Kerikil tajam turut berontak, kala bumi husein dipijak
Batu-batuan turut bicara, kala bumi Isa luluh lantak
Pelepah kurma turut berdetak, kala bumi Omar Mukhtar digasak.....
Maka......
Biarlah hamparan pasir Afghanistan jadi saksi
Lesatan mujahid anak panah kebenaran
Koyak-moyakkan tabir kejahatan kafir
“ Allahu Akbar “
3 kilometer lagi, Abi tak pantang menyerah. Dengan sigap ia lewati jilatan api. Aku berlari seakan dibelakangku ada singa yang siap untuk menancapkan kuku-kuku runcingnya, bagaikan bilah-bilah pisau tajam yang digantungkan di dinding-dinding rumah. Aku terus berlari tak menginjak bumi. Debu-debu berterbangan seiring hangus kakiku yang menginjak pasir panas, bagaikan biji timah cair yang menggelakkan timbulkan buih-buih api. Pergelangan tanganku tergenggam erat dalam kekarnya jari-jari Abi. Napasku habis terengah-engah. Menyesak dalam dada, ingin rasanya meledak. Staminaku kian habis. Aku yang masih berusia 11 tahun tak mampu mengimbangi langkah panjang Abi. Tak sanggup bertahan, kuhentikan langkahku yang menimbulkan sorot tanda tanya Abi.
“Ada apa Shir...?” tanya Abi dalam bahasa Pusthu* yang kental.
Pertanyaan menguap bersama udara panas Afghanistan. Aku tak bisa langsung menjawab karena harus mengatur napas terlebih dahulu. Tanpa menunggu jawaban, Abi langsung mengangkat serta mendekapku dalam dadanya yang bidang.
Meski bebannya kian bertambah karena harus menopang berat badanku, Abi terus berlari menuju bukit Akhdar, kubu perlindungan rahasia militan taliban. Meski harus menempuh api yang berkobar dari salah satu rumah kubus penduduk yang baru diserang pasukan Intelegent Amerika yang mendapat bocoran berita tentang kampung militan rahasia Taliban. Dimana-mana sijago merah terus melahap tiap senti rumah penduduk. 30 meter dibelakang Abi, mobil pick-up berlambangkan elang paruh putih terus menambah kecepatan. Deru mesinnya menciptakan badai debu ke angkasa. Menambah aura kebiadaban Amerika dibumi Osama bin Laden ini. Moncong AK-47 telah berisia mengoyak moyak jalaba* Abi, para pasukan terlatih Amerika tengah bersiap menarik pelatuk senjata bu buatan Rusia itu. Namun Abi tak goyah, langkah tegapnya terus menapaki lautan pasir tanpa kesudahan. Lilitan serbannya yang bertangger dikepalanya berkibar-kibar bersama tarian angin. Abi bagaikan Cheetah yang menyelamatkan diri dari tangkapan pemburu. Desingan peluru mulai terdengar berlanjutan dengan muntahan timah panas yang siap menyerang siapa saja yang mencoba menghalau kecepatannya. Sesekali Abi merunduk untuk menghindari amukan timah panas syetan itu. Aku yang menjadi beban, sedikit menyulitkannya. Namun pelatihan yang dijalankannya di Khandar, kubu perlindungan militan taliban, serta pengalaman jihadnya dalam perang begejolak di Kabul sangat membantu Abi dalam mengelak. Aku didekap erat dalam pelukannya. Dengan sekuat tenaga ia jauhkan aku dari serbuan peluru. Namun, Abi tetaplah manusia yang takdirnya di tangan Allah yang Maha Perkasa. Meski sekuat dan selincah apapun Abi, Abi tetaplah manusia biasa yang kadang kalanya kehabisan tenaga serta lalai, entah telah berapa jauh aku dan Abi berlari, namun itu seakan tanpa ada habisnya.
“ Duarrrrr.....!!” sebuah bom yang ditembakkan meledak tak jauh dari kami. Abi yang berusaha menghindari muntahan timah panas tak menyadari adanya strategi ganda. Sebelum tersadar aku dan Abi telah terlempar ke angkasa. Bias dari ledakan bom yang meledak beberapa meter dari kami. Frekuensi kekuatannya mempu menghancurkan sebuah desa menggetarkan bumi Afghanistan. Kupejamkan erat-erat kelopak mataku. Berharap, ini semua hanyalah impian belaka. Berharap waktu bergulir kembali ke belakang. Saat aku asyik bermain perang-perangan bersama Abi. Berharap canda tawa Abi menghiasi hari-hariku. Berharap kasih sayang Abi yang tak pernah habis-habisnya kembali menenangkan jiwa batinku. Namun, semuanya telah berakhir....
Ya....Rabbi....Ya Aziz......Ya Rahman......
* * *
“Ah....ah....ah...Allah...
“ Ah...ah...ah...Ya Allah...”, erangan tertahan kembali bergetar dari pita suaraku, erangan kala air mataku tumpah bercampur darah yang mengalir dari luka-luka menganga disekujur tubuhku. Kucoba bangkit meski perih rasanya, para pasukan Amerika yang puas menampakkan kebiadapannya telah lama pergi. Ternyata aku pingsan beberapa waktu lamanya. Bangunan-bangunan yang hangus terbakar kini tinggal puing-puing abu, dan matahari telah kembali keperaduannya ke ufuk barat. Dengan sisa tenaga yang kumiliki kuambil balok kayu yangterletak diantara puing-puing untuk menggali liang kubur bagi syahidnya anggota keluargaku yang terakhir. Dengan berlinang air mata kucium serta kupeluk Abi untuk terakhir kalinya. Tak kutemukan amis darah, hanya wangi penghuni surga yang tersisa ; SELAMAT TINGGAL ABI...!!!.
Kembali berkelebat dalam benakku. “Ya Rabbi betapa besar pengorbanan serta tanggung jawab Abiku akan agama dan keluarganya. Demi kibaran bendera keagungan agama dan asma-Mu. Ia mengorbankan dengan ikhlas keluarga yang ia cintai melebihi dirinya sendiri”, batinku merintih. Namun, walaupun Abi merupakan seorang militan Taliban yang senantiasa aktif dalam setiap perang pergolakan, ia tidak pernah mengabaikan kami keluarganya. Ia senantiasa menyempatkanwaktu untuk mengunjungi kami meski sekali dalam sebulan atau 2 bulan, dan ia tak pernah lalai akan tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga serta pengayongan kami.
Saat ummi serta Raihan adikku mendapat giliran panggilan Allah sebagai syahidah dan syahid. Mereka terkena serpihan geranat yang diluncurkan pesawat tempur USA, di pasar en-Nashr. Abi mengambil alih seluruh tugas ummi. Sejak itu, bila perang tengah bergejolak, Abi senantiasa menitipkanku di kamp-kamp pelatihan militer taliban, karena Abi harus bergerilya siang dan malam. Tanpa takut dan kalut karena yakin karena Allah senantiasa mendampingi serta menjaga anaknya yang tinggal sendiri ; Muhammad Nashir Nashrullah.
Namun, semuanya berubah kala ratusan pasukan terlatih badan intelegent Amerika merangsek masuk menghancurkan kamp. Pelatihan militer Taliban di desa Abdigad, kala itu kamp pelatihan selagi sunyi. Hingga hanya sedikit perlawanan yang terjadi yang dapat dipatahkan dengan mudah, dan semuanya terjadi dalam satu petikan jari.
Dan kini, Abi adalah pahlawanku serta pahlawan bagi seluruh umat Islam yang peduli akan tangis pergolakan dari bumi sengketa Afghanistan.
* * *
Kupacu langkahku setelah memanjatkan doa diatas pusaran peristirahatan terakhir Abi. Aku berlari berurai air mata. Berlari dan berlari, tanpa tujuan. Aku berlari mengikuti langkah kakiku. Aku sebatang kara dibumi sengketa ini. Namun, aku yakin Allah tak kan pernah meninggalkanku walau sedetik saja. Malam telah menunjukkan kekuasaannya, malam telah bentangkan jubah kegelapannya. Namun, aku masih terus berlari walau kepekatan malam mencoba menghalau langkahku. Aku terus berlari diatas hamparan pasir, terus berlari....hingga seluruh tenagaku habis dan sirna. Dunia seakan berputar dimataku, perlahan....makin cepat dan berputar bagai putaran kincir air didesa bibi Mellijah, dekat Peshawar ; Pakistan.
Dan.....semuanya gelap seperti gelapnya jubah malam.
* * *
“Agh......Allah.....a..ku.
“ Agh......agh.....” sakit menyayat kurasakan kala aku berusaha menggerakkan tubuhku. Otot-ototku seakan dilolosi satu persatu. Aku seakan seonggok daging dengan jiwa yang terperangkap didalamnya. Hidup namun tak mempu bergerak. Sekujur tubuhku tarasa perih, hampir sekujur tubuhku ditempeli daun-daunan yang setahuku sering dipakai dalam pengobatan tradisional.
“ Ya Allah.....kuatkan hamba yang lemah ini.....”.
Tiba-tiba daun pintu diseberang dipan berderit, bersamaan masuknya seorang nenek tua yang menurut perkiraanku umurnya berkisar 76 tahunan. Dengan tertatih-tatih ia letakkan kendi tembikar yang dibawanya diatas meja, samping tempatku tergeletak tak berdaya.
“ Nek...a...ku...di...ma...n
“Nek...apa yang terjadi hingga aku sampai disini...?” Tanyaku lagi.
“ Saya menemukanmu ketika aku menuju pasar pagi di desa Gebrad, tak jauh dari sini. Aku menemukanmu tak berdaya dengan penuh goresan luka. Kamu hampir kehabisan darah saat aku tiba. Alhamdulillah, semuanya belum terlambat. Dengan sigap ku membalut luka-lukamu dengan racikan rempah-rempah serta resep-resep obat tradisional yang kubeli dipasar sana”. Ujar nenek.
“Alhamdulillah....Ya Allah, engkau masih menganugrahkanku nafas diakhir hidupku. Alhamdulillah Ya Rahman....” batinku berucap syukur.
” Siapa namamu nak?” Tanya nenek.
“ Nama saya Muhammad Nashir Nasrullah nek....” jawabku.
“ Apa yang terjadi denganmu ? Dan dimana orang tuamu?” tanyanya lebih lanjut.
Maka mengalirlah kata demi kata dari lisankku, betapa perih rasanya. Aku terus berusaha menguatkan mentalku. Dengan berurai air mata kuceritakan apa yang terjadi pada diriku dan kedua orangtuaku selengkap-lengkapnya.
“Nak...maukah kau seperti Abimu, sebagai penggenggam bara api agama. Menjaga agar ia tak redup dan padam, menjaganya walaupun harus menumpahkan darah hingga penghabisan. Siapkah kau menjadi malaikat Allah selamanya ?” tanya nenek itu setelah aku menghabiskan kisahku.
“Siap” jawabku dengan mantap. Jawaban yang akan merubah hidupku menuju ridha Allah, menjadi penggenggam sang bara api agama.
* * *
Rembulan tampak bagaikan sebuah bola perak yang bercahaya, sementara dikaki langit venus berpijar seperti lahar, meteor jatuh kebumi bagaikan lembing menyala-nyala yang dilemparkan oleh sesosok tangan dari langit. Sementara bintang berkelap-kelip seakan ribuan manik-manik yang berkilauan telah dijahitkan diatas jubah lembayung langit.
Nashir berdiri memandang kearah langit itu, matanya mengembara dari satu planet ke planet yang lain, dari satu bintang kebintang yang lain. Mana diantara mereka yang akan ia mintai bantuan ? Yang mana dari mereka yang dapat menolong mereka ? Namun ia sadari, tak satupun yang mampu menolongnya dalam mengobarkan gejolak jihad yang membara di jiwanya. Selain Dzat yang telah menciptakan segala sesuatu yang bahkan tak terjangkau akal. Dalam satu petika jari, dapat memusnahkan serta meruntuhkan segala biduk maksiat yang menampung tetesan-tetesan kejahatan tak lebih dari sekedip mata.
Nashir berdiri tegap disebuah anjungan lembah Zenit, berdiri diantara daratan yang mencuat dari perut bumi. Dadanya yang bidang dibalut jalaba tradisional Afghanistan berayun mengikuti hembusan angin malam, laksana mujahid padang karbala. Ia menatap lurus kedepan, menembus garis lengkungan langit penghubung bumi. Lengannya sedikit terangkat menopang klashnicov yang bergelanyut dibahunya, senjata laras panjang buatan Rusia itu akan mendampingi jihad gerilyanya dini hari nanti.
“ Komandan Nashir..., pasukan telah siap tuk menunaikan shalat sunnah berjamaah”, tegur Ahmadi dengan lembut.
Ahmadi baginya adalah tangan kanan yang senantiasa mendukungnya. Setelah kedua orangtuanya syahid, ia mewakafkan hidupnya demi jihad dalam agama Allah.
“Ya .....aku segera tiba”, jawabku lugas seraya mengikuti langkahnya menuju tenda pasukan.
“ Aku ingin syahid.....”, ungkap Ahmadi suatu ketika dengan berurai air mata kerinduan.
“ semoga Allah mengabulkan doamu”, jawabku kala itu.
Tak lama kemudian, hening mencekam menyelubungi lembah Zenit. Seluruh makhluk berkhusuk dalam munajat pada Sang pemilik alam semesta.
“ Ya Allah....Ya Rabbi.....izinkan aku berbuka puasa esok hari, bersama kekasihmu Nabi Muhammad, beserta para syuhada lainnya”, cetus doa seorang hamba dalam kehusyukan dalam munajatnya pada Rabbi.
* * *
Bagaikan badai ombak yang terdiri dari manusia, para gerilyawan mujahidin berjalan melintas padang gurun. Tapal-tapal kuda berderap menjejaki butiran pasir. Gelegak darah para mujahidin menyusup keubun-ubun. Beri sensasi surgawi dalam benakknya. Betapa rindunya mereka akan panggilan Allah untuk didekap disisi-Nya. Bara api perjuangan tersulut cepat bersama pekikan komando Nashir.
“Allahu Akbar...Allahu Akbar....Allahu Akbar....”.
Pedang dan belati berkilat kilat menakutkan dibawah siluwet fajar merah, moncong Kloshnikov telah haus akan darah para pembangkang serta penentang syari`at Islam. Dalam sekejap bumi Afghanistan telah terselubung badai, debu berterbangan. Pertempuran berlangsung dahsyat, terperangkap dalam peperangan yang menyesakkan. Namun, menjanjikan surga bagi para mujahidin dan neraka pada setiap bayangan kematian para kafir Amerika. Setiap hunjaman belati serta muntahan peluru, menyemburkan darah seperti anggur merah yang tumpah dari ribuan cawan. Tanah berubah menjadi begitu merahnya, hingga seolah-olah ribuan mawar berguguran menutupi pasir Afghanistan.
Nashir terus memekikkan takbir untuk menyemangati para mujahidin. Yang dimakmumi seluruh mujaidin. Pekik takbir peperangan para mujahidin itu mampu membuat jantung para orang yang telah meninggal berdegup kembali. Nasher terus menerjang ke garis depan musuh, memuntahkan bola api kehancuran dalam setiap muntahan timah panasnya. Ia menerjang kedalam kubu perlindungan badan intelegent Amerika, seraya terus memuntahkan timah panas. Ia bagaikan arit kematian yang besar, menebas habis siapa saja musuh Tuhan Yang Maha esa. Bising peluru serta sabetan belati tak sedikitpun menggoyahkan semangat jihad para mujahidin. Meraka berperang bagaikan singa yang terluka. Membuat pasukan Amerika kalang kabut.“Ish kariman au mut syahidan” terpatri erat dalam urat nadi mereka. Para pasukan terlatih Amerika yang tak menyadari adanya serangan dini hari tak mampu untuk menarik nafas dan menyelamatkan diri. Bayang-bayang kematian melintas dalam benak mereka.
Akan tetapi, entah dapat berita dari mana bantuan musuh mulai mengalir berdatangan. Tank-tank Amerika mulai berdatangan memuntahkan bola api menuju bilik mujahidin. Pesawat tempur IDF milik Amerika menari-nari dibayangi fajar merah. Melesatkan granat hunjam perut bumi. Para mujahidin terus bertahan menggolakkan semangat yang membara pada jiwanya. Harum syurga fidaus membayangi setiap muntahan timah panas dan sabetan belati mereka.
“Ahmadi....awas.....”, pekikku membahana. Dengan sedikit bersalto kulemparkan tubuhku yang berada diantara karung-karung pasir yang bertumpuk didekat pos pemeriksaan. Dengan sekuat tenaga, kurangkul ia menjauh dari sana.
“Duarrrrrr.....”, aku dan Ahmadi jatuh berdebam bersamaan meledaknya karung-karung pasir yang terkena lontaran granat Amerika.
“ Madi.....bangkit dan rebutlah markas penyimpanan senjata disebelah utara sana !, tinggal selangkah lagi Insya Allah kita akan dianugrahi Allah kemenangan.” Perintahku tegas. Namun tetap dibarengi senyum persaudaraan.
“siiiiiap komandan....”, jawabnya sembari mulai merunduk diantara pagar kawat yang mengelilingi pos penjagaan.
“ Allahu Akbar......!” Pekikku menyemangati mujahidin lainnya. Aku berdiri menyalakan moncong Klashnicov mengarah pada tentara Amerika yang bersembunyi dibalik dinding beton.
“Duar.” Peluru menembus dada kiriku, terasa perih timah panas yang bersarang ini. Kala mataku fokus pada tentara yang lain.
Aku terus bertahan meski tubuhku mulai berlumuran darah, ku berondong tentara Amerika dengan muntahan peluru, meski sisa-sisa tenagaku mulai habis menahan sakit.
Debug.......aku terjatuh diatas pasir kasar. Cairan merah kental terus merembes membasahi jalabaku.
“Komandan Nashir...!!!” tiba-tiba Ahmadi telah berada disampingku. Merangkul dengan linangan air mata membasahi kafiyeh* yang melilit diwajahku.
“Bertahanlah komandan...! aku akan meminta bantuan pada mujahid lainnya”.
“Jangan...” sanggahku menghentikan langkahnya.
“Jangan usik para malaikat Allah hanya demi seorang insan naif sepertiku, biarlah mereka tetap berjihad disana...”lanjutku berusaha tersenyum.
Ahmadi hanya mampu terdiam.
“Bagaimana jihad kali ini Ahmadi...?” tanyaku bertahan.
“Alhamdulillah...selangkah
Terbayang kembali ingatanku beberapa tahun yang lalu saat aku masih berusia 11 tahun. Berkat anjuran nenek Syafiah aku dididik ilmu kemiliteran Taliban di Kandahar, kubu-kubu perlindungan rahasia militan Taliban. Dibawah asuhan Osama Bin Laden aku berjuang membela agama Islam dalam jalur peperangan, dan menjadi momok menakutkan bagi badan intelegent Amerika ; sang pembangkang syari`at Islam.
“Ahmadi...sampaikan salam dan maafku buat nek Syafiah serta buat seluruh umat Islam di Dunia..., berjuanglah Ahmadi. Tegakkan din ini meski jiwa raga menjadi taruhannya....!” pesanku dalam detik terakhirku.
“Ya....Rabbi...syukurku hanya pada-Mu, akhirnya aku bisa berbuka puasa bersama para kekasihmu nanti...” cetusku dalam hati seraya tersenyum bahagia mengingat doaku dini hari lalu....
“Asyhadu Anlaa Ilaaha IllAllah...., Wa asyhadu Anna Muhammadarrasulullah....” hembusku dalam nafas terakhir.
Lalu semuanya gelap dalam dekapan jubah malam.
“Khaibar......khaibar.....
This entry was posted
on Senin, 07 Juni 2010
at 02.23
and is filed under
Cerpen,
Refleksi
. You can follow any responses to this entry through the
comments feed
.