, kitab yang tertulis yaitu Al-Quran, dan kedua, kitab yang terbuka, yaitu alam semesta.
Inilah Islam yang sejatinya memang moderat, yang banyak dibicarakan oleh Al-Quran. Itu sebabnya, Alquran tidak hanya menjadi satu pilihan/opsi, tetapi Islam adalah ketentuan Ilahi bahwa umat Islam itu umat yang tengahan, moderat, agar kita menjadi saksi. Islam moderat tidak terisolasi dari satu kutub dengan kutub lain. Karena keadilan adalah jalan tengah, dan yang tengah itu adalah adab. “Kami telah jadikan kamu sekalian itu sebagai umat pertengahan (QS al-Baqarah [2]: 143).”
Bagaimana kita bisa menjadikan dan menegakkan keadilan? Kita harus menggabungkan antara kebenaran dan keadilan. Islam yang moderat menggabungkan antara unsur kebenaran dan keadilan. Inilah Islam moderat yang kita hadapi di era globalisasi ini sebagai entitas pilihan masa depan. Dan kita akan selalu memegang prinsip ini sepanjang sejarah.
Memang Barat tidak fair terhadap Islam. Banyak contoh tidak adanya keadilan Barat terhadap dunia Islam seperti di Palestina, Chechnya, Kashmir, sementara di Timor Timur yang minoritas, negara-negara Katolik itu menuntut supaya Indonesia melepaskannya. Semua agama memiliki fundamentalisme. Sementara fundamentalisme Barat sangat jahat, irasional, tidak berperikemanusiaan, dan sangat gelap.
Meskipun demikian, Alquran mengajarkan kepada kita untuk tidak menyamaratakan dan tidak boleh menghukumi suatu bangsa dan umat tertentu berdasarkan perbuatan yang dilakukan oleh sekelompok orang dari bangsa dan umat tersebut, tetapi kita harus bisa membedakan atau memilahnya. Umat Kristen maupun Yahudi juga tidak sama, ada kelompok-kelompok yang memiliki kearifan bersikap.
Jadi, saya kira kita tetap berpedoman pada Alquran dalam memperjuangkan konsep Islam moderat di dunia yang kian mengglobal ini. Meski dalam beberapa dimensi Barat jahat, maka tidak sepatutnya membalas Barat yang jahat itu dengan kejahatan pula. Sebab, jika demikian adanya, kita tak ada bedanya dengan mereka. Toh banyak pula yang baik dan dapat kita ambil manfaatnya dari mereka. Wallahu a’lamu bis shawab.
Penulis adalah alumnus pesantren Ar-Raudhatul Hasanah
Label: Buletin
This entry was posted
on Senin, 19 Oktober 2009
at 08.25
and is filed under
Makalah Kajian
. You can follow any responses to this entry through the
comments feed
.
Diberdayakan oleh Blogger.
Follow Me!
Pengunjung
Contributors
- Unknown
Categories
Archives
-
▼
2009
(40)
-
▼
Oktober
(17)
- Hermeneutika dan Studi Al-Qur'an
- Islam Moderat Sebagai Pilihan
- Hukum Musik & Nyanyian Menurut pandangan Islam.
- MEMBINA DIRI DARI PERPECAHAN
- Menggapai "Itqun Minannar"
- Syarat Utama Diterimanya Amal
- Tabayun Dulu Saudaraku...!
- Tiga Derajat Hikmah
- Terbentuknya Masyarakat Satu Tubuh
- Tugas Dan Peran Manusia
- Waktu Adalah Pahala
- Rangkaian Utama Meraih Sukses
- Bayaran Untuk Sukses
- "Jangan Takut Gagal"
- Bukan Sekedar Harta
- Demam Yang Diharapkan
- Bahan Bakar Kehidupan
-
▼
Oktober
(17)