MENUNTUT ILMU-"MERASA TAKUT KEPADA ALLAH"  

Posted by Unknown in ,

MERASA TAKUT KEPADA ALLAH
Catatan Seorang Tholib’ilm di Negeri Dua Nil
By: El-Ahmady


“Senantiasalah takut kepada Allah SWT, dalam kesendirian dan keterbukaanmu. Sesungguhnya sebaik-baik manusia ialah yang takut kepada Tuhannya. Dan tidak dikatakan takut seseorang itu kecuali orang yang ‘alim (mengetahui hakikat Tuhannya, Allah yang Esa). Dan hendaklah kau tahu, bahwa seorang ‘alim tidak dikatakan alim kecuali dengan berbuat (dengan ilmu yang di dapat)  serta atas dasar ketakutan kepada Allah.”[ Syaikh Allamah Bakr Ibn Abdullah Ibn Zaid, Hilyah Thalib’ilm]
Pernah merasa takut kepada Allah? Saya kira jawabannya antara “ya” dan “tidak”. Alasannya pun pasti beragam. Tapi, biarlah “ya’ dan “tidak” kalbu kita yang menjawabnya. Pada refleksi kajian ilmu kali ini, saya ingin mengajak Anda kepada kalam Ilahi, pada Surat Fathir ayat 28:

“Dan demikian (pula) diantara manusia, makhluk bergerak yang bernyawa dan hewan-hewan ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para Ulama. Sungguh, Allah Maha Perkasa, Maha Pengampun.”

Fokuskan bacaan Anda pada kalimat yang tertulis tebal pada ayat tersebut!. Maka, “di antara hamba-hamba-Nya yang takut kepada-Nya, hanyalah para Ulama”. Saya padakan materi yang saya dapatkan dari buku “Hilyah Tholib’ilm” ini pada kalimat yang saya hitam tebalkan pada ayat atas. Takut dan para Ulama.

1. Pengertian Takut.

Dalam bahasa arab, takut dikenal dengan khasyah atau khauf. Namun dua kata ini memiliki perbedaan dalam pemakaiannya. Makna khasyah lebih mendalam dari khauf. Khasyah bersumber dari rasa ta’dhzim kepada Allah, dan berdasarkan ilmu. Oleh karena itu Allah SWT menyebutkan -mereka- orang yang takut kepada-Nya ialah para Ulama (orang memiliki ilmu). Sedangkan khauf bersumber dari kelemahan, kurang sanggup, dan rasa belum memiliki dengan apa yang ditakuti.  Contoh khauf, seperti halnya takutnya seorang balita dengan anak remaja, serta takutnya remaja dari orang dewasa. Nah, takut disini merupakan naluri batin yang wajar bagi seseorang, karena posisi dirinya berada dalam kelemahan. Juga takutnya seseorang tatkala datangnya seekor hewan buas, atau musibah yang datang.
Posisinya disini, ialah kekurang sanggupan, atau takut kehilangan, yang juga masih dikategorikan wajar bagi fitrah manusia.  “ Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan” (QS. Al-Baqarah 155). Contoh lain daripada khauf seperti, ketika seseorang tidak tahu dengan siapa ia akan berhadap diri. Apakah lebih kuat, galak, kejam? Atau sebaliknya. Namun apabila ia mengetahui siapa yang akan dihadapinya, sudah kenal terlebih dahulu. Maka itulah yang dikategorikan khasyah. Takut yang berdasarkan ilmu.

Dan Allah melanjutkan perkataan-Nya dalam surat At-Taubah, ayat 18;  Semoga orang-orang yang khauf itu termasuk dari mereka yang diberikan petunjuk. Kalimat semoga yang dalam bahasa arab dikenal dengan kalimat Taraji ( pengharapan), bahwa kita dituntut untuk mengetahui dan berusaha mencari tahu hakikat sesuatu yang kita takuti. Agar kita tidak terjebak dalam ketipu-dayaannya.

2. Perlukah rasa takut kepada Allah?

Allah SWT bersabda : “Dan janganlah kamu takut kepada mereka, namun takutlah kepadaku” (QS. Al-Baqarah). Tentu sebagai hamba-Nya yang dha’if, sewajarnya kita menghadirkan rasa takut kepada Tuhan yang telah menciptakan, yang Maha mengetahui segala tingkah-laku yang kita perbuat.

Merasa takut kepada Allah. Kita dituntut untuk senantiasa menjaga diri kita dari hal-hal yang menimbulkan murka-Nya. Bagaimana mungkin, seorang hamba takut di tinggal kekasih, namun tidak takut di tinggal Tuhan yang Maha Pengasih. Takut kehilangan barang yang dimiliki, namun tidak takut kehilangan Tuhannya yang Maha Pemberi. Sungguh, tidak relevan. Kita tidak lagi menghiraukan semua himbauan. Berjalan tanpa haluan, berlari tiada tahu arah tujuan. Tidak tahu kepada siapa hendak mengadu dan memohon pertolongan.

Merasa takut kepada Allah. Kita dituntut mengetahui hakikat-Nya, sebagaimana dalam kitab Ushul Tsalasah. “Kewajiban kita ialah mempelajari- dan mengetahui- tiga ushul dalam islam, Ma’rifat kepada Allah, kepada Nabi-Nya, serta Agama dengan dalil-dalil yang menyertainya. Imam Bukhori senada akan hal itu, maka kitabnya yang merupakan kitab tsiqoh-terpecaya- setelah Al-Qur’an. Shahih Bukhari; menyebutkan bahwa bab ilmu, sebelum memasuki bab qaul- berbicara, dan amal-perbuatan. Maka selayaknya orang yang telah mengetahui mengiringi segala tingkah-laku dan amal perbuatannya dalam lingkup kehambaan kepada Tuhan alam semesta.

Mulajamah dalam ketakutan kepada Allah Ta’ala, baik secara dhohir maupun bathin dalam menjaga Syi’ar islim. Memunculkan sunnah serta mengamalkannya dalam berdakwah. Menunjukkan ilmu dan amal serta sikap dewasa dan pemberani. Karena ketakutan kepada Allah akan melekatkan ilmu yang ada. Serta menambah keimanan dan takwa.
“Dan orang-orang yang mendapat petunjuk, Allah akan menambah petunjuk pada mereka dan menganugerahi ketakwaan mereka” (Q.S. Muhammad, 17).

Imam Ahmad rahimahulllah berkata : “ Azas ilmu itu ialah ketakutan kepada Allah” . Dan ini benar adanya, bahwa dasar ilmu ialah rasa takut kepada Allah SWT. Dan ketakutannya itu ialah yang berdasarkan ilmu serta merasakan kebesaran-Nya. Manusia apabila mengenal Allah Ta’ala dengan sebaik-baiknya; ilmu. Hendaklah terpahat dihatinya rasa takut kepada Allah, karena ia telah mengetahui akan kebesaran-Nya, kekuatan, dan bahwa Ia Maha Mengetahui apa yang tersembunyi didalam hati. Yang dengannya ia akan terjaga dari hal-hal yang merusak amal ibadahnya.

3. Keterkaitan ilmu, rasa takut kepada Allah, dan amalan.

Apakah harus menjadi ulama dulu? Bukankah banyak dari ilmuan-ilmuan saintis yang telah lama bergelut di dunia riset, baik ke ruang angkasa maupun keperut bumi telah membuktikan kebesaran-Nya itu. Namun mengapa mereka tidak merasakan ketakutan kepada-Nya? Bahkan, ada dari kalangan ulama Nashara yang mengarang kitab-kitab arab yang banyak memberikan kontribusi dalam dunia keislaman. Mengetahui makna Al-qur’an dan hadis-hadis rasul yang menjadi sumber ilmu umat muslim. Tapi, mengapa hal itu justru membutakannya dari petunjuk?

Begitu jelasnya Allah memberikan suatu petunjuk bagi kita akan penting dan tingginya derajat orang-orang yang memiliki ilmu. Karena sesungguhnya orang yang berilmu secara tidak langsung telah mengetahui kebesaran penciptaan-Nya. Alam yang terbentang luas; bumi sebagai tiang, langit sebagai hamparan. Bintang-bintang melayang bebas di angkasa. Tiada yang sanggup mengetahui bahkan hal itu kecuali mereka para ulama.

Namun, seringkali ilmu yang didapat tidak dijadikan I’tibar dalam mencari petunjuk kekuasaan-Nya. Bahkan,-na’udzhubillah- ilmu tersebut dijadikan peluru yang menembak tubuh umat dari dalam. Mengkritisi agama lewat dialog-dialog kesesatan. Mengambil sepotong ayat-tidak keseluruhan- untuk dijadikan boomerang dalam berdalih sesuka hati. Ghozwul fikr, semboyan yang kini mewabah dan mulai menjangkit tubuh umat yang kian sakit. Jauh daripada kebenaran.

Sebagai Mubtadi Tholib’ilm (Pemula dalam menuntut ilmu), disinilah kita dituntut untuk menjadi pencari ilmu yang rabbani. Rabbani dalam artian, mencari ilmu semata-mata untuk mencari hakikat kebenaran dan bukan pembenaran. Mengetahui hakikat ilahi dan bukan khilafi-diskusi penyelewengan, yang terkadang membekukan hati dari kehakikian. Rabbani yang berarti dituntut untuk mengamalkan ilmunya terlebih dahulu sebelum mengajarkannya kepada orang lain. agar menjadi obat kepada umat yang mulai kronis.

Ali ibn Abi Thalib-radiallahu ‘anhu- berkata: “ Ilmu dijemput dengan amalan. Maka jemputlah, kalau tidak ia akan pergi”.
Hendaklah berbuat dengan apa yang diketahui, sebab amalan tanpa ilmu akan menjerumuskan ahlinya kepada jurang api neraka di hari akhir. Menjauhi taklid buta. Karena tidak ada alasan untuk mengelak. Risalah telah berakhir, kitab suci telah terukir. Tinggal bagaimana kita memanfaatkan dan mengalamalkan. Agar tidak mewarisi penyesalan dengan ilmunya yang didapatkan. Secara tidak langsung itu akan menghilangkan barakah ilmu yang didapat serta kelupaan.
Allah SWT bersabda; (Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, maka Kami melaknat mereka, dan kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka mengubah firman (Allah) dari tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian pesan yang telah diperingatkan kepada mereka. (Q.S. Al-Maidah, 13)

Kelupaan yang dimaksud mencakup lupanya pikiran dan perbuatan, karena nisyan (lupa) dalam bahasa arab dapat diartikan dengan “meninggalkan”. Akan tetapi apabila seseorang berbuat dengan ilmunya, sesungguhnya Allah SWT akan menambahkan baginya petunjuk serta ketaqwaan. (Q.S. Muhammad, 17). Maka apabila telah sedemikan, Allah tidak sungkan untuk menganugerahkan ilmu kepadanya dari apa  yang tidak diketahuinya sebelumnya.
Ya Rabb jadikanlah kami para penuntut ilmu yang rabbani, yang takut akan kebesaran-Mu. Agar kelak dapat mewarisi barakah ilmu. Jauhkanlah kami dari kesesatan, mudahkanlah kami mengamalkan ilmu yang kami dapatkan. Semoga bermanfaat, Amin ya Rabbal ‘Alamin. [El-Ahmady]
Wallahu A’lam bishowab.

_______________________________
 http://elahmady1809.blogspot.com/
Dakhiliyah Yajid Ibn Habib
Kamis, 09/06/2011
Khartoum, Sudan

This entry was posted on Jumat, 17 Juni 2011 at 23.16 and is filed under , . You can follow any responses to this entry through the comments feed .

0 komentar

Posting Komentar