BINTANG KESETIAAN  

Posted by Unknown in

Malam itu Mahmud duduk termenung menatap langit, bintang-bintang yang bertaburan seakan permata malam yang senyap, yang kian menghiasi pesona malam, tuk sekedar bertandang menemaninya dalam kesendirian. Tak kalah suara jangkrik menjadi melodi yang berpadu dan menyatu mengisahkan sandiwara hidup yang penuh dengan teka-teki yang ingin ia telusuri.
Tangan kanannya menopang dagu dan tangan kirinya menopang siku kanan. Melihat raut wajah dan gayanya saat ini, setiap yang melihatnya pasti dapat menerka, lelaki kurus dengan berahang petak itu sedang berpikiir serius atau sedang malamun menatap bulan dan bintang yang sesekali di tutupi kelam awan.
Belakangan ini Mahmud memang sedang memikirkan sesuatu yang terasa mengganjal dihatinya. Sesuatu yang terkadang membuatnya tertegun lama dan hanyut dengan lamunan panjang, seakan misteri yang tak dapat ia temukan jawaban atas lintasan-lintasan hatinya yang sangat mengganggu. Sampai –sampai tidurnya pun mulai terasa tidak nyaman belakangan ini.
Zulya, ya itulah nama wanita yang mengganggu Mahmud. Wanita berparas keindoan, cantik lagi jelita, yang telah tiga bulan ia nikahi, wanita yang menjadi impian seluruh lelaki lajang dikampung ini. Bahkan ada yang sudah memiliki isteri merasa menyesal lantas sempat berpikir untuk menceraikan isterinya, tatkala melihat Zulya atau setidaknya menyesal mengapa baru sekarang melihat paras wanita jelita ini. Setelah mereka menikah dengan wanita lain yang tentunya tak secantik Zulya.
Zulya dan kakeknya, Kiai Badrun, memang baru saja pindah dari kampungnya Pariaman beberapa tahun ini dan kini tinggal di kampung Perlanaan. Sebelumnya mereka bermukim dirumah isteri Kiai Badrun, seminggu setelah meninggalnya isterinya, yaitu tatkala gempa dahsyat meluluh lantakkan seluruh isi rumahnya juga kampung halamannya, terlebih isterinya yang saat itu sedang memasak didapur lantas tak sempat keluar melarikan diri. Pastinya Kiai Badrun tak ingin termakan waktu dengan kesedihan yang mereka alami, ia pun berinisiatif pindah kekampung itu. Begitu kira-kira sejarah singkat Kiai Badrun dengan cucunya yang jelita ini.
Maka tak heran, tatkala orang-orang tahu bahwa Mahmud mendapatkan Zulya, komentar bernada protes bermunculan dari bibir kaum lelaki. Jelas mereka tidak rela, Zulya yang begitu jelita dinikahi oleh lelaki kurus, pendek, berahang petak, dan berwajah pas-pasan seperti Mahmud. Ibarat dalam dunia pewayangan sosok petruk yang ingin menyunting Dewi Sinta. Benar-benar mengusik keadilan dan pemandangan dan tidak pantas, kira-kira demikian penilaian para lelaki dikampung itu.
Namun, Mahmud dengan penuh kesyukuran tetap bersih tegang ,mengarungi bahtera barunya bersama Zulya yang juga terlihat bahagia. Ia hanya berpikir waktu itu hanyalah bahwa Allah itu Maha Adil. Ia yang sejak kecil telah yatim piatu dan selalu didera penderitaan, tak pernah mengeluh atau menyesali nasibnya. Sangat wajar jika kini Allah memberinya sebagian karuniaNya sebagai imbalan atas kesabaran dan keikhlasannya. Begitu ia beranggapan.
Tapi, kebahagiaan itu tidak lama dinikmati Mahmud. Setelah tiga bulan menikah, ia mulai dihantui oleh perasaan gelisah. Ia mulai berpikir ada yang ganjil antara ia dan Zulya. Ya ia hanyalah seorang pemuda dengan bentuk fisik yang jauh dari menawan, ia juga hanya salah seorang anak angkat Haji Slamet, imam di kampung itu.
Adapun Zulya, ia adalah gadis yang secara fisik sangat mempesona. Meski gadis itu selalu menutup tubuhnya dengan baju panjang dan kerudung rapat, tetap saja mengundang lirikan kekaguman dari kaum lelaki yang melihatnya. Wajar jika Kiai Badrun selalu melarang cucunya itu bepergian sendiri, selain mengundang fitnah juga menjaga marwah seorang wanita. Demikian Kiai tersebut menasihatinya.
Dengan perbedaan yang begitu mencolok, bagaimana sesosok Mahmud yang punguk mendapatkan sosok rembulan yang mempesona seperti Zulya. Dari sisi Mahmud, jelas ia sangat bahagia mendapatkan sosok wanita jelita yang diidam-idamkan kaum lelaki juga sholehah. Tapi dari sisi Zulya ? tidakkah ia justru tersiksa seperti yang dibayangkan orang-orang kampung. Jangan-jangan Zulya dipaksa oleh Kiai Badrun untuk menerima lamarannya waktu itu. Sebab Kiai Badrun sangat menyayanginya dan Mahmud pun menganggap lelaki tua itu seperti kakeknya sendiri.
Mahmud memang sering berkunjung kerumah Kiai Badrun untuk belajar kitab kuning atau sekadar berbincang-bincang tentang agama, yang tidak sempat ia dapatkan selama masa didiknya.
Tapi sungguh, waktu itu ia tak pernah berniat mendekati Zulya. Ia sadar, Zulya bukanlah gadis yang diciptakan untuk menjadi pendampingnya kelak. Maka, ia pun selalu berpaling tiap kali bertemu gadis itu, takut hatinya terbuai setan nafsu melihat senyum Zulya. Dan lebih takut lagi, jika ia jadi berkhayal memiliki pendamping sepertinya.
Tapi takdir ternyata berkata lain. Zulya kemudian benar-benar menjelma di sisinya, menjadi permaisuri di kerajaan hatinya. Dan, ia pun tiba-tiba seperti menjadi seorang pangeran yang berbahagia. Tak terhitung berapa kali ia melakukan sujud syukur atas anugerah itu, anugerah yang tiga bulan kemudian malah membuatnya berubah menjadi seorang pelamun.
Ya, kini ia lebih sering melamun. Tak hanya di beranda rumahnya yang sederhana, tapi juga ketika mengajar anak-anak mengaji di masjid. Bahkan, Haji Slamet sempat menegur saat melihat ia melamun waktu menunggui toko kue milik ayah angkatnya itu. Dan, orang-orang mulai curiga melihat perubahan Mahmud belakangan ini. Bisik-bisik pun terdengar dari mulut ke mulut. Apa lagi kalau bukan mengenai isu keretakan rumah tangganya. Ah, suara-suara sumbang itu kian meresahkan hati Mahmud.
Rasanya ia semakin sadar bahwa ujian berupa kenikmatan jauh lebih sulit menjalaninya di banding ujian penderitaan. Wajar jika banyak orang yang tergelincir di dalamnya. Dan kini ia sendiri mengalaminya. Telah bertahun-tahun hidup susah, tak sekalipun ia mengeluh. Tapi, ketika kini ia mendapat karunia berupa isteri yang sangat cantik, tiga bulan saja telah membuatnya mengeluh lahir bathin.
*************
“Bang, coba ke sini sebentar !” panggil Zulya malam itu. Wanita jelita itu sedang duduk di beranda rumah, menikmati indahnya malam. Perlahan, Mahmud mendekat dan duduk di samping isterinya dengan mulut terbungkam.
“Belakangan ini, Abang sudah jarang menemani Zulya duduk menatap bintang. Dulu, Abang bilang, kemana pun Putri Sinta pergi, Pangeran Rahwana akan selalu menemaninya. Iya, kan? Lalu, kenapa sekarang sang pangeran mulai jarang menemani sang putri? Apakah Abang sudah tak suka bintang?”
Mahmud masih diam tak menjawab. “Ya, Tuhan, andai saja Kau mau mengubah hamba menjadi seorang pangeran tampan untuk beberapa detik saja, kebahagiaan ini pasti bisa hamba nikmati”, batinnya merintih.
“Hei, Abang kenapa? Apakah Abang sakit?” Tanya Zulya cemas. Direngkuhnya lengan suaminya penuh perhatian. Mahmud pun kian membisu.
“Sekarang, coba Abang lihat bintang yang di timur itu! Indah sekali, bukan? Cahayanya lebih gemerlap dibanding bintang yang lain. Ia seperti kebanggaan langit terhadap bumi.” Zulya menunjuk sebuah bintang dengan jarinya yang lentik.
Mahmud menelan ludah
“Zulya ingin bintang itu jadi milik Zulya seorang Bang. Dan Zulya yakin, jika kelak Zulya masuk surga Allah pasti akan memberikan bintang itu untuk Zulya.”
Mahmud masih diam seribu bahasa. Bahkan, untuk menatap wajah Zulya yang menjulang anggun di sampingnya, ia pun merasa berat. Ah, mengapa baru sadar bahwa pernikahan ini membuatnya terlihat tolol dan tak berharga? Mengapa waktu Kiai Badrun meyakinkannya tiga bulan yang lalu, ia tak sanggup menolaknya? Ia malah merasa begitu tersanjung dan seakan terbang ke awan.” Dasar bodoh! Tak tahu diri!” Kini, ia memaki dirinya sendiri.
“Abang! Kenapa diam terus?” suara Zulya merajuk.
“Abang sudah tak suka lagi menemani Zulya, ya? Abang sudah bosan mendengar Zulya bercerita tentang bintang-bintang? Tetang surga yang indah dan tentang……”
“Dik Zulya…” suara Mahmud akhirnya keluar juga. Tapi, wajahnya malah menunduk dalam. Sementara Zulya menatapnya heran, mengapa suara suaminya terdengar sendu begitu? Perlahan dilonggarkan rengkuhan tangannya di lengan Mahmud.
“Abang kenapa?”
Mahmud menarik napas berat. “Abang merasa bersalah”
“Bersalah kenapa? Zulya kian heran.
“Kenapa dulu Abang nekad melamar Dik Zulya dan kenapa Abang percaya saja ketika Kiai meyakinkan Abang akan pernikahan ini” Zulya tertegun.
“Seharusnya Abang sadar bahwa pernikahan ini adalah sebuah siksaan bagi Dik Zulya. Yang pada akhirnya akan menjadi siksaan juga bagi Abang karena melihat Dik Zulya menderita. Dik Zulya…, Abang tidak pantas untuk Dik Zulya. Sangat tidak pantas!”
“Abang bicara apa? Istighfar, Bang!” seru Zulya dengan mata membulat.
“Apakah Dik Zulya tidak melihat betapa jauhnya perbedaan kita?” Kalimat lelaki itu mulai terbawa emosi. “Apakah Dik Zulya tidak melihat buruknya sosok lelaki yang menjadi suami Dik Zulya ini? Sangat bertolak belakang dengan Dik Zulya yang cantik rupawan. Lihatlah, Dik! Kita bukanlah pasangan Pangeran dan Putri seperti dalam cerita-cerita. Sebab, Abang tak pantas menjadi seorang pangeran!” ia menutup mukanya dengan telapak tangan.
Zulya terpana tak percaya.
“Dik Zulya tak kan pernah bisa mencintai Abang sebagaimana layaknya seorang wanita mencintai laki-laki. Itu tidak mungkin!” tubuh lelaki itu bergetar menahan goncangan di dadanya. Bibir Zulya juga bergetar. Inilah yang dikhawatirkannya. Suaminya mulai kehilangan rasa percaya diri. Jika pernikahan mereka kandas, sungguh ia kecewa. Ia akan kehilangan kesempatan emas untuk membangun mahligai di surga. Sejak dulu, ia selalu percaya pada apa yang dikatakan kakeknya bahwa memiliki seorang suami yang sholeh adalah langkah awal untuk meraih surga. Dan bersabar atas segala kekurangannya adalah langkah selanjutnya.
“Jika kau bisa menjalaninya dengan ikhlas sampai akhir hayat, insya Allah surga adalah balasan yang pantas bagimu,” ujar kakeknya waktu itu. Dan Zulya sangat percaya akan hal itu.
“Bang, maukah Abang mendengarkan Zulya?” Tanya Zulya sesaat kemudian. Mahmud hanya diam, tetap menutup mukanya.
“Jika Abang mengukur kecintaan Zulya secara fisik, itu artinya Abang juga mencintai Zulya hanya sekedar fisik. Tahukah Abang bahwa Abang telah salah memaknai cinta kita. dan sungguh, ini membuat Zulya kecewa. Zulya tidak menyangka Abang sepicik itu. Karena ketika Zulya memutuskan untuk menerima lamaran Abang, pada saat itu Zulya merasa telah menerima lamaran seorang lelaki saleh, yang kemuliaannya kelak bisa Zulya banggakan di hadapan Allah dan para malaikat.”
Hening. Mahmud tetap dalam diamnya.
“Zulya yakin, cara Kakek meyakinkan kita tidak berbeda. Beliau sama-sama membukakan mata hati kita untuk melihat hakikat cinta yang sungguhnya. Dan, Zulya semakin yakin ketika mendapati Abang tak pernah melewatkan satu malam pun tanpa bertahajjud. Tak pernah melewatkan satu hari tanpa menamatkan satu juz Al-Qur’an. Dan, tak pernah pula melewati hari Senin dan Kamis tanpa puasa sunnah. Lalu , salahkah jika Zulya seperti melihat surge di sisi Abang… dan ingin meraihnya?” Suara Zulya tetap bening meski jelas kesedihan mewarnainya.
Mahmud mulai terguncang dari diamnya.
“Di kampung ini, tak seorang pun pemuda yang seperti itu. Mereka lebih banyak menghabiskan waktu dengan sia-sia, bahkan tak jarang dilumuri dosa. Hal itu membuat Zulya yakin bahwa memang Abanglah yang telah di utus Allah untuk menjadi pendamping Zulya. Dan kini…? Setelah kita mulai melangkah, tiba-tiba Abang ingin berbalik arah. Abang ingin menghentikan langkah kita yang begitu manis. Abang benar-benar membuat Zulya kecewa…” kalimat wanita itu mulai tersendat dihadang tangis.
“Jika Abang bisa bersyukur atas segala kelebihan Zulya, lalu mengapa Zulya tidak boleh bersabar atas segala kekurangan Abang? Zulya tahu, Abbang bukanlah lelaki yang gagah dan tampan seperti seorang pangeran. Tapi bukan itu yang membuat Zulya melabuhkan cinta pada Abang. Lagi pula, apalah arti seorang pangeran jika ia tak mampu mengantarkan Zulya ke surga? Zulya….”
“Cukup, Dik…! Jangan teruskan lagi,” potong Mahmud parau. Perlahan, ia mengangkat kepalanya. Dicobanya memandang wajah jelita yang terlihat sendu itu. Mata indahnya mulai digenangin air bening. Ah, sungguh Mahmud tak tega melihat Zulya menangis digenggamnya jemari lentik Zulya sambil menenangkan guncangan di dadanya sendiri. Dan untuk beberapa jenak, mereka hanya saling membisu, menenangkan hati yang sempat dibawa oleh arus yang berpusar entah kemana.
“Abang memang salah. Abang larut dalam keraguan yang memperdaya, hingga makna cinta itu bergeser dari tempatnya.” Akhirnya, Mahmud memecah keheningan setelah mengembuskan napas panjang. “ Hampir saja Abang berbuat khilaf. Tapi…, untunglah Abnag didampingi oleh seorang wanita penghuni surga seperti Dik Zulya.”
Zulya menghapus airmatanya. “ Abang sungguh sungguh tidak akan berpikir seperti tadi lagi?”
Mahmud mengangguk pelan. “Ya. Sebab, Abang tidak ingin Dik Zulya kehilangan bintang itu,” jawabnya sambil menunjuk kearah timur.
Zulya tersenyum lega. Ditatapnya wajah Mahmud yang tengah menengadah memandang langit. “Ah, andai saja ia tahu bahwa sinar bintang itu tak lebih indah dari gemerlap wajahnya…”, batin Zulya berbisik kagum.
“Bang, tahukah Abang bahwa sebenarnya Zulya telah memiliki satu bintang yang begitu gemerlap ? dan, Zulya tak lagi menginginkan bintang di atas sana. Biarlah ia tetapa menjadi kebanggaan langit selamanya,” ujat Zulya sambil kembali merengkuh lengan suaminya penuh sayang.
“Benarkah?” Mahmud menatapnya heran.
Zulya hanya tersenyum penuh arti. Dan sungguh tak ada lagi yang perlu dijelaskan. Dan bintang-bintangpun menjadi saksi bisu cinta mereka.
“Allaumma tsabbit Quluubana A’la Dinika wa A’la tho’atik, Subhanaka Inna Kunna Min Adhzolimin.”



MERAJUT MIMPI DI UFUK SENJA  

Posted by Unknown in


          


 Senja berjalan lambat menuju malam. Hilir mudik kenderaan yang berlalu lalang memadati sepanjang jalan di setiap sudut kota Jakarta. Hiruk pikuk bertambah menjadi panorama yang menyesakkan pandangan dan telinga tatkala suara klakson membahana dengan segala keangkuhan para pengemudi.
            Sabaruddin Teguh. Ya, itulah namanya.  Seorang anak penjaja Koran yang kerap dipanggil Udin oleh kawan-kawan, rekan kerjanya. Ia masih menjajakan lembaran-lembaran koran kepada para pengguna jalan. Namun tak banyak dari mereka yang tertarik membeli walaupun Udin kerap kali menawarkan harga yang lebih murah. Lantas ia duduk sejenak di depan ruko, sambil mengipas-ngipaskan selembar koran , ia keluhkan hari yang sungguh melelahkan baginya. Kakinya terasa semakin berat untuk melangkah, peluh keringat yang membasahi seakan pengganti mandinya setiap hari menjelang maghrib.
            Asap bercampur debu menorehkan daki hitam di wajah dan leher, serta tangan yang sembari menjinjing koran bawaannya. Ia kalut  untuk bertumpuh pada kaki kecilnya. Salahkah jika ia ingin berhenti saja dan tak seteguh harapan orang banyak? Salahkah jika ia mengingkari harapan dari sebuah nama yang diberikan kedua orang tuanya?.
            Wajah ayah ibunya terpatri jelas di benaknya. Semangat yang mereka alirkan mengingatkannya akan sebuah makna kehidupan. Kakek bilang, nama Sabaruddin Teguh, yang diberikan orang tuanya sudah dipatok jauh-jauh hari.
            “Bahkan sebelum kau lahir, nak.” Ujar kakeknya.
            Di saat lemah dalam kesendiriannya, anak berusia lima belas tahun itu sering duduk termenung, menggerutu menghadapi kodrat hidup yang  di hadapi. Ayah ibunya sudah lama meninggal, tapi mereka masih menyisahkan beban namanya. Bagaimana bisa punya ruang berlemah diri kalau embel-embel lain dari namanya adalah sabar dan teguh? Sabaruddin Teguh, begitu lengkapnya. Seakan kedua orang tuanya telah memprediksi akan cobaan yang akan anaknya hadapi.
            Waktu kecil, limpahan kasih dari ayah dan ibunya membuat Udin nyaris tak merasa minder akan minimnya kebutuhan hidup mereka. Bahkan ia sempat bercita-cita ingin menjadi seorang pengusaha sukses, menumpas kemiskinan yang menyelimuti kampung pinggiran kota metropolitan seperti Jakarta yang begitu mengganas dan kejam. Tak kenal siapa kawan dan lawan pastinya kehidupan di ibu kota sangat menyengsarakan tatkala ilmu dan pengalaman hidup belum teruji dengan baik. Terkhusus untuk masyarakat pinggiran kota yang segala kebutuhan belumlah terpenuhi dengan sempurna, bahkan untuk sekedar minum saja harus menimba air di kali bekas aliran sampah. Sungguh miris, renungnya saat itu.
            Ayahnya kerap menceritakan kisah orang-orang desa yang pindah kekota yang akhirnya sukses dengan karir yang melonjak. Tak hanya itu, ia juga sering di beri foto-foto orang sukses diantara mereka yang berurbanisasi. Tak heran ia mengidolakan sesosok Tukul Arwana yang terkenal dengan ucapan “wong ndeso, juga tak sobek-sobek” di salah satu layar televisi yang pernah ia saksikan. Tuk sekedar memotivasi dirinya kelak, meraih seperti apa yang mereka alami.
            Namun angan tetaplah bunga-bunga kehidupan yang masih misteri. Tak tahu kapankah seseorang dapat mencapainya. Begitu pula dirinya, Ia simpan rapi impiannya dalam setiap lembaran kehidupan yang ia jalani, dan tak tahu kapan ia akan menjadi seperti apa yang diharapkan kedua orang tuanya, melalui namanya. Sepeninggalan mereka akibat keracunan bau limbah tempat kedua orang tuanya bekerja.
Ketika itu hanya ialah satu-satunya buah hati mereka  untuk menjalani amanah  akan sebuah nama yang dibubuhkan dalam dirinya. Sabar dan Teguh dalam menjalani segala cobaan yang siap menghadang.Udin sempat bersekolah, tapi tidak sampai tamat SD, disebabkan minimnya pendapatan kedua orang tua.
Besar pasak daripada tiang” gurunya menjelaskan. Kira-kira ungkapan itulah yang pantas disematkan pada keluarganya ketika itu, hingga hari ini. Untungnya, ia sempat meraih segudang prestasi di bidang extrakulikuler saat bersekolah. Ia mendapatkan juara satu lukis antar sekolah, juga juara satu olah vocal tatkala pertunjukan “Singing Like Star” dalam rangka memperingati hari guru. Bahkan yang paling membanggakan adalah saat ia menang juara satu olimpiade Matematika antar kota, mewakili sekolahnya saat ia duduk di kelas lima.
Buk  Yatmini, guru agamanya sempat berpesan kepadanya agar ia mengembangkan ilmu dan bakat setamat dari SD nanti, ia kerap mengingat sebuah ayat saat pelajaran agama kelas empat  ketika itu yang melarang durhaka terhadap kedua orang tua,” jangankan memukul, berkata “ah “ saja sudah mendapatkan dosa besar”, ujar buk guru tercintanya itu.   
Lantas hati kecilnya berbisik “kapankah ia dapat berbakti kepada dua malaikatnya tersebut? Ia pernah mendengar cerita dari kakeknya bahwa hadiah yang sangat diimpikan kedua orang tuanya adalah dapat menunaikan rukun islam yang kelima yaitu menunaikan haji ke Makkah al Mukarramah, sambil mendengarkan suara adzan yang selama ini mereka dengar sangat indah dari televisi kakek.
Ia pun beritikad untuk dapat memberangkatkan kedua orang yang paling ia cintai tersebut. Sebagai wujud dari bakti kepada keduanya, dan menjadi anak yang saleh lagi berguna.
Namun, lagi-lagi sekelumit harapan itu ia simpan rapi-rapi untuk saat ini. Mengingat dirinya yang tak sempat menamatkan belajarnya sepeninggal kedua orang tuanya. Kini ia tinggal bersama kakeknya di sebuah rumah yang lebih tepat disebut dengan “gubuk” karena beratapkan rumbia dan dinding pelepah kelapa yang dilapisi kardus, namun gubuk itu menjadi surga bagi keduanya selepas lelah bekerja seharian.
Ia pun mencoba memenuhi kebutuhan hidupnya bersama kakeknya yang hanya seorang buruh pabrik limbah dekat rumah dengan menjajakan koran-koran dari grosir di persimpangan jalan  ke pada para pejalan kaki maupun pengguna jalan lainnya, dari siang hingga senja menuju malam. Sehari-hari berpeluh keringat demi mendapatkan uang yang tak seberapa, mondar-mandir dari satu ujung jalan menuju jalan yang lain di sudut kota. Sesekali ia memberanikan diri menjajakan koran ke tengah jalan, saat lampu merah menyala. Tak jarang pula ia hampir terserempet kendaraan yang berlalu lalang, sembari mengacuhkan dirinya yang masih bertubuh kecil. Mengingat kakeknya yang sudah tua, hanya dapat mengumpulkan sampah-sampah bekas berupa botol aqua, plastik, maupun ember-ember yang tak bertuan lagi yang nantinya dijual di pabrik tempat ia bekerja.
Upah yang diterima pun seringkali tak dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari, terlebih saat penyakit mulai menggerogoti tubuh kakeknya yang ringkih termakan usia. Tak jarang uang yang diterima dari pabrik maupun hasil jualan koran Udin tersebut digunakan hanya sekedar membelikan obat demi kesembuhannya.
“Cobaan apa lagi yang engkau berikan kepada kami ya Allah” keluh Udin  dalam shalatnya. “Tuhan pasti punya skenario  besar untukku” bisikknya dalam hati. Dengan kepercayaan itu, ia menjalani hari-harinya dengan sabar dan teguh sesuai dengan namanya. Mungkin ini adalah doa untukku, keluhnya.
Udin enggan mencari belas kasihan dari orang-orang, bahkan meminta simpati untuk sekedar menerima uang dari mereka, seperti apa yang teman-temannya lakukan. Ia tak ingin dikasihani, dengan mengamen atapun sejenisnya yang melalaikan usaha dan kerja keras. Walaupun ia menyadari bahwa terkadang upah yang teman-temannya dapatkan melalui meminta-minta, dapat melebihi hasil keringatnya. Ia tak ingin rasa simpati dan iba melemahkan semangat juangnya untuk mendapatkan harta yang halal lagi terpuji, sesuai ilmu hadis yang ia ketahui bahwa “meminta-minta itu merupakan perbuatan yang tidak terpuji, lebih baik tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah”,begitu tepatnya.
“Nak, jangan dipikirkan. Fokuslah pada kelebihanmu, jangan meratapi kekurangan”.   Ujar Ibunya yang bijak. lalu ayah yang selalu siap dengan dua jempol teracung untuknya.”Anak Ayah paling hebaat….”
“Optimis, Din….optimis!” tambah Salmi, teman satu bangkunya saat SD. Yang selalu memompakan semangat dan berusaha mengalirkan kepercayaan diri, setiap kali dilihatnya Udin termenung menatapi kekurangannya.
                                                            *******
“Din, konser yuk..! ajak Fahmi, Salah seorang kawannya yang kini bernasib sama sepertinya, penjajah Koran.
“Konser apaan, mi?  Tanya Udin heran.
“Ah, kayak gak tahu saja loe Din. Hari gini masih gak tahu lagi yang namanya konser,kuper betul lu..!”. Sindir Fahmi berlagak sambil menunjukkan gitar kecil barunya.
“Bukan gak tahu Mi.., tapi konser apaan gue gak paham maksud lu. Siang panas seperti ini mau konser dimana? Koran belum habis lagi.” Tambah Udin sedikit mengernyitkan dahi.
“Nih, lihat ni..,gitar baru gue baguskan?, Nih die buat konser kita.” Ujar Fahmi berbangga hati.
“iye, emang konser apaan..?,huh.. lain ditanya lain dijawab! Mau di mana emangnya lu konser? Kembali Udin bertanya kesal, mendengar jawaban yang tidak sesuai dengan apa yang ditanyakannya kepada Fahmi.
“Oh iye, gue lupa jelaskannya. Habis sih gue senang banget hari ini Din, gue bisa dapat gitar baru hasil usaha gue sendiri. Jawab Fahmi sambil memeluk gitar kesayangannya itu.
“emang uang dari mana lu Mi, kok bisa beli gitar gituan? Tanya Udin heran.
“Ya dari tabungan gue lah, emang nyuri apa..? Tuh bukan tipe gue lah Din. Gue tuh, ngumpulin upah hasil jajahin koran. Emang dari dulu sih gue ngimpiin tuh yang namanya gitar, ya, walaupun bukan gitar sungguhan sih. Gue harap bisa ngembaliin bakat gue main gitar Din, tidak sekedar jualan koran saja. Tapi kita juga harus bisa ngembangin bakat kita. Oh ya, lu sudi gak ikut gue? Jelas Fahmi untuk memahamkan Udin.
“Ikut apaan? Tanya Udin heran.
“Ya ikut konser lah. Duh dari tadi ga’ nyambung-nyambung juga lu Din. Gini ya din gue jelasin lebih detail lagi. Nih denger …betul-betul yee! Pinta fahmi sedikit jengkel.
“gue tuh punya rencana tuk buat konser kecil-kecilan. Dengan peralatan kita yang seadanya nanti, kita akan keliling kampung juga singgah ke berbagai kendaraan. Tuk sekedar menyanyi Din. “
“Loh, itukan sama saja dengan meminta-minta Mi, gak mau ah..! gue tuh paling anti ame yang namanya dikasihanin pake cara meminta-minta mi.” ucap Udin sembari menolak ajakan Fahmi yang dipandangnya konyol.
“ Oalah Din…, Din! Belum paham juga kayaknya lu nih. Pake pentium berapa sih lu nih.kok lamban amat, sini gue ganti dulu”,ketus Fahmi bercanda dengan nada tinggi.
 “Itukan bukan minta-minta seutuhnya, kita tuh cuma sekedar menyumbang jasa suara juga penampilan kita aje Din. Selebihnya, kalau ada yang mau memberi ya kita terima, kalau tidak ya sudah kita tidak usah memaksa. Gue tuh berpikir seandainya ada suatu pekerjaan yang sesuai minat dan bakat, betapa nyamannya gue untuk jalaninnya. Terlebih gue tuh ada impian tuk bisa konser di panggung besar, yang dilihatin banyak orang juga penggemar. Ntar uangnya kita kumpulin buat buat usaha kecil-kecilan. Duh senangnya Din, apalagi saat gue mengetahui suara lu tuh merdu bagai artis. Hu..makin tambah semangat aje gue ni Din. Itulah alasannya gue ngajak lu ikutan. Sudi gak lu Din..! Ujar Fahmi sambil menyikut lengan Udin.
“Oh gitu toh, mbok bilang dari tadi kenapa! Betul juga ya, lagi pula dah lama gue tidak menyanyi lagi Mi... kepengin ni, nyanyi lagi. Kalo gitu bolehlah…pastinya ada sumbang jasa ya  kan. Gue masih inget apa kata Bu Iyat, “Lebih baik memberi dari pada meminta”. Nih kan bagian dari memberi juga, iya kan Mi..?
“ Yup betul tuh, kita akan memberikan jasa hiburan kepada orang-orang, pastinya tidak memelas kasih meminta simpati  mereka. Inget loh membuat orang senang tuh ibadah juga kan”.  Fahmi mengingatkan.
“Eh gak biasanya lu ngomongin yang namanya ibadah Mi, biasanya lu tuh mikirin makanan aje, makanya badan lu melar gak bisa kurus kayak gitar Lu.” Sindir Udin sambil tertawa kecil.
“He…he..he…, sekali-kali kan gak apa. Bahkan gue pernah diminta adzan di Istiqlal loh!”Ujar Fahmi menambahkan.
“Ah, lu bisa aje. Oh iya, Jadi kapan nih ceritanya di mulai konser kita? Tanya Udin.
Duh kapan ya…?, hmm gimana kalau lusa aje Din!Kita buat Sesuatu yang lebih menarik dari yang lainnya! Ujar Fahmi menambahkan.
“Emang  sesuatu yang lain bagaimana maksud lu? Tanya Udin Heran.
“Kita akan menyanyikan lagu-lagu yang unik, yang belum pernah didengar sebelumnya. Pastinya penampilan juga jangan  jelek-jelek kali, yang sederhana aje biar orang-orang tidak jijik melihat kita. Belum apa-apa sudah minder gimana mau dapat simpati yang positif. Nah tuh die maksud gue Din..! jelas Fahmi menambah pemahaman Udin.
“Oke lah Mi, kalau begitu siapkan saja semuanya ya, Ntar gue tinggal latihan  ngolah vokal, ehmm.., ehmm…, tes..tes.! Udin mendehem seraya tersenyum.
“Beres, tenang saja. Biar gue yang nyiapin semuanya deh. Sambut Fahmi puas atas keputusan sahabatnya tersebut.
Akhirnya keduanya memutuskan untuk meninggalkan rutinitas mereka sebagai penjajah koran. Dan kini akan memulai profesi baru yang dianggap lebih nyaman juga menguntungkan. Nyaman bukan dikarenakan mengharap keuntungan lebih, akan tetapi dengan begitu mereka merasa menemukan kembali bakat lama yang sempat terpendam dan akan berusaha menjalaninya bersama.
Episode baru kehidupan pun dimulai, panas terik siang tak menjadi masalah tatkala kebersamaan menyatu dengan lantunan lagu. Suara Udin membahana kesetiap ruas jalan, untuk sekedar menghampiri kendaraan yang berhenti saat lampu merah menyala. Mereka kunjungi tempat-tempat umum yang di padati banyak orang , mereka telusuri setiap gang dan lorong yang memungkin kan bagi mereka untuk berajang kreasi. Tak jarang cemohan dan makian  menampar  hati mereka saat mengunjungi komplek-komplek perumahan elit di Jakarta. Bahkan sempat dikejar-kejar polisi lalu lintas dikarenakan mengamen saat lampu hijau menyala, lantas keduanya berpencar untuk mengelabuinya.
Namun ada juga sebagian orang yang merasa terhibur dan meminta keduanya mengulangi konser mereka, terkadang sampai ada yang memberikan uang lebih sabagai rasa terima kasih untuk lagu-lagu yang mereka dendangkan. Itu semua mereka nikmati bersama, suka-duka dilalui tanpa rasa berpeluh kesah menjalani kesemuanya. Jikalau ada uang tambahan akan mereka simpan sebagai modal untuk membuka usaha kecil-kecilan nantinya.
                                                            ******


“Mi, coba lihat matahari itu. Pinta Udin seraya mengajak Fahmi duduk di atas sebuah bangunan kumuh tak berpenghuni, yang menjadi tempat mangkal mereka sehabis bekerja.
Terlihat matahari memerah diufuk barat, yang hendak meninggalkan hari. Kumpulan burung yang beterbangan menuju matahari, mengingatkan Udin akan sekelumit asa yang sempat terpendam dalam lembaran hatinya. Keduanya duduk menatap langit, sambil menikmati senja yang akan sirna. Sungguh panorama alam yang kurindukan, batin Udin.
Fahmi pun mendekat di samping Udin. Menemaninya duduk melihat mentari yang tinggal separuh diujung kota. “Aku ingat sesuatu Mi, sesuatu yang amat kurindukan tatkala aku melihat burung-burung itu. Tak ubahnya burung-burung itu adalah Aku.” Ujar Udin membayangkan.
“Emang lu ingin menjadi mereka untuk apa Din? Balas Fahmi bertanya namun tetap memandang matahari. Aku ingin seperti mereka, dapat terbang tinggi di awan dan dapat mengejar mentari senja. Mengitari seluruh pelosok kota dari ketinggian, ke manapun mereka kehendaki. Tak sepertiku, yang hanya dapat termenung mengenang mimpi dan angan-angan yang tinggi, tapi tak memiliki sayap menuju ketinggiannya. Apakah memang inilah nasib kita anak Jalanan, yang hanya dapat merenungi segala angan. Tak seperti mereka yang dapat berlibur dan mengunjungi tempat-tempat indah bersama orang yang dikasihi, kemanapun mereka pergi. Aku rindu malaikatku Mi, aku rindu ayah, dan ibuku!. Dapatkah aku bertemu mereka di surga, untuk sekedar mengobati rasa rindu yang menyelimutiku. Udin berkisah seraya meratapi senja yang tinggal setitik dengan berkeluh kesah kepada Fahmi sahabatnya.
“Din, tidakkah lu tahu.  Fahmi tersenyum.
Sesungguhnya burung-burung itu belumlah mencapai angannya, mereka belum sanggup mengejar dan menggapai mentari. Andai lu tahu, mereka itu sama seperti kita yang masih merajut impian di ufuk senja. Mereka masih berusaha mengejar mentari dengan sayapnya yang tertatih, Namun apakah mereka sudah menggapainya..? Fahmi sedikit memahamkan Udin yang mulai lemah dan putus asa menjalani hari-harinya.
“Jangan kau iri sobat,  melihat mereka yang gembira bersama orang yang mereka kasihi. Tidakkah kau memandangku sebagai sahabatmu, orang yang juga menyayangimu. Aku sama sepertimu, ditinggalkan orang yang dikasihi. Bahkan jikalau lu tahu, aku lebih menyedihkan darimu. Orang tuaku membuang dan mencampakkanku tanpa menghiraukan sedikit pun kondisi ketika aku baru dilahirkan. Aku tak sempat mendapatkan belaian mesra dari keduanya, aku tak sempat meminum segarnya ASI dari seorang ibu. Namun, Alhamdulillah aku masih memiliki malaikat-malaikat selain mereka, yaitu warga-warga yang sudi menjamahku dan mengangkatku menjadi anak mereka semua. Hati malaikat yang sulit untukku membalas segala jasa yang dilimpahkan kepadaku. Lu masih syukur Alhamdulillah, sempat mendapatkan belaian kasihnya kedua orang tuamu. Masih dapat menyebut ibu dan ayah sebagai Malaikatmu. Sedangkan aku…., aku…”
“Cukup Mi, Aku tak ingin lu lebih sedih dariku.” Sambut Udin memotong pembicaraan Fahmi.
“Bukan Sedih Din, Aku hanya sedikit membandingkan atas apa yang kualami dengan situasimu saat ini. Aku ingin lu lepas dari kesedihan yang mendera. Aku ingin kedua matamu terbuka melihat ke sekililing kita, yang ternyata masih banyak malaikat-malaikat lain yang mampu  mengasihimu. Contohnya aku, aku akan berusaha menjadi malaikatmu yang senantiasa menghiburmu. Semoga kelak kita mencapai matahari kita, dengan serpihan sayap asa yang kita miliki. Betul kan Din…? Ujar Fahmi seraya menambahkan perkataan yang sempat dipotong Udin.
“Ya Benar Mi, terima kasih atas nasehat yang lu berikan Mi. Aku menjadi lebih semangat lagi.”
Keduanya masih menatap langit yang sudah menghitam, Senja sudah terkalahkan oleh malam yang akan tiba. Terdengar alunan suara Adzan maghrib berkumandang, Sungguh elok sore ini Mi” tambah Udin seraya beranjak dari duduk mengajak Fahmi shalat.
* * * * * * *
            (Seselang 5 tahun kemudian)
“Mi, konser yuk..? Ajak Udin seraya membenahi jaket kulit hitamnya sehabis mandi.
            “Konser apaan Din, he..he..he! Canda Fahmi yang baru saja bangun tidur di atas kasur milik mereka berdua.”
            “Ah, lu Mi, becanda aje. Cepetan mandi ganti baju, dah mau konser kok baru bangun tidur. Ntar lari tuh penggemar lu lihat liur lu yang dah buat pulau di bantal. Cepetan….! Ajak Udin geram.
            Akhirnya sekarang Udin dan Fahmi mencapai apa yang diinginkan. Setelah seseorang yang tak dikenal yang kebetulan pemilik sebuah stasiun musik di Jakarta tertarik akan performa juga kualitas suara yang mereka miliki saat mengamen. Awal mulanya dari stasiun radio kecil, dan pada akhirnya di minta untuk manggung ke berbagai tempat.  Sekarang mereka dikenal banyak orang, tak terkecuali band-band papan atas lainnya yang sudah menjadi sahabat mereka. Setiap kali tampil, mereka tak bosan-bosannya mengucapkan rasa syukur atas apa yang mereka dapatkan sekarang ini. Walaupun cita-cita awal ingin menjadi pengusaha, namun bukan jadi masalah. Karena bisa saja suatu saat hal itu akan tercapai apabila mau berusaha. Pikir mereka saat ini.
Sesekali mereka kisahkan perjalanan mereka dahulu, di depan para penggemar yang terharu di buatnya . lantas menjerit histeris ingin menyapa tangan idola tersebut.
            “Baiklah sobatku semuanya, kami akan membawakan sebuah lagu yang kami persembahkan untuk semua yang hadir saat ini, terkhusus kepada anak-anak jalanan di mana pun berada sebagai rasa cinta kami kepada orang-orang yang telah mencintai kami.”
            “I Love You Full…Guys…!! Udin yang kini dipanggil Adin oleh penggemarnya, mengakhiri prakatanya dengan meneteskan air mata sebelum konser.
            Penggemarnya pun semakin menjerit histeris, lantas ada yang menangis mendengarnya. Tak  tahan menahan idolanya meneteskan air mata.
            “Saat matahari pun mulai terbit..
             Dengan pengalaman mu yang pahit.
             Kakimu menyelusuri dunia sempit…..

            Dengan tubuh yang berkeringat dan kotor
            Kau hidup bersama asap kendaraan bermotor
            Tapi semangatmu tak pernah kendor….

            Kau buang segala kemarahan
            Oh…Anak jalanan…..
            Kau termenung di pinggir Taman
           
            Kau jauhkan segala tangisan
            Oh…Anak Jalanan….
            Hidupmu selalu disertai Tuhan.”
*******
                                                                                                                                                           


"Bersakit-sakit dahulu, Semoga tak sakit lagi kedua kalinya"  

Posted by Unknown in ,



    Mataku tertuju pada selembar Koran didepanku. Ku ambil Koran itu, tak sengaja mataku terpusat kepada satu berita di ujung halaman utama. Terlihat jelas sebuah pengumuman sayembara Karya Tulis berwarna biru yang membuat hatiku berdesir seketika. Ku teliti baik-baik kata-demi kata persyaratan yang diajukan. Adakah syarat yang memungkinkan bagiku untuk mengikutinya, karena ku takut ada satu persyaratan yang tidak kusanggupi seperti biasanya Yaitu faktor Status. Kebanyakan perlombaan yang kulihat selama ini hanya ditujukan kepada para pelajar saja. Otomatis status ku tidak memungkinkan untuk ikut serta didalamnya.
Alhamdulillah ternyata syaratnya memungkinkan, tidak mempersulit, bahkan dibuka untuk umum. Ya, untuk umum, sekali lagi bathin ku bersyukur akan syarat yang sederhana ini. Terlebih saat ku melihat total hadiah yang menggiurkan untuk orang sepertiku yang terbilang masih minim financial. Lantas ku terbayang-bayang sebuah laptop yang ingin kumiliki segera, terbesit dibenakku seandainya saja ku menang dalam sayembara ini, hadiahnya akan ku manfaatkan untuk membeli laptop demi menunjang hobiku dalam dunia tulis-menulis. ( belum lagi menang, dah ngayal yeah hihi….)
Tapi itulah yang kurasakan saat ini, sebuah hasrat yang terlanjur cinta dalam dunia baru ini, Menulis dan menulis. Mungkin hal ini juga dialami bagi penulis pemula yang lain, yang ingin mengembangkan hobinya ke taraf yang lebih tinggi, juga ingin menjadikannya tulis menulis sebagai lahan rejeki. Pastinya perlombaan seperti ini amatlah dinantikan.
Segera ku pasang kuda-kuda (hehe..kayak mau bertarung aje yeah, tapi memang mau bertarung ko’ melawan saingan githu…) demi target pencapaian, agar kiranya waktu ku yang gunakan efektif dan tidak mengganggu kesibukan lainnya. Karena disaat ujian ma’had seperti ini,biasanya produktifitas otak lebih banyak dituangkan kepada koreksian hasil ujian adik-adik. Selain mata lelah, otak juga di maksimalkan demi ketelitian dalam mengoreksi agar kiranya tidak ada kekeliruan nantinya.
Yups, selama lima hari kupusatkan segenap pikiran untuk lomba ini, kupilih cerpen dan puisi sebagai lahan tulisanku. Ya maklum lah kalau artikel sedikit berat bagiku untuk ngelakoninya. Masih tahap belajar nih…hehehe…
Walhasil peluh keringat hasil memeras otak membuahkan 3 buah cerpen dan 4 puisi (duh masa sih otak diperas , emang cucian apa?? Wah gawaat tuh gimana caranya yah!!) yach, kukira cukup bagiku untuk waktu sesingkat ini, (walaupun masih kurang ide kali yeah). Tak sebanyak tulisan-tulisan orang lain biasanya, mungkin ini yang sanggup kulakukan diwaktu sesempit ini disamping mengoreksi ujian.
Tepatnya kemarin tanggal 3 kuantarkan karyaku ini kekantor WASPADA yang terletak dijalan Brigjen Katamso dekat istana Maimun. Walaupun sebelumnya ku dihadapkan berbagai rintangan, yakni tatkala ku tak tahu jalan. Karena ku sendiri masih terbilang awam untuk sekedar menghafal jalan-jalan dimedan, yach minal ma’lum selama 6 tahun dipesantren pulang balek dari Medan-Siantar kerumah mengendarai kereta api saja, sesekali saja mengendarai sodako yang itupun hanya menuju stasiun. (Duh kasian yeah…hihi)
ku ajak bebrapa teman yang berasal dari medan, namun ternyata mereka memiliki kesibukkan yang lain, ku lantas maklum mendengar alasana mereka karena memang sibuknya kegiatan dimasa-masa ujian seperti ini, yang tak hanya menguras otak, namun juga fisik sehabis mengawas ujian seharian dikelas.
Lantas ku pergi sendri dengan mengendarai speda motor teman, ku berpikir sejenak dapatkah aku sampai tujuan dengan pengetahuan yang sedikit mengenai jalan dimedan ini , terlebih ku belum memiliki SIM untuk membawa kereta pinjamanku ini,
      Bismillah…kuniatkan dalam hati semoga perlajalanan yang hanya berbekal STNK ini dipermudah Oleh Allah. Sebelumnya ku hanya bertanya kalau jalan yang selama ini kulalui mungkinkah menjurus ke jalan yang akan kutempuh. Sekedar Tanya saja lah …mungkin ditengah jalan nanti ketemu juga pikirku inget pepatah nih, yang mengatakan “Malu bertanya Sesat dijalan”. ( awas ntar kesesat lu yeah…)
Ternyata apa yang kuharapkan tak sesuai dengan kenyata’an, jalan yang kutempuh buntu. Kutak tahu harus kemana ku lajukan sepeda motorku ini. Walaupun telah bertanya-tanya kepada orang-orang pingiran jalan namun itu lah, tetap saja ku tak paham kemana arah yang mereka tujukan kepdaku.
“Oh mau kearah istana Maimun dek, dari sini kesini…ntar terus aje …pasti nyampe’ tuh….!”

“Nanti dari kantor Pos, belok kiri menuju deli tua, sampai perempatan jalan deli tua, belok kekiri dek…baru jalan lurussss….aje. ntar lihat Istana Maimun, nah disana tuh dah sampe jalan yang adek tuju brigjen katamso kan…???

“kalau tidak gini aje dek, ikutan aje kenderaan yang menuju kesana, Ntar ikutin Motor ini…insyaAllah pasti nyampe tuh….!


     Waduh, gawat nih banyak kali persepsi orang-orang.., yangmana yeah yang dipilih. Ah…sudah lah pikirku “Be Your Self” bro…, akhirnya ku memilih mengikutin motor yang nuju kesana. Mungkin inilah yang dikatakan Malu bertanya sesat dijalan, tapi aku dah nanya ko’ mo gimana lagi? . lebih tepatnya lagi kayaknya “Malu bertanya Jalan-jalan deh” hehe….
Tapi Alhamdulillah, setelah satu jam ku keliling-keliling membuahkan hasil juga( duh sampe nampak bintang-bintang tuh muter-muter diatas kepala *0*) Istana Maimun terpampang megah dihadapanku, namun lagi-lagi kulihat kesekeliling, melihat keberadaan Kantor WASPADA yang katanya dekat Istana Maimun. “Duh , ko’ belum nampak juga nih”. Batinku bertanya
“Jalan-jalan lagi deh…huh, tapi katanya kalau sudah sampai keistana Maimun jalan lurus aje” ntar nyampe ko’.kata orang yang kutanyai tadi
     Ya sudahlah, kulihat papan iklan dipinggir jalan “Jalan Brigjen Katamso No 11” wach dah mau sampai nih, batinku gembira. Ku lajukan sepeda motorku, dan melaju lurus kesepanjang jalan.
“loh ko’ dah ganti nama nih jalannya, jalan Pasar Baru. Duh gawat nih, kuputar haluan dan memotong jalan yang sejalur ke jalan Brigjen Katamso tadi, tak terlihat didepan ku ternyata seorang polisi sudah menantikan kedatanganku.

“Dik…dik pinggir, ayo pinggirkan keretamu….”seorang polisi dengan logat medannya menyentak dan menghampiriku.

"Tak kau lihat dilarang putar haluan itu, ayo pinggirkan keretamu..”garang wajahnya memuat hatiku ciut seketika.” Ya Allah cobaan apa lagi nih, dah tak tahu jalan jumpa lagi ma yang beginian, kereta pinjaman lagi, Mohon pertolonganMU ya Allah…”! Batinku merintih tak tahu apa yang harus kulakukan. Seketika badanku lemas, semangatku hilang tak kuat menahan cobaan yang datang. Dalam pikiranku hanya bagaimana seandainya pak polisi dini menanyakan perihal SIMku, juga kereta yang kubawa. Seakan pertanyaan itu serigala yang hendak memburuku dengan taringnya yang tajam.

“sini kau dik, Mana SIM mu….” Ia memanggilku garang.

     Tak kuasa ku kokohkan kaki ini, apa yang kutakutkan datang juga. Ia menanyakan SIMku, padahal aku belum memilikinya sama sekali. Hati berdebar tak karuan, wajahku dingin seketika mendengar apa yang ia tanyakan.
     Tapi sejenak kutenangkan diri ini, agar kiranya kegugupan ku tak terihat olehnya. Lantas ku ingat perkataan Ustad Subhan( salah seorang guruku yang terkenal kocak namun tatkala tegas, suaranya akan menggelegar kemana-mana) mengatakan “Jujur saja, Minta maaf kalau ada salah, jangan bohong” insya Allah kesalahan apapun itu, ketika kita jujur dan bertanggung jawab pasti akan dimaklumi dan dipermudah, dan satu lagi jangan bertele-tele”. ucapnya ketika dikelas saat aku masih santri dulu. Kuterapkan ucapannya dalam kondisi ku ketika itu. Kuberhati hati menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang dilontarkannya kepadaku, takut menyinggung hatinya yang mungkin lelah seharian mengatur kenderaan di jalan.

“Anak mana kau, ? tanyanya.

“Anak pesantren, pak di medan tuntungan” jawabku lugu.

“tahu kau, dilarang memutar haluan kan, mana SIM mu….?


“Maaf pak, sebelumnya saya minta maaf. Karena telah berbuat salah. Sejujurnya saya tidak tahu pak, karena tidak melihat ada petanda larangan memutar haluan, saya lihat kenderaan lainnya juga ada yang memutar haluan, oleh karena itu saya ikutan pak lagi pula tidak mengganggu aktifitas kenderaan lainnya. Mengenai SIM saya , saya memang belum memiliki SIM pak. Karena saya baru tamat pesantren, sekali lagi saya minta maaf pak..! jawab ku tulus.

“kamu kan tahu, apabila belum memilki SIM tidak diperbolehkan mengendarai kenderaan apapun itu, dari mana asalmu hei nak…?
“Saya dari Siantar pak, baru menjelajahi jalan-jalan dimedan, karena tak tahu jalan. Kebetulan tadi abang saya dipesantren lagi tidak menggunakan Sepeda Motor, lantas saya pinjam keretanya. Saya hendak mengirimkan Karya tulis saya pak Ke kantor WASPADA,namun saya tidak tahu dimana kantornya pak? Karena itu saya masih mencari jalan menuju kantor tersebut yang katanya di jalan Brigjen Katamso No 1 , maafkan saya kalau saya keliru tadi pak! Ku jawab kembali pertanyaan tersebut dengan kenyataan yang kualami ketika itu.
“Oh mau ke WASPADA nya kamu, tak kau lihat kantor didepan itu…? Tanyanya seraya menunjuk kantor didepan POS tempat ia duduk.
Kulihat kantor yang ditunjukkannya padaku, lantas kubaca tulisan besar tepat didepannya “HarianWaspada”. Sejenak ku gembira karena telah sampai pada tujuan, tapi masih ada masalah besar yang kuhadapi bersama polisi didepanku.
“Begini pak, saya hendak mengirimkan cerpen juga puisi untuk lomba di WASPADA pak, namun tuh tadi karena tak tahu jalan beginilah jadinya pak? Maafkan saya pak…?
Lantas ia meminta amplop yang berisi cerpen juga puisi yang akan kukirim, sekedar membenarkan pernyataanku. Dilihatnya dengan teliti, sambil sesekali menganggukkan kepalanya. Kulihat raut wajahnya yang garang memudar seketika. Tak tahu apa yang sedang ia amati dari tulisanku tadi.

“ya sudah dek, kau ambil kuncimu, pergi lah kau kesana…., tapi ingat jangan sekali-kali berani mengendarai kenderaan bermotor sebelum memilliki SIM yah…! Oh yah nanti kamu putar kereta kamu dari ujung jalan sana, jangan memotong jalan lagi. Inget tuh yah…!!

    Seketika embun kesejukan menyirami hatiku, kegugupanku pudar seketika. Melihat reaksi dari pak polisi didepanku. Jarang-jarang ku mendapati pak Polisi seperti ini, karena terkadang ada juga yang hendak meminta tebusan sebagai jaminan SIM yang belum dimiliki. Tapi tidak untuk kasusku saat itu, ia lantas meberikan kebebasan dengan mudahnya kepadaku. Kulantas bersyukur kepada Allah atas apa yang telah kualami ketika itu sembari berterima kasih kepada pak Polisi yang semula kupikir hendak melumatku mentah mentah (hehe…emang sumanto apa?)
Aku pun menganggukkan kepala seraya menghidupkan kembali sepeda motorku yang hampir menangis melihatku ( emang ada yah kereta yang bisa menangis) atas apa yang telah kami alami bersama.
Ku engkolkan gigi depan, sembari menoleh kepada pak Polisi Baik Hati itu dan sekali lagi ku berterima kasih banyak atas tindakkannya yang sungguh bijaksana. Semoga banyak polisi-polisi lain sepertinya kelak.
Sesampai dikantor Waspada ku serahkan amplop berisikan tulisanku itu kepada pak satpam yang berada didepan kantor. Ku langkahkan kaki ini keluar kantor dengan perasaan lega, seakan beban yang dari tadi menghimpit pikiran terbuang sudah. Berkat pak polisi tadi. Seandainya tidak distopnya, pastinya ku tak tahu keberadaan kantor tersebut yang ternyata berada didepan kantor tempat ia berjaga. Senyum seketika berkembang diwajahku yang kusut oleh debu, sejenak ku mengambil I’tibar dari apa yang kualami hari ini. Bahwa untuk mencapai sebuah tujuan tidaklah mudah, pastinya halangan dan rintangan akan senantiasa datang dengan sendirinya. Pastinya dengan kesungguhan, juga ijtihad yang diolah dengan kejujuran dan tanggung jawab tatkala menghadapi suatu masalah akan menjadikan masalah tersebut menjadi lebih mudah. Bahkan berbuahkan hasil yang tidak diduga-duga.
Semoga apa yang kualami kemarin menjadi pelajaran berharga untuk hidupku kedepannya, dan langkah awal menuju kesuksesan.

****
Mohon doanya dari teman-teman, semoga apa yang telah saya usahakan berbuahkan hasil yang diharapkan, cerita ini benar adanya dan terjadi padaku kemarin tatkala hendak mengirimkan hasil karyaku keWaspada. Walaupun ku tak tahu apa yang akan terjadi kedepannya, pastinya kumasih mengharap semoga Allah mengabulkan doa dan usahaku, yang mungkin dapat diperkuat dengan doa-doa teman semuanya.

SYUKRON A'LA KULLI DU'AI

Membeli Kebahagiaan.  

Posted by Unknown in


Seperti biasa Mahmoud, Kepala cabang di sebuah perusahaan swasta terkemuka di jakarta, tiba di rumahnya pada pukul sembilan malam. Setiap malam, pasti istrinya dengan setia menunggui dan membukakan pintu untuknya. Namun, malam itu tidak seperti biasanya, zaskia putri pertamanya yang baru duduk di kelas tiga sekolah dasar membukakan pintu untuknya. Nampaknya dia sudak menunggu cukup lama.
“Kok, belum tidur ?” sapa Mahmoud sambil mencium anaknya.
Biasanya Zaskia memang sudah lelap ketika dia pulang dan baru terjaga ketika dia akan berangkat ke kantor pagi hari.
Sambil membuntuti sang ayah menuju ruang keluarga, Zaskia menjawab, “Aku nunggu ayah pulang. Sebab aku mau tanya berapa sih gaji ayah?”
“Lho tumben, kok nanya gaji ayah? Mau minta uang lagi ya?”
“Ah, enggak. Pengen tahu aja” ucap Zaskia singkat.
”Oke. Kamu boleh hitung sendiri. Setiap hari ayah bekerja sekitar 10 jam dan bayar Rp.400.000,- Setiap bulan rata-rata dihitung 22 hari kerja. Sabtu dan Minggu libur, kadang Sabtu ayah masih lembur dan mendapat gaji tambahan. Jadi, gaji ayah dalam satu bulan berapa, hayo?”
Zaskia berlari mengambil kertas dan pensilnya dari meja belajar, sementara ayahnya melepas sepatu dan menyalakan televisi. Ketika Mahmoud beranjak menuju kamar untuk berganti pakaian, Zaskia berlari mengikutinya.
“Kalo satu hari ayah dibayar Rp.400.000,- untuk 10 jam, berarti satu jam ayah digaji Rp.40.000,-dong” katanya.
“Wach, pinter kamu. Sudah, sekarang cuci kaki dan tangan, lalu tidur oke!” perintah Mahmoud.
Tetapi Zaskia tidak beranjak. Sambil menyaksikan ayahnya bertanya, “Ayah, aku boleh pinjam unag Rp.5.000,-enggak?”
“Sudah, enggak usah macam-macam lagi. Buat apa minta uang malam-malam begini? Ayah capek. Dan mau mandi dulu. Tidurlah”.
“Tapi ayah…”
Kesabaran Mahmoud pun habis. “Ayah bilang tidur !” hardiknya mengejutkan Zaskia. Anak kecil itu pun berbalik menuju kamarnya.
Usai mandi, Mahmoud nampak menyesali hardikannya. Dia pun menengok Zaskia di kamar tidurnya. Anak kesayangannya itu belum tidur. Zaskia didapati sedang terisak-isak pelan sambil memegang uang Rp. 15.000,- di tangannya.
Sambil berbaring dan mengelus kepala bocah kecil itu, Mahmoud berkata, “Maafkan ayah, nak, ayah sayang sama Zaskia. Tapi buat apa sih munta uang malam-malam begini? Jangankan Rp.5.000,- lebih dari itu pun ayah kasih” bujuk Mahmoud.
“Ayah, aku enggak minta uang. Aku hanya pinjam. Nanti aku kembalikan kalu sudah menabung lagi dari uang jajan selama minggu ini”.
“Iya, iya, tapi buat apa ?” tanya Mahmoud lembut.
“Aku menunggu ayah dari jam 8. Aku mau ajak ayah main ular tangga. Tiga puluh menit aja. Ibu sering bilang kalo waktu ayah itu sangat berharga. Jadi, aku mau ganti waktu ayah. Aku buka tabunganku, hanya ada Rp. 15.000,- tapi karena ayah bilang satu jam ayah dibayar Rp.40.000,- maka setengah jam aku harus ganti Rp.20.000,- Tapi duit tabunganku kurang Rp.5.000,- makanya aku mau pinjam dari ayah” kata Zaskia polos.
Mahmoud pun terdiam. Dia kehilangan kata-kata. Dipeluknya bocah kecil itu erat-erat dengan perasaan haru. Dia baru menyadari ternyata limpahan harta yang dia berikan salama ini, tidak cukup untuk “membeli” kebahagian anaknya.
* * *
Setiap orang mencari kebahagiaan. Termasuk Anda, saya dan ratusan juta umat manusia di muka bumi ini. Bila Anda bertanya pada sembarang orang ‘apa yang ingin Anda dapatkan dalam hidup ini?’ Kebanyakan orang akan menjawab ‘saya ingin bahagia’ sebagai salah satu hal yang paling mereka inginkan.
Lalu, pertanyaan berikutnya muncul, ‘apakah Anda sudah bahagia?’ Ada yang bilang, ‘ya, saya bahagia’ Begitu juga, sebagian yang lain akan berkeluh-kesah ’saya tidak bahagia’.
Namun, pertanyaan yang paling penting adalah ‘bahagia itu apa‘? Kita bisa mencapai sesuatu bila jelas definisinya. Seperti saat Anda ingin menuju ke suatu tempat, Anda tahu terlebih dahulu alamatnya kemudian mencari jalan ke sana. Kita pun akan mencapai kondisi bahagia bila tahu yang akan kita tuju.
Ada yang berpendapat mengatakan definisi bahagia adalah: memiliki rumah keren, mobil mewah, istri cantik dan anak-anak yang lucu.
Lalu, bagaimana bila tak mendapati hal yang diinginkan di atas, apakah berarti orang ini menjadi ‘tidak bahagia’?
Ada sebagian lain yang menyatakan definisi bahagia adalah:
- Hidup tenteram dan tidak punya banyak masalah;
- Mendapatkan seseorang yang mencintai dan dicintai seumur hidup.
- Menjadi diri sendiri.
- Bebas melakukan sesuatu dan tidak terikat orang lain.
- Terlepas dari hutang.
Kesimpulannya, setiap orang memiliki definisi bahagia masing-masing. Namun perlu kita ketahui bersama seringkali kita terjerembab mendefenisikan kebahagiaan dalam suatu hal yang bersifat materialistik, ataupun hanya sekedar dapat dipandang melalui kasat mata saja. Akan tetapi jauh dari pada itu semua ternyata kebhagiaan lebih luas dalam artian abstrak. Bahwa kebahagiaan batin justru lebih mendominasi keutuhan defenisi kebhagiaan, karena itu mencakup dunia dan akhirat. Seperti kisah yang saya paparkan diawal bahwa Kebahgiaan Tidak mampu dibeli, perlu adanya pengorbanan yang penuh (kaafah) terhadap sesuatu.
Boleh jadi, definisi bahagia Anda memberikan inspirasi bagi orang lain merupakan suatu yang kebahagiaan yang tak ternilai harganya.
Wallahu A’lam Bishowab.