biarpun gelisah menggoda
biarpun sesak menyiksa
biarpun sakit mendera
biarpun penat teraba
biarpun sesal bicara
kan kuhadapi
kan kulalui
kan kuarungi
kan kunikmati
kan kuresapi
semoga senantiasa di Ridho'i
::Tersenyum (Arganita widawati)
Allahu akbar….Allahu akbar…Allahu akbar….
Allahu akbar….Walillahilhamd….
Jam menunjukkan pukul 11.4 wib tepat. Tanda bahwa malam akan larut termakan waktu. Menit menyongsong pergantian bulan keberkahan, ramadhan akan segera pergi disambut hari kemenangan.
Yani simak penuh kedamaian suara takbir yang dikumandangkan remaja mesjid dilanggar dekat rumah. Dentuman tabuh yang diarak anak-anak dijalanan kampung masih bergema memecah hiruk pikuk malam dengan pujian kebesaran. Ia tatap rembulan merekah di jendela kaca dari ranjang, senyum penuh kesejukan dihati tersirat diwajahnya yang pucat. Cahaya mata berbinar menyimpan keteguhan hati. Walau rambut berurai urak-urakkan, tak mampu menyembunyikan pesona diwajahnya yang oval. Ia bersyukur masih dipertemukan malam lebaran ini mendengarkan takbir kemenangan.
Ia terpaku diatas pembaringan sambil meratapi penyakitnya. Namun itu tak sanggup memadamkan semangat dakwahnya. Jiwanya teguh berqiyam pada prinsip kebenaran yang diyakininya membawa maslahat bagi diri dan juga orang yang dikasihinya, siapa lagi kalau bukan neneknya yang ketika itu tinggal bersamanya. Ia berharap ada hikmah dibalik kelam cobaan yang dihadapi. Karena mungkin inilah cara Allah SWT mencintai hamba-hambanya yang sabar.
Allahu akbar….Allahu akbar…. Allahu akbar….
Allahu akbar walillahilhamd….
Takbir semakin larut, ia hayati bait lantunan dengan rasa rindu yang mengalir sejuk direlung hati. Ingin rasanya ia merasakan belaian kasih Sang Maha Rahman yang kian membucahkan bulir air mata membasahi pipi, teringat akan upayanya mendakwahkan syria’at agama kepada nenek tercinta. Ia pejamkan matanya yang sayu sembari membuka kembali catatan memori yang masih bercokol dipikiran.
“nek, yani akan berjuang untuk nenek.” Suara hatinya berbisik lembut penuh kedamaian.
*****
1 september 2007
Ini entah kali keberapa aku harus berselisih dengan nenek. Sebenarnya aku tak tega harus membantah nenek, apalagi dengan memandang mata beliau yang kian layu dimakan penyakit pada usianya yang beranjak lanjut.
“kau pikir, uang darimana yang nenek gunakan untuk berobat selama ini yan…?” tanya nenek. Walau pelan, aku tahu nenek sedang gusar karena hari ini aku kembali menyampaikan haramnya riba. Seperti hari-hari yang lalu, aku mengajak nenek untuk tawakkal, tak perlu mencari uang dengan cara yang halal, kendati dengan alasan keterpaksaan. Allah tak mungkin membiarkan hambaNya dalam kesulitan tanpa jalan keluar. Penyakit kalau disabari adalah bagian dari nikmat Allah. Tawakkal bisa menjadi obat.
Tapi, agaknya terlalu dini memahamkan arti tawakkal itu kepada nenek, apalagi mengaitkannya dengan usaha riba yang digeluti beliau.
“kamu tak tahu, yan. Bagaimana susahnya mendapat uang untuk menebus obat yang harga mahal itu. Apa kau pikir uang kiriman bapakmu cukup untuk biaya pengobatan?”
“tapi, Nek.” Kataku berusaha lembut walau kadang ingin juga bersikap lebih keras. “kesulitan bukanlah alasan untuk menghalalkan yang haram.
“jangan bicara halal haram.” Bentak nenek dengan suara serak. “kau masih bau kencur, anak kemaren sore, tidak tahu bagaimana getirnya hidup. Belajarlah dari nenek bagaimana berjuang untuk hidup, sementara nasib selalu tidak berpihak pada orang-orang miskin seperti kita.”
Pelan-pelan ku menyingkir untuk menangis diam-diam dikamarku.
2 September 2007.
Ya Allah, Engkau Maha tahu, telah berusaha ku sampaikan kalam-Mu. Tapi, seperti juga galau kekasih-Mu saat serunya ditolak oleh orang-orang tercinta, cukup Engkaulah zat yang kuasa memberi pelita bagi setiap jiwa.
Hari ini kesekian kalinya aku mengadu dan menyadari bahwa aku tak kuasa sedikitpun mengubah setiap ketetapan-Mu. Aku pun sadar bahwa aku tak akan pernah kuasa untuk mengubah orang-orang yang kusayangi. Kuserahkan pada-Mu Ilahi….!
3 September 2007
Kemarahan nenek berlanjut hingga hari ini. Andai boleh rasanya aku ingin pergi dari rumah ini dan tidak lagi berurusan dengan hal-hal yang dilematis semacam ini. Tapi, mampu apakah aku? Terlebih aku tak tega melihat kondisi nenek.
Nenek menderita penyakit yang luar biasa. Mulai hari ini bahkan bahkan keduan kaki beliau tak bisa digerakkan. Pengapuran tulang telah membuat sendi-sendi kakinya mati, menyusul tangannya, dokter sudah wanti-wanti bahwa pengobatan nenek harus intensif kalau tak ingin kedua tangannya lumpuh.
Dalam keadaan demikian sama saja nenek lumpuh. Kakinya hanya dapat digerakkan dua puluh derajat tak lebih. Itupun selalu diikuti dengan kernyitan beliau menahan sakit.
Dulunya kami tak menyangka nenek menderita kelainan pada tulang semacam ini. Melihat beliau semalam ini tidak ada indikasi sama sekali. Beliau hanya mengeluh kakinya sering terasa ngilu, semula Ayah hanya mengira sakit nenek akibat pengalaman nenek dipenjara enam tahun kerena aktifitasnya semasa orde lama.
Lantas Ayah anak tunggal nenek memintaku tinggal bersama nenek agar bisa merawat beliau. Ayah tak bisa selalu dekat dengan nenek, ayah ditugaskan diluar jawa, pulangnya hanya sekali setahun, biasanya pas liburan sekolah.
Tentu saja aku menyambutnya dengan suka rela. Bagiku nenek adlah seorang nenek luar biasa yang selalu mencintaiku dengan cara yang luar biasa. Perhatiannya padaku kurasakan melebihi orang tuaku sendiri, terlebih setelah ibu mendahuluiku mendapat panggilan Sang Khaliq. Aku adalah cucunya yang pertama sekaligus cucu paling disayang yang tak jarang membuat iri adik-adikku.
Saat aku memutuskan memakai jilbab tiga tahun lalu. Nenek mengirimku satu paket berisi tiga baju kurung. Kendati modelnya belum memenuhi syarat busana muslimah, namun itu tak mengurangi kegembiraan dan rasa haru yang tumbuh dihatiku, aku merombaknya ke tukang jahit agar tampak lebih syar’I, agar dapat memakainya ketika nenek berkunjung karena tak ingin melihat nenek kecewa. Bagaimanapun hadiah-hadiah itu adlah hadiah yang pernah kuterima.
6 September 2007
Esok hari akan memasuki bulan suci ramadhan, bulan penuh barakah dan maghfirah. Mengingat ini, aku ingin memperbaiki segala sikap dan prilaku, menyucikan hati dan pikiran yang selama ini masih di gandrungi kemelut kebimbangan. Terkhusus ku harus menjaga diri dari hal-hal yang syubhat yang mengurangi kualitas puasa.
“Kamu tak makan, yan?” Tanya nenek setelah beranjak malam.
“Nanti yani akan ikut punggahan di masjid Nek bersama masyarakat”. Ketusku
“ini nenek bawakan bawakan sebaskom nasi uduk!”
“oh jangan nek, entar rani menjemputku untuk membantunya membawa punggahan”. Ujarku seraya mempertimbangkan akibat nasi nenek yang kuragukan keberkahannya. Ku tak ingin keberkahan diselimuti harta riba di acara punggahan ini yang itu dapat merambat ke lambung warga dan menjadi darah daging mereka.
Raut wajah nenek sedikit kecewa mendengarnya, namun ku sedikit tak menghiraukan itu karena alasan yang lebih masuk akal dipikiranku. Aku berusaha menyembunyikan sedihku.
Mulai kemarin, jatah uang kuliah yang dikirim ayah sudah habis. Bukan untuk bayar kuliah, tapi untuk membeli kebutuhan sehari-hari menyambut bulan puasa agar tidak ternodai nantinya. Tadi siang ku baru saja meminjam uang pada Rani teman sekuliahku untuk makan di kantin. Ini hal yang jarang kulakukan, biasanya tanpa sepengetahuan nenek, ku sisihkan uang saku dari ayah membeli bahan makanan sendiri dan menyatukannya dengan belanjaan nenek. Dengan cara itu aku bisa memaafkan diriku, bahwa aku tidak membiarkan makanan “haram” masuk kedalam perutku. Ini adalah cara yang dilematis bagiku tentang nilai haram untuk harta nenek, itu nyaris tak bisa kutolerir dengan pendapat lain dimana aku bisa berkelit sedikit dengan alasan makruh, syubhat, ataupun kondisi terpaksa. Posisinya jelas, harta riba haram hukumnya.
Namun bukan hal yang sederhana bagiku untuk mengarahkan itu kepada nenek. Sampai hari ini nenek belum bisa menerima pendapatku, beliau belum juga mau mengakui bahwa pendapatannya selama ini haram. Maka bukan hal yang sederhana pula jika aku makan sesuatu dari unsur-unsur yang haram .
Tapi, aku bisa bayangkan betapa hati nenek akan tersinggung, mungkin malah sakit hati dan nelangsa. Dan kupikir, ini bukanlah tindakan bijak. Karena itu, aku memilih alternatif lain tanpa harus mendua hati. Aku membeli beras dan kusatukan dengan beras nenek, dan kuhitung sendiri dalam hati, kira-kira aku menghabiskannya dalam berapa hari. Aku juga menyelipkan sejumlah uang tertentu untuk membayar listrik . aku tak mau cahaya yang kugunakan belajar dialiri listrik haram, juga untuk aktifitas lainnya.
“kau masih marah pada nenek?” Tanya nenek lagi setelah lama aku tak menjawab. Aku mendongak, kulihat paras wajahnya yang keriput.
“kenapa nenek berpikir begitu? Tanyaku.
“sudah beberapa hari ini kulihat sahurmu ogah-ogahan kadang makan kadang tidak, begitu pula ketika berbuka, entar kamu sakit nak?
“Yani gak marah nek, kenapa harus marah pada nenek”. Nenek menghela napas “ya.., mungkin akibat nenek tidak sependapat denganmu. Mungkin kau kira nenek marah ketika itu”
Kuraih tangan nenek,”Yani gak marah, demi Allah yani gak marah, yani sayang nenek!”
Nenek menggigit bibirnya “Ya, nenek tahu hal itu. Tapi perlu kau ketahui, semua nenek lakukan karena terpaksa. Mungkin itu membuatmu lebih maklum, Toh nenek juga tidak menetapkan bunga tinggi, nenek pun bisa dikatakan menolong mereka yang kesulitan kalau dibanding para rentenir, bunga yang nenek tetapkan masih tetap rendah.”
Aku tak mau berkomentar banyak,hanya kucium tangan nenek dan berkata lemah “Sebaiknya tak usah membicarakan itu, Nek. Kalau membicarakannya selalu akan ada perbedaannya antara saya dan nenek.”
11 September 2007
Buat Ananda tercinta
Suriani pratiwi
Di Tempat-
Assalamualaikuk Wr.Wb.
Semoga ananda masih diberi kesehatan oleh Allah SWT, begitu juga dengan bapak dan dua adikmu disini, senantiasa masih diberi keberkahan nan A’fiyat oleh-Nya.
Anakku tercinta, berat hati ayahanda menuliskan surat ini. Akan tetapi keharusan untuk menyampaikannya kepadamu merupakan sebuah tanggung jawab yang semestinya tidak menjadi beban untuk seorang ayah yang bertanggung jawab dan siap dengan segala resiko yang terjadi.
Anakku yani yang tercinta, Bapak minta maaf belum bisa mengirim uang lagi untuk saat ini disebabkan ada masalah dengan tanah dan bangunan rumah kita. Bapak perlu banyak biaya untuk memperoleh status sah tanah tersebut. Rupanya rumah yang kita beli dulu masih dalam sengketa.
Kamu sabar dulu ya nak!, tiga bulan lagi semuanya beres. Saat itu, bapak bisa kirim uang lagi seperti biasanya. Berhemat-hematlah dulu untuk sementara ini karena bapak akan berusaha menanggulangi semuanya.
Baik-baiklah menjaga nenek, jangan bilang padanya masalah bapak, kuwatir kalau menjadi beban pikiran. Bapak ucapkan selamat berpuasa ya nak, jangan terlalu letih. Ayah akan senantiasa mendoakanmu disini dan kedua adikmu.
Ayahandamu
Ahmad Syakir
Air mataku berderai, tak sanggupku membacanya. Aku tercengang, ini adalah hal yang sangat sulit bagiku untuk kuhadapi sendiri. Tiga bulan? Uang kuliah setengah semester ini sudah habis, aku belum bisa menggantinya, keuntungan dari jual beli busana muslimah yang kutekuni tak seberapa. Utangku juga menumpuk. Bagaimana aku akan makan untuk sahur besok? Disamping itu ayah berjuang keras demi adik-adik yang dititipkan dirumah bibi untuk mengembalikan rumah kami. Apakah pada akhirnya aku harus menyerah dan membiarkan barang haram nenek masuk keperutku.
Yani termenung tak tahu apa yang harus diperbuat. Selama berpuasa ia jarang sahur, apalagi berbuka. Untuk satu kali sahur, dua tiga hari selanjutnya ia tahankan tidak sahur . ia pertahankan kondisinya dengan berfutur hanya memakan kurma dan nasi bungkus yang dibelinya dengan uang pinjaman yang kian menumpuk. Kendati ia masih masih mempertahankan kesucian puasa yang dijalaninya dengan tidak memakan harta riba nenek.
15 september 2007
Enggan sekali kubuka mata. Pusing, semua berputar, kadang-kadang secara serentak. Seluruh cakrawala berubah warna menjadi hijau, kuning, coklat, gelap…dan gelap. Entah kali keberapa aku pingsan. Semua sendiku seperti hilang dan tak bertenaga, tulang-tulangku keluh dan tak kuat menyangga tubuh.
“tipes” kata dokter ini serangan pertama. Orang-orang pernah cerita serangan tipes pertama memang sakitnya luar biasa. Setiap ada makanan yang masuk, lambung sentak lambungku melontarkannya kembali kekerongkongan. Kepala pun bagai dibelah menjadi empat dan masing-masing garis belahan itu berdenyut laksana dicucuk jarum.
Sebuah tangan dingin mengusap keningku lantas turun kepipi dan daguku. Kembali kubuk mataku kali ini kudapati wajah nenek yang duduk diatas kursi rodanya, tepat disamping kepalaku.
“Nek..!
“Kau sudah eling, nak? Nenek mengecup keningku. “Hampir setengah hari kau pingsan”
Kuperhatikan botol infus menggantung didepanku, kata orang kalau cairannya tidak bening berarti memang ada hal yang serius dalam tubuh. Soalnya obat dicampurkan dengan sari makanan dibotol tersebut.
“Mulai sekarang kau tak boleh menyepelehkan makan” Ujar nenek
Aku tersenyum, kupejamkan mataku lemah, aku kembali melihat semua objek biru, hijau, coklat, dan gelap. Masih kudengar teriakan nenek panik. “Dokter…., dokter….!
17 September 2007
“Dari kemaren nggak mau makan” Ujar nenek diluar kamar, kudengar suara Rani, agaknya dia benar-benar datang setelah dua hari tidak menjenguk dan melihatku.
“Dua hari, nek?” Suara Rani khawatir. Wajahnya segera muncul dipintu, salamnya kujawab serta senyuman “Bagaimana kabarmu?. Rani segera mendekat dan memerikasa meja” Kau belum makan, kau tidak puasakan? Tanya Rani panic.
Kugigit bibir, pertanyaannya sepertinya tak harus ku jawab. Seharusnya ia sudah tahu sebabnya kenapa, tapi aku segera menyimpulkan bahwa itu adalah basa-basi wajib saja, supaya suasana mencair.
“Dari kemarin,” Sahut nenek dari kursi rodanya.” Nenek sudah pesan bubur pagi, siang, sore…., tapi tak ada yang disentuh. Tuh, lihat dimeja. Nenek nggak bisa nyuapin, Ran! Coba kau paksa dia makan”.
Aku menggelengkan kepala. Tiba-tiba Rani membuka tasnya. Sebuah bungkusan segera terbuka dihadapanku dengan aroma yang mengundang selera. Amboi…..laparnya….
“Tunggu, tahan nenek. Tangannya menahan tanganku yang hendak meraih martabak telur oelh-oleh dari Rani. “Kau belum boleh maka yang beginian, kau ingin sakitnya kambuh lagi nak?”
Rani agak terkejut. “Oh maaf…kau belum boleh makan martabak, yahh..?” Ia bergegas menarik lagi martabak itu membiarkan selera makan menggantung dilidah. “lebih baik makan buburnya dulu nak,” kata nenek, agaknya beliau mulai kesal.
Tidak ! Aku tidak akan makan. Tak akan kubiarkan laparku dua hari ii berakhir sia-sia. Aku tak boleh menyerah. Tapi…., aku lapar. Lapar…..sekali…., segera aku bangkit. “Nek….
*****
19 september 2007
Pada akhirnya, aku memang harus memilih. Pada akhirnya perwala’an memang harus disempurnakan dengan bara’, itu kosep yang sering kudengar dari Rani dan buku yang kubaca, loyalitas baru akan sempurna jika diikuti dengan penafiaan itu sudah menjadi kunci.
Suatu saat kita memang dituntut untuk “memproklamasikan” prinsip kita, tidak selamanya menjadi budak belaka. Rombongan muhajirin yang melepaskan diri dari makkah da memilih menyambung hidup di Yastrib adalah bagian dari dakwah. Perwalian terhadap Muhammad harus diikuti penafian terhadap orang-orang yang menentang.
Aku tak perlu menunggu nenek bertanya mengapa. Aku akan lebih dulu menjelaskan, sebab itu akan membuat posisiku lebih terbebas dari tekanan, utamanya tekanan perasaan. Kupulih waktu yang tepat. Allah, kuserahkan semuanya pada-Mu.
Ada nenek didepanku, tengah duduk sembari merajut . “Bahwa, saya sangat menyayangi nenek. Bahwa saya sungguh tidak berharap ada bagian dari kita yang berseberangan. Apapun alasannya, perbedaan semacam ini memang membuatku tersekat dari nenek. Namun, pada akhirnya saya harus tahu bahwa cinta itu tidak selalu harus sependapat” nenek berusaha menghindari wajahku.
“Bahkan, Nek! Rasulullah pun menyayangi pamanda Abu thalib kendati tak sepaham delam memandang islam. Bukan dalam arti aku menyamakan nenek dengan Abu Thalib, hanya saja perbedaan semacam ini memang suatu yang jamak dalam interaksi antar manusia. Nenek menghela napas.
“Aku sayang nenek karena itu selama ini Yani sembunyikan semua ini, aku tidak bisa membiarkan hal yang syubhat masuk menjadi darah dagingn ditubuh ini, Nek. Namun aku tak sanggup menyinggung hati nenek. Jika akhirnya nenek harus tahu juga itu adalah bagian rencana Allah saja. Dia menghendaki aku membuatkan keistiqomahan ini pada nenek. Allah menguji cinta Yani Nek, Dia menunjukkan kepadaku dan nenek bahwa, sungguh cinta yani pada nenek begitu besarnya”. Kelopak mata nenek berlinang-linang, bola matanya yang sayup berkaca-kaca tak terasa bulir air matanya menetes membasahi pipinya yang keriput.
“Yani harap nenek memaklumi pendirian Yani ini nek. Yani akan tetap berqiyam pada prinsip ini walau sampai harus menutup mata..” Ketusku melemah dalam sedih.
Nenek mendekatkanku dalam dekapan pelukannya. Tangannya begitu dingin, kudengar degup dadanya yang menderu penuh tangis. Ia mendekatkan kepalanya ketelingaku dan berbisik “ Anakku jangan berkata seperti itu, Nenek akan berusaha memperbaiki kesalahan-kesalahan nenek ,” bisik nenek dengan suaranya yang serak melemah.
Ya Allah tunjukkanlah orang yang paling kucintai ini jalan-Mu yang lurus lagi Engkau ridhoi…Amien…
*****
Allahu akbar…..Allahu akbar…..Allahu akbar….
Allahu akbar walillahilhamdu……
Malam kembali menggemakan kemenangan, takbir kembali menghiasai sepi . Alam bertasbih memuji kebesaran Ilahi dan Yani merasakan kedamaian yang diimpikan dihati. lamban dan pasti, dingin merasuki tubuhnya yang kian lemah seraya menyambut jamahan kasih ilahi.
"Ya Allah, terimalah amal perbuatanku.." desahnya merapuh.
Kasih rembulanpun tersenyum kembali dan bersinar dijendela kamarnya.
يا ايتها النفس المطمئنة ا رجعي الي ربك راضية مرضية ,فاد خلي في عبادي فادخلي جنتي
(Aku dedikasikan untuk sahabat kecilku Devi yang telah tiada, Semoga arwahnya diterima oleh-Nya.Amien...)
This entry was posted
on Jumat, 19 Maret 2010
at 00.09
and is filed under
Cerpen,
renungan
. You can follow any responses to this entry through the
comments feed
.