MAKNA PENGABDIAN SEORANG HAMBA  

Posted by Unknown in , ,

PENGABDIAN SEORANG HAMBA

(Refleksi buku 30 Ways to Serve Religion, Syaikh Ridho Shamadi)

Ke mana pun aku palingkan wajah, yang kulihat hanyalah hak yang dirampas
Di mana pun aku berada, yang kudengar hanyalah rintihan tangisan
Ke mana pun kakiku melangkah, yang kudapati hanyalah jalan buntu,
barisan yang menakjubkan, dan kehinaan yang menakutkan, aku pun menyeru,


“Wahai umatku! Bangkitlah, raih kemulia!”
Namun, tak satu pun aku dapati orang yang menjawab seruanku
(Syaikh Ridha Shamadi)
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Bismillah…..

 Dengan menyebut Asma-Mu Ya Allah, kuawali kembali jemari kasarku mengetik huruf demi huruf menjadi rangkaian kata. Menuliskannya demi menulusuri kembali hikmah yang terselip dari hati yang mulai buta ibrah. Semoga dapat tercerahkan walau harus kesekian kalinya terjatuh dalam lembah nista.

Saudaraku, insan sejati! Saat kubaca doa yang kau tuliskan di dinding biru (facebook) dengan bertambahnya usia ini. Membuat hati ini tergerak kembali untuk segera berbenah diri, yang pada intinya, mengharapkan kebaikan dari diri yang kerdil  ini. Harapan untuk memanfaatkan usia dengan sebaik mungkin, agar menjadi hamba-Nya yang menebarkan manfaat dan maslahat di muka bumi. Menjadi satu alasan penting yang perlu kukutahui, agar mempersiapkan diri sedini mungkin menuju satu pengabdian abadi pada-Nya.

Ya, pengabdian! Makna pengabdian tiada akhir seorang hamba pada Tuhannya. Seketika aku terhenyak dari lamunan menatap barisan kata. Bahwa aku tidak ingin terjebak dalam  ritual ulang tahun sebagaimana biasa. Karena menurut pandangan syar’I hal tersebut dilarang, karena ditakutkan adanya unsur tasyabbuh (mengikuti ) tradisi kaum kuffar. Hal ini secara jelas menyalahi sunnah Nabi, Sahabat, dan para tabi’in yang sama sekali tidak menyontohkannya. Aku pun baru menyadari itu, setelah belajar dan banyak bertanya dengan para Masyaikh dan buku yang kubaca.

Tentu sangat berat untuk pertama kalinya mengetahui hal itu, disebabkan tradisi ini sudah mendarah daging ditubuh umat, khususnya kebiasaanku sebelum-sebelumnya. Baik itu dengan istilah-istilah yang lain sekalipun (Doa selamatan, minta dipanjangkan usia) Dikarenakan, panjang umur bagi seseorang tidak selalu berbuah baik, kecuali kalau dihabiskan dalam menggapai keridhaan Allah dan ketaatanNya. Sebaik-baik orang adalah orang yang panjang umurnya dan baik amalannya. Sementara orang yang paling buruk adalah manusia yang panjang umurnya dan buruk amalanya.

Karena itulah, sebagian ulama tidak menyukai do'a agar dikaruniakan umur panjang secara mutlak. Mereka kurang setuju dengan ungkapan : "Semoga Allah memanjangkan umurmu" kecuali dengan keterangan "Dalam ketaatanNya" atau "Dalam kebaikan" atau kalimat yang serupa. Alasannya umur panjang kadangkala tidak baik bagi yang bersangkutan, karena umur yang panjang jika disertai dengan amalan yang buruk -semoga Allah menjauhkan kita darinya- hanya akan membawa keburukan baginya, serta menambah siksaan dan malapetaka.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

" Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (kearah kebinasaan), dengan cara yang tidak mereka ketahui. Dan Aku memberi tangguh kepada mereka. Sesungguhnya rencana amat teguh". [QS. Al-A'raf : 182-183]

 Tentu, dalam ranah saling mengingatkan. Semoga tidak keliru. Aku cenderung ingin menanggapi harapan dan doa yang kau titipkan padaku. Sungguh.., membacanya membuat lidah keluh harus berkata apa. Saat mengetahui diri belum mampu berbuat apa-apa. Ketika ku mendapati diriku masih saja terlalaikan oleh roda waktu yang berlari begitu cepat, hingga tertatih-tatih kumelangkah mencari penyebab di balik semua penyesalan.

Akhirnya timbul dalam benakku, untuk melihat kembali apa sebenarnya yang menjadi inti permasalahan, yakni dengan bertanya dan terus bertanya. Hingga sampailah aku pada satu pertanyaan yang sempat kulupakan; Apa yang telah kupersembahkan untuk umat? Lagi-lagi pertanyaan ini mengusik nurani, saat kusadari, ternyata aku belum banyak menyumbangkan apa-apa untuk umat dan agamaku.

Saat kurebahkan punggung di atas kasur, kulihat langit-langit kamar yang bisu. Kuedarkan pandangan melirik buku-buku yang berjajar rapi di rak kardus disampingku. Teringat buku yang pernah kubeli setahun yang lalu sebelum keberadaanku di Negeri dua nil ini. 30 Ways to Serve Relegion (30 Cara mengabdi pada agama), buku yang ditulis oleh Syaikh Ridho Shamadi yang diterjemahkan oleh Azzam Center, penerbit Qisthi cetakan Desember 2007. Seketika aku bergumam “Mengapa baru sekarang aku tersadar untuk membacanya?” Buku pemberian sahabatku sepengabdian saat mengajar di pondok dahulu ternyata menyimpan makna yang sangat mendalam.  Sungguh, buku ini menghipnotisku!. Mengingatkanku kembali tentang arti hidup di muka bumi. Bahwa tugas dan amanah umat begitu besarnya di pundak. Agar senantiasa tetap dalam ranah fi sabilillah.

Kucoba untuk membacanya untuk kedua kalinya, berharap  ia kembali menyadarkanku atas kelalaianku. Maka disinilah kembali diri ingin menyampaikan kepadamu beberapa point penting, yang aku dapatkan tatkala mencoba mengutip hikmah dari buku beliau yang mungkin bermanfaat pula bagimu. Izinkanlah, kutulis kembali penuturan beliau di ruang muhasabah ini, semoga kita dapat menyelami dan menyadari peranan diri sebagai hamba-Nya yang berbakti.

PENGABDIAN PADA AGAMA ADALAH SUATU KEHARUSAN.

Saudaraku, insan sejati! Pelajaran pertama yang kudapatkan dari buku itu berbicara tentang Pengabdian kepada Agama. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:

“. Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagiNya; dan demikian Itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)" (QS. Al-An’am: 162-163)

Ayat ini menyatakan dengan tegas ikrar yang seharusnya kita ingat selalu, bahwa hidup-mati kita adalah untuk beribadah kepadanya. Namun, kerap kali hal ini hanya sebatas teori semata. Bacalah sejenak penuturan syaikh Shamadi tentang makna pengabdian berikut:

Semakin besar pengabdian yang diberikan seorang hamba maka semakin tinggi derajatnya di sisi Allah. Pengabdian ini bukanlah satu pekerjaan biasa atau jabatan kehormatan yang setiap orang bisa menerimanya atau menolaknya. Ia juga bukan pekerjaan sukarela, dan bukan pula fardhu kifayah. Pengabdian untuk agama bukan sekadar kewajiban biasa. Ia adalah tiang penting penyangga tegaknya agama, sesuatu yang tidak boleh ditinggalkan, dan pondasi yang melandasi bangunan agama. Pemahaman seperti inilah yang tertanam dalam hati para pendahulu kita dari kalangan as-salaf ash-shalih. Pemahaman ini seolah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari akidah mereka. tak perlu mencari dalil-dalil untuk membuktikan kebenaran pemahaman ini. Hanya dengan mengucapkan ikrar dua kalimat syahadat lalu disertai dengan keimanan yang kokoh dalam dada, mereka masing-masing secara otomatis akan memahami bahwa dirinya adalah pelayan agama ini sekaligus bagian dari barisan tentara yang siap mengorbankan segala sesuatu yang dimilikinya demi membela kehormatan agama ini”

Imam Ghozali turut berujar: " Orang yang tinggal diam di rumah saja tanpa mau memperdulikan keadaan masyarakat sekitarnya, tidak mau menyampaikan ajaran agama yang diketahuinya kepada orang lain maka ia telah melakukan satu kemungkaran. Saat ini, masyarakat di daerah perkotaan banyak yang belum memahami agama. Mereka mengenal Islam hanya sekadar namanya saja. Banyak dari mereka yang belum mengetahui ajaran-ajaran Islam, seperti tata cara Shalat. Kalau di daerah perkotaan saja seperti itu maka bagaimana dengan keadaan di daerah-daerah pelosok? Keadaannya tentu akan lebih parah lagi. Oleh karena itu, di setiap Masjid atau desa seharusnya ada minimal satu orang ulama yang mengajari masyarakat. Kemudian setelah menunaikan kewajiban di tempat tersebut, ia hendaknya tidak berhenti sampai di situ saja. Ia harus meneruskan dakwahnya ke tempat lain untuk mengajari manusia ajaran agamanya."

Saudaraku, apa yang kau rasakan setelah membaca penuturan para ulama di atas? Tentu bagi mereka yang ‘benar-benar sadar’ arti pengabdian, akan mengatakan benar adanya apa yang beliau utarakan. Bahwa pada akhirnya seseorang akan menyadari, makna pengabdian itu bagi dirinya merupakan pelayanan pada agama ini. Bahwa pengorbanan segala sesuatu yang dimilikinya demi membela kehormatan agama ini merupakan tugas yang wajib untuk ditunaikan. Nah, yang menjadi pertanyaan kembali, “pelayanan apakah yang harus kita tunaikan?”

Allah Subhanahu wata’ala berfirman:

“Hai orang yang berselimut, bangunlah lalu berilah peringatan” (QS. Al-Muddatsir: 1-2)
“Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-Mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik”. (QS. An-Nahl:125)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -rahimahullah- menyatakan, menyangkut penafsiran surat Al-Muddatsir ayat 1-2 di atas : “ Umat Islam wajib menyampaikan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam dan memberi peringatan sebagaimana beliau dulu memberi peringatan” (Majmu’ al-Fatawa, jilid XVI, hlm 327)

Syaikh Ibnu Al-Qoyyim –rahimahullah- juga berkata:
Menyampaikan sunnah Nabi Muhammad kepada umat lebih utama daripada berjuang memerangi musuh. Sebab, berjuang melawan musuh banyak yang bisa melakukannya. Sedangkan menyampaikan sunnah, tidak ada yang bisa melakukannya kecuali para pewaris nabi dan penerusnya”(At-Tafsir al-Qoyyim, hlm 431)

Dari kalam Ilahi juga kedua ulama mu’tabar di atas, jelaslah, bahwa pelayanan yang semestinya ditunaikan ialah mengajak orang kembali kepada fitrahnya sebagai hamba. Beribadah sepenuh hati pada-Nya, meng-Esa-kan Allah dari para penyekutu-Nya. Apapun profesinya, yang pasti tidak melanggar aturan syari’at, hendaklah melestarikan kembali sunnah Nabi yang tentunya disertai dengan ilmu dan dalil-dalil yang menyertai. Harus ada usaha untuk mencari kebenaran dan tidak sekedar taklid buta. Tidak mencari Pembenaran dari ucapan, namun kebenaranlah yang menjadi pegangan dan sandaran.

Jika kita perhatikan dengan seksama, akan kita dapati bahwa setiap orang yang mengaku berkomitmen kepada agama ini dengan sendirinya akan menjadi bagian dari penyeru yang mengajak manusia kepada jalan kebenarannya. Nah, sudahkah Kita menjadi salah satu penyeru itu?

Pelajaran kedua yang Aku dapatkan, yakni : Inti Persoalan Umat dalam Berdakwah.

Syaikh Shamadi, kemudian berujar dalam muqaddimah buku: “Perlu diketahui bahwa penghalang keterlibatan kaum Muslimin dalam berdakwah adalah anggapan bahwa yang bertanggung jawab untuk berdakwah hanyalah mereka yang memakai sorban dan berjenggot. Ditambah lagi dengan  anggapan bahwa jika seseorang sudah mengerjakan beberapa kewajiban agama seperti shalat, puasa, dan haji maka ia tidak wajib untuk memikirkan permasalahan kaum Muslimin.”.
Beliau menambahkan, “Loyalitas terhadap agama yang telah mengakar dalam diri pribadi setiap Muslim kini telah tergerus karena kuatnya arus budaya Jahiliyah modern. Nasionalisme dan fanatisme golongan telah menjadikan kaum Muslimin terkotak-kotak dalam sekat ideology yang sempit. Besarnya reaksi seseorang terhadap permasahalan yang dia hadapi sangat tergantung pada ideology yang dia yakini. Kaum Muslimin sekarang telah terjebak dalam sekat-sekat ideology sempit. Sehingga, agama tidak lagi menjadi prioritas uatama. Penyakit ini bukan hanya menjangkiti orang-orang awam saja, tapi juga menyebar di kalangan orang-orang yang selama ini terlihat sangat berkomitmen terhadap agama” 

Di sinilah, menurut beliau inti persoalan sebenarnya yang harus kita cari solusinya. Sungguh sangat sulit untuk memulai darimana dan mau kemana jalan dakwah ini hendak dibawa. Karena benar adanya, fenomena yang beliau tuturkan merupakan kenyataan yang kini mengganjal langkah untuk segera bangkit dari segala keterpurukan. Keengganan untuk berjihad merupakan bencana besar yang telah menimpa umat dari dulu hingga sekarang. Kalau dulu dengan kekerasan dan penyiksaan, kaum Muslimin dipaksa meninggalkan agamanya. Namun, pada abad ke-20 ini mereka justru dipaksa untuk meninggalkan agamanya, namun dengan cara yang sangat halus dan pasti-dampak kerusakannya.

Salah satu faktornya adalah media-media. Sudah bukan rahasia lagi bahwa media-media yang memusuhi Islam sekarang sedang menggelar perang informasi melawan kaum Muslimin. Perang ini dikenal dengan istilah penyatuan opini publik. Media-media informasi- bukan hanya yang ada di negeri-negeri kaum kuffar saja tapi juga di negeri-negeri muslim- ternyata mempunyai satu misi yang sama yaitu menebarkan nilai-nilai penghancur agama. Ketika nilai-nilai tersebut diterima oleh public maka mereka semakin giat untuk menyungguhkan informasi dan tayangan yang mengajak masyarakat untuk tenggelam dalam kesenangan nafsu yang rendah.

Beberapa orang akitifis dakwah bertutur dalam buku yang ditulis oleh Syaikh Shamadi, “ Maka, sudah tidak aneh lagi, jika ada acara yang bersifat religious kemudian dilanjutkan dengan film kuffar yang tidak bermoral. Sudah tidak dianggap aib lagi, jika ada pembawa acara televisi – dengan pakaian mengumbar aurat – melakukan wawancara via telepon dengan seorang syaikh yang bersorban. Kita juga akan tercengan keheranan menyaksikan sebuah acara yang dikatakan religious tapi ternyata berisi tentang kisah para imam yang digambarkan sebagai orang-orang yang dimabuk cinta, suka bersenang-senang dengan music, terbuai dengan keindahan seni dan kecantikan wanita”

Nah, kondisi ini sengaja diciptakan untuk menghapus loyalitas seorang Muslim terhadap agamanya. Akibatnya sekarang, perbuatan maksiat dianggap sebagai kebiasaan orang-orang modern dan berpikiran maju. Sedangkan orang yang menjalankan ajaran agamanya dengan baik dianggap sebagai orang kolot dan ketinggalan zaman. Jilbab dan Niqob dianggap sebagai satu bentuk kemunduran. Sebaliknya, pakaian yang memperlihatkan aurat dianggap sebagai satu bentuk kemajuan. Ketika ada seseorang ingin konsisten mengerjakan ajaran agamanya, akan dikatakan padanya, “Agama itu mudah, janganlah terlalu ekstrem dalam beragama karena akan berakibat tidak baik.” Hal itu belum seberapa bila dibandingkan dengan mereka yang melarang orang untuk menjalankan ajaran agama, kemudian menciptakan satu opini bahwa komitmen terhadap agama akan berakhir dengan hukuman penjara.

Dan yang lebih mengherankan lagi adalah sebagian sarjana Muslim ternyata turut berperan besar dalam membantu media-media kafir untuk menjalankan misi busuknya. Bahkan terkadang kerusakan yang ditimbulkan mereka lebih besar daripada yang ditimbulkan media. Para sarjana tersebut telah berhasil menanamkan satu pemahaman bahwa dakwah adalah spesialisasi bagi segelintir orang saja dan bukan merupakan kewajiban bagi setiap pribadi Muslim. Menurut mereka, dakwah boleh dilaksanakan jika ada izin dari pihak-pihak yang berwenang dalam masalah ini. Itu diperparah lagi dengan peran mereka yang besar dalam meracuni pemikiran para mahasiswa yang merupakan generasi penerus perjuangan dakwah. Wal ‘Iyadzu billah…


Aku jadi teringat dengan sebuah nadzhom dalam kitab Ta’liim al-Muta’allim Thoriqa at-Ta’allum, karya Syaikh Burhanuddin Az-Zurnuji:
“Kerusakan yang besar bagi seorang ‘Alim yang rusak-akhlaknya, dan lebih besar lagi kerusakannya bagi seorang awam – yang membenarkan perbuatannya. Keduanya merupakan bencana yang besar bagi seorang ‘Alim yang berpegang teguh pada agamanya”

***
Setelah memahami inti dari semua permasalahan, sekarang tinggal bagaimana mencari solusi yang tepat. Jika mereka menyesatkan manusia dengan menyebarkan kebatilan lewat media yang mereka miliki, maka kita pula harus melawan mereka dengan menyebarkan kebenaran lewat gerakan dakwah kita. Namun, tindakan ini saja belum cukup, karena kita masih mempunyai satu pertanyaan besar yang harus dijawab, yakni “Bagaimanakah cara menanamkan dalam diri kaum Muslimin – khususnya para aktifis dakwah dan orang-orang yang masih memiliki ghirah perjuangan – satu kesadaran akan tanggung jawab untuk membela dan memperjuangkan agama?”

Pertanyaan ini jika bisa dijawab dan direalisasikan, tentu akan bisa memberikan kemajuan yang signifikan dalam gerakan dakwah. Kalau kita hanya mencari-cari alasan untuk lari dari kenyataan ini, maka selamanya permasalahan umat tidak akan terselesaikan.

Semoga dengan refleksi bacaan yang singkat ini, mengingatkan kita pada arti ‘Pengabdian’ yang sebenarnya, serta memanfaatkan usia yang kian bertambah agar tidak terjerumus dalam perangkap dan tipu daya musuh-musuh umat dalam ranah perbaikan bersama. Amin.


واجعل الحياة زيادة لنا في كل خير, و اجعل الموت راحة لنا من كل شر, يــا رب العــــــــــــــــــــــــــامين....

Wallahu A’lam Bishowab...

Muhammad Nur
17 Dzulqo'dah 1432 H
Khortoum- Sudan

I'tikaf Kerinduan  

Posted by Unknown in



















Aku duduk termangu menatap lenguh

Letih menanti datangnya

Setiap kata hilang sepi

Hanyut dalam alunan nestapa sunyi



Dalam lamunku aku sadar

Betapa kehidupan telah jauh meninggalkan usia

Langkah-kaki pergi menjemput bayang dunia

Hilangkan sejenak akhirat menyapa

Tanpa kusadari; tiada amal, tiada bekal

Untuk kubawa menuju kehidupan yang abadi



Seperti pengembara yang tertatih di hamparan gurun

Duduk sejenak, dibawah pohon

Kemudian beranjak pergi kembali

Begitulah hidup,



Bekal apa yang hendak kubawa di hari kelak nanti

Dengan usia yang kian berlari

Meninggalkan semua yang kuraih

Hanya semu-semi

Melalai makna arti



Dalam I'tikaf kerinduanku

Ku pasrahkan segala iba pada Sang Segala

Agar senantiasa menetapkan qalbu,

Membuka tabir hikmah dibalik kelabu

Mencoba menata hati yang kerap ragu



Dalam I'tikaf kerinduanku

Ku pahat segala asa mengharap hikmah

Agar kelak kumampu melangkah di jalan-Nya

Dalam keridhoan, di atas petunjuk Sang Rahman

Meniti kembali cita dan cinta yang sempat terlalaikan



Di hari suci ini, sudahkah kemenangan itu kuraih?

Ah, seakan masih semu dan hanya Ialah yang Maha Tahu

Segala isi qalbu yang kelabu

"Ya Rabb, lapangkanlah hatiku dengan kasih-Mu..





رب اشرح لي صدري ويسر لي أمري...



Khartoum, Sudan

4 Syawal 1432 H

Andai Engkau Tahu, Saudaraku...  

Posted by Unknown in

Tatapan kosong memandang hari

Di Padang tandus menanti kedatangan,

Siapa?

Apa?

Dan bagaimana?



Dalam kepapahan pasrah

Dalam keteguhan iman dan islam di sukma

Tak tahu harus berbuat apa

Di Negeri debu masih menunggu

Sapa tanganmu meraba

Wahai saudaraku...



Ah, sudah tidak di pungkiri

Tabu kematian setia menyeringai

Tinggal menunggu hari..!



Namun itu bukan berarti imanku mati

Syari'at akan tetap berdiri

Shalatku akan tetap menjadi pondasi

Jilbabku akan selamanya terpatri

Puasa masih harus kujalani,

Itulah usaha yang masih bisa kulakukan untuk saat ini




Andai engkau tahu, saudaraku..!

Di saat orang-orang sibuk menguruskan berat badannya

Berlari, berlompat, bahkan mengkonsumsi pil diet

Aku sibuk mengkencangkan perutku, juga anakku

Agar mengurangi rasa lapar yang datang

Dengan tubuhku yang tinggal 'tulang'







Andai engkau tahu, Saudaraku..!

Di saat orang-orang bersuka ria

Menyambut bulan ramadhan yang telah berlalu

Dan Idul fitri kini, dengan aneka ragam menu

Aku masih menenangkan anakku yang resah

Memberikan ASI yang tak lagi ada...




Jangan kau tanya tentang puasaku!

Aku tahu itu, bahkan aku lebih tahu akan itu

Karena aku telah berpuasa,

berhari-hari sebelum Ramadhan tiba..

Walau telah berusaha ku mencari setetes air

Di terik gurun, di terik mentari

Hanya untuk berbuka puasa hari ini..



Tidakkah perasamu bergetar?

Melihat getar tubuh kami di sini menahan lapar

Siang- malam, siaga burung-burung nazar

Senantiasa menyeringai tubuh kami yang lemah



Andai kau tahu, Saudaraku...

Bahwa sebagian hartamu adalah sebagian hak kami

Bahwa ialah kelak yang menyelamatkanmu dari panas api-neraka

Tidakkah kau ingat sabda Nabi?

"Lindungilah dirimu dari panasnya neraka walau hanya dengan sebiji kurma

Maka bersedekahlah..!



Sebagai Umat Muhammad, Umat terkasih

Kasihilah Saudara-saudaramu di sini,

Walau hanya dengan titipan doa

Moga Iman, Islam, Ihsan,

ditetapkan dalam hati...


Khartoum, Sudan

04 Syawal 1432

[Oase] Mencintai Al-Qur'an-Tadabbur Surat Ar-Rahman  

Posted by Unknown in ,

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Kasih Allah yang diberikan kepada seluruh ciptaan-Nya tanpa pilih kasih. Sayang Allah yang dilimpahkan atas hamba pilihan-Nya tanpa terbayang. Pemberi karunia tiada batas. Meskipun air laut dijadikan tinta, ranting pohon dijadikan pena, serta daun tanaman dijadikan kertas, untuk menghitung nikmat Allah SWT, niscaya akan kering sebelum dapat mencatatnya. Semoga keselamatan dan kesejahteraan senantiasa tercurah atas nabi Muhammad SAW. Pemimpin para Rasul. Penutup para Nabi. Suri tauladan bagi seluruh ummat manusia.

Ikhwah fillah, Pada kesempatan ini, saya terhenyak dengan sebuah tulisan seorang ikhwan yang saya baca pada Majalah El-Nilein (Media Komunikasi dan Informasi Mahasiswa di Sudan) yang saya dapatkan dari seorang sahabat. Hati saya tiba-tiba terharu dan terketuk setelah membaca tulisan ikhwan tersebut yang membuat saya bersemangat untuk menuliskannya kembali di media facebook ini. Hanya saja, saya ingin menggabungkan kembali tulisan dengan menambahkan sedikit bahasa, sembari mengambil i'tibar dari apa yang telah dijalani. Semoga apa yang tertuliskan ini menjadi dakwah adanya untuk membangkitkan kembali himmah menjadi insan sejati yang berdedikasi pada Din al-izzah.

Tadabbur Surat Ar-Rahman
Seperti biasa pagi itu seorang pemuda membuka lembaran Al-Qur'an saku yang selalu setiap menemani kemanapun dia pergi. itu telah menjadi sebuah rutinitas. Setiap terdapat waktu kosong ia selalu berusaha untuk tilawah dan bertadabbur. Dia memang seorang pemuda shaleh yang sangat mencintai kitab suci pedoman hidupnya. Dan ia menghayati bacaan Al-Qur'an dengan kalimatnya yang sangat indah untuk dimengerti.

Kali ini, Pemuda tersebut membaca surat Ar-Rahman. Ia membaca ayat," Fa bi ayyi aalla-i Rabbikumaa tukadzziban? Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?". Sungguh takjub, bening air matapun mengalir deras dari matanya yang sejuk. Hatinya terasa damai, ia pun kembali mentadabburi ayat demi ayat dalam surat tersebut.
***

Ikhwah fillah, Mari kita coba untuk ikuti pemuda itu dalam mentadabburi Surat Ar-Rahman yang ia baca!

Sebagai muslim sejati, kita dituntut untuk senantiasa menjadikan Al-Qur'an sebagai pedoman hidup, azas dari segala azas yang ada. Merealisaskan kembali apa yang menjadi tugas dan kewajiban utama kita sebelum meminta hak untuk diri kita. Diantara tugas utama itu ialah 'menjadikan amal perbuatan memiliki nilai instrinsik ibadah'. Sebagaimana dalam Surat Ad-Dzariyat ayat 56 berbunyi : "Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku".  Tentu, ibadah tidak sembarang ibadah, hendak pula dibarengi dengan adanya ketulusan di dalamnya, ketulusan yang merupakan inti daripada ibadah itu sendiri. Disamping itu pula hendaklah berdasarkan Syari'at yang benar, dan tidak asal berbuat.

Membaca surat Ar-Rahman. Sebuah surat dengan pengulangan ayat yang sama, dapat menghadirkan nuansa keagungan Al-Qur'an. Ayat itu berbunyi "Fa bi ayyi aalaa-i Rabbikumaa tukadzibaan, Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?". Surat Ar-Rahman yang memiliki 78 ayat terdapat 31 ayat dengan pengulangan yang sama. Itu artinya, hampir setengah kandungan surat tersebut mempertanyakan manusia-dan jin, yakni dengan sebuah pertanyaan yang menegaskan kelalaian dua makhluk Allah ini dalam bersyukur, dengan secara tegas dengan makna lain berkata "Mengapa seringkali manusia tidak bersyukur terhadap nikmat Allah SWT?"

Mentadabburi satu-dua ayat saat tilawah sangat membantu kita dalam memahami maksud dan konteks ayat tersebut. Banyak sekali ayat yang menarik perhatian. Terkadang ada dua ayat yang tampak berhubungan, tanpa disebut secara langsung dua ayat berurutan itu. Sebagai contoh ayat 39 dalam surat Ar-Rahman yang berbunyi : "Fa yauma idzin laa ys-alu 'an dzanbihil insun wa laa jaann; Pada hari itu manusia dan jin tidak ditanya tentang dosaya". Pada saat yang bersamaan ayat tersebut dilanjutkan dengan ayat yang berbunyi " Fa bi ayyi aala-i Rabbikumaa tukadzzibaan". Lantas apa hubungan antara kedua ayat tersebut?

Ikhwan Penulis itu  menggambarkan keterkaitan dua ayat diatas dengan suatu perumpamaan lain, yakni dengan sebuah kejadian nyata yang terjadi pada sepasang remaja di Aceh yang tertangkap basah sedang berkhalwat. Menerima hukuman cambuk yang konon melanggar Hak Asasi Manusia ( Menurut pandangan sebagian orang). Hukuman yang tidak menyakitkan badan saja, tetapi menyakitkan hati pula. Ya, mereka dicambuk di depan ribuan warga yang menyaksikan. Malu, sudah pasti. Terhinakan di hadapan banyak orang kemanapun mereka pergi, di samping itu orang akan memandang sinis, meskipun hukuman telah tertunaikan d dunia. Namun dbalik itu, hukuman cambuk yang dinyatakan Al-Qur'an secara jelas menjadi kafarah (penghapus dosa) sebelum nantinya dihisab di yaumi-dien. Memang luar biasa sekali ayat Al-Qur'an, seperti menstimulasi  kita untuk berpikir cerdas, yakni apa hubungan antara "Dosa yang tidak ditanya di dunia, dengan "Mengapa manusia tidak bersyukur?".

Ya, rasa malu tadi. Tentu Allah SWT yang Maha Mengetahui, memiliki maksud lain, mengapa dosa tidak ditanya saat di dunia, melainkan di Akhirat. Manusia memiliki rasa malu terhadap sesamanya. Dan itu terjadi secara naluriah. Bahkan perampok saja menggunakan topeng saat merampok, tentu sangat mustahil ia berterus terang mengisi kolom pekerjaan dalam KTP dengan kata "PERAMPOK". Jawaban yang alamiah, manusia memang memiliki rasa malu terhadap sesamanya.

Sungguh betapa bersyukurnya kita dalam melewati hari-hari penuh kesibukan sebagai seorang muslim. Mengingat betapa banyak yang dapat kita jadikan sandaran dan rujukan untuk menghidupkan kembali hati yang redup, yang terkadang sering terlalaikan oleh waktu. Salah satu sandaran hidup yang paling utama yang semestinya diberlakukan pada diri ini, yakni dengan adanya Tilawah dan tadabburil-Qur'an, pedoman umat. Semoga tadabbur beberapa ayat pada surat Ar-Rahman ini bermanfaat adanya. Ma'llah Muwafiq fii Aqwami thariq...[El-Ahmady]

Wallahu A'lam Biswhowab.

Muhammad Nur
Khartoum, Sudan
16/08/11

Muhasabah-Tentang Karya; Tingkah, Tinta, dan Kata  

Posted by Unknown in ,


Suatu ketika kumenyadari..
tentang satu pertanyaan yang menghampiri

Adakah orang bertanya tentang aku,
ketika ku tak pernah menulis sepatah kata?

Adakah orang akan mencari namaku..
ketika ku tak pernah meninggalkan pesan kepada mereka?

Dalam renung, aku segera bergegas
berlari mengejar suara nurani yang pergi jauh, di ujung batas
'nafsu' yang membunuh,
perbuatan yang kerap acuh
Aku terkalahkan oleh lika-liku fatamorgana waktu

Seketika kumenyadari,,
tatkala melihat berjilid-jilid buku para ulama berjejer rapi
Mempersiapkan umat dengan ilmu, warisan para Nabi

Sungguh aku merasa iri,
Tatkala nama mereka dikenang, di sebut-sebut di setiap pengajian
Tatkala nama mereka dijadikan alasan dan hujjah
Tatkala nama mereka di dengungkan para da'i
bahwa itulah tuntunan ,mengikuti para salafus shaleh..

Aku mulai merangkak, berjalan, dan berlari
setapak jalan mulai kutelusuri; lewat tinta dan kata

Aku pun mengawalinya dengan tinta
yang kuharap inilah langkah awalku mengabdikan diri
Sekian lama kubiasakan; kujalani dan nikmati
Ah, ada ganjal di hati!
ternyata tidak sekedar mengukir tinta
hendaklah disertai ilmu dan prilaku nyata

Seketika itu pula aku menyadari kembali,
Bahwa aku tidak seperti tulisanku...
yang ternyata mengumbar bunga-bunga kata
Aku belum  seperti tulisanku...
yang kerap berselaksa makna
Betapa aibnya diri saat itulah kenyataan diri

Ketika ku menyadari bahwa itulah tugasku kini
yang mesti kuperbaiki dengan perbuatan nyata
bahwa itulah satu kepastian yang dihadapi
bahwa tidak sekedar tinta dan kata
tingkah hendak pula bersama

Ingin diri seperti mereka para ulama rabbani,
namun apalah jua...
Aku mesti merawat hati untuk satu tujuan suci
Karena dengan hatilah karya mereka abadi

***
Mari kita mulai merealisasikan apa yang telah terucap dan tuliskan. Mulai memperbaiki dari diri sendiri sebelum menyampaikan, agar terhindar dari apa yang Allah Subhanahu Wata'ala sebutkan dalam Al-Qur'an :"Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan " (As-Shaf, ayat-3). Semoga ini dapat menjadi bahan muhasabah untuk saudara/iku pembaca tulisanku hari ini. Moga kelak kita dalam naungan hidayah dan petunjuk dari-Nya dalam melangkahkan kaki menuju ridho-Nya. [El-Ahmady]

Wallahu A'lam Bishowab...

MENUNTUT ILMU- "DALAM PENGAWASAN ALLAH"  

Posted by Unknown in , ,

[PART 4] MENUNTUT ILMU-- “DALAM PENGAWASAN ALLAH”
Catatan seorang Thalib’ilm di Negeri Dua Nil


“Sesungguhnya bagi Allah tidak ada satupun yang tersembunyi di bumi dan tidak (pula) di langit.” (Q.S. Ali Imran 5)
 
“yang melihat kamu ketika kamu berdiri (untuk sembahyang), dan (melihat pula) perobahan gerak badanmu di antara orang-orang yang sujud.”( Q.S. As-Syu’ara’ 218-219)

Perasaan apa yang muncul tatkala Anda merasa diawasi oleh seseorang? Ge’er, was-was, takut, ragu, panas-dingin atau sebaliknya kuat mental, percaya diri, dll. jawabannya pasti akan bermacam-macam sesuai pengalaman masing-masing. Tatkala menghadapi tes ujian misalnya, yang diadakan pihak tertentu; Universitas saat ujian masuk, UN (ujian nasional), melamar pekerjaan, dsb, kita akan berusaha sebaik mungkin agar tampil sempurna dalam menghadapi kesemuanya. Berusaha agar dapat melewati fase-fase tersebut dengan mudah dan tanpa halangan.

Nah, kalau saja rasa takut itu muncul tatkala tidak ingin terlihat buruk dalam pandangan manusia atau orang yang mengawasi, serta ujian-ujian formalitas yang belum tentu keabsahan serta tingkat  kesulitannya, bagaimana pula halnya dengan Tuhan yang menciptakan. Allah yang memberikan rasa takut, yang Maha Tahu atas segala sesuatu dimuka bumi. Allah yang selalu Maha mengawasi tingkah-laku, tidak kenal waktu, tidak merasakan letih dan lesu. Apakah diri telah siap menghadapi ujian nyata yang diberikan-Nya dalam kehidupan sehari-hari? Tidak takutkah seandainya nilai yang diterima merah atau angka nol (0) disetiap perbuatan yang dilakukan?

Semuanya sia-sia seandainya benar kalau saja kita tidak memperhatikan masalah urgent seperti ini. Karena sejatinya, sebagai hamba-Nya yang patuh kita dituntut agar senantiasa menjaga diri demi mempersembahkan hal terbaik itu kepada-Nya. Karena memang kita adalah makhuk-Nya dengan sebaik-baik penciptaan (Q.S. At-Tin 4) Salah satunya dengan menimbulkan rasa pengawasan itu dalam diri. Perasaan diawasi yang dengannya dituntut agar tingkah laku dan perbuatannya terlihat baik; tidak nyeleneh atau melanggar rambu-rambu yang sudah ada. Merasa diri sulit untuk melakukan tindakan penyimpangan, maupun hal-hal yang berkaitan dengannya. Karena fitrah manusia akan berusaha untuk menampilkan hal yang terbaik dalam hidupnya. Ia akan berusaha agar tingkah lakunya sempurna dipandangan orang yang mengawasinya.

Dalam bahasa arab kalimat pengawasaan dikenal dengan istilah Muraqabah. Masdhar ( sumber kata) dari rooqoba-yuooqibu, yang dapat diartikan dengan berbagai definisi yang saling berkaitan. Bisa diartikan dengan memonitori-roqoobah, menjaga-hars, mewaspadai-hadzar, atau perlindungan-ri’ayah. (Lihat Atabik Ali & Ahmad Juhdi Mudhar- Al-‘Ashri, Kamus kontemporer Arab-Indonesia Hal-985) Masing-masing memiliki keterkaitan makna yang erat dalam lingkup pengawasan secara tafshili (rinci). Keempat defenisi tersebut seperti empat tahapan yang timbul tatkala kegiatan muraqabah dilakukan:

(1) Merasa diri diawasi bahwa Allah senantiasa memonitori, baik itu secara langsung, ataupun dengan kedua malaikatnya (Raqib-‘Atid), yang bertugas mencatat hasanaat-wassayi’aat. Allah SWT bersabda: “Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya Malaikat Pengawas yang selalu hadir”. (Q.S.Qaf 18)

(2) Menjaga diri dari perbuatan buruk dan keji. Melakukan semua hal terbaik untuk dipersembahkann, baik itu dalam keterbukaan maupun sendiri. Karena memang manusia sebagai makhuk-Nya dengan sebaik-baik penciptaan (Q.S. At-Tin 4)  Mengingat tujuan hidup hanya untuk beribadah kepada-Nya semata (QS. Az-Dzariat 56)

(3) Mewaspadai dari gangguan yang datang menyeringai yang dengannya seseorang dituntut untuk mempersiapkan diri dengan bekal, ilmu dan mental yang kuat. Ilmu yang bersumber dari Allah SWT dan Rasul-Nya. Agar tidak mudah terpengaruh dengan aura negatif di sekitar.

(4) Nah, kalau ketiga tahapan diatas sudah terpenuhi, maka muncul-lah rasa di-ayomi (perlindungan) bahwa tiada suatu perbuatan yang luput kecuali dengan Kuasa-Nya. Bahwa Ialah yang Maha Besar. Merasakan kedekatan diri yang senantiasa dijaga dari Zat yang Maha melindungi.

Dari Ibn Abbas bahwa Rasulullah SAW berkata : “Jaga Allah maka Allah akan menjagamu. Jagalah Allah, maka kamu niscaya akan mendapatinya dihadapanmu. Apabila kamu meminta sesuatu mintalah kepada Allah, dan apabila kamu ingin meminta bantuan, mintalah pertolongan kepada-Nya. Dan ketahuilah, bahwa tiada suatu kaum yang mampu  memanfaatkanmu kecuali telah ditetapkan-Nya bagimu, dan tiada pula mampu untuk mencelakai kecuali telah ditetapkan-Nya bagimu… (HR. Tirmidzi).

Jelaslah bahwa Muraqabah lillah, akan menimbulkan keterjagaan dan perlindungan yang membuat hati seorang hamba akan senantiasa tertaut dalam naungan kasih-Nya, kepada-Nya tempat bersandar dan meminta.

***

Demikian pula dalam menuntut ilmu. Dengan keempat tahapan diatas, seorang thalib’ilm dituntut agar senantiasa menjaga diri dari hal-hal yang membuat dirinya terhina. Menghindari timbulnya perbuatan diluar batas yang merusak diri, serta menjauhkannya dari barakah ilmu.

Sebagaimana pada refleksi ilmu sebelumnya, seorang alim dapat dikatakan alim apabila ia merasakan ketakutan atas kebesaraan-Nya, bahwa Allah-lah Maha Segala. Merasakan ketakutan hanya kepada-Nya, karena ia tahu akan kebesaran-Nya. “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.”(Q.S.Al-Fathir 28) Bukan sekedar tahu. Namun diaplikasikan dengan perbuatan dan tingkah-laku serta ucapan.

Berhati-hati dalam bertindak. Mengingat perkataan-Nya tatkala wudhu’ hendak menunaikan Shalat, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku…”(Q.S. Maidah 6), berwudhu’ seakan melihat Rasulullah SAW saat berwudhu’ dan berkata “ Barang siapa yang berwudhu’ seperti –cara- aku berwudhu’…”(HR. Muslim) dan ini sebaik-baiknya bermuraqabah. Karena ia takut, namun ketakutan yang disertai ilmu dan aturan.

Syaikh Abu Zaid berkata, bahwa Muraqabah yang dimaksud hendaklah dibarengi rasa takut dan pengharapan. Seperti halnya sayap seekor burung, seimbang tatkala terbang mengangkasa. Dari perkataannya ini, timbul suatu pertanyaan: Apakah seseorang itu bermuraqabah lillah dengan keduanya secara berbarengan, atau salah-satunya lebih diunggulkan dari yang lain?

Imam Ahmad –rahimahullah- berkata: “selayaknya ketakutan itu disertai dengan pengharapan, seandainya hanya salah satu diantara keduanya, maka kecelakaanlah yang datang”. dari perkataanya ini, sebagian ulama juga memberikan pendapat lain bahwa : “tatkala seseorang menginginkan ketaatan, hendaklah ia lebih mengutamakan pengharapan kepada-Nya, berharaplah semua amal dan perbuatan diterima oleh Allah, serta mintalah kepada-Nya ditinggikan derajat dengan ketakwaan. Dan apabila suatu ketika ia hendak bermaksiat, segeralah menyadari keberadaan, serta takut akan kebesaran-Nya hingga tidak terjerumus ke lembah maksiat, bahwa penyertaan antara pengharapan-ketakutan sesuai kadar kemampuan dan keadaan yang dihadapi.

Kesimpulannya, Syaikh Utsaimin dalam kitab Syarh Hilyah Tholib’ilm lebih cenderung kepada pendapat yang kedua, bahwa apabila ingin berbuat baik hendaklah cenderung mengutamakan sikap roja’ (berharap) sebagaimana pendapat diatas, dan sebaliknya tatkala timbul keinginan untuk bermaksiat, bersegeralah menimbulkan rasa takut dalam diri dan ini pendapat yang mendekati kebenaran.

Kronologi yang sering terjadi dengan apa yang kita rasakan sudah menjadi fithrah manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya. Karena memang manusia dituntut agar senantiasa menjaga martabat diri baik itu dalam hubungan horizontal (dengan manusia) maupun vertical (dengan Allah). Oleh karenanya sangat penting untuk menimbulkan rasa selalu diawasi (muraqabah) agar diri senantiasa terjaga. Wallahu A'lam Bihowab

Ya Allah, tetapkanlah hati kami atas agama dan ketaatan kepada-Mu, Sesungguhnya kami termasuk orang-orang yang dholim. Dan berkahilah kami ilmu dan ketakutan kepada-Mu, agar rekat qalbu, senantiasa berdzikir dan mengukir goresan dakwah, untuk mencapai ridho-Mu.[El-Ahmady]
اللهم ثبت قلوبنا على دينك وعلى طاعتك سبحانك إنا كنا من الظاليمن
Muhammad Nur
Khartoum, Sudan
25/06/2011

MENUNTUT ILMU-"MERASA TAKUT KEPADA ALLAH"  

Posted by Unknown in ,

MERASA TAKUT KEPADA ALLAH
Catatan Seorang Tholib’ilm di Negeri Dua Nil
By: El-Ahmady


“Senantiasalah takut kepada Allah SWT, dalam kesendirian dan keterbukaanmu. Sesungguhnya sebaik-baik manusia ialah yang takut kepada Tuhannya. Dan tidak dikatakan takut seseorang itu kecuali orang yang ‘alim (mengetahui hakikat Tuhannya, Allah yang Esa). Dan hendaklah kau tahu, bahwa seorang ‘alim tidak dikatakan alim kecuali dengan berbuat (dengan ilmu yang di dapat)  serta atas dasar ketakutan kepada Allah.”[ Syaikh Allamah Bakr Ibn Abdullah Ibn Zaid, Hilyah Thalib’ilm]
Pernah merasa takut kepada Allah? Saya kira jawabannya antara “ya” dan “tidak”. Alasannya pun pasti beragam. Tapi, biarlah “ya’ dan “tidak” kalbu kita yang menjawabnya. Pada refleksi kajian ilmu kali ini, saya ingin mengajak Anda kepada kalam Ilahi, pada Surat Fathir ayat 28:

“Dan demikian (pula) diantara manusia, makhluk bergerak yang bernyawa dan hewan-hewan ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para Ulama. Sungguh, Allah Maha Perkasa, Maha Pengampun.”

Fokuskan bacaan Anda pada kalimat yang tertulis tebal pada ayat tersebut!. Maka, “di antara hamba-hamba-Nya yang takut kepada-Nya, hanyalah para Ulama”. Saya padakan materi yang saya dapatkan dari buku “Hilyah Tholib’ilm” ini pada kalimat yang saya hitam tebalkan pada ayat atas. Takut dan para Ulama.

1. Pengertian Takut.

Dalam bahasa arab, takut dikenal dengan khasyah atau khauf. Namun dua kata ini memiliki perbedaan dalam pemakaiannya. Makna khasyah lebih mendalam dari khauf. Khasyah bersumber dari rasa ta’dhzim kepada Allah, dan berdasarkan ilmu. Oleh karena itu Allah SWT menyebutkan -mereka- orang yang takut kepada-Nya ialah para Ulama (orang memiliki ilmu). Sedangkan khauf bersumber dari kelemahan, kurang sanggup, dan rasa belum memiliki dengan apa yang ditakuti.  Contoh khauf, seperti halnya takutnya seorang balita dengan anak remaja, serta takutnya remaja dari orang dewasa. Nah, takut disini merupakan naluri batin yang wajar bagi seseorang, karena posisi dirinya berada dalam kelemahan. Juga takutnya seseorang tatkala datangnya seekor hewan buas, atau musibah yang datang.
Posisinya disini, ialah kekurang sanggupan, atau takut kehilangan, yang juga masih dikategorikan wajar bagi fitrah manusia.  “ Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan” (QS. Al-Baqarah 155). Contoh lain daripada khauf seperti, ketika seseorang tidak tahu dengan siapa ia akan berhadap diri. Apakah lebih kuat, galak, kejam? Atau sebaliknya. Namun apabila ia mengetahui siapa yang akan dihadapinya, sudah kenal terlebih dahulu. Maka itulah yang dikategorikan khasyah. Takut yang berdasarkan ilmu.

Dan Allah melanjutkan perkataan-Nya dalam surat At-Taubah, ayat 18;  Semoga orang-orang yang khauf itu termasuk dari mereka yang diberikan petunjuk. Kalimat semoga yang dalam bahasa arab dikenal dengan kalimat Taraji ( pengharapan), bahwa kita dituntut untuk mengetahui dan berusaha mencari tahu hakikat sesuatu yang kita takuti. Agar kita tidak terjebak dalam ketipu-dayaannya.

2. Perlukah rasa takut kepada Allah?

Allah SWT bersabda : “Dan janganlah kamu takut kepada mereka, namun takutlah kepadaku” (QS. Al-Baqarah). Tentu sebagai hamba-Nya yang dha’if, sewajarnya kita menghadirkan rasa takut kepada Tuhan yang telah menciptakan, yang Maha mengetahui segala tingkah-laku yang kita perbuat.

Merasa takut kepada Allah. Kita dituntut untuk senantiasa menjaga diri kita dari hal-hal yang menimbulkan murka-Nya. Bagaimana mungkin, seorang hamba takut di tinggal kekasih, namun tidak takut di tinggal Tuhan yang Maha Pengasih. Takut kehilangan barang yang dimiliki, namun tidak takut kehilangan Tuhannya yang Maha Pemberi. Sungguh, tidak relevan. Kita tidak lagi menghiraukan semua himbauan. Berjalan tanpa haluan, berlari tiada tahu arah tujuan. Tidak tahu kepada siapa hendak mengadu dan memohon pertolongan.

Merasa takut kepada Allah. Kita dituntut mengetahui hakikat-Nya, sebagaimana dalam kitab Ushul Tsalasah. “Kewajiban kita ialah mempelajari- dan mengetahui- tiga ushul dalam islam, Ma’rifat kepada Allah, kepada Nabi-Nya, serta Agama dengan dalil-dalil yang menyertainya. Imam Bukhori senada akan hal itu, maka kitabnya yang merupakan kitab tsiqoh-terpecaya- setelah Al-Qur’an. Shahih Bukhari; menyebutkan bahwa bab ilmu, sebelum memasuki bab qaul- berbicara, dan amal-perbuatan. Maka selayaknya orang yang telah mengetahui mengiringi segala tingkah-laku dan amal perbuatannya dalam lingkup kehambaan kepada Tuhan alam semesta.

Mulajamah dalam ketakutan kepada Allah Ta’ala, baik secara dhohir maupun bathin dalam menjaga Syi’ar islim. Memunculkan sunnah serta mengamalkannya dalam berdakwah. Menunjukkan ilmu dan amal serta sikap dewasa dan pemberani. Karena ketakutan kepada Allah akan melekatkan ilmu yang ada. Serta menambah keimanan dan takwa.
“Dan orang-orang yang mendapat petunjuk, Allah akan menambah petunjuk pada mereka dan menganugerahi ketakwaan mereka” (Q.S. Muhammad, 17).

Imam Ahmad rahimahulllah berkata : “ Azas ilmu itu ialah ketakutan kepada Allah” . Dan ini benar adanya, bahwa dasar ilmu ialah rasa takut kepada Allah SWT. Dan ketakutannya itu ialah yang berdasarkan ilmu serta merasakan kebesaran-Nya. Manusia apabila mengenal Allah Ta’ala dengan sebaik-baiknya; ilmu. Hendaklah terpahat dihatinya rasa takut kepada Allah, karena ia telah mengetahui akan kebesaran-Nya, kekuatan, dan bahwa Ia Maha Mengetahui apa yang tersembunyi didalam hati. Yang dengannya ia akan terjaga dari hal-hal yang merusak amal ibadahnya.

3. Keterkaitan ilmu, rasa takut kepada Allah, dan amalan.

Apakah harus menjadi ulama dulu? Bukankah banyak dari ilmuan-ilmuan saintis yang telah lama bergelut di dunia riset, baik ke ruang angkasa maupun keperut bumi telah membuktikan kebesaran-Nya itu. Namun mengapa mereka tidak merasakan ketakutan kepada-Nya? Bahkan, ada dari kalangan ulama Nashara yang mengarang kitab-kitab arab yang banyak memberikan kontribusi dalam dunia keislaman. Mengetahui makna Al-qur’an dan hadis-hadis rasul yang menjadi sumber ilmu umat muslim. Tapi, mengapa hal itu justru membutakannya dari petunjuk?

Begitu jelasnya Allah memberikan suatu petunjuk bagi kita akan penting dan tingginya derajat orang-orang yang memiliki ilmu. Karena sesungguhnya orang yang berilmu secara tidak langsung telah mengetahui kebesaran penciptaan-Nya. Alam yang terbentang luas; bumi sebagai tiang, langit sebagai hamparan. Bintang-bintang melayang bebas di angkasa. Tiada yang sanggup mengetahui bahkan hal itu kecuali mereka para ulama.

Namun, seringkali ilmu yang didapat tidak dijadikan I’tibar dalam mencari petunjuk kekuasaan-Nya. Bahkan,-na’udzhubillah- ilmu tersebut dijadikan peluru yang menembak tubuh umat dari dalam. Mengkritisi agama lewat dialog-dialog kesesatan. Mengambil sepotong ayat-tidak keseluruhan- untuk dijadikan boomerang dalam berdalih sesuka hati. Ghozwul fikr, semboyan yang kini mewabah dan mulai menjangkit tubuh umat yang kian sakit. Jauh daripada kebenaran.

Sebagai Mubtadi Tholib’ilm (Pemula dalam menuntut ilmu), disinilah kita dituntut untuk menjadi pencari ilmu yang rabbani. Rabbani dalam artian, mencari ilmu semata-mata untuk mencari hakikat kebenaran dan bukan pembenaran. Mengetahui hakikat ilahi dan bukan khilafi-diskusi penyelewengan, yang terkadang membekukan hati dari kehakikian. Rabbani yang berarti dituntut untuk mengamalkan ilmunya terlebih dahulu sebelum mengajarkannya kepada orang lain. agar menjadi obat kepada umat yang mulai kronis.

Ali ibn Abi Thalib-radiallahu ‘anhu- berkata: “ Ilmu dijemput dengan amalan. Maka jemputlah, kalau tidak ia akan pergi”.
Hendaklah berbuat dengan apa yang diketahui, sebab amalan tanpa ilmu akan menjerumuskan ahlinya kepada jurang api neraka di hari akhir. Menjauhi taklid buta. Karena tidak ada alasan untuk mengelak. Risalah telah berakhir, kitab suci telah terukir. Tinggal bagaimana kita memanfaatkan dan mengalamalkan. Agar tidak mewarisi penyesalan dengan ilmunya yang didapatkan. Secara tidak langsung itu akan menghilangkan barakah ilmu yang didapat serta kelupaan.
Allah SWT bersabda; (Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, maka Kami melaknat mereka, dan kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka mengubah firman (Allah) dari tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian pesan yang telah diperingatkan kepada mereka. (Q.S. Al-Maidah, 13)

Kelupaan yang dimaksud mencakup lupanya pikiran dan perbuatan, karena nisyan (lupa) dalam bahasa arab dapat diartikan dengan “meninggalkan”. Akan tetapi apabila seseorang berbuat dengan ilmunya, sesungguhnya Allah SWT akan menambahkan baginya petunjuk serta ketaqwaan. (Q.S. Muhammad, 17). Maka apabila telah sedemikan, Allah tidak sungkan untuk menganugerahkan ilmu kepadanya dari apa  yang tidak diketahuinya sebelumnya.
Ya Rabb jadikanlah kami para penuntut ilmu yang rabbani, yang takut akan kebesaran-Mu. Agar kelak dapat mewarisi barakah ilmu. Jauhkanlah kami dari kesesatan, mudahkanlah kami mengamalkan ilmu yang kami dapatkan. Semoga bermanfaat, Amin ya Rabbal ‘Alamin. [El-Ahmady]
Wallahu A’lam bishowab.

_______________________________
 http://elahmady1809.blogspot.com/
Dakhiliyah Yajid Ibn Habib
Kamis, 09/06/2011
Khartoum, Sudan

MENUNTUT ILMU--" MENGIKUTI MANHAJ SALAFUS SHALEH"  

Posted by Unknown in

MENGIKUTI MANHAJ SALAFUS SHALEH
Catatan seorang Thalib’ilm di Negeri Dua Nil
By: El-Ahmady

Rasullullah Shalallahu 'alaihi wa salam : "Sebaik-baik manusia adalah generasiku (generasi Rasulullah & Shahabat), kemudian orang-orang sesudah mereka (Tabi'in) kemudian orang-orang sesudah mereka (Tabi'ut Tabi'in.)..." (HR. Bukhari IV/189, Muslim VII/184-185, Ahmad I/424 dll).

Ups, jangan berkerut dahi dahulu, Akhi wa ukhtil kariemah! Membaca judul diatas, tentu bagi Antum/Antunna yang kurang hobi membahas bahkan membaca tulisan-tulisan berat seperti ini, akan segera mengelak jauh. Belum sempat membaca, sudah buru-buru pergi, alias cuek bebek!. Sungguh miris kalau benar hal itulah yang terjadi, karena sebagai generasi penerus islam, kita dituntut untuk mengetahui dasar-dasar Agama yang tentunya tidaklah mudah. Perlu kesungguhan juga keinginan tinggi untuk mengorek kerak hingga kedasarnya. Salah satunya, peduli dengan problematika dalam membaca judul-judul berat seperti tulisan saya kali ini. Saya sendiri awalnya sempat pesimis kalau saja pembaca akan mengacuhkan tulisan seperti ini. Terlebih karena memang tidak terjun secara langsung dibidangnya. Namun, dengan berpikiran positif, saya berusaha untuk mengenyahkan pikiran negatif yang mencoba mengendurkan semangat saya untuk berdakwah. Semoga apa yang sudah tertulis dapat bermanfaat bagi Akhi/ ukhti fillah.

Saudaraku, tentu bagi Anda yang belum mengenal istilah ini timbul berbagai pertanyaan; Apa itu Manhaj Salafus Shaleh? Mengapa harus mereka yang dijadikan panduan dalam menuntut ilmu? Perlukah mengikuti mereka?, dlsb.  Baiklah saudaraku, dalam kesempatan ini saya ingin menjelaskan mengapa Syaikh memilih jalan ini, sebagai pedoman dalam menuntut ilmu. Tentunya saya akan menjelaskan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan Manhaj Salafus Shaleh.  

1.      Apa itu Manhaj Salafus Shaleh?
Salaf secara bahasa dapat diartikan sebagai; pendahulu, telah berlalu, sebelumnya. Dapat juga diartikan dengan perbuatan atau amal shaleh yang telah dilakukan. Jika digabungkan dengan Salaful umat, maka diartikan sebagai; umat terdahulu. Dalam Al-Qur’an Allah SWT bersabda: Maka Kami jadikan mereka sebagai (kaum) terdahulu, dan pelajaran bagi orang-orang yang kemudian.[Q.S. Zukhruf, 56]. Kalimat salaf dinisbahkan kepada para Salafus Shaleh, yaitu 3 generasi pendahulu sebagaimana hadis di awal tulisan. Berkata Ibnu Manzhur dalam Lisanul ‘Arab : “Dan As-Salaf juga adalah orang-orang yang mendahului kamu dari ayah-ayahmu dan kerabatmu yang mereka itu di atas kamu dari sisi umur dan keutamaan karena itulah generasi pertama dikalangan tabi’in mereka dinamakan As- Salaf Ash-Sholeh”.

Adapun secara Istilah Salaf dikalangan para‘ulama mempunyai dua makna ; secara khusus dan secara umum. Pertama : Makna Salaf secara khusus adalah generasi permulaan ummat Islam dari kalangan para shahabat, Tabi’in (murid-murid para Shahabat), Tabi’ut Tabi’in (murid-murid para Tabi’in)dalam tiga masa yang mendapatkan kemulian dan keutamaan. (Dirasah Manhajiyah Haula Manhaj Ahlusunnah wal Jama'ah, Darul Iman Iskandariyah, Hal 35, Abdullah Ibn Muhammad Al-Yajiri]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah (wafat th. 728 H) mengatakan:
“Bukanlah merupakan aib bagi orang yang menampakkan madzhab Salaf dan menisbatkan dirinya kepadanya, bahkan wajib menerima yang demikian itu darinya berdasarkan kesepakatan (para ulama) karena madzhab Salaf tidak lain kecuali kebenaran.” (Majmuu’ Fataawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, IV/149)

Beliau rahimahullah juga mengatakan:
“Telah diketahui bahwa karakter ahlul ahwa’ (pengekor hawa nafsu) ialah meninggalkan atau tidak mengikuti generasi Salaf.” (Majmuu’ Fataawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, IV/155)

-          Opini Tentang Pengertian Salaf.


Sebagian umat islam memiliki anggapan bahwa salafi adalah sebuah faham dan pemikiran yang belakangan menjadi kelompok, firqah atau “manhaj” yang berkembang didalam tubuh islam, yang dikenal memiliki keinginan dan komitmen yang kuat untuk berpegang teguh kepada aqidah ahlussunnah wal jama’ah, menjaga pengamalan dan pengimplementasian sunnah Rasulullah SAW dan mengamalkan ajaran agama islam sebagaimana generasi umat islam terbaik yaitu salafus shalih mengamalkan ajaran islam , sesuai dengan penisbahan kata“salafi” yang bermakna “faham orang – orang yang terdahulu dari generasi terbaik umat islam ”.

Namun ada juga yang berpandangan berbeda dari apa yang telah disebutkan diatas. Ketika  mendengar kata-kata salafi, terdapat sebagian dari kita yang merasa alergi dan mengansumsikannya ( salafi ) sebagai sebuah faham yang mengatasnamakan islam yang berkembang di masyarakat yang dikenal memiliki sikap ekstrem, radikal, suka mengkafir dan membid’ahkan amalan umat islam serta garang terhadap mereka yang berbeda faham.

Entah memang itu kenyataan yang terjadi di masyarakat yang selama ini langsung merasakan pergerakan yang mengatasnamakan “manhaj” ( cara beragama ) islam ini sehingga berasumsi demikian, atau kemungkinan besar terdapat sebagian kaum muslimin yang secara individu tidak memahami inti perjuangan dari kelompok ini sehingga salah mengartikan, atau memang ada sebagaian dari kaum muslimin yang memang bergerak didalam “manhaj” salafi  ini yang “tersilap” didalam  mengimplementasikan perjuangan islam yang mereka nisbahkan kepada pendahulu kita didalam agama ini yaitu salafus shalih.

Istilah Salaf bukanlah istilah baru.  Istilah tersebut sudah digunakan sejak zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Salaf tidaklah menunjuk kepada satu golongan tetapi menunjuk kepada orang-orang yang berpegang kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah menurut pemahaman yang benar. Karena umat ini sudah berpecah belah dan yang selamat pemahamannya hanya SATU.
Sebagian orang menyangka, dari apa yang mereka ketahui dan mereka menyelewengkan arti ketika disebutkan istilah Salafiyyah, bahwa Salafiyyah adalah label (istilah) baru dan madzhab baru bagi kelompok Islam yang baru melepaskan diri dari lingkaran Jama’ah Islamiyah yang utuh.

Sangkaan ini sama sekali tidak benar karena Salafiyyah maksudnya adalah Islam yang dibersihkan (disaring) dari kegagalan-kegagalan budaya klasik, dan warisan-warisan dari banyak kelompok dan sekte, dengan kesempurnaan dan keumumannya, baik dalam Al-Qur’an maupun as-Sunnah berdasarkan pemahaman Salaf yang terpuji.

Sangkaan ini sesungguhnya hanyalah muncul dari angan-angan kaum yang ingin menghindari kalimat yang baik dan berkah, yang akarnya menancap kuat dalam sejarah umat ini hingga sampai ke generasi pertama (Shahabat). Wallahu, a'lam!


2.      Mengapa harus mereka yang dijadikan panduan dalam menuntut ilmu? 
Saudaraku, menjadi suatu keharusan mutlak bagi setiap muslim, yang menginginkan kesuksesan dan merindukan kehidupan yang mulia, serta kemenangan di dunia dan di akhirat, bahwa dalam memahami Al Qur'an dan As Sunnah yang shahih harus dengan pemahaman muslimin yang terbaik yaitu para Sahabat Rasulullah dan Tabi'in (murid Sahabat), serta siapapun yang mengikuti jalan mereka dengan baik hingga hari kiamat.

Dipilihnya  metode ini, karena tidak dapat dibandingkan (dengan siapaun, selain dengan Rasulullah) kelurusan, kebenarannya, dalam fikrah, pemahaman dan manhaj yang lebih benar dan lebih lurus dibanding pemahaman dan manhaj Salafus Shalih (jalannya para Salaf yakni Sahabat Rasulullah, Tabi'in dan Pengikutnya, yang Shalih hingga hari kiamat). Oleh karena itu tidak akan pernah bisa baik kehidupan umat yang akhir ini kecuali dengan apa yang telah menjadikan baik generasi awal.

Apabila kita teliti dengan seksama dalil-dalil dari Al Qur'an maupun As Sunnah serta ijma' dan qiyas maka bisa disimpulkan dari dalil-dalil tersebut tentang wajibnya memahami Al Qur'an dan As Sunnah dalam bimbingan manhaj Salafus Sholih, karena itu merupakan pemahaman yang disepakati kebenarannya sepanjang abad perjalanan dakwah ini.
Oleh karena itu tidak dibernarkan bagi siapa saja,  setinggi  apapun kedudukannya,  memahami Islam ini selain pemahaman Salafus Sholih (pemahamannya dapat dilihat di tafsir Al Quran karya para Sahabat, penjelasan hadits dalam kitab-kitab Hadist dan tulisan-tulisan para Sahabat & pengikutnya). Dan siapapun juga yang membenci pemahaman Salaf lalu menggantinya dengan bid'ah-bid'ah orang belakangan (orang-orang sesudah generasi Salaf ) yang diracuni dengan berbagai pemahaman yang membahayakan dan yang tidak selamat dari pemahaman asing, akan mengakibatkan tercerai-berainya kamu muslimin.

Sesungguhnya Salafus Shalih Radiyallahu anhum telah nyata kebaikan mereka baik dalam nash maupun istimbat, Allah berfirman dalam surat At-Taubah ayat 100 : "Dan generasi yang terdahulu dan pertama-tama (masuk Islam) diantara kaum Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah telah ridha kepada mereka (Muhajirin & Anshar-Sahabat/Salafus Sholih) dan mereka ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya mereka kekal didalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang agung. (Q.S. At Taubah : 100)

Dengan dalil ayat ini- dapat diambil pemahaman bahwa Allah Sang Pencipta telah memuji terhadap mereka yang mengikuti kepada sebaik-baik manusia- telah diketahui bahwa apabila sebaik-baik manusia itu mengatakan suatu perkataan, kemudian ada seseorang yang mengikuti mereka, maka dia wajib untuk mendapatkan pujian dan berhak untuk mendapatkan keridhaan. Kalau seandainnya sikap ittiba' mereka tidak membedakan dengan selain mereka (yang tidak ittiba') maka dia tidaklah berhak mendapatkan pujian dan keridhaan. Siapakah sebaik-baik manusia itu? Mereka adalah para shahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, sebagaimana disebutkan dalam Al Qur'an : "Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shalih merekalah sebaik-baik manusia". (Q.S. Al Bayyinah : 7).  

3.       Perlukah mengikuti mereka?
Ya, Sudah pasti!. Allah berfirman dalam surat Ali Imran : "Kalian adalah umat terbaik yang telah ditampilkan untuk manusia, kalian telah beramar makruf dan bernahi munkar dan beriman kepada Allah". ( Q.S. Ali Imran : 110 ) Dari sini kita mendapatkan petunjuk bahwa Allah telah memuji dan menyatakan keutamaan mereka (Sahabat) atas segala umat, dan apabila ingin dipuji ALLAH juga, maka ummat ini harus istiqamah dalam segala hal mengikuti Salafus Sholih. Disamping itu Salafus Sholih sesungguhnya memang tidak pernah menyimpang dari cahaya (petunjuk Ilmu Al Quran dan Sunnah) yang terang benderang (Al Haq) ini.

Maka jika ada yang berkata : “Ini (gelar sebaik-baik umat, pen.) bersifat umum dalam umat ini, tidak hanya terbatas pada generasi Sahabat saja”,saya katakan bahwa mereka (para sahabat) adalah obyek pembicaraan yang pertama, dan orang yang mengikuti mereka dengan baik tidak masuk dalam pembicaraan ayat diatas, kecuali kalau ada penjelasan dengan qiyas atau dalil lain sebagaimana dalam dalil pertama.

Secara umum dan ini yang benar, Sahabat adalah yang pertama kali masuk dalam obyek pembicaraan karena merekalah yang pertama kali mengambil ilmu dan amal langsung dari Rasullullah Shalallahu 'alaihi wa salam tanpa perantara, dan merekalah yang mendapat kabar gembira dengan wahyu ini. Oleh karena itu, merekalah yang paling pertama masuk dalam pembicaraan ayat ini dibanding yang lain disebabkan sifat-sifat yang telah diberikan kecuali kepada mereka (para Sahabat). Pun kecocokan sifat dengan pensifatan Allah adalah merupakan bukti bahwa mereka lebih berhak mendapatkan pujian dari pada yang lain.
_________________________

Baiklah Saudaraku, setelah mengetahui alasan-alasan diatas, saya akan mengajak Anda kepada penjelasan Syaikh Utsaimin dalam men-Syarh kitab ‘Hilyah Thalib’lim’. Beliau berkata:


“Ini merupakan satu hal penting yang perlu diperhatikan, bahwa seorang tholib ‘Ilm harus mengikuti manhaj salafus shaleh di segala aspek agama. Baik itu masalah Tauhid, Ibadah, Mua’amalah, dll. hendaklah meninggalkan diskusi yang justru mengakibatkan pertikaian. Karena banyaknya bertikai-dalam permasalahan yang memang sudah jelas- akan mengunci jalan kebenaran itu sendiri. Dan itu akan membawa ahlinya kepada suatu perkataan yang menjurus kepada ‘keegoisan diri’ semata, walaupun perkara yang dibahas telah jelas kebenarannya.
Maka hanya ada dua kemungkinan;  yang pertama, bisa jadi ia mengingkari kebenaran itu secara mutlak. Dan yang kedua, ia akan berusaha mentakwil setiap perkataan yang haq dengan argumentasi sesuai hawa nafsunya. Maka, hendaklah seorang thalib’ilm menjauhi diri dari orang-orang semacam ini, Larilah darinya seperti larinya seekor buruan yang dikejar Singa”.
Begitu pula, hendaklah menjauhi diri dari ilmu Kalam. Karena hal itu hanya membuang waktu dengan sia-sia dengan suatu pertanyaan yang telah jelas kebenarannya, namun seringkali dicari celah untuk meragukannya.”


Dalam menjelaskan kitab hilyah ini, Syaikh Utsaimin menceritakan kepada murid-muridnya dalam suatu halaqah ilmu. Suatu ketika ia ditanya tentang defenisi Akal. Apa itu Akal? Sampai manakah batas Akal itu? jelaskan pengertian Akal secara bahasa, istilah, syar’I, dan kebiasaan? Syaikh mengatakan kepada murid-muridnya,


Untuk apa mencari defenisi Akal? Apakah Akal itu perlu penjelasan lebih? Subhanallah. Yang jelas bahwa apabila seseorang duduk memikirkan defenisi Akal; membuang banyak waktunya hanya untuk mentakwil kalimat yang sudah amat jelas didalam islam, ia akan bingung sendiri dikarenakan hal ini tidak ada jawabannya, juga tidak perlu didefenisikan.
“Akan tetapi mereka- Ahlul kalam- membatasi orang-orang dengan suatu kebenaran dan manhaj salafi yang sederhana dengan suatu syubhat, defenisi, serta batasan-batasan, dll. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah-rahimahullah, dalam kitabnya “Raad ‘Ala Mantiqiyyin” dan “Naqdhil Mantiq” banyak menjelaskan kebatilan mereka. Baik itu dalam bab Sifat dan Asma Allah SWT, maupun yang lainnya. Beliau berkata dalam Kitab Fatwa Hamawiyahnya: “Dan kebanyakan orang yang takut akan kesesatan, ialah mereka yang mutawasith dari ulama-ulama kalam. Dikarenakan mereka yang belum terjun didalamnya merekalah yang selamat dari kesesatan itu, dan bagi mereka-para ulama-ulama- yang telah terjun didalamnya akan menyadari betapa mereka telah terjun kepada suatu kerusakan dan kebatilan, sehingga mereka pun kembali kepada jalan yang benar” Oleh karena itu, hendaklah bagi seorang Thalib’ilm untuk meninggalkan hal-hal sedemikian yang terkadang hanya menghabiskan waktu semata. Jadikanlah ilmu Anda mudah sederhana.”


Ya, jadikanlah ilmu Anda mudah dan sederhana!. Jangan memperumit diri demi suatu hal yang justru membuat Anda bingung, harus berbuat apa. Tentunya kita dituntut untuk mengetahui dasar-dasar ilmu agama terlebih dahulu demi membentengi diri dari kesesatan pemikiran.

Untuk jaman sekarang ini, banyak kita dapati orang-orang sedemikian yang rela membuang banyak waktunya untuk memikirkan hal-hal seperti yang Syaikh Utsaimin katakan. Seperti halnya Jaringan Islam Liberal [JIL]- dan masih banyak lagi firqah maupun kelompok sesat lainnya- yang kerap gencar menyuarakan bahkan menggugat hukum qath’I yang sebenarnya tidak perlu dipertanyakan-dikarenakan telah jelas hukumnya.

Istilah-istilah baru, banyak kita jumpai bahkan mulai mempengaruhi cendikiawan muslim yang bergelut di bidang keislaman. Hermeunetika, Gender, Pluralisme, Sekulerism, dlsb. Pemikiran-pemikiran seperti ini, secara tidak langsung ingin menyebarkan skeptic- keraguan-keraguan- ditubuh umat yang jelas kebenarannya. Maka berusahalah untuk menjauhi, dan memerangi pemikiran-pemikiran seperti ini demi menjaga keorisinalan agama islam. Tentunya kita dituntut untuk memperdalami dan mengikuti manhaj para salafus shaleh sebagaimana pada penjelasan sebelumnya.

Semoga kita terhindar dari segala kesesatan dan kebatilan dalam menuntut ilmu. Agar kelak mendapat barakah dan pujian sebagaimana Para Salafus Shaleh yang telah pesankan Rasulullah SAW diatas. Semoga![El-Ahmady]
Wallahu A’lam Bishowab!

Kamis, 02/06/2011
Khartoum, Sudan.

MENUNTUT ILMU- " ILMU ADALAH IBADAH "  

Posted by Unknown in

"MENUNTUT ILMU ADALAH IBADAH"
Catatan Seorang Thalib'ilm dari Negeri Dua nil.
 By: El-Ahmady

“Jadikanlah hari-harimu bermanfaat dengan bertambahnya ilmu, niscaya kau arungi samudera hikmah. Bertafaqquhlah fid dien sesungguhnya ia sebaik-baik petunjuk kepada ketaatan dan taqwa”  ( Syaikh Muhammad Ibn-Hasan, Kitab  Ta’lim al-Muta’allim Thariqa at-Ta’allum)

Setelah mendengar Muqaddimah  yang disampaikan Syaikh Abu Zaid minggu lalu. Saya kembali menyelami kata demi kata yang mengalir  indah di buku beliau 'Hilyah Thalib ‘Ilm' ini. Pada tahap pertama yang beliau sampaikan, hati saya terhentak dengan kata-kata beliau yang mengibaratkan ilmu sebagai ‘Ibadah’. Ya, ibadah!. Penghambaan. Satu kata yang mengakumulasikan seluruh aktifitas seseorang kepada apa yang ia sembah. Tentunya dalam hal ini, ibadah yang dimaksud ialah kepada Allah SWT (QS.Az-Dzariat, 57 ). Bahkan ia merupakan ibadah yang paling diutamakan. Karena ibadah tanpa ilmu ibarat menimba air dengan gayung berlubang. Tidak mendapatkan segarnya hanya letih yang tersisa.

Ilmu adalah ibadah. sudah barang tentu ibadah hendaklah diniatkan untuk mencari ridho-Nya semata. (QS. Al-Bayyinah 5.)   Lebih tepatnya lagi, kita dituntut untuk IKHLAS berniat. jangan sampai ibadah kita dikelabuhi oleh hal-hal yang merusak bahkan memalingkan kita dari-Nya. Barang siapa hijrah dengan berniat untuk Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya-bernilaikan-untuk Allah dan rasul-Nya (HR. Bukhari No 1 & Muslim 1907).  Niat seseorang akan berpengaruh terhadap apa yang akan dikerjakan setelahnya. Maka niatkanlah menuntut ilmu untuk Allah; berdakwah dijalannya, meneruskan kembali warisan nabi yang terlupa. Agar barakah ilmu dapat diraih, dan tidak sekedar letih belaka.

Seandainya ada sebuah pertanyaan, bagaimana caranya ikhlas dalam menuntut ilmu? Maka di sini Syaikh Utsaimin menjawab hal yang sama : “(1) Niatkanlah semata-mata untuk mendapatkan ridho Allah SWT (Q.S. Muhammad. 19). (2) melestarikan Syari’at-Nya (3) Menjaga Syari’at-Nya dan berusaha untuk melawan semua hal yang merusak bahkan tidak menginginkan Syari’at itu ada.(4) Dan ikutilah sunnah Rasulullah SAW. Dan sebaliknya, kalau menuntut ilmu hanya untuk mencari title  maupun kebanggaan semata; agar dikenal, diakui, dipuji. Maka ketahuilah! jaman akan menenggelamkannya dengan kebanggaan, pujian, dan gelarnya tersebut. Bahkan Rasulullah SAW mengatakan bahwa orang berilmu yang hanya ingin mendapatkan kebanggaan di dunia saja, tidak akan mencium aroma syurga diakhirat kelak [HR. Abu Daud]. Wal ‘Iyadzu billlah

Harus ada kerinduan dan kecintaan kepada ilmu. Keinginan kita kepada ilmu pun harus "benar-benar, jujur", penuh kesadaran. Apakah itu sudah cukup? Ternyata belum. Menukil perkataan Syeikh Nawawi al-Banteni yang menyatakan bahwa: "Jika Anda menuntut ilmu untuk perlombaan tanpa makna; atau ingin dianggap Alim seorang diri karena ilmu ini begitu berharga; berbangga-bangga; mencari muka di hadapan manusia; mencari glamour duniawi; untuk dekat-dekat dengan penguasa; maka Anda sedang menghancurkan agama Anda dan merusak diri Anda sendiri. Anda pun sedang mengundang murka Allah, karena menjual akhirat Anda dengan agama Anda. Dengan begitu, sejatinya Anda sedang rugi dalam perniagaan Anda. Karena yang Anda perjual-belikan adalah agama Anda. Karena glamour duniawi dibanding akhirat tidak ada apa-apanya." (Syeikh Muhammad Nawawi al-Jawi, "Maraqi al-`Ubudiyyah", (Semarang: Karya Toha Putra, 3).

Artinya, menuntut ilmu itu harus dengan qalbu, bukan dengan nafsu. Harus ada kerendahan hati di sana. Bukan sembarang menuntut atau mencari ilmu. Karena niat dalam Islam sangat menentukan hasil akhir dari sebuah pencarian dan perbuatan.

Ilmu adalah ibadah. Tidak diragukan lagi, orang berilmu merupakan tonggaknya suatu kaum. Tanpa seorang Alim, apa jadi suatu daerah. Maka kita dituntut untuk rihlah- keluar- daerah untuk menuntut ilmu sebagaimana jelas firman Allah SAW  yang berbunyi: “Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk bertafaqquh fid dien -memperdalam pengetahuan agama- mereka dan untuk member peringatan kepada kaumnbya apabila mereka telah kembali agar mereka dapat menjadi dirinya” (Q.S At-Taubah : 122)”

Ya, setiap kita hendaklah menjadi perwakilan atas daerah tempat ia berada untuk menuntut ilmu. Keluar menuntut ilmu demi ‘memberi peringatan’ kepada orang-orang yang  dicintai. Tentunya peringatan yang dimaksud ialah demi kemashlahatan umat, dan bukan sebaliknya, membawa mafsadah. Kita yang diberi kesempatan waktu dan materi juga kemampuan untuk menuntut ilmu hendaklah memanfaatkannya sebaik mungkin dan hendaklah mensyukuri apa yang telah didapatkan. Karena disini Allah SWT menginginkan kita suatu kebaikan. “Barang siapa yang diinginkan oleh Allah suatu kebaikan, maka akan ditafaqquhkan fied din- ditetapkan baginya agamanya.”( HR. Bukhari 17 & Muslim 1038).
Namun yang dimaksud dengan tafaqquh di sini, ialah dibukakan baginya jalan untuk memperdalami ilmu syar’i, bukan yang lain. Tanpa mendeskritkan ilmu yang lain; ilmu humaniora, social, atau yang lain. Karena memang ilmu syar’i merupakan azas tegaknya ilmu agama. Ilmu yang bersumber Al-Qur’an dan Sunnah. Ilmu Akhirat yang kelak akan kita bawa tatkala maut menyapa. Yang dengannya kita dituntut untuk mengenali Al-Ushul at-Tsalasah ;Allah, Rasul, Agama. Maka sepantasnya kita mengagunggkan ilmu dan memperdalami secara mendetail unsur-unsur yang ada didalamnya.

Ilmu adalah ibadah. Tiada suatu usaha yang paling indah selain menuntut ilmu. Bahkan ia adalah sebaik-baik perbendaharaan yang paling indah. Ia ringan di bawa, namun besar manfaatnya. Di tengah-tengah orang banyak ia indah, sedangkan dalam kesendirian ia menghibur. Ia hiasan bagi orang kaya dan penolong bagi orang fakir
Sebagian ulama mengatakan Ilmu ibarat shalat sirri-nya seseorang dan ibadahnya qalbu. Sebagaimana perut yang membutuhkan makanan, Ilmu merupakan makanan qalbu dan pikiran. Hendaklah kita menyeimbangkan diri dalam mengkonsumsi apa yang menjadi kebutuhan pokok. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata bahwa "Kebutuhan manusia kepada ilmu lebih penting- dan hendaklah diprioritaskan- dari pada kebutuhan makan dan minum". Maka hendaklah kita memperjuangkan sepenuh hati demi memenuhi kebutuhan pokok itu kalau memang diri kita ingin mencapai suatu kemuliaan.

Kita dianjurkan menuntut ilmu sebagai Jihad fi sabillillah. Ini sejalur dengan hadis nabi SAW yang mengatakan : "Barang siapa yang keluar- dari suatu daerah tempat ia berada- untuk menuntut ilmu. Maka ia fi sabilillah- selama masa itu- hingga ia kembali pulang. (HR. Tarmidzi). Artinya, alasan kita meninggalkan kampung halaman adalah karena kita cinta ilmu. Seorang pencinta ilmu ini lah yang benar-benar rela dan berani meninggalkan keluarga demi ilmu yang mulia dan sangat berharga. Bahkan, sang kekasihpun akan dia tinggalkan demi ilmu. Karena yang kekal menemaninya nanti adalah ilmunya, bukan kekasihnya. Lihat lah apa yang dikatakan oleh Ibn Qayyim al-Jauziyyah dalam bukunya "Raudhat al-Muhibbin" (Taman Para Pecinta). Dia menyatakan, "Sungguh, para pecinta ilmu itu sangat rindu dan sangat mabuk kepayang kepada ilmu. Lebih dari kerinduan dan mabuk kepayangnya kepada kekasihnya sendiri. Dan kebanyakan mereka tidak peduli dengan sosok manusia yang sangat ganteng (cantik) sekalipun." Dia pun menambahkan, "Sekiranya ilmu itu digambarkan dalam bentuk manusia. Niscaya dia akan lebih indah dan cantik dari matahari dan bulan."

Tapi, sekali lagi, perasaan itu hanya dimiliki oleh para perindu dan pecinta ilmu. Jika dalam qalbu kita tidak ada sedikitpun rasa ini, jangan harap kita akan mengejar ilmu. Tak usah mengejar, rasa ingin tahu akan sesuatu pun tidak akan pernah lahir dari qalbu kita yang gersang dari rasa ini. Karena orang yang cinta kepada sesuatu, dia akan banyak menyebutkan. Selain itu, dia akan cari dimana dan kemanapun dia pergi. Itu semua karena rasa cinta dan rindu yang bersangatan terhadap ilmu. Maka, rasa letih tak terasa, rasa capek tak dihiraukan. Semua demi ilmu, ilmu, dan ilmu. Niatkanlah! bahwa semua usaha itu tidak lain hanya untuk mencari keridhohan-Nya. Berharap kita termasuk hamba-hambanya yang kelak mencium aroma syurga serta menjadi ahli didalamnya. Semoga! [El-Ahmady]

Khartoum, Sudan
Jum'at,16/6/1432 H

[MUQODDIMAH] "PERHIASAN BAGI PENUNTUT ILMU"  

Posted by Unknown in , ,

PERHIASAN BAGI PENUNTUT ILMU
Catatan Seorang Thalib'ilm dari Negeri Dua nil.
 By: El-Ahmady

Dengan menyebut Asma-Mu Ya Allah kuawali jemari kasarku mengetik huruf demi huruf menjadi rangkaian kata. Menuliskannya demi menulusuri kembali hikmah yang terselip dari hati yang mulai buta ibrah. Semoga dapat tercerahkan walau harus kesekian kalinya terjatuh dalam lembah nista.

Saudaraku, insan sejati. Lama tidak menerbitkan sebuah tulisan untukmu. Membuat jari-jariku lama tidak merasakan nikmatnya suara tuts keybord yang berdetak. Banyaknya kesibukan serta tiadanya motivasi diri yang kuat membuat diri kerap terkalahkan oleh aktifitas yang berjalan hari demi hari. Langkah terasa hampa. Target tanpa perencanaan menghimpit pikiran untuk segera melakukan sebuah tindakan. Namun kerap kali tidak merasakan bekas dari apa yang diperbuat. Rasa rindu untuk berbincang denganmu lewat karya, serta berdiskusi lewat tulisan, membuat langkahku mencari hikmah di bumi dua nil ini bangkit kembali agar mengenyahkan semua rasa putus asa yang kerap datang. Tentunya dengan mempersembahkan sebuah karya.

Pada kesempataan ini, Aku ingin mengajakmu menyelami sebuah karya besar Ulama Mu’ashir jaman ini. Buku yang sedang Aku baca dan ingin rasanya berbagi ilmu atas apa yang Aku dapatkan. Melihat banyaknya manfaat yang terkandung di dalamnya serta merupakan tuntunan wajib bagi kita yang ingin meraih ilmu- yang bukan sekedar lintasan atau gelar semata bagi ahlinya. Ilmu apa saja. Tentunya yang membimbing ahlinya kepada suatu mashalat besar untuk umat. Disamping Aku ingin bermuraja’ah kembali demi mengingat apa yang sudah Aku pahami dari pesan yang disampaikan.

Buku berjudul “Hilyatu Tholib-ilm (Perhiasan Bagi Para Penuntut Ilmu)” Karya Syaikh Bakr ibn ‘Abdulllah Abu Zaid yang di syarh -jelaskan- oleh Syaikh Allamah Muhammad Ibn Sholeh al-Ustaimin ini membuka cakrawala pikiranku untuk mendalami serta mengamalkan tuntunan-tuntunan yang termaktub didalamnya. Serta membimbingku agar senantiasa mematuhi rambu-rambu agar selamat menuju stasiun ilmu. Tentu bukan hanya berlaku pada diriku, tetapi juga kita yang ingin mendapatkan barakah ‘ilmu dari Sang Empunya ilmu; Allah SWT, para nabi, serta ulama yang menjadi warisan setelahnya.

Maka bukan suatu hal yang mudah bagi kita dalam mengemban amanah ini, karena kini bagaikan mutiara yang sudah kehilangan kilaunya. Satu per satu Sang pewaris ilmu suci ini telah kehilangan ahlinya, dan niscaya suatu hari kelak ia akan tiada. Maka kalau sudah demikian halnya, tinggalah para awwamin yang meraba serta merangkak mencari kilau petunjuk di gelap dasar samudra. Maka benarlah Sabda Rasululllah SAW yang telah memprediksi kenyataan yang kini dilanda umat saat ini, bahwa sedikit demi sedikit kita telah kehilangan mereka pada Pewaris Nabi.

Dari ‘Amr ibn ‘Aash berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya Allah tidak akan mengambil ilmu- dari seorang hamba- dengan cara paksa, akan tetapi mengambilnya dengan mengangkat para ulama. Sehingga apabila tidak ada lagi seorang Alim, tinggalah para pemimpin yang bodoh, yang apabila ditanya, merekapun berfatwa tanpa ilmu, mereka itulah yang sesat lagi menyesatkan. (HR: Muslim No 1858)

Dari ucapan Rasulullah SAW ini telah jelas bagi kita. Bahwa tugas utama yang seharusnya diprioritaskan untuk saat ini ialah menjaga serta mewariskan kembali ilmu-ilmu tersebut. Tentunya ilmu yang dimaksud ialah ilmu yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah. Ilmu syar’i lebih tepatnya, yang merupakan pondasi umat dalam mempertahankan eksistensi Din al-haq, Islam. Siapa lagi yang akan membentengi agama suci ini kalau bukan kita sebagai generasi penerus. Maka dengan buku yang kini berada ditangan saya, izinkanlah saya berbagi ilmu sebagai wadah dakwah yang mudah-mudahan dengannya bermanfaat bagi para pembaca, terkhusus yang menjadi target utama ialah para generasi muda Islam.

Saudaraku, insan sejati. Dalam muqaddimah Syaikh Utsaimin di dalam buku Syarh Hilyah ini, beliau menuturkan bahwa selayaknya bagi setiap thalib ‘ilm apabila telah mengetahui keistimewaan suatu ilmu atau ibadah hendaklah mengamalkannya. Apabila Sang empunya ilmu belum mengamalkan apa yang ia dapatkan sama halnya dengan mereka yang awam-belum mengetahui hakikat sesuatu. Bahkan orang yang awam itu keadaannya “lebih baik” darinya. Karena meninggalkan suatu keistimewaan yang telah tahu akan hakikatnya, namun dengan sengaja meninggalkan bahkan menyembunyikannya dari orang lain, sama halnya orang yang tahu jurang didepannya namun tetap berjalan bahkan membiarkan orang lain jatuh bersamanya. Bertentangan dengan orang awam yang benar-benar belum mengetahui hakikat kebenaran. Bisa jadi ia lebih baik tatkala mengetahui kebenaran itu.

Aku juga mencoba menterjemahkan muqaddimah yang disampaikan oleh Syaikh Bakr ibn ‘Abdullah dalam syarh ini, selaku penulis buku ‘Hilyah Tholib ‘ilm’. Semoga apa yang kututurkan ini, tidak mengurangi ‘bobot’ pesan yang beliau sampaikan. Cobalah untuk meresapi kandungan apa yang beliau tuturkan dengan segenap jiwa. Agar dapat masuk dalam ruang hikmahnya.

-Bismillahirrahmanirrahim-
Aku persembahkan petunjuk dalam kitab ‘Hilyah’ ini tahun 1418 H kepada segenap umat muslim-dan kepunyaan-Nyalah segala pujian- agar senantiasa membangkitkan motivasi umat menuju gerbang ilmu, yang dengannya bersinarlah sunnah Nabi Muhammad SAW. Semoga memotivasi dan memberikan manfaat bagi generasi umat yang senantiasa bersungguh-sungguh, mengalirkan darah ‘pembaharuan’ dalam hidupnya.

Faktanya kini kebanyakan dari generasi muda kita mengeluhkan kurangnya kekonsistenan dalam mengemban ilmu yang mereka dapat serta berat untuk menjaganya. Mereka haus ilmu, serta memiliki hasrat untuk mencari dan mengumpulkan. Mereka memiliki perhatian lebih terhadap ilmu, dan kerap tenggelam dalam suatu permasalahan rumit, demi meraih kemenangan bagi umat muslim. Maha Suci Allah yang menghidup-matikan hati…

Namun disamping niat yang suci ini hendaklah memberikan maslahat secara kaffah kepada umat, serta berhati-hati agar tidak berlebihan dalam meluapkan hasrat yang dimiliki. Serta tidak tergelincir dalam perang pemikiran, kesepakatan dengan kelompok-kelompok yang notabene keabsahan serta tujuannya selama masa pencarian jati diri.


Aku padakan dengan tiga paragraf diatas, sebagai wacana yang ingin dibahas dalam tulisan kali ini. Cukup sulit untuk menterjemahkan tiga paragraf diatas, sampai harus mencari rujukan kamus Al-Ashri. Namun Aku berusaha keras untuk tetap menterjemahkannya, berharap dengan itu para pembaca jua dapat memahami pesan yang beliau sampaikan. Yakni dengan apa yang terjadi dan sedang maraknya bergejolak di tubuh umat saat ini. Dengan memahami pesan yang beliau sampaikan di awal tulisannya, Aku memahami kerisauan beliau dengan apa yang terjadi pada Generasi Muda dan Generasi Penerus umat islam. Beliau jadikan kedua target ini di awal kata sebagai tanda kecintaan beliau kepada umat, dengan memohon segenap kekuatan kepada-Nya agar senantiasa memberikan kekuatan dan keistiqomahan berdakwah di jalan-Nya.

Lihatlah kembali apa yang beliau sampaikan!

Pada paragraf pertama, didapati bahwa apa yang beliau targetkan bukanlah untuk menciptakan generasi penerus yang intektual dalam hal duniawi. Namun jauh daripada itu, beliau dahulukan perkataanya dengan membangkitkan semangat umat agar kembali kepada dakwah yang hakiki, yakni dengan kembali kepada Sunnah Nabi yang merupakan tolak ukur bersinarnya Islam. Menjadi Sang Mujaddid- Sang Pembaru- yang menghidupkan kembali sunnah-sunnah Nabi yang mulai terlupakan. Tentunya kita dituntut untuk mengetahui sumber-sumber ilmu dasar agama kalau ingin benar-benar membangun kembali islam yang pernah berjaya.

Tanpa bermaksud mengecilkan usaha kita selama ini, yang mungkin dengan berbagai macam bentuknya berusaha untuk melahirkan kembali dakwah islam. Namun pastinya setiap pekerjaan ada benar-salahnya, nilai positif-negatifnya. Perlu adanya perbaikan disetiap lininya.

Aku kerap bertanya kepada diri, tentang apa yang selama ini Aku lakukan. Sudah pantaskah Aku untuk berdakwah? Apakah dakwahku sudah dibarengi dengan ilmu dasar agama yang mumpuni? Sudahkan Aku bersungguh-sungguh mencari sumber-sumber ilmu agama itu? Benarkah apa yang selama ini kulakukan, atau sekedar ‘taklid buta’ sebagai warisan adat istiadat? Sukseskah dakwah yang selama ini kuusahahkan? Mampukan Aku menjaga niat dakwah tanpa harus menjadikannya profesi mencari materi?

Berbagai pertanyaan diatas Kulontarkan dari lubuk hati yang terdalam, dalam ranah muhasabah untuk diri sendiri. Mungkin bisa juga untukmu. Kamu dapat menulis deretan pertanyaan panjang untuk dirimu. Sudah sejauh manakah usaha yang Kamu lakukan untuk agama yang suci ini?!

Di sini Aku hanya ingin Kita mengetahui betapa ilmu Syari’at yang selama ini didengungkan amatlah penting demi menjaga warisan Nabi yang mulai luput dari waktu. Betapa diri ini masih harus berbenah dari segala kekurangan dan ketertinggalan dalam usaha membangun kembali ‘Alam Islami’ yang pernah berjaya. Mampukah kita seperti para Khulafa’ur Rasyidin, para Sahabat, tabi’in, tabi’ tabi’in yang amanah dalam melahirkan generasi umat yang telah menggoreskan tinta emas sejarah? Mampukah kita membangun khilafah islam yang pernah berjaya?

Pada paragraph kedua, Syaikh ingin menyadarkan kita kepada fakta yang sedang dialami umat . yakni dengan kerisauan para Pemuda dalam mengemban amanah. Karena beliau melihat, mayoritas pemuda saat ini lebih cenderung tenggelam dalam hal-hal sepele yang bukan pada konteksnya. Waktu sia-sia dibuang untuk kenikmatan nafsu belaka. Banyaknya ajang-ajang mencari bakat yang hanya mementingkan profesi dan materi semata. Menyamarkan pandangan Generasi umat kepada suatu hal yang bukan memotivasi diri untuk menegakkan syari’at agama. Gejolak kepemimpinan yang terjadi diberbagai Negara islam yang enggan akan pemimpinnya, diakibatkan kurangnya loyalitas dan kredebilitas terhadap warga. Disamping itu berita yang berkembang- media barat- semakin menyudutkan islam kepada kurang tepatnya Syari’at- Hukum Allah- dalam menegakkan kepemerintahan yang loyal terhadap umat. Wal ‘iyadzhu billah…


Sungguh, Aku sendiri menyadari betapa Aku juga demikian risaunya mengemban amanah suci ini. Bingung harus memulai darimana melaksanakan tugas, sebagai warisan Para Nabi untuk umat yang dikasihi. Dalam hal ini, Aku berusaha untuk senantiasa belajar banyak melihat kondisi yang mulai terjadi dan berkembang. Baik itu melalui berita, maupun kenyataan yang Aku hadapi pada kehidupan sehari-hari. Aku mulai resah, melihat rumitnya problematika yang harus Aku hadapi kedepan. Antara mengedepankan dakwah kepada umat, atau perbaikan diri dengan profesi yang memadai. Keduanya sama pentingnya. Yang pastinya keduanya akan lebih baik jikalau dilaksanakan berbarengan, tapi apakah hal itu mungkin terjadi? ya, mungkin saja. Aku masih optimis akan hal itu. Aku berharap Kamu juga demikian halnya, berdakwah lewat jalur yang tepat tanpa mengenyampingkan urusan duniawi. Tentunya tidak asal jadi.

Dilain sisi realita kehidupan sehari-hari yang dijalani dihadapkan kepada kurangnya kekonsistenan diri terhadap tujuan yang ditargetkan. Munculnya ikhtilaf nafsiyah sering mengganggu pikiran untuk segera bertindak. Sehingga timbulah pembicaraan-pembicaraan kecil dibelakang panggung, yang terkadang membuat diri grogi . maka kalau sudah begini hanya renungan panjang yang menjadi makanan pikiran sehari-hari, tanpa adanya maklumat ilmu yang didapatkan. Karena hal ini menyebabkan tubuh menjadi letih, pikiran buntu untuk mengeluarkan ide-ide baru. Banyak keinginan menggebu, namun hanya bualan lalu tatkala belum mampu menguasai diri. Begitulah sekilas realita yang Aku hadapi saat ini. Dan dengan menuliskannya, Aku berharap ini dapat menjadi jalan keluar demi menciptakan suasana tenang hari-hari yang akan datang.

Dengan berkaca dari diriku, Aku bermaksud agar Kamu juga demikian. Yakni mencari jalan keluar yang menjadi gendala bagi Kamu untuk dihadapi. Tanpa harus tenggelam dalam lamunan panjang yang hanya menguras waktu sia-sia. Bukankah seorang muslim merupakan kaca bagi saudaranya semuslim? Maka renungilah, Saudaraku!.

Pada paragraf terakhir, Syaikh seakan mengarahkan kita kepada suatu petunjuk yang hendaknya kita laksanakan segera. Yakni berpegang teguh kepada prinsip, namun mengedepankan maslahat kepada umat secara kaffah. Apa maksudnya? Bukankah ini sama halnya dengan egois? Hmm, sepertinya kurang tepat dikatakan egois. Ketegasan, lebih tepatnya. Tentunya yang telah dilandasi ilmu dalam bermu’amalah. Serta independent dalam berpikir. Tegas dalam memproklamirkan diri dan keputusan yang benar. Jangan sampai ta’ashub – fanatik- terhadap suatu golongan. Jangan pula terlalu bebas berpikir- liberal, sehingga terlalu mudah mempersepsikan suatu hal yang sacral untuk dibahas. Menyandng label moderat untuk hal-hal yang tauqifiyyah- hukum yang qath’i, yang justru membuka gerbang kemaksiatan bagi mereka yang tidak ingin berjihad di jalan-Nya dan ingin sesuai hawa nafsunya belaka..Kita harus banyak menela’ah, serta mengkaji hal-hal yang belum kita ketahui. Kita pula harus care tatkala sudah menerima informasi. Jangan sempat termakan omongan. Perlu adanya cek and ricek-penjelasan-yang benar-benar tsiqah.

Dalam peribahasa arab mengatakan: “Janganlah kamu bersikap lemah sehingga mudah diperas-oleh orang lain. Jangan pula bersikap keras sehingga kamu dipatahkan”.

Tentunya tidak lari dari konteks ‘mencari ilmu’. Aku yakin dengan petunjuk ini, kita akan menjadi Generasi Penerus yang mandiri dan memiliki kredebilas Penuntut ilmu yang membawa panji agama menuju pembaharuan dan semangat kelompok. Kelompok apa? Tentunya kelompok yang selama ini disebut-sebut nabi sebagai Ahlusunnah wal Jama’ah, bukan yang lain. Jangan sampai kita terjerumus kepada kelompok-kelompok tertentu yang belum jelas keabsahan dan tujuannya. Kita harus teliti, cermat memilah serta tepat memilih.

Nah, begitu pula kita! Kita harus mewaspadai diri dari hal-hal yang merusak pikiran dengan masuknya kepada firqah-firqah tertentu. Sudahkah kita memiliki dasar iman yang kuat atau sebaliknya.

Dari Abu Amir Abdullah bin Luhai, dari Mu'awiyah bin Abi Sufyan, Bahwa Rasulullah SAW bersabda:…. dan sesungguhnya umat ini akan terpecah menjadi 73 (tujuh puluh tiga) golongan. Adapun yang tujuh puluh dua akan masuk neraka dan satu golongan akan masuk surga, yaitu "Al-Jama'ah". (HR: Tarmidzi, no 4597)

Tahukah Anda kisah orang-orang khawarij? Merekalah para generasi terbaik dimasanya. Dalam diri mereka tertanam keimanan serta kecintaan tinggi demi kemaslahatan umat yang tidak dimiliki oleh selain mereka. Namun karena kecintaan yang berlebihan, mereka memiliki persepsi sendiri dalam mengkafirkan kaum muslim dan para khalifah dengan sekehendaknya. Mereka secara lantang mengkafirkan para khalifah, serta pemaksiat yang melakukan dosa besar. Sehingga dianggap keluar dari konsep islam dan Ahlusunnah wal Jama’ah yang masih memberikan kesempatan bertaubat bagi para pelaku dosa baik besar-kecilnya, padahal mereka sangat mencintai islam. Bagaimana hal itu bisa terjadi? Itulah gunanya menela’ah dan mengkaji. Dikarenakan kecintaan yang berlebihan, mereka menggunakan hawa nafsunya menimbang kadar keimanan diri seseorang. Tidak pula dikarenakan hal itu, lantas kita tidak mencintai umat ini. Bahkan kita dianjurkan agar senantiasa saling bernasehat dan berjihad di jalan-Nya demi menegakkan Singa kini sedang lalai dengan tidurnya.

Saudaraku, Insan sejati. Harus kita sedari betapa kita telah kehilangan jati diri. Jati diri umat yang mulai terkikis oleh perkembangan jaman yang hedonis. Oleh karenanya dengan artikel singkat ini, semoga dapat mencerahkan. Dan kembali memotivasi diri untuk senantiasa belajar dan mencari hakikat agama suci ini dengan memperdalami Al-Qur’an dan risalah para nabi. Berharap kita dapat disatukan dalam firqah yang selamat itu. Ahlusunnah wal jam’ah. Semoga!. [El-Ahmady]

Khartoum, Sudan.
Selasa,10/05/11

Penguasa Bumi?  

Posted by Unknown in , ,


Saat pandang menyirat beribu makna
Terselip satu tanya dalam hati
“Kapan datangnya kedamaian?
Saat orang telah jauh dari nurani
Mengaku diri penguasa bumi

Tiada makna dari sebuah kata
Tiada arti dari sebuah janji

Tidakkah mereka ingat !
Tatkala dilukiskan kepadanya satu perumpamaan
Tentang mereka yang dibelenggu pada hari yang dijanjikan

Wahai, kiranya kematian itulah yang menyudahi segala sesuatu
Hartaku sama sekali tidak berguna bagiku
Kekuasaanku telah hilang dariku

Satu pengakuan diri yang sia-sia
Saat tiada lagi seorang pun yang dapat menolongnya
Dan Sang Segala berkata;

tangkaplah dia lalu belenggulah tangannya kelehernya
Kemudian masukkanlah dia ke dalam api neraka yang menyala-nyala
Kemudian belitlah dia dengan rantai yang panjangnya tujuh puluh hasta”

Bukankah telah nyata peringatan itu baginya?
  

***
Kini antara ada dan tiada
Keberadaan diri yang sulit diterka
Pengabdian umat yang ternoda
Namun kau tetap berdiri, mengaku dirimulah Sang penguasa
Tidakkah kau jerah dengan rakyatmu yang tersiksa?
Sudahkah nuranimu meraba?

Dunia kini mulai mengecam
Keadilan yang lama terbungkam
Menanti sosok pemimpin sejati
Di akhir masa yang mulai letih

Maka aku senantiasa menyeru jiwa-jiwa batu
Agar selalu ingat keringat rakyat yang dengan
tangan-tangan penuh lumpur mengaduk-aduk nasib
Mengolah masa depan yang suram

Aku senantiasa menyeru kamu yang dengan
kejam memakan insan-insan malang 

Aku senantiasa menyeru kamu yang tanpa ragu
memangsa sesama yang begitu menderita

Senantiasa menyeru kamu yang tanpa perasaan
memakan masa depan demi memuaskan nafsu-nafsu menggebu
_____________________
Muhammad Nur
Khartoum, Sudan
13/04/11