Takkan kubiarkan tangan terhenti
Walau pahit menghadang diri
Lambaian aroma syurgawi, elokkan semerbak mewangi
Takkanku elak diri, menghadap halang melintang
Secerca asa masih tersimpan
Mari sama kita berjuang
Wahai mujahid islam.
Izzuddin Al-Qossam..!!!, dimana janjimu pada rakyat palestina..! teriakku dengan pilu menyaksikan tubuh ayahku yang terkapar tak berdaya dengan lumuran darah. “Ayah, jangan tinggalkan aku. Aku tak sanggup hidup tanpamu ayah..” tangisku bercucuran tanpa henti menggenang dan membasahi pipiku. Marah, sedih, dan pilu bercampur satu didalam hati. Ku ingin mengutuk kekejaman Israel yang selalu berdalih demi perdamaian dunia itu.
Keluargaku tewas dibantai badan intelligent Israel yang terselubung dan menuduh keluargaku sebagai keluarga teroris dan aktivitas HAM. Kini otot kakkiku kurasakan lemah, seketika menyaksikan anggota keluargaku yang turut syahid dalam insiden mengenaskan ini. Luka yang menganga dilenganku tidak kuhiraukan, disebabkan kesedihan yang mendalam. Luka yang ditorehkan serpihan bom yang meledak di perbatasan perkampungan kumuh An-Nashr, di saat ku pulang dari pengajian di perkampungan yang sama.
Namun, saat itu kuhanyut dalam kenangan masa lalu. Kurasakan ada seseorang yang memegang lembut pundakku. Dengan ragu-ragu kubalikkan tubuhku dan kuarahkan pandanganku untuk mengetahui siapakah yang berani mengganggu kesedihanku ini. Kuperhatikan dengan seksama seorang lelaki yang berdiri dihadapanku ini. Seorang lelaki yang berjubah hitam dan disertai serban yang melilit di wajahnya, membuat dahiku mengernyit, tak mampu mengenali lelaki berbadan tegap itu. Namun, sinar mata elangnya mampu meneduhkanku serta menentramkan hatiku yang sedang kalut, “man eintah yaa akh..? tanyaku dengan terbata-bata. Tidak sanggup ku menyembunyikan keingintahuanku yang mendalam dan menggilik hati kepada lelaki itu. Ku kepalkan tangan kecilku dan ku eratkan genggamanku bersiap-siap untuk menjaga diri andai kata lelaki yang dihadapanku ini ternyata ingin menghancurkan hidupku. Aku tak gentar menghadapi siapapun yang bermaksud menghina dan menghancurakan agamaku.
“lebih baik syahid memegang bara api agama dari pada hidup berkalung noda”, pesan itulah yang selalu kuterapkan di dalam relung hatiku. Namun, ternyata lelaki yang berwibawa itu seakan tahu akan paranoid yang tumbuh di diriku. Dengan perlahan-lahan, lelaki itu berlutut di hadapanku dan melepaskan lilitan serban yang menutupi wajahnya. Dan baru kusedari, air matanya telah menggenang di kedua kelopak matanya, sembari membentuk aliran sungai kecil. Dengan sigap lelaki itu mendekap tubuh kecilku, serta kedua tangannya erat memeluk diriku. “Nak.., akulah lelaki yang engkau panggil dalam teriakkanmu. Akulah Izzuddin Al-Qossam yang akan bertanggung jawab akan kelangsungan hidupmu. Ikhlaskan ayahmu yang telah syahid menuju surga. Aku akan berkorban apa saja demi demi kehidupanmu, dan demi senyuman anak-anak palestina” serunya perlahan-lahan. Seruan yang mampu membangkitkan semangatku yang telah terkubur dalam kubangan hatiku.
“Nak, maukah engkau menjadi malaikat Allah yang rela berkorban baik dengan jiwa dan raga demi kejayaan agama-Nya?” bisiknya ke telingaku. Aku hanya mengangguk memantapkan diri sembari memabalas dekapannya. Tidak terasa bulir air mata meleleh di ujung pelupuk mataku, membuat aliran sungai kecil yang mengalir, bercucuran membasahi pakaian yang membaluti tubuhku, dan membuaikanku dalam sejenak mimpi masa depanku.
*****
“ Komandan Aslam..!! bertahanlah”, ujar salah seorang pasukkanku sembari membetulkan letak pembaringanku. Ucapan itu telah menyadarkanku dari pingsan yang merenggut pikiranku. Dengan bersudah payah aku berusaha untuk bangkit dari pembaringanku. Namun, aku tak berdaya. Kurasakan tulangku telah remuk seketika. Untunglah usahaku langsung dicegah oleh salah seorang pasukanku yang setia menjagaku.
“Jangan komandan, lukamu cukup parah. Engkau harus banyak beristirahat guna memulihakan tenagamu” terang pasukan itu dengan sedikit cemas.
“Ahmad.., siapakah yang memimpin gerilya saat ini?” tanyaku tertahan.
“Alhamdulillah komandan, yang memimpin gerilya malam ini adalah Al-Baz Al-Sahab karena di sebabkan kelihaian dan kecerdasan strategi perangnya.
“Alhamdulillah, sampaikan salamku buatnya. Kuamanatkan baginya untuk memimpin pasukan setelahku. Nyawaku sebentar lagi akan pergi untuk menghadap-Nya” pesanku dengan perlahan. Kini aku terlarut dalam anganku. Tangisan Ahmad yang mendengarkan pesanku tak ku hiraukan. Biarlah ia dalam kesedihannya. Aku bersyukur di saat ketakutanku akan kehilangan araya dan ibuku. Izzuddin Al-Qossan hadir di hadapanku sebagai mana janjinya padaku. Akhirnya aku terdidik dengan penuh perhatian. Berkat didikan pimpinan jihad Al-Qossam itu, aku mampu memimpin pasukan dalam umurku yang relatif muda.
Aku menjadi komandan perang di saat aku berumur 21 tahun. Dan berkat kemahiranku dalam menyusun strategi perang, membuat badan Inteligent Israel kalang kabut menghadapi kobaran semangat jihadku yang telah berkorban bagaikan kobaran api yang membara.
“ Assadullah At-Tsani”. Demikian Izzuddin Al-Qossam menjuluki kegesitanku dalam berperang. Sering kali aku membuat jengkela pasukan Israel karena kepiawaianku dalam memimpin pasukan. Namun, takdir tetaplah di tangan Allah. Walau bagaimanapun aku berusaha dalam menegakkan panji kibaran keagungan Allah, maut tetap selalu berada di tangan-Nya. Sore tadi di saat aku dan pasukanku berjihad dalam merebut pusat penjagaan senjata Israel di perkampungan Er-Rukad dan di saat ku menolong salah seorang mujahidin, tiba-tiba sebuah timah panas dengan ganas bersarang di pundakku. Aku tak peduli walaupun tubuhku berlumuran darah.
Namun, teriakan asama Allah tetap meluncur di lisanku untuk menyemangati pasukan yang sedang bertarung mempertaruhkan jiwa dan raga. Hiruk pikuk peperangan, debu-debu yang berterbangan, serta bantuan musuh yang berdatangan, tidak mampu menyurutkan semangat jihad pasukanku. Desingan mewarnai senja keagungan Allah.
“Allahu Akbar.., Allahu Akbar..”. teriakku bersamaan melesatnya granat yang bertepatan jatuh tak jauh dari tempatku berdiri, dan tak mampu menerbangkan jiwa ragaku. Sesaat ku pingsan tak sadarkan diri bersamaan dengan menggemanya adzan maghrib. Dan akupun terbangun diatas kain tipis dalam keadaan tak berdaya.
“Ahmad, tolong sampaikan salam maafku buat kaum muslimin seluruhnya” pesanku kepada Ahmad yang tak henti-hentinya mengalirkan bulir air dari pelupuk matanya. Ia hanya mengangguk dan bersedih sembari menggenggam erat tanganku yang mulai dingin, lemah dan terkulai tak berdaya.
“Mengapa kau menangis wahai mujahid islam?, mengapa kau lemahkan dirimu yang perkasa? Tanyaku dengan suara seduh dan tertahan ditenggorokan. Tidakkah sadarkah engkau masih memiliki kesempatan banyak untuk menegakkan syariat islam, saudaraku..?”. Kulihat air matanya semakin membanjiri wajahnya yang tertunduk sembari menghindari pandanganku kepadanya.
“ Aku menangis bukan karena lemah komandan. Aku menangis bukan karena aku tak ingin menegakkan syariat islam. Tapi aku menangis karena aku sedih melihat diriku yang tak mampu untuk berbuat banyak demi mengobati seorang pejuang islam. Aku tidak butuh sebuah kekayaan, aku tak butuh seonggok sanjungan. Aku hanya berharap aku dapat bersama orang-orang yang cinta-Nya kepada Sang Maha Kasih melebihi cintanya kepada makhluk lain. Aku menginginkan agarku dapat senantiasa membantu dan berjuang dijalan-Nya bersama orang-orang yang keluasan hatinya bermuara di satu titik yaitu, Li I’laa’i kalimatillah., berjuang dijalan Allah. Aku tidak ingin ditinggalkan oleh jiwa orang yang selalu berdzikir kepada-Nya. Seperti engkau komandan.
“Saudaraku, jangan kau tinggikan derajatku diatas yang lain. Karena hanya Allahlah yang patut untuk ditinggikan. Bolehlah engkau menginginkanku lebih lama bersamamu juga bersama mujahid lainnya. Namun, perlu kau ketahui. Bahwa rasul sendiri pernah menganjurkan kita agar tidak menuhankannya sebagai rasul. Karena itu akan menyebabkan kepada kemusrikan. “Dan ingatlah wahai kaum muslimin, sesungguhnya Muhammad adalah suatu zat yang tidak kekal, dan sesungguhnya Tuhan Allahlah suatu zat yang abadi dan kekal”, ingatkah engkau perkataan Abu Bakar Shiddiq ini. Jangan kau lemahkan dirimu sebagai mujahid islam. Pecamkanlah dalam dirimu agar kau dapat berbuat lebih melebihiku, juga para saudara-saudara mujahid lainnya. Pastikan dirimu agar selalu membarakan api perjuangan melawan mereka yang telah merenggut tanah kelahiran kita. Aku pun selalu menjadikan pesan ayahku sebagai bara yang menyulut kobaran semangat dalam diriku. Pastinya ku mau engkau dan juga sahabat lainnya berbuat seperti apa yang aku lakukan sebelumnya” Pesanku kepada ahmad yang mulai menegakkan kepalanya.
“Baiklah komandan, saya akan pecamkan pesan komandan itu. Semoga ini adalah bara yang mampu menyulutkan semangat perjuangan diranah yerusalem ini. Dan satu permintaanku kepadamu komandan, bolehkah aku memintanya?
“apa itu ahmad, mudah-mudahan aku dapat menyanggupinya.”
“Aku hanya ingin menitipkan salam kasih kepada baginda rasul,komandan! Aku ingin setemunya kau dengannya, kau dapat membawa salam cintaku kepada kekasih Allah itu. Agar kiranya ku dapat bertemu juga dengannya di surga.” Tampak wajah Ahmad mulai merekah, semburat harapan itu dilontarkannya penuh dengan ketulusan.
“Baiklah saudaraku, insyaAllah akan kusampaikan salammu itu. Namun, perlu kau tahu, aku belum mengetahui kemanakah aku akan ditempatkan nanti. Tapi ku yakin Allah pasti memberikan balasan yang setimpal kepada hamba-hamba-Nya yang syahid. Doakanlah saya agar menutup mata dalam kesyahidan. Semoga kiranya dapat berjumpa dengan kekasih Allah itu sebagaimana yang engkau pesankan. Jagalah masyrakat kita, warga kita palestina dari cengkraman iblis Yahudi itu.” Suaraku semakin lemah dan sejenak mataku mulai terpejam.
Ahmad pun merundukkan kepala. Semakin tak kuasa menahan buncahan sedihnya. Aku merasakan bau harum bau harum surgawi menghinggapi tubuhku. Dan kulihat para bidadari cantik nan jelita siap menyambut ruhku. Sesosok cahaya terang dengan wajah tampan dan harum siap membawa ruhku menuju ke hadirat-Nya.
“Asyhadu an laa ilaaha illa Allah, Wa asyhadu anna Muhammadan rasulullah” kata itu kian menghiasi bibirku. Hanya kata itulah yang terucap dari lisan untuk terakhir kali. Kini kurasakan jiwaku melayang terbang bersama sambutan para bidadari. Ku padangang jasadku dibawah sana. Tersenyum bahagia, bersama semburat jingga Palestina.
Walau pahit menghadang diri
Lambaian aroma syurgawi, elokkan semerbak mewangi
Takkanku elak diri, menghadap halang melintang
Secerca asa masih tersimpan
Mari sama kita berjuang
Wahai mujahid islam.
Izzuddin Al-Qossam..!!!, dimana janjimu pada rakyat palestina..! teriakku dengan pilu menyaksikan tubuh ayahku yang terkapar tak berdaya dengan lumuran darah. “Ayah, jangan tinggalkan aku. Aku tak sanggup hidup tanpamu ayah..” tangisku bercucuran tanpa henti menggenang dan membasahi pipiku. Marah, sedih, dan pilu bercampur satu didalam hati. Ku ingin mengutuk kekejaman Israel yang selalu berdalih demi perdamaian dunia itu.
Keluargaku tewas dibantai badan intelligent Israel yang terselubung dan menuduh keluargaku sebagai keluarga teroris dan aktivitas HAM. Kini otot kakkiku kurasakan lemah, seketika menyaksikan anggota keluargaku yang turut syahid dalam insiden mengenaskan ini. Luka yang menganga dilenganku tidak kuhiraukan, disebabkan kesedihan yang mendalam. Luka yang ditorehkan serpihan bom yang meledak di perbatasan perkampungan kumuh An-Nashr, di saat ku pulang dari pengajian di perkampungan yang sama.
Namun, saat itu kuhanyut dalam kenangan masa lalu. Kurasakan ada seseorang yang memegang lembut pundakku. Dengan ragu-ragu kubalikkan tubuhku dan kuarahkan pandanganku untuk mengetahui siapakah yang berani mengganggu kesedihanku ini. Kuperhatikan dengan seksama seorang lelaki yang berdiri dihadapanku ini. Seorang lelaki yang berjubah hitam dan disertai serban yang melilit di wajahnya, membuat dahiku mengernyit, tak mampu mengenali lelaki berbadan tegap itu. Namun, sinar mata elangnya mampu meneduhkanku serta menentramkan hatiku yang sedang kalut, “man eintah yaa akh..? tanyaku dengan terbata-bata. Tidak sanggup ku menyembunyikan keingintahuanku yang mendalam dan menggilik hati kepada lelaki itu. Ku kepalkan tangan kecilku dan ku eratkan genggamanku bersiap-siap untuk menjaga diri andai kata lelaki yang dihadapanku ini ternyata ingin menghancurkan hidupku. Aku tak gentar menghadapi siapapun yang bermaksud menghina dan menghancurakan agamaku.
“lebih baik syahid memegang bara api agama dari pada hidup berkalung noda”, pesan itulah yang selalu kuterapkan di dalam relung hatiku. Namun, ternyata lelaki yang berwibawa itu seakan tahu akan paranoid yang tumbuh di diriku. Dengan perlahan-lahan, lelaki itu berlutut di hadapanku dan melepaskan lilitan serban yang menutupi wajahnya. Dan baru kusedari, air matanya telah menggenang di kedua kelopak matanya, sembari membentuk aliran sungai kecil. Dengan sigap lelaki itu mendekap tubuh kecilku, serta kedua tangannya erat memeluk diriku. “Nak.., akulah lelaki yang engkau panggil dalam teriakkanmu. Akulah Izzuddin Al-Qossam yang akan bertanggung jawab akan kelangsungan hidupmu. Ikhlaskan ayahmu yang telah syahid menuju surga. Aku akan berkorban apa saja demi demi kehidupanmu, dan demi senyuman anak-anak palestina” serunya perlahan-lahan. Seruan yang mampu membangkitkan semangatku yang telah terkubur dalam kubangan hatiku.
“Nak, maukah engkau menjadi malaikat Allah yang rela berkorban baik dengan jiwa dan raga demi kejayaan agama-Nya?” bisiknya ke telingaku. Aku hanya mengangguk memantapkan diri sembari memabalas dekapannya. Tidak terasa bulir air mata meleleh di ujung pelupuk mataku, membuat aliran sungai kecil yang mengalir, bercucuran membasahi pakaian yang membaluti tubuhku, dan membuaikanku dalam sejenak mimpi masa depanku.
*****
“ Komandan Aslam..!! bertahanlah”, ujar salah seorang pasukkanku sembari membetulkan letak pembaringanku. Ucapan itu telah menyadarkanku dari pingsan yang merenggut pikiranku. Dengan bersudah payah aku berusaha untuk bangkit dari pembaringanku. Namun, aku tak berdaya. Kurasakan tulangku telah remuk seketika. Untunglah usahaku langsung dicegah oleh salah seorang pasukanku yang setia menjagaku.
“Jangan komandan, lukamu cukup parah. Engkau harus banyak beristirahat guna memulihakan tenagamu” terang pasukan itu dengan sedikit cemas.
“Ahmad.., siapakah yang memimpin gerilya saat ini?” tanyaku tertahan.
“Alhamdulillah komandan, yang memimpin gerilya malam ini adalah Al-Baz Al-Sahab karena di sebabkan kelihaian dan kecerdasan strategi perangnya.
“Alhamdulillah, sampaikan salamku buatnya. Kuamanatkan baginya untuk memimpin pasukan setelahku. Nyawaku sebentar lagi akan pergi untuk menghadap-Nya” pesanku dengan perlahan. Kini aku terlarut dalam anganku. Tangisan Ahmad yang mendengarkan pesanku tak ku hiraukan. Biarlah ia dalam kesedihannya. Aku bersyukur di saat ketakutanku akan kehilangan araya dan ibuku. Izzuddin Al-Qossan hadir di hadapanku sebagai mana janjinya padaku. Akhirnya aku terdidik dengan penuh perhatian. Berkat didikan pimpinan jihad Al-Qossam itu, aku mampu memimpin pasukan dalam umurku yang relatif muda.
Aku menjadi komandan perang di saat aku berumur 21 tahun. Dan berkat kemahiranku dalam menyusun strategi perang, membuat badan Inteligent Israel kalang kabut menghadapi kobaran semangat jihadku yang telah berkorban bagaikan kobaran api yang membara.
“ Assadullah At-Tsani”. Demikian Izzuddin Al-Qossam menjuluki kegesitanku dalam berperang. Sering kali aku membuat jengkela pasukan Israel karena kepiawaianku dalam memimpin pasukan. Namun, takdir tetaplah di tangan Allah. Walau bagaimanapun aku berusaha dalam menegakkan panji kibaran keagungan Allah, maut tetap selalu berada di tangan-Nya. Sore tadi di saat aku dan pasukanku berjihad dalam merebut pusat penjagaan senjata Israel di perkampungan Er-Rukad dan di saat ku menolong salah seorang mujahidin, tiba-tiba sebuah timah panas dengan ganas bersarang di pundakku. Aku tak peduli walaupun tubuhku berlumuran darah.
Namun, teriakan asama Allah tetap meluncur di lisanku untuk menyemangati pasukan yang sedang bertarung mempertaruhkan jiwa dan raga. Hiruk pikuk peperangan, debu-debu yang berterbangan, serta bantuan musuh yang berdatangan, tidak mampu menyurutkan semangat jihad pasukanku. Desingan mewarnai senja keagungan Allah.
“Allahu Akbar.., Allahu Akbar..”. teriakku bersamaan melesatnya granat yang bertepatan jatuh tak jauh dari tempatku berdiri, dan tak mampu menerbangkan jiwa ragaku. Sesaat ku pingsan tak sadarkan diri bersamaan dengan menggemanya adzan maghrib. Dan akupun terbangun diatas kain tipis dalam keadaan tak berdaya.
“Ahmad, tolong sampaikan salam maafku buat kaum muslimin seluruhnya” pesanku kepada Ahmad yang tak henti-hentinya mengalirkan bulir air dari pelupuk matanya. Ia hanya mengangguk dan bersedih sembari menggenggam erat tanganku yang mulai dingin, lemah dan terkulai tak berdaya.
“Mengapa kau menangis wahai mujahid islam?, mengapa kau lemahkan dirimu yang perkasa? Tanyaku dengan suara seduh dan tertahan ditenggorokan. Tidakkah sadarkah engkau masih memiliki kesempatan banyak untuk menegakkan syariat islam, saudaraku..?”. Kulihat air matanya semakin membanjiri wajahnya yang tertunduk sembari menghindari pandanganku kepadanya.
“ Aku menangis bukan karena lemah komandan. Aku menangis bukan karena aku tak ingin menegakkan syariat islam. Tapi aku menangis karena aku sedih melihat diriku yang tak mampu untuk berbuat banyak demi mengobati seorang pejuang islam. Aku tidak butuh sebuah kekayaan, aku tak butuh seonggok sanjungan. Aku hanya berharap aku dapat bersama orang-orang yang cinta-Nya kepada Sang Maha Kasih melebihi cintanya kepada makhluk lain. Aku menginginkan agarku dapat senantiasa membantu dan berjuang dijalan-Nya bersama orang-orang yang keluasan hatinya bermuara di satu titik yaitu, Li I’laa’i kalimatillah., berjuang dijalan Allah. Aku tidak ingin ditinggalkan oleh jiwa orang yang selalu berdzikir kepada-Nya. Seperti engkau komandan.
“Saudaraku, jangan kau tinggikan derajatku diatas yang lain. Karena hanya Allahlah yang patut untuk ditinggikan. Bolehlah engkau menginginkanku lebih lama bersamamu juga bersama mujahid lainnya. Namun, perlu kau ketahui. Bahwa rasul sendiri pernah menganjurkan kita agar tidak menuhankannya sebagai rasul. Karena itu akan menyebabkan kepada kemusrikan. “Dan ingatlah wahai kaum muslimin, sesungguhnya Muhammad adalah suatu zat yang tidak kekal, dan sesungguhnya Tuhan Allahlah suatu zat yang abadi dan kekal”, ingatkah engkau perkataan Abu Bakar Shiddiq ini. Jangan kau lemahkan dirimu sebagai mujahid islam. Pecamkanlah dalam dirimu agar kau dapat berbuat lebih melebihiku, juga para saudara-saudara mujahid lainnya. Pastikan dirimu agar selalu membarakan api perjuangan melawan mereka yang telah merenggut tanah kelahiran kita. Aku pun selalu menjadikan pesan ayahku sebagai bara yang menyulut kobaran semangat dalam diriku. Pastinya ku mau engkau dan juga sahabat lainnya berbuat seperti apa yang aku lakukan sebelumnya” Pesanku kepada ahmad yang mulai menegakkan kepalanya.
“Baiklah komandan, saya akan pecamkan pesan komandan itu. Semoga ini adalah bara yang mampu menyulutkan semangat perjuangan diranah yerusalem ini. Dan satu permintaanku kepadamu komandan, bolehkah aku memintanya?
“apa itu ahmad, mudah-mudahan aku dapat menyanggupinya.”
“Aku hanya ingin menitipkan salam kasih kepada baginda rasul,komandan! Aku ingin setemunya kau dengannya, kau dapat membawa salam cintaku kepada kekasih Allah itu. Agar kiranya ku dapat bertemu juga dengannya di surga.” Tampak wajah Ahmad mulai merekah, semburat harapan itu dilontarkannya penuh dengan ketulusan.
“Baiklah saudaraku, insyaAllah akan kusampaikan salammu itu. Namun, perlu kau tahu, aku belum mengetahui kemanakah aku akan ditempatkan nanti. Tapi ku yakin Allah pasti memberikan balasan yang setimpal kepada hamba-hamba-Nya yang syahid. Doakanlah saya agar menutup mata dalam kesyahidan. Semoga kiranya dapat berjumpa dengan kekasih Allah itu sebagaimana yang engkau pesankan. Jagalah masyrakat kita, warga kita palestina dari cengkraman iblis Yahudi itu.” Suaraku semakin lemah dan sejenak mataku mulai terpejam.
Ahmad pun merundukkan kepala. Semakin tak kuasa menahan buncahan sedihnya. Aku merasakan bau harum bau harum surgawi menghinggapi tubuhku. Dan kulihat para bidadari cantik nan jelita siap menyambut ruhku. Sesosok cahaya terang dengan wajah tampan dan harum siap membawa ruhku menuju ke hadirat-Nya.
“Asyhadu an laa ilaaha illa Allah, Wa asyhadu anna Muhammadan rasulullah” kata itu kian menghiasi bibirku. Hanya kata itulah yang terucap dari lisan untuk terakhir kali. Kini kurasakan jiwaku melayang terbang bersama sambutan para bidadari. Ku padangang jasadku dibawah sana. Tersenyum bahagia, bersama semburat jingga Palestina.
This entry was posted
on Senin, 07 Juni 2010
at 02.25
and is filed under
Cerpen,
Refleksi
. You can follow any responses to this entry through the
comments feed
.