MENUNTUT ILMU- " ILMU ADALAH IBADAH "  

Posted by Unknown in

"MENUNTUT ILMU ADALAH IBADAH"
Catatan Seorang Thalib'ilm dari Negeri Dua nil.
 By: El-Ahmady

“Jadikanlah hari-harimu bermanfaat dengan bertambahnya ilmu, niscaya kau arungi samudera hikmah. Bertafaqquhlah fid dien sesungguhnya ia sebaik-baik petunjuk kepada ketaatan dan taqwa”  ( Syaikh Muhammad Ibn-Hasan, Kitab  Ta’lim al-Muta’allim Thariqa at-Ta’allum)

Setelah mendengar Muqaddimah  yang disampaikan Syaikh Abu Zaid minggu lalu. Saya kembali menyelami kata demi kata yang mengalir  indah di buku beliau 'Hilyah Thalib ‘Ilm' ini. Pada tahap pertama yang beliau sampaikan, hati saya terhentak dengan kata-kata beliau yang mengibaratkan ilmu sebagai ‘Ibadah’. Ya, ibadah!. Penghambaan. Satu kata yang mengakumulasikan seluruh aktifitas seseorang kepada apa yang ia sembah. Tentunya dalam hal ini, ibadah yang dimaksud ialah kepada Allah SWT (QS.Az-Dzariat, 57 ). Bahkan ia merupakan ibadah yang paling diutamakan. Karena ibadah tanpa ilmu ibarat menimba air dengan gayung berlubang. Tidak mendapatkan segarnya hanya letih yang tersisa.

Ilmu adalah ibadah. sudah barang tentu ibadah hendaklah diniatkan untuk mencari ridho-Nya semata. (QS. Al-Bayyinah 5.)   Lebih tepatnya lagi, kita dituntut untuk IKHLAS berniat. jangan sampai ibadah kita dikelabuhi oleh hal-hal yang merusak bahkan memalingkan kita dari-Nya. Barang siapa hijrah dengan berniat untuk Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya-bernilaikan-untuk Allah dan rasul-Nya (HR. Bukhari No 1 & Muslim 1907).  Niat seseorang akan berpengaruh terhadap apa yang akan dikerjakan setelahnya. Maka niatkanlah menuntut ilmu untuk Allah; berdakwah dijalannya, meneruskan kembali warisan nabi yang terlupa. Agar barakah ilmu dapat diraih, dan tidak sekedar letih belaka.

Seandainya ada sebuah pertanyaan, bagaimana caranya ikhlas dalam menuntut ilmu? Maka di sini Syaikh Utsaimin menjawab hal yang sama : “(1) Niatkanlah semata-mata untuk mendapatkan ridho Allah SWT (Q.S. Muhammad. 19). (2) melestarikan Syari’at-Nya (3) Menjaga Syari’at-Nya dan berusaha untuk melawan semua hal yang merusak bahkan tidak menginginkan Syari’at itu ada.(4) Dan ikutilah sunnah Rasulullah SAW. Dan sebaliknya, kalau menuntut ilmu hanya untuk mencari title  maupun kebanggaan semata; agar dikenal, diakui, dipuji. Maka ketahuilah! jaman akan menenggelamkannya dengan kebanggaan, pujian, dan gelarnya tersebut. Bahkan Rasulullah SAW mengatakan bahwa orang berilmu yang hanya ingin mendapatkan kebanggaan di dunia saja, tidak akan mencium aroma syurga diakhirat kelak [HR. Abu Daud]. Wal ‘Iyadzu billlah

Harus ada kerinduan dan kecintaan kepada ilmu. Keinginan kita kepada ilmu pun harus "benar-benar, jujur", penuh kesadaran. Apakah itu sudah cukup? Ternyata belum. Menukil perkataan Syeikh Nawawi al-Banteni yang menyatakan bahwa: "Jika Anda menuntut ilmu untuk perlombaan tanpa makna; atau ingin dianggap Alim seorang diri karena ilmu ini begitu berharga; berbangga-bangga; mencari muka di hadapan manusia; mencari glamour duniawi; untuk dekat-dekat dengan penguasa; maka Anda sedang menghancurkan agama Anda dan merusak diri Anda sendiri. Anda pun sedang mengundang murka Allah, karena menjual akhirat Anda dengan agama Anda. Dengan begitu, sejatinya Anda sedang rugi dalam perniagaan Anda. Karena yang Anda perjual-belikan adalah agama Anda. Karena glamour duniawi dibanding akhirat tidak ada apa-apanya." (Syeikh Muhammad Nawawi al-Jawi, "Maraqi al-`Ubudiyyah", (Semarang: Karya Toha Putra, 3).

Artinya, menuntut ilmu itu harus dengan qalbu, bukan dengan nafsu. Harus ada kerendahan hati di sana. Bukan sembarang menuntut atau mencari ilmu. Karena niat dalam Islam sangat menentukan hasil akhir dari sebuah pencarian dan perbuatan.

Ilmu adalah ibadah. Tidak diragukan lagi, orang berilmu merupakan tonggaknya suatu kaum. Tanpa seorang Alim, apa jadi suatu daerah. Maka kita dituntut untuk rihlah- keluar- daerah untuk menuntut ilmu sebagaimana jelas firman Allah SAW  yang berbunyi: “Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk bertafaqquh fid dien -memperdalam pengetahuan agama- mereka dan untuk member peringatan kepada kaumnbya apabila mereka telah kembali agar mereka dapat menjadi dirinya” (Q.S At-Taubah : 122)”

Ya, setiap kita hendaklah menjadi perwakilan atas daerah tempat ia berada untuk menuntut ilmu. Keluar menuntut ilmu demi ‘memberi peringatan’ kepada orang-orang yang  dicintai. Tentunya peringatan yang dimaksud ialah demi kemashlahatan umat, dan bukan sebaliknya, membawa mafsadah. Kita yang diberi kesempatan waktu dan materi juga kemampuan untuk menuntut ilmu hendaklah memanfaatkannya sebaik mungkin dan hendaklah mensyukuri apa yang telah didapatkan. Karena disini Allah SWT menginginkan kita suatu kebaikan. “Barang siapa yang diinginkan oleh Allah suatu kebaikan, maka akan ditafaqquhkan fied din- ditetapkan baginya agamanya.”( HR. Bukhari 17 & Muslim 1038).
Namun yang dimaksud dengan tafaqquh di sini, ialah dibukakan baginya jalan untuk memperdalami ilmu syar’i, bukan yang lain. Tanpa mendeskritkan ilmu yang lain; ilmu humaniora, social, atau yang lain. Karena memang ilmu syar’i merupakan azas tegaknya ilmu agama. Ilmu yang bersumber Al-Qur’an dan Sunnah. Ilmu Akhirat yang kelak akan kita bawa tatkala maut menyapa. Yang dengannya kita dituntut untuk mengenali Al-Ushul at-Tsalasah ;Allah, Rasul, Agama. Maka sepantasnya kita mengagunggkan ilmu dan memperdalami secara mendetail unsur-unsur yang ada didalamnya.

Ilmu adalah ibadah. Tiada suatu usaha yang paling indah selain menuntut ilmu. Bahkan ia adalah sebaik-baik perbendaharaan yang paling indah. Ia ringan di bawa, namun besar manfaatnya. Di tengah-tengah orang banyak ia indah, sedangkan dalam kesendirian ia menghibur. Ia hiasan bagi orang kaya dan penolong bagi orang fakir
Sebagian ulama mengatakan Ilmu ibarat shalat sirri-nya seseorang dan ibadahnya qalbu. Sebagaimana perut yang membutuhkan makanan, Ilmu merupakan makanan qalbu dan pikiran. Hendaklah kita menyeimbangkan diri dalam mengkonsumsi apa yang menjadi kebutuhan pokok. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata bahwa "Kebutuhan manusia kepada ilmu lebih penting- dan hendaklah diprioritaskan- dari pada kebutuhan makan dan minum". Maka hendaklah kita memperjuangkan sepenuh hati demi memenuhi kebutuhan pokok itu kalau memang diri kita ingin mencapai suatu kemuliaan.

Kita dianjurkan menuntut ilmu sebagai Jihad fi sabillillah. Ini sejalur dengan hadis nabi SAW yang mengatakan : "Barang siapa yang keluar- dari suatu daerah tempat ia berada- untuk menuntut ilmu. Maka ia fi sabilillah- selama masa itu- hingga ia kembali pulang. (HR. Tarmidzi). Artinya, alasan kita meninggalkan kampung halaman adalah karena kita cinta ilmu. Seorang pencinta ilmu ini lah yang benar-benar rela dan berani meninggalkan keluarga demi ilmu yang mulia dan sangat berharga. Bahkan, sang kekasihpun akan dia tinggalkan demi ilmu. Karena yang kekal menemaninya nanti adalah ilmunya, bukan kekasihnya. Lihat lah apa yang dikatakan oleh Ibn Qayyim al-Jauziyyah dalam bukunya "Raudhat al-Muhibbin" (Taman Para Pecinta). Dia menyatakan, "Sungguh, para pecinta ilmu itu sangat rindu dan sangat mabuk kepayang kepada ilmu. Lebih dari kerinduan dan mabuk kepayangnya kepada kekasihnya sendiri. Dan kebanyakan mereka tidak peduli dengan sosok manusia yang sangat ganteng (cantik) sekalipun." Dia pun menambahkan, "Sekiranya ilmu itu digambarkan dalam bentuk manusia. Niscaya dia akan lebih indah dan cantik dari matahari dan bulan."

Tapi, sekali lagi, perasaan itu hanya dimiliki oleh para perindu dan pecinta ilmu. Jika dalam qalbu kita tidak ada sedikitpun rasa ini, jangan harap kita akan mengejar ilmu. Tak usah mengejar, rasa ingin tahu akan sesuatu pun tidak akan pernah lahir dari qalbu kita yang gersang dari rasa ini. Karena orang yang cinta kepada sesuatu, dia akan banyak menyebutkan. Selain itu, dia akan cari dimana dan kemanapun dia pergi. Itu semua karena rasa cinta dan rindu yang bersangatan terhadap ilmu. Maka, rasa letih tak terasa, rasa capek tak dihiraukan. Semua demi ilmu, ilmu, dan ilmu. Niatkanlah! bahwa semua usaha itu tidak lain hanya untuk mencari keridhohan-Nya. Berharap kita termasuk hamba-hambanya yang kelak mencium aroma syurga serta menjadi ahli didalamnya. Semoga! [El-Ahmady]

Khartoum, Sudan
Jum'at,16/6/1432 H

[MUQODDIMAH] "PERHIASAN BAGI PENUNTUT ILMU"  

Posted by Unknown in , ,

PERHIASAN BAGI PENUNTUT ILMU
Catatan Seorang Thalib'ilm dari Negeri Dua nil.
 By: El-Ahmady

Dengan menyebut Asma-Mu Ya Allah kuawali jemari kasarku mengetik huruf demi huruf menjadi rangkaian kata. Menuliskannya demi menulusuri kembali hikmah yang terselip dari hati yang mulai buta ibrah. Semoga dapat tercerahkan walau harus kesekian kalinya terjatuh dalam lembah nista.

Saudaraku, insan sejati. Lama tidak menerbitkan sebuah tulisan untukmu. Membuat jari-jariku lama tidak merasakan nikmatnya suara tuts keybord yang berdetak. Banyaknya kesibukan serta tiadanya motivasi diri yang kuat membuat diri kerap terkalahkan oleh aktifitas yang berjalan hari demi hari. Langkah terasa hampa. Target tanpa perencanaan menghimpit pikiran untuk segera melakukan sebuah tindakan. Namun kerap kali tidak merasakan bekas dari apa yang diperbuat. Rasa rindu untuk berbincang denganmu lewat karya, serta berdiskusi lewat tulisan, membuat langkahku mencari hikmah di bumi dua nil ini bangkit kembali agar mengenyahkan semua rasa putus asa yang kerap datang. Tentunya dengan mempersembahkan sebuah karya.

Pada kesempataan ini, Aku ingin mengajakmu menyelami sebuah karya besar Ulama Mu’ashir jaman ini. Buku yang sedang Aku baca dan ingin rasanya berbagi ilmu atas apa yang Aku dapatkan. Melihat banyaknya manfaat yang terkandung di dalamnya serta merupakan tuntunan wajib bagi kita yang ingin meraih ilmu- yang bukan sekedar lintasan atau gelar semata bagi ahlinya. Ilmu apa saja. Tentunya yang membimbing ahlinya kepada suatu mashalat besar untuk umat. Disamping Aku ingin bermuraja’ah kembali demi mengingat apa yang sudah Aku pahami dari pesan yang disampaikan.

Buku berjudul “Hilyatu Tholib-ilm (Perhiasan Bagi Para Penuntut Ilmu)” Karya Syaikh Bakr ibn ‘Abdulllah Abu Zaid yang di syarh -jelaskan- oleh Syaikh Allamah Muhammad Ibn Sholeh al-Ustaimin ini membuka cakrawala pikiranku untuk mendalami serta mengamalkan tuntunan-tuntunan yang termaktub didalamnya. Serta membimbingku agar senantiasa mematuhi rambu-rambu agar selamat menuju stasiun ilmu. Tentu bukan hanya berlaku pada diriku, tetapi juga kita yang ingin mendapatkan barakah ‘ilmu dari Sang Empunya ilmu; Allah SWT, para nabi, serta ulama yang menjadi warisan setelahnya.

Maka bukan suatu hal yang mudah bagi kita dalam mengemban amanah ini, karena kini bagaikan mutiara yang sudah kehilangan kilaunya. Satu per satu Sang pewaris ilmu suci ini telah kehilangan ahlinya, dan niscaya suatu hari kelak ia akan tiada. Maka kalau sudah demikian halnya, tinggalah para awwamin yang meraba serta merangkak mencari kilau petunjuk di gelap dasar samudra. Maka benarlah Sabda Rasululllah SAW yang telah memprediksi kenyataan yang kini dilanda umat saat ini, bahwa sedikit demi sedikit kita telah kehilangan mereka pada Pewaris Nabi.

Dari ‘Amr ibn ‘Aash berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya Allah tidak akan mengambil ilmu- dari seorang hamba- dengan cara paksa, akan tetapi mengambilnya dengan mengangkat para ulama. Sehingga apabila tidak ada lagi seorang Alim, tinggalah para pemimpin yang bodoh, yang apabila ditanya, merekapun berfatwa tanpa ilmu, mereka itulah yang sesat lagi menyesatkan. (HR: Muslim No 1858)

Dari ucapan Rasulullah SAW ini telah jelas bagi kita. Bahwa tugas utama yang seharusnya diprioritaskan untuk saat ini ialah menjaga serta mewariskan kembali ilmu-ilmu tersebut. Tentunya ilmu yang dimaksud ialah ilmu yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah. Ilmu syar’i lebih tepatnya, yang merupakan pondasi umat dalam mempertahankan eksistensi Din al-haq, Islam. Siapa lagi yang akan membentengi agama suci ini kalau bukan kita sebagai generasi penerus. Maka dengan buku yang kini berada ditangan saya, izinkanlah saya berbagi ilmu sebagai wadah dakwah yang mudah-mudahan dengannya bermanfaat bagi para pembaca, terkhusus yang menjadi target utama ialah para generasi muda Islam.

Saudaraku, insan sejati. Dalam muqaddimah Syaikh Utsaimin di dalam buku Syarh Hilyah ini, beliau menuturkan bahwa selayaknya bagi setiap thalib ‘ilm apabila telah mengetahui keistimewaan suatu ilmu atau ibadah hendaklah mengamalkannya. Apabila Sang empunya ilmu belum mengamalkan apa yang ia dapatkan sama halnya dengan mereka yang awam-belum mengetahui hakikat sesuatu. Bahkan orang yang awam itu keadaannya “lebih baik” darinya. Karena meninggalkan suatu keistimewaan yang telah tahu akan hakikatnya, namun dengan sengaja meninggalkan bahkan menyembunyikannya dari orang lain, sama halnya orang yang tahu jurang didepannya namun tetap berjalan bahkan membiarkan orang lain jatuh bersamanya. Bertentangan dengan orang awam yang benar-benar belum mengetahui hakikat kebenaran. Bisa jadi ia lebih baik tatkala mengetahui kebenaran itu.

Aku juga mencoba menterjemahkan muqaddimah yang disampaikan oleh Syaikh Bakr ibn ‘Abdullah dalam syarh ini, selaku penulis buku ‘Hilyah Tholib ‘ilm’. Semoga apa yang kututurkan ini, tidak mengurangi ‘bobot’ pesan yang beliau sampaikan. Cobalah untuk meresapi kandungan apa yang beliau tuturkan dengan segenap jiwa. Agar dapat masuk dalam ruang hikmahnya.

-Bismillahirrahmanirrahim-
Aku persembahkan petunjuk dalam kitab ‘Hilyah’ ini tahun 1418 H kepada segenap umat muslim-dan kepunyaan-Nyalah segala pujian- agar senantiasa membangkitkan motivasi umat menuju gerbang ilmu, yang dengannya bersinarlah sunnah Nabi Muhammad SAW. Semoga memotivasi dan memberikan manfaat bagi generasi umat yang senantiasa bersungguh-sungguh, mengalirkan darah ‘pembaharuan’ dalam hidupnya.

Faktanya kini kebanyakan dari generasi muda kita mengeluhkan kurangnya kekonsistenan dalam mengemban ilmu yang mereka dapat serta berat untuk menjaganya. Mereka haus ilmu, serta memiliki hasrat untuk mencari dan mengumpulkan. Mereka memiliki perhatian lebih terhadap ilmu, dan kerap tenggelam dalam suatu permasalahan rumit, demi meraih kemenangan bagi umat muslim. Maha Suci Allah yang menghidup-matikan hati…

Namun disamping niat yang suci ini hendaklah memberikan maslahat secara kaffah kepada umat, serta berhati-hati agar tidak berlebihan dalam meluapkan hasrat yang dimiliki. Serta tidak tergelincir dalam perang pemikiran, kesepakatan dengan kelompok-kelompok yang notabene keabsahan serta tujuannya selama masa pencarian jati diri.


Aku padakan dengan tiga paragraf diatas, sebagai wacana yang ingin dibahas dalam tulisan kali ini. Cukup sulit untuk menterjemahkan tiga paragraf diatas, sampai harus mencari rujukan kamus Al-Ashri. Namun Aku berusaha keras untuk tetap menterjemahkannya, berharap dengan itu para pembaca jua dapat memahami pesan yang beliau sampaikan. Yakni dengan apa yang terjadi dan sedang maraknya bergejolak di tubuh umat saat ini. Dengan memahami pesan yang beliau sampaikan di awal tulisannya, Aku memahami kerisauan beliau dengan apa yang terjadi pada Generasi Muda dan Generasi Penerus umat islam. Beliau jadikan kedua target ini di awal kata sebagai tanda kecintaan beliau kepada umat, dengan memohon segenap kekuatan kepada-Nya agar senantiasa memberikan kekuatan dan keistiqomahan berdakwah di jalan-Nya.

Lihatlah kembali apa yang beliau sampaikan!

Pada paragraf pertama, didapati bahwa apa yang beliau targetkan bukanlah untuk menciptakan generasi penerus yang intektual dalam hal duniawi. Namun jauh daripada itu, beliau dahulukan perkataanya dengan membangkitkan semangat umat agar kembali kepada dakwah yang hakiki, yakni dengan kembali kepada Sunnah Nabi yang merupakan tolak ukur bersinarnya Islam. Menjadi Sang Mujaddid- Sang Pembaru- yang menghidupkan kembali sunnah-sunnah Nabi yang mulai terlupakan. Tentunya kita dituntut untuk mengetahui sumber-sumber ilmu dasar agama kalau ingin benar-benar membangun kembali islam yang pernah berjaya.

Tanpa bermaksud mengecilkan usaha kita selama ini, yang mungkin dengan berbagai macam bentuknya berusaha untuk melahirkan kembali dakwah islam. Namun pastinya setiap pekerjaan ada benar-salahnya, nilai positif-negatifnya. Perlu adanya perbaikan disetiap lininya.

Aku kerap bertanya kepada diri, tentang apa yang selama ini Aku lakukan. Sudah pantaskah Aku untuk berdakwah? Apakah dakwahku sudah dibarengi dengan ilmu dasar agama yang mumpuni? Sudahkan Aku bersungguh-sungguh mencari sumber-sumber ilmu agama itu? Benarkah apa yang selama ini kulakukan, atau sekedar ‘taklid buta’ sebagai warisan adat istiadat? Sukseskah dakwah yang selama ini kuusahahkan? Mampukan Aku menjaga niat dakwah tanpa harus menjadikannya profesi mencari materi?

Berbagai pertanyaan diatas Kulontarkan dari lubuk hati yang terdalam, dalam ranah muhasabah untuk diri sendiri. Mungkin bisa juga untukmu. Kamu dapat menulis deretan pertanyaan panjang untuk dirimu. Sudah sejauh manakah usaha yang Kamu lakukan untuk agama yang suci ini?!

Di sini Aku hanya ingin Kita mengetahui betapa ilmu Syari’at yang selama ini didengungkan amatlah penting demi menjaga warisan Nabi yang mulai luput dari waktu. Betapa diri ini masih harus berbenah dari segala kekurangan dan ketertinggalan dalam usaha membangun kembali ‘Alam Islami’ yang pernah berjaya. Mampukah kita seperti para Khulafa’ur Rasyidin, para Sahabat, tabi’in, tabi’ tabi’in yang amanah dalam melahirkan generasi umat yang telah menggoreskan tinta emas sejarah? Mampukah kita membangun khilafah islam yang pernah berjaya?

Pada paragraph kedua, Syaikh ingin menyadarkan kita kepada fakta yang sedang dialami umat . yakni dengan kerisauan para Pemuda dalam mengemban amanah. Karena beliau melihat, mayoritas pemuda saat ini lebih cenderung tenggelam dalam hal-hal sepele yang bukan pada konteksnya. Waktu sia-sia dibuang untuk kenikmatan nafsu belaka. Banyaknya ajang-ajang mencari bakat yang hanya mementingkan profesi dan materi semata. Menyamarkan pandangan Generasi umat kepada suatu hal yang bukan memotivasi diri untuk menegakkan syari’at agama. Gejolak kepemimpinan yang terjadi diberbagai Negara islam yang enggan akan pemimpinnya, diakibatkan kurangnya loyalitas dan kredebilitas terhadap warga. Disamping itu berita yang berkembang- media barat- semakin menyudutkan islam kepada kurang tepatnya Syari’at- Hukum Allah- dalam menegakkan kepemerintahan yang loyal terhadap umat. Wal ‘iyadzhu billah…


Sungguh, Aku sendiri menyadari betapa Aku juga demikian risaunya mengemban amanah suci ini. Bingung harus memulai darimana melaksanakan tugas, sebagai warisan Para Nabi untuk umat yang dikasihi. Dalam hal ini, Aku berusaha untuk senantiasa belajar banyak melihat kondisi yang mulai terjadi dan berkembang. Baik itu melalui berita, maupun kenyataan yang Aku hadapi pada kehidupan sehari-hari. Aku mulai resah, melihat rumitnya problematika yang harus Aku hadapi kedepan. Antara mengedepankan dakwah kepada umat, atau perbaikan diri dengan profesi yang memadai. Keduanya sama pentingnya. Yang pastinya keduanya akan lebih baik jikalau dilaksanakan berbarengan, tapi apakah hal itu mungkin terjadi? ya, mungkin saja. Aku masih optimis akan hal itu. Aku berharap Kamu juga demikian halnya, berdakwah lewat jalur yang tepat tanpa mengenyampingkan urusan duniawi. Tentunya tidak asal jadi.

Dilain sisi realita kehidupan sehari-hari yang dijalani dihadapkan kepada kurangnya kekonsistenan diri terhadap tujuan yang ditargetkan. Munculnya ikhtilaf nafsiyah sering mengganggu pikiran untuk segera bertindak. Sehingga timbulah pembicaraan-pembicaraan kecil dibelakang panggung, yang terkadang membuat diri grogi . maka kalau sudah begini hanya renungan panjang yang menjadi makanan pikiran sehari-hari, tanpa adanya maklumat ilmu yang didapatkan. Karena hal ini menyebabkan tubuh menjadi letih, pikiran buntu untuk mengeluarkan ide-ide baru. Banyak keinginan menggebu, namun hanya bualan lalu tatkala belum mampu menguasai diri. Begitulah sekilas realita yang Aku hadapi saat ini. Dan dengan menuliskannya, Aku berharap ini dapat menjadi jalan keluar demi menciptakan suasana tenang hari-hari yang akan datang.

Dengan berkaca dari diriku, Aku bermaksud agar Kamu juga demikian. Yakni mencari jalan keluar yang menjadi gendala bagi Kamu untuk dihadapi. Tanpa harus tenggelam dalam lamunan panjang yang hanya menguras waktu sia-sia. Bukankah seorang muslim merupakan kaca bagi saudaranya semuslim? Maka renungilah, Saudaraku!.

Pada paragraf terakhir, Syaikh seakan mengarahkan kita kepada suatu petunjuk yang hendaknya kita laksanakan segera. Yakni berpegang teguh kepada prinsip, namun mengedepankan maslahat kepada umat secara kaffah. Apa maksudnya? Bukankah ini sama halnya dengan egois? Hmm, sepertinya kurang tepat dikatakan egois. Ketegasan, lebih tepatnya. Tentunya yang telah dilandasi ilmu dalam bermu’amalah. Serta independent dalam berpikir. Tegas dalam memproklamirkan diri dan keputusan yang benar. Jangan sampai ta’ashub – fanatik- terhadap suatu golongan. Jangan pula terlalu bebas berpikir- liberal, sehingga terlalu mudah mempersepsikan suatu hal yang sacral untuk dibahas. Menyandng label moderat untuk hal-hal yang tauqifiyyah- hukum yang qath’i, yang justru membuka gerbang kemaksiatan bagi mereka yang tidak ingin berjihad di jalan-Nya dan ingin sesuai hawa nafsunya belaka..Kita harus banyak menela’ah, serta mengkaji hal-hal yang belum kita ketahui. Kita pula harus care tatkala sudah menerima informasi. Jangan sempat termakan omongan. Perlu adanya cek and ricek-penjelasan-yang benar-benar tsiqah.

Dalam peribahasa arab mengatakan: “Janganlah kamu bersikap lemah sehingga mudah diperas-oleh orang lain. Jangan pula bersikap keras sehingga kamu dipatahkan”.

Tentunya tidak lari dari konteks ‘mencari ilmu’. Aku yakin dengan petunjuk ini, kita akan menjadi Generasi Penerus yang mandiri dan memiliki kredebilas Penuntut ilmu yang membawa panji agama menuju pembaharuan dan semangat kelompok. Kelompok apa? Tentunya kelompok yang selama ini disebut-sebut nabi sebagai Ahlusunnah wal Jama’ah, bukan yang lain. Jangan sampai kita terjerumus kepada kelompok-kelompok tertentu yang belum jelas keabsahan dan tujuannya. Kita harus teliti, cermat memilah serta tepat memilih.

Nah, begitu pula kita! Kita harus mewaspadai diri dari hal-hal yang merusak pikiran dengan masuknya kepada firqah-firqah tertentu. Sudahkah kita memiliki dasar iman yang kuat atau sebaliknya.

Dari Abu Amir Abdullah bin Luhai, dari Mu'awiyah bin Abi Sufyan, Bahwa Rasulullah SAW bersabda:…. dan sesungguhnya umat ini akan terpecah menjadi 73 (tujuh puluh tiga) golongan. Adapun yang tujuh puluh dua akan masuk neraka dan satu golongan akan masuk surga, yaitu "Al-Jama'ah". (HR: Tarmidzi, no 4597)

Tahukah Anda kisah orang-orang khawarij? Merekalah para generasi terbaik dimasanya. Dalam diri mereka tertanam keimanan serta kecintaan tinggi demi kemaslahatan umat yang tidak dimiliki oleh selain mereka. Namun karena kecintaan yang berlebihan, mereka memiliki persepsi sendiri dalam mengkafirkan kaum muslim dan para khalifah dengan sekehendaknya. Mereka secara lantang mengkafirkan para khalifah, serta pemaksiat yang melakukan dosa besar. Sehingga dianggap keluar dari konsep islam dan Ahlusunnah wal Jama’ah yang masih memberikan kesempatan bertaubat bagi para pelaku dosa baik besar-kecilnya, padahal mereka sangat mencintai islam. Bagaimana hal itu bisa terjadi? Itulah gunanya menela’ah dan mengkaji. Dikarenakan kecintaan yang berlebihan, mereka menggunakan hawa nafsunya menimbang kadar keimanan diri seseorang. Tidak pula dikarenakan hal itu, lantas kita tidak mencintai umat ini. Bahkan kita dianjurkan agar senantiasa saling bernasehat dan berjihad di jalan-Nya demi menegakkan Singa kini sedang lalai dengan tidurnya.

Saudaraku, Insan sejati. Harus kita sedari betapa kita telah kehilangan jati diri. Jati diri umat yang mulai terkikis oleh perkembangan jaman yang hedonis. Oleh karenanya dengan artikel singkat ini, semoga dapat mencerahkan. Dan kembali memotivasi diri untuk senantiasa belajar dan mencari hakikat agama suci ini dengan memperdalami Al-Qur’an dan risalah para nabi. Berharap kita dapat disatukan dalam firqah yang selamat itu. Ahlusunnah wal jam’ah. Semoga!. [El-Ahmady]

Khartoum, Sudan.
Selasa,10/05/11