Saudaraku!. Saat ini ada banyak pertanyaan yang sedang menggandrungi pikiran dan jiwaku. Pertanyaan yang bersumber dari refleksi objektifitas dalam memaknai pentas kehidupan ini. Apa yang kini mengganjal dan ingin rasanya mengungkapkan gejolak dihati. Saat dimana hening menjadi kerinduan dikala hiruk pikuk menjalani aktifitas hidup bertambah rumit dan sukar untuk dielakkan. Keberanianlah yang kerap dituntut menapaki terjalnya jalan. Realita hidup telah menampakkan posisi diri yang hanya mampu meratapi nasib. Bagaikan perlombaan yang tiada henti, hidup seakan menjadi panorama menyesakkan dikala bekal yang dibawa tak mencukupi. Maka tiada lagi waktu untuk mengulangi kesemuanya dan pastinya hanya kenangan semata. Penyesalan tiada habisnya menghiasi bibir yang tak mampu berzikir mengingat-Nya. Ya, hanya keluh kesah yang terlontar, namun tidak tahu kemana dan kepada siapakah harus diadukan. Itulah realita sekarang, dan kini terjadi! Lari dari jalur, mencari jalan yang tidak pada tempat dan koridornya.
Saudaraku!. ingatkah engkau sebuah ayat yang mengatakan “Barang siapa bertaqwa kepada Allah, maka Allah akan menunjukkan jalan keluar dan memberikan kepadanya rizki yang tak disangka-sangka”. Ingatkah kita kemaha besaran-Nya juga kuasanya yang tiada terduga itu? Sudah sangat jelas disini Ia ingin memberikan sebuah jawaban dan jalan keluar dari suatu kesulitan. Yakni, dengan syarat Taqwa sebagai landasan utamanya. Tidak diragukan lagi, bahwa dalam tuntunan-Nya kita akan dibawa kepada sikap bersyukur dan ridho menjalani likuk jalan ini. Maka, apabila keridhohan serta syukur telah memegang peran dalam hidup, bukan hal mustahil lagi kita akan menemukan cahaya setiap lembar buram cobaan yang datang.
Saudaraku!. disini aku bukanlah bermaksud ingin melangkahi ilmumu juga pengalamanmu. Tiada salahnya kita saling menasehati juga memotivasi. Bahkan inilah yang aku, kamu dan seluruh umat muslim butuhkan untuk saat ini. Dalam renung panjang yang sesekali menyeringai hati dan pikiran. Aku seakan terbawa dalam lamunan panjang mencari sebuah makna dan arti. Tuntutan hidup mewajibkan diri untuk segera mengambil tindakan kalau memang ingin meraih prestasi. Perjuangan tanpa henti, tawakkal, serta do’a menjadi tolak ukur keberhasilan. Entah mengapa aku ingin sekali mengungkapan kesemuanya? Rasa sensitif menanggapi fenomena yang telah terjadi, menjadi factor utamaku mencari kebenaran dari kebenaran yang ada. Perlu adanya tafakkur dalam memaknai setiap sela cobaan yang silih berganti.
Saudaraku! Terkadang aku berpikir. Bagaimanakah Ia mengajariku juga dirimu? Sejenak aku hanya ingin mengungkapkan apa yang kini masih mengganjal dalam pikiranku. Tentang hidup dan masa depanku nantinya. Sempat terlintas sebuah pertanyaan dalam renungku. Apa yang akan kulakukan dimasa mudaku yang mungkin dapat dikatakan belumlah dewasa dalam mengatasi dan bijaksana dalam menanggapi segala permasalahan?. Aku seakan linglung, tidak tahu kemana harus kukemudikan langkah kakiku. Cita-cita yang terbayang hanyalah semu, kala realita yang kualami jauh berbanding dengan tingkah laku. Aku terasa jauh dari apa yang selama ini aku inginkan. Padahal, kalau saja aku mau untuk mengulangi dan memperbaikinya. Maka tidak mustahil aku akan mampu menjadi diriku yang sebenarnya. Aku pastinya akan mudah untuk mengendalikan pola pikir, kemanakah harus ku tempuh perjalanan jauh. Dengan banyaknya prestasi yang dulu pernah kuraih, aku seakan tenggelam dengan kenangan semata. Hanya terhanyut dalam alunan kisah yang takkan kembali. Pastinya masing-masing haruslah meyakini, bahwa sesuatu yang paling jauh dari diri nantinya, dan takkan bisa ditempuh adalah masa lalu. Masa lalu yang jauh dari apa saja yang pernah kita miliki. Maka masa depanlah yang kini menjadi bahan perbandingan dari masa lalu, apakah tetap sama, atau sebaliknya, akan lebih baik dari pada sebelumnya. Hal ini sangat sesuai dengan apa yang dikatakan rasulullah Saw, bahwa," barang siapa yang hari ini sama dengan hari kemarin, maka ia adalah orang yang merugi. Barang siapa yang hari ini lebih buruk dari pada hari kemarin, maka ia mal’un." Mengingat hadis ini, rasa menyesal meraba jiwaku yang kini bingung. Lama ku dalam lamunan, memikirkan apa yang dulu terlewati. Namun, lagi-lagi ku mendapat anjuran agar tidak mengingat kembali masa lalu karena itu akan membuang waktu begitu saja. Ingin rasanya ku bersamamu, menjalin ukhuwah, merapatkan barisan menuju izzah. Menjadi mujahid pena, merangkai hati yang kerap terurai, akhlaq yang kian lumpuh.
Ya, dengan menulis. Media ini seakan menjadi pengerat tali silaturrahim antara kita. Karena didalamnya, ku menemukan jiwaku yang dulu sempat linglung tak tahu arah tujuan. Menulis juga menawariku semacam kesabaran yang tidak kumiliki dalam kehidupan sehari-hariku. Menulis membuatku berhenti. Menulis membuatku mencatat. Menulis memberiku semacam perlindungan yang tidak bisa kuperoleh dalam kehidupanku yang tergesa-gesa dan penuh dengan kegiatan. Menulis membantuku menjadi matang selama aku tidak membohongi diriku sendiri. Hal ini memaksaku untuk menghadapi dan memahami kekurangan, kelemahan, dan kekuatanku. Tindakan ini pula yang lamban laun mengajariku untuk tidak bersikap menghakimi. Dan pada akhirnya, menulis satu-satunya tempat aku bisa menjadi diriku sendiri dan tidak merasa dihakimi. Bagaimana pula perasaanmu tentang itu?
Saudaraku!. Kini, bersamamu, Aku kembali tercerahkan. Bahwa hidup bukanlah kenangan semata. Hidup bukanlah iming-imingan realita. Hidup bukanlah sekedar berkeluh kesah. Karena kesungguhan serta ketegasan hendaklah menyertai kebimbangan. Karena tujuan hidup telah jelas, mencari ridho-Nya semata, Inna Khalaqtu Al-Jinna Wal ins illa liya'budun. Hidup dalam naungan hidaya-Nya. Semoga kita selalu mendapatkannya. Amin....
Renungan-Q untukmu Saudara/i-Q, Mujahid Pena Peradaban.
Mahmoud el-Ahmady
23/06/10
Pengembara Jati Diri
mengukir hikmah kisah
This entry was posted
on Kamis, 24 Juni 2010
at 11.53
and is filed under
Kisah-Q,
Refleksi,
renungan
. You can follow any responses to this entry through the
comments feed
.