"Man Jadda Wajada", Jargon ala santri yang menginspirasi.  

Posted by Unknown in , ,

"MAN JADDA WAJADA", itulah judul buku yang kini telah saya miliki dan alhamdulillah telah saya ikutin pelatihannya. Bersama penulisnya,Hyperlink ke Ust. Akbar Zainuddin, saya mendapatkan banyak hal dan motivasi baru dalam menyelami sela kehidupan yang akan saya hadapi kedepannya. Selama dua hari menjadi panitia dan asisten beliau, sekaligus mengikuti pelatihan yang ia berikan, merupakan kesyukuran yang teramat besar dapat secara langsung bertatap muka dan bersenda gurau dengannya. Melihat selama ini saya hanya mengikuti catatan yang beliau tuliskan di facebook dan perjalanan pelatihan lewat foto yang di upload, menjadikan saya berkeinginan kuat untuk bertemu dan mendapatkan ilmu lebih banyak dari sekedar catatan yang pernah saya baca. Inisiatif mendatangkan penulis buku “MAN JADDA WAJADA” sudah lama terngiang, setelah berdiskusi panjang bersama kabid Pengasuhan santri Ust. Junaidi dalam hal mengisi kekosongan santri/I kelas V menjelang acara yudisium yang sebentar lagi akan berlangsung. Hal ini baru pertama kali dilakukan, dalam upaya peningkatan mutu dan pendidikan, khususnya dalam hal mengasuh dan mendidik jiwa kepemimpinan dalam benak santri/i. tentunya ide ini disambut meriah oleh santri/I juga guru-guru pondok yang mendapatkan kesempatan itu. Setelah sebelumnya juga telah dihadirkan penulis yang tak kalah populernya untuk saat ini, Ahmad Fuadi dengan novelnya Negeri 5 Menara yang sempat memberikan motivasinya kepada adik-adik 3 bulan yang lalu.

Tidak jauh berbeda dengan Kang Abik dan Akh. Ahmad Fuadi. Ust. Akbar Zainuddin juga menjadikan mantra “MAN JADDA WAJADA” sebagai jargon yang memotivasi beliau dalam hal meraih mimpi dan kesuksesan. Kalimat pertama dalam pelajaran Mahfudzat yang dipelajari oleh santri/I kelas I pondok ini, telah menjadi sihir tersendiri bagi mereka yang kini menggenggam kesuksesan lewat karyanya. Terbukti Kang Abik dengan Ayat-Ayat Cintanya (baca-biografi “The Inspiring Life Of Habiburrahman el Shirazy), dengan lantangnya menjadikan sihir MAN JADDA WAJADA sebagai bekalnya memunculkan karyanya yang fenomenal itu. Juga Ahmad Fuadi dengan Negeri 5 Menaranya, yang berani mengungkapkan sisi dibalik kehidupan santri pondok yang penuh misteri dalam mencapai cita-citanya, juga dikarenakan mantra MAN JADDA WAJADA. Kini, dengan adanya buku MAN JADDA WAJADA-nya Ust. Akbar Zainuddin, seakan menjadi pelengkap juga perangkum makna spesifik dari kalimat yang konon telah menjadi jargon santri dimanapun itu. Pastinya dengan penjelasan-penjelasan lain dalam mengungkapkan petuah juga syair dalam pelajaran Mahfudhzat. Buku ini secara mendalam menjabarkan juga menuntun mereka yang ingin meraih kesuksesan ala santri pondok.




Lagi-lagi saya mendapatkan pengalaman luar biasa selang dua hari ini. Mendapatkan kepercayaan mendampingi Ust. Akbar sekaligus menyerap energy poisitif yang ada didalam dirinya. Seperti halnya Ahmad Mujib ketika mendampingi abangnya, Kang Abik, setiap kali mengikuti kajian, juga kunjungan-kunjungan kepelbagai tempat untuk mengisi undangan. Begitu bangganya ia, terlebih menyadari bahwa abangnya adalah penulis tersohor. Bukan karena pamor abangnya itu yang ingin ia manfaatkan, namun keinginannya untuk menyerap sebanyak-banyaknya ilmu dari abangnya itulah yang kini ingin saya teladani. Mengingat waktu dua hari adalah waktu yang amat singkat, segera saya menyadari bahwa saya hendaknya bergegas dan sigap menyikapi waktu. Terlebih bukan hal mudah untuk bertatap muka secara langsung dengan Ust. Akbar, mengingat ia telah menjadi orang penting dan pastinya waktu yang ia gunakan haruslah dipergunakan sebaik mungkin untuk menyaingi kepentingannya. Ya, saya harus segera memanfaatkan waktu ini untuk kembali menjadi hamba ilmu kepada empunya ilmu. Maka, ingin rasanya saya menceritakan kembali perjalanan dua hari ini kepada para pembaca dan sahabat tercinta untuk sekedar berbagi wejangan yang telah saya dapatkan khususnya selama mengikuti pelatihan yang Ust. Akbar tebarkan dibumi waqaf tercinta.

Sekilas membaca curriculum vitae yang ada di bagian belakang buku MAN JADDA WAJADA.

Akbar Zainuddin lahir di Banyumas Jawa Tengah. Selepas Sekolah Dasar dia melanjutkan pendidikannya di Pondok Modern Gontor, Ponorogo. Pendidikan Sarjana ditempuh di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah (dulu, masih bernama IAIN), kemudian melanjutkan di Sekolah Tinggi Manajemen Prasetiya Mulya, mengambil konsentrasi Manajemen Pemasaran.
Sejak di Pondok Modern Gontor dia suka menulis, menjadi redaktur di penerbitan Pondok, kemudian sebagai redaktur di penerbitan kampus. Bidang kepenulisan yang ditekuninya adalah manajemen, pendidikan dan motivasi. Tulisannya tersebar di beberapa majalah mulai dari SWA hingga Majalah Gontor.

Sekarang, selain mengelola perusahaan di bidang konsultasi manajemen, ia juga memberikan berbagai pelatihan di bidang manajemen, motivasi, kepemimpinan, dan pengembangan diri. Klien yang pernah mengikuti pelatihannya tersebar, mulai dari perusahaana swasta hingga kalangan pemerintahan di berbagai kota di Indonesia.


Baik, itulah sekilas perjalanan hidup beliau. Dan kini saatnya saya ingin berbagi wejangan yang telah saya dapatkan dari sosok beliau yang humoris dan cerdas. Materi yang beliau sampaikan adalah tentang “Memanfaatkan Potensi Diri”. Berikut pelajaran yang saya dapat dari beliau

Membuka Potensi Diri

Jarrib Walaahidz Takun ‘Aarifan
(Coba dan Perhatikan, Niscaya Engkau Akan Mengerti)

-> Yakni, mengamati dan merasakan secara langsung hal-hal apa yang membuat kita senang untuk melakukannya. Menyadari potensi diri dan jangan sampai kita merasa puas dengan potensi yang kita miliki untuk saat ini, namun tetap mencari hal-hal baru dan mengembangkannya lebih kreatif. Pastinya dibarengi dengan meluaskan network (jaringan kerja) kepada orang yang lebih ahli.

Kenali Kelebihan dan Kekurangan

La tahtaqir man duunaka falikulli syain maziyyat
(Janganlah Engkau menghina orang lain, karena setiap orang mempunyai kemampuan masing-masing)

->Setiap orang mempunyai kemampuan dan kelebihan yang berbeda-beda. Maka hendaklah kita fokus pada bagaimana meningkatkan kelebihan yang dimiliki. Jadikan kelebihan itu sebagai SUMBER KEUNGGULAN BERSAING. Ada kelemahan yang bisa ditutupi, ada juga yang sulit untuk dibenahi, ataupun tidak bisa karena sudah “pemberian Tuhan”. Kelemahan, jika tidak terlalu prinsipil, akan tertutup oleh kelebihan yang dimiliki. Tuliskan, nikmat TUHAN apa yang telah kita dapatkan hingga HARI INI?

Cobalah untuk berpikir Positif!

Wa ‘ainur-ridha ‘an kulli ‘aibin kaliilatun,
Kamaa anna ‘aina-ssukhti tubdi-l-masawiya
(Jika kita melihat sesuatu dengan positif, maka semuanya akan terlihat baik. Sebaliknya, jika kita melihat sesuatu dengan negatif, maka semua yang tampak adalah kejelekan)

->Memandang hidup sebagai sebuah keindahan yang luar biasa. Setiap sesuatu, baik peristiwa atau orang mempunyai sisi positif dan negatif, pandanglah dari sisi positifnya. Jangan berprasangka negatif terlebih dahulu terhadap suatu hal, jangan sampai pikiran negatif menutupi mata hati kita


The Miracle is YOU!

Al jaddu bil jiddi wal hirmaanu bil kasali, fanshab tushib ‘an qariibin ghayatal amali
(Kesuksesan akan didapatkan dengan kerja keras dan kegagalan terjadi karena kemalasan, bersungguh-sungguhlah maka Engkau akan dapatkan dengan segera apa yang dicita-citakan)

->Jangan menunggu keajaiban. Keajaiban itu ada pada diri kita, The Miracle is You!. Mulailah bekerja memanfaatkan keajaiban kita.

Lupakan Masa Lalu

Lan tarji’al ayyamul-latii madhat
(Hari-hari yang sudah berlalu itu tidak akan kembali)

->Masa lalu biarlah menjadi catatan dalam hidup kita. Jika kita pernah melakukan suatu kesalahan, biarlah itu menjadi pelajaran agar kita tidak melakukan kesalahan yang sama. Semua orang pernah melakukan kesalahan dan kebodohan. Hilangkan dendam, maafkanlah

Membangun Impian

Idza shadaqal ‘azmu, wadhahassabiilu
(Jika keinginan sudah terbentang, akan terbuka jalan untuk mencapainya)

->Punya cita-cita juga tujuan hidup yang lebih jelas akan membantu menunjukkan arah hidup kita.Menunjukkan jalan kalau kita sedang bingung mau mengerjakan apa. Agar kita mempunyai fokus terhadap satu tujuan yang jelas, tidak berbelok-belok



Percaya dengan kemampuan diri sendiri

Innal Fataa man Yaquulu Ha anadza,
walaisal fata man yaqulu kaana abiii
(Sesungguhnya seorang pemuda sejati adalah pemuda yang menyeru: “INILAH SAYA”, bukan yang sekedar membangga-banggakan orang tuanya)

->Semua orang mempunyai kekurangan, nikmatilah!. Fokus pada meningkatkan kelebihan, bukan menutupi kekurangan. Yakin dengan kemampuan yang kita miliki dan jangan ragu untuk melangkah.

Dan masih banyak lagi yang beliau sampaikan, namun kiranya tak memungkinkan saya untuk menuliskannya dinote ini. Sungguh pelajaran hidup yang patut di refleksikan dalam keseharian diri. Maka pengalaman ini senantiasa akan tetap saya cari dalam menggali potensi yang saya miliki, pastinya dengan mantra ala santri "MAN JADDA WAJADA".

Selamat menjalani...!!!

[Renungan-Q] Suara hati untukmu, Saudaraku!  

Posted by Unknown in , ,


Saudaraku!. Saat ini ada banyak pertanyaan yang sedang menggandrungi pikiran dan jiwaku. Pertanyaan yang bersumber dari refleksi objektifitas dalam memaknai pentas kehidupan ini. Apa yang kini mengganjal dan ingin rasanya mengungkapkan gejolak dihati. Saat dimana hening menjadi kerinduan dikala hiruk pikuk menjalani aktifitas hidup bertambah rumit dan sukar untuk dielakkan. Keberanianlah yang kerap dituntut menapaki terjalnya jalan. Realita hidup telah menampakkan posisi diri yang hanya mampu meratapi nasib. Bagaikan perlombaan yang tiada henti, hidup seakan menjadi panorama menyesakkan dikala bekal yang dibawa tak mencukupi. Maka tiada lagi waktu untuk mengulangi kesemuanya dan pastinya hanya kenangan semata. Penyesalan tiada habisnya menghiasi bibir yang tak mampu berzikir mengingat-Nya. Ya, hanya keluh kesah yang terlontar, namun tidak tahu kemana dan kepada siapakah harus diadukan. Itulah realita sekarang, dan kini terjadi! Lari dari jalur, mencari jalan yang tidak pada tempat dan koridornya.

Saudaraku!. ingatkah engkau sebuah ayat yang mengatakan “Barang siapa bertaqwa kepada Allah, maka Allah akan menunjukkan jalan keluar dan memberikan kepadanya rizki yang tak disangka-sangka”. Ingatkah kita kemaha besaran-Nya juga kuasanya yang tiada terduga itu? Sudah sangat jelas disini Ia ingin memberikan sebuah jawaban dan jalan keluar dari suatu kesulitan. Yakni, dengan syarat Taqwa sebagai landasan utamanya. Tidak diragukan lagi, bahwa dalam tuntunan-Nya kita akan dibawa kepada sikap bersyukur dan ridho menjalani likuk jalan ini. Maka, apabila keridhohan serta syukur telah memegang peran dalam hidup, bukan hal mustahil lagi kita akan menemukan cahaya setiap lembar buram cobaan yang datang.

Saudaraku!. disini aku bukanlah bermaksud ingin melangkahi ilmumu juga pengalamanmu. Tiada salahnya kita saling menasehati juga memotivasi. Bahkan inilah yang aku, kamu dan seluruh umat muslim butuhkan untuk saat ini. Dalam renung panjang yang sesekali menyeringai hati dan pikiran. Aku seakan terbawa dalam lamunan panjang mencari sebuah makna dan arti. Tuntutan hidup mewajibkan diri untuk segera mengambil tindakan kalau memang ingin meraih prestasi. Perjuangan tanpa henti, tawakkal, serta do’a menjadi tolak ukur keberhasilan. Entah mengapa aku ingin sekali mengungkapan kesemuanya? Rasa sensitif menanggapi fenomena yang telah terjadi, menjadi factor utamaku mencari kebenaran dari kebenaran yang ada. Perlu adanya tafakkur dalam memaknai setiap sela cobaan yang silih berganti.

Saudaraku! Terkadang aku berpikir. Bagaimanakah Ia mengajariku juga dirimu? Sejenak aku hanya ingin mengungkapkan apa yang kini masih mengganjal dalam pikiranku. Tentang hidup dan masa depanku nantinya. Sempat terlintas sebuah pertanyaan dalam renungku. Apa yang akan kulakukan dimasa mudaku yang mungkin dapat dikatakan belumlah dewasa dalam mengatasi dan bijaksana dalam menanggapi segala permasalahan?. Aku seakan linglung, tidak tahu kemana harus kukemudikan langkah kakiku. Cita-cita yang terbayang hanyalah semu, kala realita yang kualami jauh berbanding dengan tingkah laku. Aku terasa jauh dari apa yang selama ini aku inginkan. Padahal, kalau saja aku mau untuk mengulangi dan memperbaikinya. Maka tidak mustahil aku akan mampu menjadi diriku yang sebenarnya. Aku pastinya akan mudah untuk mengendalikan pola pikir, kemanakah harus ku tempuh perjalanan jauh. Dengan banyaknya prestasi yang dulu pernah kuraih, aku seakan tenggelam dengan kenangan semata. Hanya terhanyut dalam alunan kisah yang takkan kembali. Pastinya masing-masing haruslah meyakini, bahwa sesuatu yang paling jauh dari diri nantinya, dan takkan bisa ditempuh adalah masa lalu. Masa lalu yang jauh dari apa saja yang pernah kita miliki. Maka masa depanlah yang kini menjadi bahan perbandingan dari masa lalu, apakah tetap sama, atau sebaliknya, akan lebih baik dari pada sebelumnya. Hal ini sangat sesuai dengan apa yang dikatakan rasulullah Saw, bahwa," barang siapa yang hari ini sama dengan hari kemarin, maka ia adalah orang yang merugi. Barang siapa yang hari ini lebih buruk dari pada hari kemarin, maka ia mal’un." Mengingat hadis ini, rasa menyesal meraba jiwaku yang kini bingung. Lama ku dalam lamunan, memikirkan apa yang dulu terlewati. Namun, lagi-lagi ku mendapat anjuran agar tidak mengingat kembali masa lalu karena itu akan membuang waktu begitu saja. Ingin rasanya ku bersamamu, menjalin ukhuwah, merapatkan barisan menuju izzah. Menjadi mujahid pena, merangkai hati yang kerap terurai, akhlaq yang kian lumpuh.

Ya, dengan menulis. Media ini seakan menjadi pengerat tali silaturrahim antara kita. Karena didalamnya, ku menemukan jiwaku yang dulu sempat linglung tak tahu arah tujuan. Menulis juga menawariku semacam kesabaran yang tidak kumiliki dalam kehidupan sehari-hariku. Menulis membuatku berhenti. Menulis membuatku mencatat. Menulis memberiku semacam perlindungan yang tidak bisa kuperoleh dalam kehidupanku yang tergesa-gesa dan penuh dengan kegiatan. Menulis membantuku menjadi matang selama aku tidak membohongi diriku sendiri. Hal ini memaksaku untuk menghadapi dan memahami kekurangan, kelemahan, dan kekuatanku. Tindakan ini pula yang lamban laun mengajariku untuk tidak bersikap menghakimi. Dan pada akhirnya, menulis satu-satunya tempat aku bisa menjadi diriku sendiri dan tidak merasa dihakimi. Bagaimana pula perasaanmu tentang itu?


Saudaraku!. Kini, bersamamu, Aku kembali tercerahkan. Bahwa hidup bukanlah kenangan semata. Hidup bukanlah iming-imingan realita. Hidup bukanlah sekedar berkeluh kesah. Karena kesungguhan serta ketegasan hendaklah menyertai kebimbangan. Karena tujuan hidup telah jelas, mencari ridho-Nya semata, Inna Khalaqtu Al-Jinna Wal ins illa liya'budun. Hidup dalam naungan hidaya-Nya. Semoga kita selalu mendapatkannya. Amin....




Renungan-Q untukmu Saudara/i-Q, Mujahid Pena Peradaban.

Mahmoud el-Ahmady
23/06/10
Pengembara Jati Diri
mengukir hikmah kisah

Melukis Sepetak Hati di Padang Senja  

Posted by Unknown in , ,

Dalam telimpuh sujud
ku sisipkan sebuah harapan pada-Mu
Ku titip hati yang selalu cemburu
Pada nurani diujung senja
lamatku memandang sepotong jiwa yang bertandang
ketika mata dan telinga tak sanggup meraba
hanya keluh kesah meranum dibibir nista

Duh, senja..
Mengapa ku terpaut cintamu?
Aku linglung mencari sebuah makna yang terselip disana
menanti sebuah jawaban dalam rengkuhan doa
sembari ku resapi setiap langkah
di tepian pantai, ku mengadu resah
mendayung hati yang terombang ambing
tuk menepi di semenanjung cinta-Nya

Untuk kesekiannya ku merangkai kata
melukis sepetak hati yang terkotak ambisi dan nafsu
sedarkan kembali pikiranku yang rancu
Pada-Nya ku rajut sejuta rindu

Lama kusesali duri yang sempat menusuk
untuk kesekian kali pula ku selalu terpuruk
dengan kelemahan yang kerap mengusik dinding semesta nurani
dengan lelucon hati, kadang patuh dan kadang lumpuh
Sungguh, kuingin mengakhiri pentas drama ini
Memohon pada-Nya pelita hati

Allahumma...
Engkaulah Tuhan
Sang Khaliq Alam Semesta
'Bagiku itu sudah cukup
untuk sujud dan menyembah pada-Mu
di Padang Senja memahat cinta-Mu'




Mahmoud el-Ahmady
21/06/10

Sang Murabbi  

Posted by Unknown in , ,


Allah, Ya Rabbi...
Dengan segala kuasa dan kemaha besaran-Mu
Ku tengadahkan tangan bertumpu malu
Kala hati hanya berdusta
Terombang ambing dengan nafsu sia
Di keheningan malam
Waktu yang sepantasnya kupergunakan
Merajut cinta-Mu

Allah, Ya Rabbi...
Adakah hati dan lidah ini selalu berujar
Berkilah dan mengumbar ayat-ayat-Mu yang berpijar
Terangi hati mereka yang sadar
Obati jiwa mereka yang pudar
Namun, hanya akulah yang kurang ajar
Memaknai setiap dalil yang erat mengakar
Dengan potongan-potongan ayat samar
Lantas ku jadikan alasan untuk menutupi hidayah-Mu

Allah, Ya Rabbi...
Kegundahan hati ini lama berlumut
Terkatup dibalik dinding-dinding usia yang larut
Dalam jurang nista
Adakah pertolongan yang siap menghampiri
Sedangkan aku hanya berdiam diri
Dan enggan berlari menjemput kasih-Mu
Pantaskah aku menerima
Dengan kealpaan diri.

Kini hanya diamlah yang menjadi saksi bisu
Hanya jejaring malam yang setia menunggu
Kala simpuhku dihadapan-Mu
Menjadi bukti kelemahanku tentang diriku
Menjadi bukti kehampaanku tentang jiwaku
Menjadi bukti kelalaianku tentang usiaku

Bahwa, Engkaulah yang Maha Tahu dan akan mengatahui
99 lapis isi hati ini, yang karat dan berduri
Dan ingin ku benahi dalam sujud kasihku pada-Mu
Bahwa, Engkaulah Sang Murabbi
Penuntun hidup dan terjalnya jalan
Melangkahkan kaki lewati aral rintangan


Mahmoud el Ahmady
Selasa,03.15
15/06/10

Mengenal Sang Fenomenal, Habiburrahman el Shirazy  

Posted by Unknown in , ,

Itulah sepenggal kata yang saya kutip dari sebuah buku biografi “The Inspiring Life Of Habiburrahman El-Shirazy” karya Ahmad Mujib El-Shirazy. Buku ini memberikan kesempatan kepada pembaca untuk mengetahui sisi lain keseharian Habiburrahman el-Shirazy. Mengenai masa-masa terberatnya, kebiasaan-kebiasaannya dari sejak kecil, juga pola asuh orang tuanya.
Pertama kali saya berniat untuk membeli Novel terbaru karya Kang Abik, “Bumi Cinta” yang konon sama halnya dengan novel-novel sebelumnya sebagai Novel Penggugah Jiwa. Namun, entah mengapa saya secara tak sengaja menemukan buku biografi tentang Kang Abik ketika itu. Padahal sebelumnya saya sudah menenteng Novel yang hendak saya beli, novel terbarunya “Bumi Cinta”. Betapa keinginan untuk membeli kedua buku ini merasuki hati saya seketika. Namun, setelah mengecek kondisi dompet yang ternyata tidak mencukupi, sejenak saya membanding-bandingkan mana yang terlebih dahulu saya utamakan. Novel atau biografi Kang Abik? Benar-benar membingungkan. Keduanya sama-sama berkualitas. Pada akhirnya, saya memilih untuk membeli buku Biografinya terlebih dahulu. Mengingat perkataan seorang teman," bahwa jikalau kita ingin meniru seorang tokoh, kenalilah ia lebih dekat bukan karena karyanya, namun karena perjalanan hidupnya yang merupakan jiwa dari sebuah karya itu sendiri. "

Terbesit dalam benak saya. Saya ingin menjadi penulis. Maka penulis pulalah yang harus saya tiru.
Tetapi yang perlu saya tiru bukanlah karya-karya penulis, karena itu akan membatasi ide untuk berkreasi. Namun ialah sebagai pembanding tatkala karya itu telah tercipta. Karena saya pastinya memiliki ciri dan karakter dalam berbuat, pastinya saya harus menyajikan karya baru yang lebih berkualitas khususnya dalam menulis. Saya harus meniru cara hidupnya yang penuh inspirasi. Bukanlah karya yang harus ditiru karena ia merupakan luapan dari pada jiwa si empunya karya. Maka jalan hidup serta masa-masa menghasilkan karya itulah yang semestinya saya tiru.

Setelah membaca buku ini, Saya mulai mengetahui betapa faktor keluarga atau keturunan bukanlah satu-satunya penyebab seseorang menjadi apa yang diharapkan sebagai mana mestinya. Seperti orang-tua yang merupakan seorang penulis, pastinya melahirkan anak-anak yang penulis. Kakek-nenek pengusaha, belum tentu cucu-cucunya akan memiliki jiwa pengusaha sebagaimana dirinya,dll. Begitu juga Kang Abik dalam biografinya, bahwa ia tidak dilahirkan dari keluarga yang memiliki garis keturunan seorang penulis atau sastrawan. Namun, jauh dari pada itu, bahwa kedua orang tuanya adalah petani yang kesehariannya hanya dihabiskan di sawah juga ladang milik mereka. Masa kecil Kang Abik bukanlah masa kecil yang dilingkupi oleh kekayaan dan kemudahan. Bahkan kondisi lingkungan masyarakatnya pun miskin harapan. Mengingat itu saya pun seakan dinasehati agar tidak berkecil hati dalam berbuat. Karena factor keluarga terkadang menjadi sandaran bagi mereka yang hanya mengandalkan kedua-orang tua saja.

Dalam biografinya ini, Ahmad Mujib telah memberikan pandangan sekaligus pengalaman panjangnya bersama tokoh yang diceritakannya yang tak lain adalah abang kandungnya sendiri. Sudah barang tentu apa yang diceritakannya bukanlah omong kosong belaka, karena ia secara langsung merasakan juga mengalami hal yang sama apa yang telah dialami oleh kakak kandung juga dirasakannya semasa kecil. Sejak kecil Kang Abik sudah tampak memiliki jiwa keingintahuan yang tinggi. Itu dijelaskan dalam kisahnya bahwa suatu ketika dengan kepolosannya ia bertanya kepada paman nya, tetangga belakang rumah. “Mengapa rel kereta api itu panjang sekali, keras lagi. Pohonnya tumbuh dimana? Tanyanya lugu. Tentu saja pamannya itu tertawa, tapi tidak ingin mengecewakan Kang Abik dan tak mau ambil pusing. Pamannya menjawab sekenanya bahwa “ besinya rel kereta api tumbuhnya di Arab, jauh”. Seketika ia berniat untuk pergi jauh ke negeri peradaban sejak itu. Begitu pula dengan kesehariannya yang sudah ia rancang dalam buku diary juga dengan jadwal kegiatan harian yang ditempel di lemari dalam kamar. Sudah menunjukkan bahwa ia adalah anak yang tertib dan teratur walaupun lingkungan amatlah jauh daripada itu, seakan ia mampu memilah energi positif dan negatif dalam dirinya.
Perpindahan dari pesantren, ke Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) menjadi titik perpindahan yang teramat fundamental dalam hidup Kang Abik. Ia seperti memiliki lompatan berpikir yang teramat jauh dari sebelum-sebelumnya. Hasrat untuk ikut andil menyalakan kembali cahaya peradaban islam berkobar dalam hatinya. Pada saat itu pula, begitu bulat tekadnya mencicipi ilmu pengetahuan di Universitas Islam paling terkemuka di dunia, Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir.

Lagi-lagi saya mendapati bahwa proses amatlah dibutuhkan dalam segala hal. Kesungguhan juga kekonsistenan dalam berbuat amatlah diperlukan. Terlebih dalam meraih apa yang telah dicitakan. Begitu pula Ahmad Fuadi dengan Novel “Negeri 5 Menara”nya, juga Akbar Zainuddin dengan buku motivasi“Man Jadda Wajada”Nya, Kang Abik menjadikan jargon “Man Jadda Wajada” sebagai motivasi dalam hidup. Semenjak ia kecil hingga kuliah ia selalu menanamkan `mantra’ ini dalam lubuk hatinya agar semangat tetap terjaga.

Bukanlah Ayat-Ayat Cinta sebagai karyanya yang pertama, sebagai mana komentar banyak sastrawan yang sebelumnya yang menyatakan bahwa Kang Abik adalah penulis kawakan yang “ujug-ujug” fenomenal tanpa melalui proses. Justru ia telah melahirkan karya-karya yang cukup membuat jatuh hati para penggemarnya sebelum lahirnya AAC, yakni dengan “Pudarnya Pesona Cleopatra”, Di Atas Sajadah Cinta. Dan kisah-kisah pendek lainnya. Hanya saja yang lebih banyak laris dipasaran terlebih dahulu adalah AAC. Dikisahkan bahwa proses penulisannya ialah tatkala ia sedang mengalami kecelakaan dan mengakibatkan kakinya patah,lantas tidak mampu berbuat apa-apa, begitu banyaknya cibiran tetangga yang meremehkan kemampuannya sebagai Mahasiswa Kairo, itulah yangmenguatkannya untuk berkarya dan akhirnya menciptakan karya fenomenal AAC dalam kondisi terpuruk ketika itu. Ia meyakini ayat Allah yang mengatakan “Barang siapa bertaqwa kepada Allah, maka Allah akan menunjukkan jalan keluar dan memberikan kepadanya rizki yang tak disangka-sangka” ayat ini besar-besar dipajangkan diruang kamarnya ketika ia sakit, sebagai motivasinya untuk berbuat lebih.

Buku biografi karya Ahmad Mujib tersebut juga dilengkapi jejak-jejak kenangan bersama Habiburrahman el Shirazy dalam foto seperti masa kanak-kanak Kang Abik bersama ibu dan adiknya, ketika menjadi santri di MAPK Solo, menjelang keberangkatan ke Mesir, bertemu BJ Habibie di Jerman, di tanah suci, pergelaran seni di Kairo (Mesir) maupun ketika bermain peran di film Ketika Cinta Bertasbih.

Mungkin inilah yang patut saya, dan Anda teladani, dari sosok Habiburrahman El-Shirazy Sang Fenomenal. Bahwa dalam keadaan sesulit apapun, sebenarnya itulah pembuktian bahwa kecintaan Allah amatlah dekat. Terlebih pada masa-masa sulit yang hendaknya kita manfaatkan sebaik mungkin untuk lebih dekat kepada-Nya. Dan bukan sebaliknya malah menyalahi Tuhan dengan sumpah serapah yang justru memperburuk citra diri dihadapan-Nya. Bukan Ayat-Ayat Cinta atau Ketika Cinta Bertasbih-nya yang menarik, namun jalan panjang menuju karya-karya itu yang patut diteladani. Ketenangan dan kontemplasi menjaga dirinya dari sikap implusif. Daya tahannya atas" kegagalan-kegagalan" membuatnya semakin matang dalam menyikapi kesuksesan. Hambatan dan beban hidup sejak masih kecil hingga dewasa terbukti memberikan buah yang manis.
Sungguh, buku yang menginspirasi. Cocok bagi para penulis pemula yang ingin merasakan lebih dekat "atmosfer cinta" yang diciptakan Kang Abik dalam setiap karyanya.
Judul: The Inspiring Life of Habiburrahman el Shirazy, Biografi
Penulis: Ahmad Mujib el Shirazy
Penerbit: PT. Balai Pustaka (Persero)
Tahun: September 2009
Tebal: 270 hal
Harga: Rp.51.000

Perjuangan Panjang  

Posted by Unknown in , ,

Perjuangan Panjang


Sulit aku melupakan beribu pasang mata birumu
Bingungku, lantas berkabung…
Kala senja ingin pergi tinggalkan hari
Kau masih saja berdiri
Menanti aroma syurgawi
Menghampirimu...

Sua tiada habis diselaksa pandang
Menatap tingkah laku iblis dunia yang menghadang
Intifadhoh akan tetap meradang
Kala jiwamu terus di hujam
Bingungku,lantas bertandang…
Aku hanya mampu berkumandang
Serukan keadilanmu yang dikekang

Jihad menjadi besi sendi
Sabar menjadi pilar tegar
Tawakkal menjadi dinding hati

Kau adalah jiwa haus
Yang tidak dapat istirahat
Kecuali dalam pangkuan keterjagaan
Kehidupanmu di atas bumi
Merupakan satu rangkaian panjang
Dari perbuatan perbuatan besar
Yang ingin kuraih, namun hanya mimpi
kala rayuan syaitan kerap menghampiri

Predikat syahid jelas tersandang
Hakikat mati tak mematikan hati
Jiwamu kan selalu bertandang
Dalam sanubari yang merindu makna dan arti

Aku hanya mampu menitip salam kasih
Pada angin kasturi bumimu…
Pada awan syurgawi dihatimu
Pada bebatuan, saksi hidupmu

Kala tangan tak mampu menyapa dan hampiri
Perjuangan panjang membentang
Do'aku kan selalu membasahi
Untukmu…
Wahai mujahid sejati…



Dibuat untuk seleksi naskah Tribute to Plestine
(http://www.facebook.com/note.php?saved&&suggest&note_id=411106508880)

Donasi untuk Palestina dapat di kirimkan pada
Rekening Mer-C untuk Palestina :
BCA cab. Kwitang No. Rek. 686.0153678
BSM cab. Kramat No. Rek. 009.0121.773
a.n. Medical Emergency Rescue Committee

Rekening KISPA untuk Palestina :
Bank Muamalat Indonesia cab.Slipi
No. 311.01856.22 an.Nurdin QQ Kispa

By: Muhammad Nur
Ahad, 06/06/10

Nurani Di ujung Samudra  

Posted by Unknown in , ,

Nurani Di ujung Samudra


Mungkin hanya laut yang mengerti
Kapan langit akan menangis...
Atau mungkin hanya buih yang tahu
Kapan mendung berganti warna..
Saat ombak melahirkan darah di bibir karang

Selarut ini aku tuliskan sebait pesan buatmu
Aku lampirkan penggalan mimpi untuk menyapamu
Dalam diam...dalam dendam...dalam ketiadaan...

Terpagut mata memandang perih
Diujung samudera, panggilan hati membawamu pergi
Kala hatimu tersayat belati
Aku hanya mampu merintih
Adakah mereka miliki segumpal nurani?

Setetes darah dengan sebuah kerinduan
Yang mampu mengeja gambar keangkuhan tanpa makna
Semacam doa tanpa harapan
Dan sebuah kerinduan yang kering terbakar
Kau masih menanti diujung samudera
Bertanya pada ombak…
Adakah nurani bersinggah menepi?

Oh…Palestina…
Tragedi tanpa kesudahanmu
Meluluh lantakkan qolbu
Ingin kurajut perihmu dengan jamahku
Obati lukamu dengan jiwa…
Agar kalut tak dapat meraja kembali dalam sepi

Oh…Palestina
Bumi Isa yang ternoda
Kala serdadu zionis gagah diujung samudera
Hendak halangi nurani yang ingin menepi
Ditanah syurgawi, taman mujahid sejati

Ah, aku hanya mampu membias
Di balik cermin, malu tanpa arti
Kala sendimu kokoh menghadang buas
Penar matamu denguskan dedebu
Bebatuan siap menjadi saksi juangmu
Aku hanya mampu mengutuk
kala suamu kian mengetuk
dinding semesta nurani


Dibuat untuk seleksi naskah Tribute to Plestine
(http://www.facebook.com/note.php?saved&&suggest&note_id=411106508880)


Donasi untuk Palestina dapat di kirimkan pada
Rekening Mer-C untuk Palestina :
BCA cab. Kwitang No. Rek. 686.0153678
BSM cab. Kramat No. Rek. 009.0121.773
a.n. Medical Emergency Rescue Committee

Rekening KISPA untuk Palestina :
Bank Muamalat Indonesia cab.Slipi
No. 311.01856.22 an.Nurdin QQ Kispa



By: Muhammad Nur
Jum’at, 04/05/10

Jingga Di Palestina  

Posted by Unknown in ,

 
Takkan kubiarkan tangan terhenti
Walau pahit menghadang diri
Lambaian aroma syurgawi, elokkan semerbak mewangi

Takkanku elak diri, menghadap halang melintang
Secerca asa masih tersimpan
Mari sama kita berjuang
Wahai mujahid islam.



Izzuddin Al-Qossam..!!!, dimana janjimu pada rakyat palestina..! teriakku dengan pilu menyaksikan tubuh ayahku yang terkapar tak berdaya dengan lumuran darah. “Ayah, jangan tinggalkan aku. Aku tak sanggup hidup tanpamu ayah..” tangisku bercucuran tanpa henti menggenang dan membasahi pipiku. Marah, sedih, dan pilu bercampur satu didalam hati. Ku ingin mengutuk kekejaman Israel yang selalu berdalih demi perdamaian dunia itu.
Keluargaku tewas dibantai badan intelligent Israel yang terselubung dan menuduh keluargaku sebagai keluarga teroris dan aktivitas HAM. Kini otot kakkiku kurasakan lemah, seketika menyaksikan anggota keluargaku yang turut syahid dalam insiden mengenaskan ini. Luka yang menganga dilenganku tidak kuhiraukan, disebabkan kesedihan yang mendalam. Luka yang ditorehkan serpihan bom yang meledak di perbatasan perkampungan kumuh An-Nashr, di saat ku pulang dari pengajian di perkampungan yang sama.

Namun, saat itu kuhanyut dalam kenangan masa lalu. Kurasakan ada seseorang yang memegang lembut pundakku. Dengan ragu-ragu kubalikkan tubuhku dan kuarahkan pandanganku untuk mengetahui siapakah yang berani mengganggu kesedihanku ini. Kuperhatikan dengan seksama seorang lelaki yang berdiri dihadapanku ini. Seorang lelaki yang berjubah hitam dan disertai serban yang melilit di wajahnya, membuat dahiku mengernyit, tak mampu mengenali lelaki berbadan tegap itu. Namun, sinar mata elangnya mampu meneduhkanku serta menentramkan hatiku yang sedang kalut, “man eintah yaa akh..? tanyaku dengan terbata-bata. Tidak sanggup ku menyembunyikan keingintahuanku yang mendalam dan menggilik hati kepada lelaki itu. Ku kepalkan tangan kecilku dan ku eratkan genggamanku bersiap-siap untuk menjaga diri andai kata lelaki yang dihadapanku ini ternyata ingin menghancurkan hidupku. Aku tak gentar menghadapi siapapun yang bermaksud menghina dan menghancurakan agamaku.
“lebih baik syahid memegang bara api agama dari pada hidup berkalung noda”, pesan itulah yang selalu kuterapkan di dalam relung hatiku. Namun, ternyata lelaki yang berwibawa itu seakan tahu akan paranoid yang tumbuh di diriku. Dengan perlahan-lahan, lelaki itu berlutut di hadapanku dan melepaskan lilitan serban yang menutupi wajahnya. Dan baru kusedari, air matanya telah menggenang di kedua kelopak matanya, sembari membentuk aliran sungai kecil. Dengan sigap lelaki itu mendekap tubuh kecilku, serta kedua tangannya erat memeluk diriku. “Nak.., akulah lelaki yang engkau panggil dalam teriakkanmu. Akulah Izzuddin Al-Qossam yang akan bertanggung jawab akan kelangsungan hidupmu. Ikhlaskan ayahmu yang telah syahid menuju surga. Aku akan berkorban apa saja demi demi kehidupanmu, dan demi senyuman anak-anak palestina” serunya perlahan-lahan. Seruan yang mampu membangkitkan semangatku yang telah terkubur dalam kubangan hatiku.

“Nak, maukah engkau menjadi malaikat Allah yang rela berkorban baik dengan jiwa dan raga demi kejayaan agama-Nya?” bisiknya ke telingaku. Aku hanya mengangguk memantapkan diri sembari memabalas dekapannya. Tidak terasa bulir air mata meleleh di ujung pelupuk mataku, membuat aliran sungai kecil yang mengalir, bercucuran membasahi pakaian yang membaluti tubuhku, dan membuaikanku dalam sejenak mimpi masa depanku.

*****
“ Komandan Aslam..!! bertahanlah”, ujar salah seorang pasukkanku sembari membetulkan letak pembaringanku. Ucapan itu telah menyadarkanku dari pingsan yang merenggut pikiranku. Dengan bersudah payah aku berusaha untuk bangkit dari pembaringanku. Namun, aku tak berdaya. Kurasakan tulangku telah remuk seketika. Untunglah usahaku langsung dicegah oleh salah seorang pasukanku yang setia menjagaku.

“Jangan komandan, lukamu cukup parah. Engkau harus banyak beristirahat guna memulihakan tenagamu” terang pasukan itu dengan sedikit cemas.

“Ahmad.., siapakah yang memimpin gerilya saat ini?” tanyaku tertahan.

“Alhamdulillah komandan, yang memimpin gerilya malam ini adalah Al-Baz Al-Sahab karena di sebabkan kelihaian dan kecerdasan strategi perangnya.

“Alhamdulillah, sampaikan salamku buatnya. Kuamanatkan baginya untuk memimpin pasukan setelahku. Nyawaku sebentar lagi akan pergi untuk menghadap-Nya” pesanku dengan perlahan. Kini aku terlarut dalam anganku. Tangisan Ahmad yang mendengarkan pesanku tak ku hiraukan. Biarlah ia dalam kesedihannya. Aku bersyukur di saat ketakutanku akan kehilangan araya dan ibuku. Izzuddin Al-Qossan hadir di hadapanku sebagai mana janjinya padaku. Akhirnya aku terdidik dengan penuh perhatian. Berkat didikan pimpinan jihad Al-Qossam itu, aku mampu memimpin pasukan dalam umurku yang relatif muda.

Aku menjadi komandan perang di saat aku berumur 21 tahun. Dan berkat kemahiranku dalam menyusun strategi perang, membuat badan Inteligent Israel kalang kabut menghadapi kobaran semangat jihadku yang telah berkorban bagaikan kobaran api yang membara.

“ Assadullah At-Tsani”. Demikian Izzuddin Al-Qossam menjuluki kegesitanku dalam berperang. Sering kali aku membuat jengkela pasukan Israel karena kepiawaianku dalam memimpin pasukan. Namun, takdir tetaplah di tangan Allah. Walau bagaimanapun aku berusaha dalam menegakkan panji kibaran keagungan Allah, maut tetap selalu berada di tangan-Nya. Sore tadi di saat aku dan pasukanku berjihad dalam merebut pusat penjagaan senjata Israel di perkampungan Er-Rukad dan di saat ku menolong salah seorang mujahidin, tiba-tiba sebuah timah panas dengan ganas bersarang di pundakku. Aku tak peduli walaupun tubuhku berlumuran darah.

Namun, teriakan asama Allah tetap meluncur di lisanku untuk menyemangati pasukan yang sedang bertarung mempertaruhkan jiwa dan raga. Hiruk pikuk peperangan, debu-debu yang berterbangan, serta bantuan musuh yang berdatangan, tidak mampu menyurutkan semangat jihad pasukanku. Desingan mewarnai senja keagungan Allah.

“Allahu Akbar.., Allahu Akbar..”. teriakku bersamaan melesatnya granat yang bertepatan jatuh tak jauh dari tempatku berdiri, dan tak mampu menerbangkan jiwa ragaku. Sesaat ku pingsan tak sadarkan diri bersamaan dengan menggemanya adzan maghrib. Dan akupun terbangun diatas kain tipis dalam keadaan tak berdaya.

“Ahmad, tolong sampaikan salam maafku buat kaum muslimin seluruhnya” pesanku kepada Ahmad yang tak henti-hentinya mengalirkan bulir air dari pelupuk matanya. Ia hanya mengangguk dan bersedih sembari menggenggam erat tanganku yang mulai dingin, lemah dan terkulai tak berdaya.
“Mengapa kau menangis wahai mujahid islam?, mengapa kau lemahkan dirimu yang perkasa? Tanyaku dengan suara seduh dan tertahan ditenggorokan. Tidakkah sadarkah engkau masih memiliki kesempatan banyak untuk menegakkan syariat islam, saudaraku..?”. Kulihat air matanya semakin membanjiri wajahnya yang tertunduk sembari menghindari pandanganku kepadanya.
“ Aku menangis bukan karena lemah komandan. Aku menangis bukan karena aku tak ingin menegakkan syariat islam. Tapi aku menangis karena aku sedih melihat diriku yang tak mampu untuk berbuat banyak demi mengobati seorang pejuang islam. Aku tidak butuh sebuah kekayaan, aku tak butuh seonggok sanjungan. Aku hanya berharap aku dapat bersama orang-orang yang cinta-Nya kepada Sang Maha Kasih melebihi cintanya kepada makhluk lain. Aku menginginkan agarku dapat senantiasa membantu dan berjuang dijalan-Nya bersama orang-orang yang keluasan hatinya bermuara di satu titik yaitu, Li I’laa’i kalimatillah., berjuang dijalan Allah. Aku tidak ingin ditinggalkan oleh jiwa orang yang selalu berdzikir kepada-Nya. Seperti engkau komandan.
“Saudaraku, jangan kau tinggikan derajatku diatas yang lain. Karena hanya Allahlah yang patut untuk ditinggikan. Bolehlah engkau menginginkanku lebih lama bersamamu juga bersama mujahid lainnya. Namun, perlu kau ketahui. Bahwa rasul sendiri pernah menganjurkan kita agar tidak menuhankannya sebagai rasul. Karena itu akan menyebabkan kepada kemusrikan. “Dan ingatlah wahai kaum muslimin, sesungguhnya Muhammad adalah suatu zat yang tidak kekal, dan sesungguhnya Tuhan Allahlah suatu zat yang abadi dan kekal”, ingatkah engkau perkataan Abu Bakar Shiddiq ini. Jangan kau lemahkan dirimu sebagai mujahid islam. Pecamkanlah dalam dirimu agar kau dapat berbuat lebih melebihiku, juga para saudara-saudara mujahid lainnya. Pastikan dirimu agar selalu membarakan api perjuangan melawan mereka yang telah merenggut tanah kelahiran kita. Aku pun selalu menjadikan pesan ayahku sebagai bara yang menyulut kobaran semangat dalam diriku. Pastinya ku mau engkau dan juga sahabat lainnya berbuat seperti apa yang aku lakukan sebelumnya” Pesanku kepada ahmad yang mulai menegakkan kepalanya.
“Baiklah komandan, saya akan pecamkan pesan komandan itu. Semoga ini adalah bara yang mampu menyulutkan semangat perjuangan diranah yerusalem ini. Dan satu permintaanku kepadamu komandan, bolehkah aku memintanya?
“apa itu ahmad, mudah-mudahan aku dapat menyanggupinya.”

“Aku hanya ingin menitipkan salam kasih kepada baginda rasul,komandan! Aku ingin setemunya kau dengannya, kau dapat membawa salam cintaku kepada kekasih Allah itu. Agar kiranya ku dapat bertemu juga dengannya di surga.” Tampak wajah Ahmad mulai merekah, semburat harapan itu dilontarkannya penuh dengan ketulusan.
“Baiklah saudaraku, insyaAllah akan kusampaikan salammu itu. Namun, perlu kau tahu, aku belum mengetahui kemanakah aku akan ditempatkan nanti. Tapi ku yakin Allah pasti memberikan balasan yang setimpal kepada hamba-hamba-Nya yang syahid. Doakanlah saya agar menutup mata dalam kesyahidan. Semoga kiranya dapat berjumpa dengan kekasih Allah itu sebagaimana yang engkau pesankan. Jagalah masyrakat kita, warga kita palestina dari cengkraman iblis Yahudi itu.” Suaraku semakin lemah dan sejenak mataku mulai terpejam.
Ahmad pun merundukkan kepala. Semakin tak kuasa menahan buncahan sedihnya. Aku merasakan bau harum bau harum surgawi menghinggapi tubuhku. Dan kulihat para bidadari cantik nan jelita siap menyambut ruhku. Sesosok cahaya terang dengan wajah tampan dan harum siap membawa ruhku menuju ke hadirat-Nya.
“Asyhadu an laa ilaaha illa Allah, Wa asyhadu anna Muhammadan rasulullah” kata itu kian menghiasi bibirku. Hanya kata itulah yang terucap dari lisan untuk terakhir kali. Kini kurasakan jiwaku melayang terbang bersama sambutan para bidadari. Ku padangang jasadku dibawah sana. Tersenyum bahagia, bersama semburat jingga Palestina.

Bumi Sengketa  

Posted by Unknown in ,


Kerikil tajam turut berontak, kala bumi husein dipijak
Batu-batuan turut bicara, kala bumi Isa luluh lantak
Pelepah kurma turut berdetak, kala bumi Omar Mukhtar digasak.....
Maka......
Biarlah hamparan pasir Afghanistan jadi saksi
Lesatan mujahid anak panah kebenaran
Koyak-moyakkan tabir kejahatan kafir
“ Allahu Akbar “


3 kilometer lagi, Abi tak pantang menyerah. Dengan sigap ia lewati jilatan api. Aku berlari seakan dibelakangku ada singa yang siap untuk menancapkan kuku-kuku runcingnya, bagaikan bilah-bilah pisau tajam yang digantungkan di dinding-dinding rumah. Aku terus berlari tak menginjak bumi. Debu-debu berterbangan seiring hangus kakiku yang menginjak pasir panas, bagaikan biji timah cair yang menggelakkan timbulkan buih-buih api. Pergelangan tanganku tergenggam erat dalam kekarnya jari-jari Abi. Napasku habis terengah-engah. Menyesak dalam dada, ingin rasanya meledak. Staminaku kian habis. Aku yang masih berusia 11 tahun tak mampu mengimbangi langkah panjang Abi. Tak sanggup bertahan, kuhentikan langkahku yang menimbulkan sorot tanda tanya Abi.

“Ada apa Shir...?” tanya Abi dalam bahasa Pusthu* yang kental.
Pertanyaan menguap bersama udara panas Afghanistan. Aku tak bisa langsung menjawab karena harus mengatur napas terlebih dahulu. Tanpa menunggu jawaban, Abi langsung mengangkat serta mendekapku dalam dadanya yang bidang.
Meski bebannya kian bertambah karena harus menopang berat badanku, Abi terus berlari menuju bukit Akhdar, kubu perlindungan rahasia militan taliban. Meski harus menempuh api yang berkobar dari salah satu rumah kubus penduduk yang baru diserang pasukan Intelegent Amerika yang mendapat bocoran berita tentang kampung militan rahasia Taliban. Dimana-mana sijago merah terus melahap tiap senti rumah penduduk. 30 meter dibelakang Abi, mobil pick-up berlambangkan elang paruh putih terus menambah kecepatan. Deru mesinnya menciptakan badai debu ke angkasa. Menambah aura kebiadaban Amerika dibumi Osama bin Laden ini. Moncong AK-47 telah berisia mengoyak moyak jalaba* Abi, para pasukan terlatih Amerika tengah bersiap menarik pelatuk senjata bu buatan Rusia itu. Namun Abi tak goyah, langkah tegapnya terus menapaki lautan pasir tanpa kesudahan. Lilitan serbannya yang bertangger dikepalanya berkibar-kibar bersama tarian angin. Abi bagaikan Cheetah yang menyelamatkan diri dari tangkapan pemburu. Desingan peluru mulai terdengar berlanjutan dengan muntahan timah panas yang siap menyerang siapa saja yang mencoba menghalau kecepatannya. Sesekali Abi merunduk untuk menghindari amukan timah panas syetan itu. Aku yang menjadi beban, sedikit menyulitkannya. Namun pelatihan yang dijalankannya di Khandar, kubu perlindungan militan taliban, serta pengalaman jihadnya dalam perang begejolak di Kabul sangat membantu Abi dalam mengelak. Aku didekap erat dalam pelukannya. Dengan sekuat tenaga ia jauhkan aku dari serbuan peluru. Namun, Abi tetaplah manusia yang takdirnya di tangan Allah yang Maha Perkasa. Meski sekuat dan selincah apapun Abi, Abi tetaplah manusia biasa yang kadang kalanya kehabisan tenaga serta lalai, entah telah berapa jauh aku dan Abi berlari, namun itu seakan tanpa ada habisnya.

“ Duarrrrr.....!!” sebuah bom yang ditembakkan meledak tak jauh dari kami. Abi yang berusaha menghindari muntahan timah panas tak menyadari adanya strategi ganda. Sebelum tersadar aku dan Abi telah terlempar ke angkasa. Bias dari ledakan bom yang meledak beberapa meter dari kami. Frekuensi kekuatannya mempu menghancurkan sebuah desa menggetarkan bumi Afghanistan. Kupejamkan erat-erat kelopak mataku. Berharap, ini semua hanyalah impian belaka. Berharap waktu bergulir kembali ke belakang. Saat aku asyik bermain perang-perangan bersama Abi. Berharap canda tawa Abi menghiasi hari-hariku. Berharap kasih sayang Abi yang tak pernah habis-habisnya kembali menenangkan jiwa batinku. Namun, semuanya telah berakhir....
Ya....Rabbi....Ya Aziz......Ya Rahman......

* * *

“Ah....ah....ah...Allah...
.”, kubuka mataku perlahan-lahan, kurasa ada beban menindih tubuhku. Beban yang akan menguras air mataku hingga habis, tanpa sadar kristal air mata menganak dikedua sudut mataku. Kristal-kristal itu tumpah bermuara sungai kecil di pipiku.
“ Ah...ah...ah...Ya Allah...”, erangan tertahan kembali bergetar dari pita suaraku, erangan kala air mataku tumpah bercampur darah yang mengalir dari luka-luka menganga disekujur tubuhku. Kucoba bangkit meski perih rasanya, para pasukan Amerika yang puas menampakkan kebiadapannya telah lama pergi. Ternyata aku pingsan beberapa waktu lamanya. Bangunan-bangunan yang hangus terbakar kini tinggal puing-puing abu, dan matahari telah kembali keperaduannya ke ufuk barat. Dengan sisa tenaga yang kumiliki kuambil balok kayu yangterletak diantara puing-puing untuk menggali liang kubur bagi syahidnya anggota keluargaku yang terakhir. Dengan berlinang air mata kucium serta kupeluk Abi untuk terakhir kalinya. Tak kutemukan amis darah, hanya wangi penghuni surga yang tersisa ; SELAMAT TINGGAL ABI...!!!.

Kembali berkelebat dalam benakku. “Ya Rabbi betapa besar pengorbanan serta tanggung jawab Abiku akan agama dan keluarganya. Demi kibaran bendera keagungan agama dan asma-Mu. Ia mengorbankan dengan ikhlas keluarga yang ia cintai melebihi dirinya sendiri”, batinku merintih. Namun, walaupun Abi merupakan seorang militan Taliban yang senantiasa aktif dalam setiap perang pergolakan, ia tidak pernah mengabaikan kami keluarganya. Ia senantiasa menyempatkanwaktu untuk mengunjungi kami meski sekali dalam sebulan atau 2 bulan, dan ia tak pernah lalai akan tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga serta pengayongan kami.
Saat ummi serta Raihan adikku mendapat giliran panggilan Allah sebagai syahidah dan syahid. Mereka terkena serpihan geranat yang diluncurkan pesawat tempur USA, di pasar en-Nashr. Abi mengambil alih seluruh tugas ummi. Sejak itu, bila perang tengah bergejolak, Abi senantiasa menitipkanku di kamp-kamp pelatihan militer taliban, karena Abi harus bergerilya siang dan malam. Tanpa takut dan kalut karena yakin karena Allah senantiasa mendampingi serta menjaga anaknya yang tinggal sendiri ; Muhammad Nashir Nashrullah.

Namun, semuanya berubah kala ratusan pasukan terlatih badan intelegent Amerika merangsek masuk menghancurkan kamp. Pelatihan militer Taliban di desa Abdigad, kala itu kamp pelatihan selagi sunyi. Hingga hanya sedikit perlawanan yang terjadi yang dapat dipatahkan dengan mudah, dan semuanya terjadi dalam satu petikan jari.
Dan kini, Abi adalah pahlawanku serta pahlawan bagi seluruh umat Islam yang peduli akan tangis pergolakan dari bumi sengketa Afghanistan.

* * *

Kupacu langkahku setelah memanjatkan doa diatas pusaran peristirahatan terakhir Abi. Aku berlari berurai air mata. Berlari dan berlari, tanpa tujuan. Aku berlari mengikuti langkah kakiku. Aku sebatang kara dibumi sengketa ini. Namun, aku yakin Allah tak kan pernah meninggalkanku walau sedetik saja. Malam telah menunjukkan kekuasaannya, malam telah bentangkan jubah kegelapannya. Namun, aku masih terus berlari walau kepekatan malam mencoba menghalau langkahku. Aku terus berlari diatas hamparan pasir, terus berlari....hingga seluruh tenagaku habis dan sirna. Dunia seakan berputar dimataku, perlahan....makin cepat dan berputar bagai putaran kincir air didesa bibi Mellijah, dekat Peshawar ; Pakistan.
Dan.....semuanya gelap seperti gelapnya jubah malam.

* * *

“Agh......Allah.....a..ku...di..ma...na...?” tanyaku terbata, berharap satu jawaban. Namun pertanyaanku hanya menggaung kesudut-sudut dinding ruangan berukuran 3x4 meter tersebut. Pertanyaanku seakan kembali pada diriku yang tergeletak tak berdaya, terbaring berselimutkan sulaman kain wol kasar yang entah siapa yang punya. Dengan perlahan kutatap sekeliling ruangan. Mataku menyipit terhalau kilauan cahaya matahari yang menerobos masuk melalui sekat sekat petak disetiap sudut ruangan.
“ Agh......agh.....” sakit menyayat kurasakan kala aku berusaha menggerakkan tubuhku. Otot-ototku seakan dilolosi satu persatu. Aku seakan seonggok daging dengan jiwa yang terperangkap didalamnya. Hidup namun tak mempu bergerak. Sekujur tubuhku tarasa perih, hampir sekujur tubuhku ditempeli daun-daunan yang setahuku sering dipakai dalam pengobatan tradisional.
“ Ya Allah.....kuatkan hamba yang lemah ini.....”.

Tiba-tiba daun pintu diseberang dipan berderit, bersamaan masuknya seorang nenek tua yang menurut perkiraanku umurnya berkisar 76 tahunan. Dengan tertatih-tatih ia letakkan kendi tembikar yang dibawanya diatas meja, samping tempatku tergeletak tak berdaya.
“ Nek...a...ku...di...ma...na...?” kataku dengan penasaran. “Kamu berada didesa Zabgabadek, distrik Punjwayi, 35 Km dari Kandahar”, jawabnya dengan suara datar.
“Nek...apa yang terjadi hingga aku sampai disini...?” Tanyaku lagi.
“ Saya menemukanmu ketika aku menuju pasar pagi di desa Gebrad, tak jauh dari sini. Aku menemukanmu tak berdaya dengan penuh goresan luka. Kamu hampir kehabisan darah saat aku tiba. Alhamdulillah, semuanya belum terlambat. Dengan sigap ku membalut luka-lukamu dengan racikan rempah-rempah serta resep-resep obat tradisional yang kubeli dipasar sana”. Ujar nenek.
“Alhamdulillah....Ya Allah, engkau masih menganugrahkanku nafas diakhir hidupku. Alhamdulillah Ya Rahman....” batinku berucap syukur.

” Siapa namamu nak?” Tanya nenek.
“ Nama saya Muhammad Nashir Nasrullah nek....” jawabku.
“ Apa yang terjadi denganmu ? Dan dimana orang tuamu?” tanyanya lebih lanjut.
Maka mengalirlah kata demi kata dari lisankku, betapa perih rasanya. Aku terus berusaha menguatkan mentalku. Dengan berurai air mata kuceritakan apa yang terjadi pada diriku dan kedua orangtuaku selengkap-lengkapnya.
“Nak...maukah kau seperti Abimu, sebagai penggenggam bara api agama. Menjaga agar ia tak redup dan padam, menjaganya walaupun harus menumpahkan darah hingga penghabisan. Siapkah kau menjadi malaikat Allah selamanya ?” tanya nenek itu setelah aku menghabiskan kisahku.
“Siap” jawabku dengan mantap. Jawaban yang akan merubah hidupku menuju ridha Allah, menjadi penggenggam sang bara api agama.

* * *

Rembulan tampak bagaikan sebuah bola perak yang bercahaya, sementara dikaki langit venus berpijar seperti lahar, meteor jatuh kebumi bagaikan lembing menyala-nyala yang dilemparkan oleh sesosok tangan dari langit. Sementara bintang berkelap-kelip seakan ribuan manik-manik yang berkilauan telah dijahitkan diatas jubah lembayung langit.

Nashir berdiri memandang kearah langit itu, matanya mengembara dari satu planet ke planet yang lain, dari satu bintang kebintang yang lain. Mana diantara mereka yang akan ia mintai bantuan ? Yang mana dari mereka yang dapat menolong mereka ? Namun ia sadari, tak satupun yang mampu menolongnya dalam mengobarkan gejolak jihad yang membara di jiwanya. Selain Dzat yang telah menciptakan segala sesuatu yang bahkan tak terjangkau akal. Dalam satu petika jari, dapat memusnahkan serta meruntuhkan segala biduk maksiat yang menampung tetesan-tetesan kejahatan tak lebih dari sekedip mata.
Nashir berdiri tegap disebuah anjungan lembah Zenit, berdiri diantara daratan yang mencuat dari perut bumi. Dadanya yang bidang dibalut jalaba tradisional Afghanistan berayun mengikuti hembusan angin malam, laksana mujahid padang karbala. Ia menatap lurus kedepan, menembus garis lengkungan langit penghubung bumi. Lengannya sedikit terangkat menopang klashnicov yang bergelanyut dibahunya, senjata laras panjang buatan Rusia itu akan mendampingi jihad gerilyanya dini hari nanti.
“ Komandan Nashir..., pasukan telah siap tuk menunaikan shalat sunnah berjamaah”, tegur Ahmadi dengan lembut.
Ahmadi baginya adalah tangan kanan yang senantiasa mendukungnya. Setelah kedua orangtuanya syahid, ia mewakafkan hidupnya demi jihad dalam agama Allah.
“Ya .....aku segera tiba”, jawabku lugas seraya mengikuti langkahnya menuju tenda pasukan.
“ Aku ingin syahid.....”, ungkap Ahmadi suatu ketika dengan berurai air mata kerinduan.
“ semoga Allah mengabulkan doamu”, jawabku kala itu.
Tak lama kemudian, hening mencekam menyelubungi lembah Zenit. Seluruh makhluk berkhusuk dalam munajat pada Sang pemilik alam semesta.
“ Ya Allah....Ya Rabbi.....izinkan aku berbuka puasa esok hari, bersama kekasihmu Nabi Muhammad, beserta para syuhada lainnya”, cetus doa seorang hamba dalam kehusyukan dalam munajatnya pada Rabbi.

* * *

Bagaikan badai ombak yang terdiri dari manusia, para gerilyawan mujahidin berjalan melintas padang gurun. Tapal-tapal kuda berderap menjejaki butiran pasir. Gelegak darah para mujahidin menyusup keubun-ubun. Beri sensasi surgawi dalam benakknya. Betapa rindunya mereka akan panggilan Allah untuk didekap disisi-Nya. Bara api perjuangan tersulut cepat bersama pekikan komando Nashir.
“Allahu Akbar...Allahu Akbar....Allahu Akbar....”.
Pedang dan belati berkilat kilat menakutkan dibawah siluwet fajar merah, moncong Kloshnikov telah haus akan darah para pembangkang serta penentang syari`at Islam. Dalam sekejap bumi Afghanistan telah terselubung badai, debu berterbangan. Pertempuran berlangsung dahsyat, terperangkap dalam peperangan yang menyesakkan. Namun, menjanjikan surga bagi para mujahidin dan neraka pada setiap bayangan kematian para kafir Amerika. Setiap hunjaman belati serta muntahan peluru, menyemburkan darah seperti anggur merah yang tumpah dari ribuan cawan. Tanah berubah menjadi begitu merahnya, hingga seolah-olah ribuan mawar berguguran menutupi pasir Afghanistan.
Nashir terus memekikkan takbir untuk menyemangati para mujahidin. Yang dimakmumi seluruh mujaidin. Pekik takbir peperangan para mujahidin itu mampu membuat jantung para orang yang telah meninggal berdegup kembali. Nasher terus menerjang ke garis depan musuh, memuntahkan bola api kehancuran dalam setiap muntahan timah panasnya. Ia menerjang kedalam kubu perlindungan badan intelegent Amerika, seraya terus memuntahkan timah panas. Ia bagaikan arit kematian yang besar, menebas habis siapa saja musuh Tuhan Yang Maha esa. Bising peluru serta sabetan belati tak sedikitpun menggoyahkan semangat jihad para mujahidin. Meraka berperang bagaikan singa yang terluka. Membuat pasukan Amerika kalang kabut.“Ish kariman au mut syahidan” terpatri erat dalam urat nadi mereka. Para pasukan terlatih Amerika yang tak menyadari adanya serangan dini hari tak mampu untuk menarik nafas dan menyelamatkan diri. Bayang-bayang kematian melintas dalam benak mereka.
Akan tetapi, entah dapat berita dari mana bantuan musuh mulai mengalir berdatangan. Tank-tank Amerika mulai berdatangan memuntahkan bola api menuju bilik mujahidin. Pesawat tempur IDF milik Amerika menari-nari dibayangi fajar merah. Melesatkan granat hunjam perut bumi. Para mujahidin terus bertahan menggolakkan semangat yang membara pada jiwanya. Harum syurga fidaus membayangi setiap muntahan timah panas dan sabetan belati mereka.
“Ahmadi....awas.....”, pekikku membahana. Dengan sedikit bersalto kulemparkan tubuhku yang berada diantara karung-karung pasir yang bertumpuk didekat pos pemeriksaan. Dengan sekuat tenaga, kurangkul ia menjauh dari sana.
“Duarrrrrr.....”, aku dan Ahmadi jatuh berdebam bersamaan meledaknya karung-karung pasir yang terkena lontaran granat Amerika.
“ Madi.....bangkit dan rebutlah markas penyimpanan senjata disebelah utara sana !, tinggal selangkah lagi Insya Allah kita akan dianugrahi Allah kemenangan.” Perintahku tegas. Namun tetap dibarengi senyum persaudaraan.
“siiiiiap komandan....”, jawabnya sembari mulai merunduk diantara pagar kawat yang mengelilingi pos penjagaan.
“ Allahu Akbar......!” Pekikku menyemangati mujahidin lainnya. Aku berdiri menyalakan moncong Klashnicov mengarah pada tentara Amerika yang bersembunyi dibalik dinding beton.
“Duar.” Peluru menembus dada kiriku, terasa perih timah panas yang bersarang ini. Kala mataku fokus pada tentara yang lain.
Aku terus bertahan meski tubuhku mulai berlumuran darah, ku berondong tentara Amerika dengan muntahan peluru, meski sisa-sisa tenagaku mulai habis menahan sakit.
Debug.......aku terjatuh diatas pasir kasar. Cairan merah kental terus merembes membasahi jalabaku.
“Komandan Nashir...!!!” tiba-tiba Ahmadi telah berada disampingku. Merangkul dengan linangan air mata membasahi kafiyeh* yang melilit diwajahku.
“Bertahanlah komandan...! aku akan meminta bantuan pada mujahid lainnya”.
“Jangan...” sanggahku menghentikan langkahnya.
“Jangan usik para malaikat Allah hanya demi seorang insan naif sepertiku, biarlah mereka tetap berjihad disana...”lanjutku berusaha tersenyum.
Ahmadi hanya mampu terdiam.

“Bagaimana jihad kali ini Ahmadi...?” tanyaku bertahan.
“Alhamdulillah...selangkah lagi kita akan menang, tentara Amerika kalang kabut membendung serangan kita. Markas penyimpanana senjata telah dikuasai, tank-tank mereka telah terbakar beserta keping-keping pesawat tempur yang jatuh terkena lontaran granat para mujahidin” jelas Ahmadi sembari tetap merangkulku.
Terbayang kembali ingatanku beberapa tahun yang lalu saat aku masih berusia 11 tahun. Berkat anjuran nenek Syafiah aku dididik ilmu kemiliteran Taliban di Kandahar, kubu-kubu perlindungan rahasia militan Taliban. Dibawah asuhan Osama Bin Laden aku berjuang membela agama Islam dalam jalur peperangan, dan menjadi momok menakutkan bagi badan intelegent Amerika ; sang pembangkang syari`at Islam.
“Ahmadi...sampaikan salam dan maafku buat nek Syafiah serta buat seluruh umat Islam di Dunia..., berjuanglah Ahmadi. Tegakkan din ini meski jiwa raga menjadi taruhannya....!” pesanku dalam detik terakhirku.
“Ya....Rabbi...syukurku hanya pada-Mu, akhirnya aku bisa berbuka puasa bersama para kekasihmu nanti...” cetusku dalam hati seraya tersenyum bahagia mengingat doaku dini hari lalu....
“Asyhadu Anlaa Ilaaha IllAllah...., Wa asyhadu Anna Muhammadarrasulullah....” hembusku dalam nafas terakhir.
Lalu semuanya gelap dalam dekapan jubah malam.
“Khaibar......khaibar..... Ya Yahud.....Jaitsu Muhammad.....Saufa Ya`ud...”