MENUNTUT ILMU- "DALAM PENGAWASAN ALLAH"  

Posted by Unknown in , ,

[PART 4] MENUNTUT ILMU-- “DALAM PENGAWASAN ALLAH”
Catatan seorang Thalib’ilm di Negeri Dua Nil


“Sesungguhnya bagi Allah tidak ada satupun yang tersembunyi di bumi dan tidak (pula) di langit.” (Q.S. Ali Imran 5)
 
“yang melihat kamu ketika kamu berdiri (untuk sembahyang), dan (melihat pula) perobahan gerak badanmu di antara orang-orang yang sujud.”( Q.S. As-Syu’ara’ 218-219)

Perasaan apa yang muncul tatkala Anda merasa diawasi oleh seseorang? Ge’er, was-was, takut, ragu, panas-dingin atau sebaliknya kuat mental, percaya diri, dll. jawabannya pasti akan bermacam-macam sesuai pengalaman masing-masing. Tatkala menghadapi tes ujian misalnya, yang diadakan pihak tertentu; Universitas saat ujian masuk, UN (ujian nasional), melamar pekerjaan, dsb, kita akan berusaha sebaik mungkin agar tampil sempurna dalam menghadapi kesemuanya. Berusaha agar dapat melewati fase-fase tersebut dengan mudah dan tanpa halangan.

Nah, kalau saja rasa takut itu muncul tatkala tidak ingin terlihat buruk dalam pandangan manusia atau orang yang mengawasi, serta ujian-ujian formalitas yang belum tentu keabsahan serta tingkat  kesulitannya, bagaimana pula halnya dengan Tuhan yang menciptakan. Allah yang memberikan rasa takut, yang Maha Tahu atas segala sesuatu dimuka bumi. Allah yang selalu Maha mengawasi tingkah-laku, tidak kenal waktu, tidak merasakan letih dan lesu. Apakah diri telah siap menghadapi ujian nyata yang diberikan-Nya dalam kehidupan sehari-hari? Tidak takutkah seandainya nilai yang diterima merah atau angka nol (0) disetiap perbuatan yang dilakukan?

Semuanya sia-sia seandainya benar kalau saja kita tidak memperhatikan masalah urgent seperti ini. Karena sejatinya, sebagai hamba-Nya yang patuh kita dituntut agar senantiasa menjaga diri demi mempersembahkan hal terbaik itu kepada-Nya. Karena memang kita adalah makhuk-Nya dengan sebaik-baik penciptaan (Q.S. At-Tin 4) Salah satunya dengan menimbulkan rasa pengawasan itu dalam diri. Perasaan diawasi yang dengannya dituntut agar tingkah laku dan perbuatannya terlihat baik; tidak nyeleneh atau melanggar rambu-rambu yang sudah ada. Merasa diri sulit untuk melakukan tindakan penyimpangan, maupun hal-hal yang berkaitan dengannya. Karena fitrah manusia akan berusaha untuk menampilkan hal yang terbaik dalam hidupnya. Ia akan berusaha agar tingkah lakunya sempurna dipandangan orang yang mengawasinya.

Dalam bahasa arab kalimat pengawasaan dikenal dengan istilah Muraqabah. Masdhar ( sumber kata) dari rooqoba-yuooqibu, yang dapat diartikan dengan berbagai definisi yang saling berkaitan. Bisa diartikan dengan memonitori-roqoobah, menjaga-hars, mewaspadai-hadzar, atau perlindungan-ri’ayah. (Lihat Atabik Ali & Ahmad Juhdi Mudhar- Al-‘Ashri, Kamus kontemporer Arab-Indonesia Hal-985) Masing-masing memiliki keterkaitan makna yang erat dalam lingkup pengawasan secara tafshili (rinci). Keempat defenisi tersebut seperti empat tahapan yang timbul tatkala kegiatan muraqabah dilakukan:

(1) Merasa diri diawasi bahwa Allah senantiasa memonitori, baik itu secara langsung, ataupun dengan kedua malaikatnya (Raqib-‘Atid), yang bertugas mencatat hasanaat-wassayi’aat. Allah SWT bersabda: “Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya Malaikat Pengawas yang selalu hadir”. (Q.S.Qaf 18)

(2) Menjaga diri dari perbuatan buruk dan keji. Melakukan semua hal terbaik untuk dipersembahkann, baik itu dalam keterbukaan maupun sendiri. Karena memang manusia sebagai makhuk-Nya dengan sebaik-baik penciptaan (Q.S. At-Tin 4)  Mengingat tujuan hidup hanya untuk beribadah kepada-Nya semata (QS. Az-Dzariat 56)

(3) Mewaspadai dari gangguan yang datang menyeringai yang dengannya seseorang dituntut untuk mempersiapkan diri dengan bekal, ilmu dan mental yang kuat. Ilmu yang bersumber dari Allah SWT dan Rasul-Nya. Agar tidak mudah terpengaruh dengan aura negatif di sekitar.

(4) Nah, kalau ketiga tahapan diatas sudah terpenuhi, maka muncul-lah rasa di-ayomi (perlindungan) bahwa tiada suatu perbuatan yang luput kecuali dengan Kuasa-Nya. Bahwa Ialah yang Maha Besar. Merasakan kedekatan diri yang senantiasa dijaga dari Zat yang Maha melindungi.

Dari Ibn Abbas bahwa Rasulullah SAW berkata : “Jaga Allah maka Allah akan menjagamu. Jagalah Allah, maka kamu niscaya akan mendapatinya dihadapanmu. Apabila kamu meminta sesuatu mintalah kepada Allah, dan apabila kamu ingin meminta bantuan, mintalah pertolongan kepada-Nya. Dan ketahuilah, bahwa tiada suatu kaum yang mampu  memanfaatkanmu kecuali telah ditetapkan-Nya bagimu, dan tiada pula mampu untuk mencelakai kecuali telah ditetapkan-Nya bagimu… (HR. Tirmidzi).

Jelaslah bahwa Muraqabah lillah, akan menimbulkan keterjagaan dan perlindungan yang membuat hati seorang hamba akan senantiasa tertaut dalam naungan kasih-Nya, kepada-Nya tempat bersandar dan meminta.

***

Demikian pula dalam menuntut ilmu. Dengan keempat tahapan diatas, seorang thalib’ilm dituntut agar senantiasa menjaga diri dari hal-hal yang membuat dirinya terhina. Menghindari timbulnya perbuatan diluar batas yang merusak diri, serta menjauhkannya dari barakah ilmu.

Sebagaimana pada refleksi ilmu sebelumnya, seorang alim dapat dikatakan alim apabila ia merasakan ketakutan atas kebesaraan-Nya, bahwa Allah-lah Maha Segala. Merasakan ketakutan hanya kepada-Nya, karena ia tahu akan kebesaran-Nya. “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.”(Q.S.Al-Fathir 28) Bukan sekedar tahu. Namun diaplikasikan dengan perbuatan dan tingkah-laku serta ucapan.

Berhati-hati dalam bertindak. Mengingat perkataan-Nya tatkala wudhu’ hendak menunaikan Shalat, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku…”(Q.S. Maidah 6), berwudhu’ seakan melihat Rasulullah SAW saat berwudhu’ dan berkata “ Barang siapa yang berwudhu’ seperti –cara- aku berwudhu’…”(HR. Muslim) dan ini sebaik-baiknya bermuraqabah. Karena ia takut, namun ketakutan yang disertai ilmu dan aturan.

Syaikh Abu Zaid berkata, bahwa Muraqabah yang dimaksud hendaklah dibarengi rasa takut dan pengharapan. Seperti halnya sayap seekor burung, seimbang tatkala terbang mengangkasa. Dari perkataannya ini, timbul suatu pertanyaan: Apakah seseorang itu bermuraqabah lillah dengan keduanya secara berbarengan, atau salah-satunya lebih diunggulkan dari yang lain?

Imam Ahmad –rahimahullah- berkata: “selayaknya ketakutan itu disertai dengan pengharapan, seandainya hanya salah satu diantara keduanya, maka kecelakaanlah yang datang”. dari perkataanya ini, sebagian ulama juga memberikan pendapat lain bahwa : “tatkala seseorang menginginkan ketaatan, hendaklah ia lebih mengutamakan pengharapan kepada-Nya, berharaplah semua amal dan perbuatan diterima oleh Allah, serta mintalah kepada-Nya ditinggikan derajat dengan ketakwaan. Dan apabila suatu ketika ia hendak bermaksiat, segeralah menyadari keberadaan, serta takut akan kebesaran-Nya hingga tidak terjerumus ke lembah maksiat, bahwa penyertaan antara pengharapan-ketakutan sesuai kadar kemampuan dan keadaan yang dihadapi.

Kesimpulannya, Syaikh Utsaimin dalam kitab Syarh Hilyah Tholib’ilm lebih cenderung kepada pendapat yang kedua, bahwa apabila ingin berbuat baik hendaklah cenderung mengutamakan sikap roja’ (berharap) sebagaimana pendapat diatas, dan sebaliknya tatkala timbul keinginan untuk bermaksiat, bersegeralah menimbulkan rasa takut dalam diri dan ini pendapat yang mendekati kebenaran.

Kronologi yang sering terjadi dengan apa yang kita rasakan sudah menjadi fithrah manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya. Karena memang manusia dituntut agar senantiasa menjaga martabat diri baik itu dalam hubungan horizontal (dengan manusia) maupun vertical (dengan Allah). Oleh karenanya sangat penting untuk menimbulkan rasa selalu diawasi (muraqabah) agar diri senantiasa terjaga. Wallahu A'lam Bihowab

Ya Allah, tetapkanlah hati kami atas agama dan ketaatan kepada-Mu, Sesungguhnya kami termasuk orang-orang yang dholim. Dan berkahilah kami ilmu dan ketakutan kepada-Mu, agar rekat qalbu, senantiasa berdzikir dan mengukir goresan dakwah, untuk mencapai ridho-Mu.[El-Ahmady]
اللهم ثبت قلوبنا على دينك وعلى طاعتك سبحانك إنا كنا من الظاليمن
Muhammad Nur
Khartoum, Sudan
25/06/2011

MENUNTUT ILMU-"MERASA TAKUT KEPADA ALLAH"  

Posted by Unknown in ,

MERASA TAKUT KEPADA ALLAH
Catatan Seorang Tholib’ilm di Negeri Dua Nil
By: El-Ahmady


“Senantiasalah takut kepada Allah SWT, dalam kesendirian dan keterbukaanmu. Sesungguhnya sebaik-baik manusia ialah yang takut kepada Tuhannya. Dan tidak dikatakan takut seseorang itu kecuali orang yang ‘alim (mengetahui hakikat Tuhannya, Allah yang Esa). Dan hendaklah kau tahu, bahwa seorang ‘alim tidak dikatakan alim kecuali dengan berbuat (dengan ilmu yang di dapat)  serta atas dasar ketakutan kepada Allah.”[ Syaikh Allamah Bakr Ibn Abdullah Ibn Zaid, Hilyah Thalib’ilm]
Pernah merasa takut kepada Allah? Saya kira jawabannya antara “ya” dan “tidak”. Alasannya pun pasti beragam. Tapi, biarlah “ya’ dan “tidak” kalbu kita yang menjawabnya. Pada refleksi kajian ilmu kali ini, saya ingin mengajak Anda kepada kalam Ilahi, pada Surat Fathir ayat 28:

“Dan demikian (pula) diantara manusia, makhluk bergerak yang bernyawa dan hewan-hewan ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para Ulama. Sungguh, Allah Maha Perkasa, Maha Pengampun.”

Fokuskan bacaan Anda pada kalimat yang tertulis tebal pada ayat tersebut!. Maka, “di antara hamba-hamba-Nya yang takut kepada-Nya, hanyalah para Ulama”. Saya padakan materi yang saya dapatkan dari buku “Hilyah Tholib’ilm” ini pada kalimat yang saya hitam tebalkan pada ayat atas. Takut dan para Ulama.

1. Pengertian Takut.

Dalam bahasa arab, takut dikenal dengan khasyah atau khauf. Namun dua kata ini memiliki perbedaan dalam pemakaiannya. Makna khasyah lebih mendalam dari khauf. Khasyah bersumber dari rasa ta’dhzim kepada Allah, dan berdasarkan ilmu. Oleh karena itu Allah SWT menyebutkan -mereka- orang yang takut kepada-Nya ialah para Ulama (orang memiliki ilmu). Sedangkan khauf bersumber dari kelemahan, kurang sanggup, dan rasa belum memiliki dengan apa yang ditakuti.  Contoh khauf, seperti halnya takutnya seorang balita dengan anak remaja, serta takutnya remaja dari orang dewasa. Nah, takut disini merupakan naluri batin yang wajar bagi seseorang, karena posisi dirinya berada dalam kelemahan. Juga takutnya seseorang tatkala datangnya seekor hewan buas, atau musibah yang datang.
Posisinya disini, ialah kekurang sanggupan, atau takut kehilangan, yang juga masih dikategorikan wajar bagi fitrah manusia.  “ Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan” (QS. Al-Baqarah 155). Contoh lain daripada khauf seperti, ketika seseorang tidak tahu dengan siapa ia akan berhadap diri. Apakah lebih kuat, galak, kejam? Atau sebaliknya. Namun apabila ia mengetahui siapa yang akan dihadapinya, sudah kenal terlebih dahulu. Maka itulah yang dikategorikan khasyah. Takut yang berdasarkan ilmu.

Dan Allah melanjutkan perkataan-Nya dalam surat At-Taubah, ayat 18;  Semoga orang-orang yang khauf itu termasuk dari mereka yang diberikan petunjuk. Kalimat semoga yang dalam bahasa arab dikenal dengan kalimat Taraji ( pengharapan), bahwa kita dituntut untuk mengetahui dan berusaha mencari tahu hakikat sesuatu yang kita takuti. Agar kita tidak terjebak dalam ketipu-dayaannya.

2. Perlukah rasa takut kepada Allah?

Allah SWT bersabda : “Dan janganlah kamu takut kepada mereka, namun takutlah kepadaku” (QS. Al-Baqarah). Tentu sebagai hamba-Nya yang dha’if, sewajarnya kita menghadirkan rasa takut kepada Tuhan yang telah menciptakan, yang Maha mengetahui segala tingkah-laku yang kita perbuat.

Merasa takut kepada Allah. Kita dituntut untuk senantiasa menjaga diri kita dari hal-hal yang menimbulkan murka-Nya. Bagaimana mungkin, seorang hamba takut di tinggal kekasih, namun tidak takut di tinggal Tuhan yang Maha Pengasih. Takut kehilangan barang yang dimiliki, namun tidak takut kehilangan Tuhannya yang Maha Pemberi. Sungguh, tidak relevan. Kita tidak lagi menghiraukan semua himbauan. Berjalan tanpa haluan, berlari tiada tahu arah tujuan. Tidak tahu kepada siapa hendak mengadu dan memohon pertolongan.

Merasa takut kepada Allah. Kita dituntut mengetahui hakikat-Nya, sebagaimana dalam kitab Ushul Tsalasah. “Kewajiban kita ialah mempelajari- dan mengetahui- tiga ushul dalam islam, Ma’rifat kepada Allah, kepada Nabi-Nya, serta Agama dengan dalil-dalil yang menyertainya. Imam Bukhori senada akan hal itu, maka kitabnya yang merupakan kitab tsiqoh-terpecaya- setelah Al-Qur’an. Shahih Bukhari; menyebutkan bahwa bab ilmu, sebelum memasuki bab qaul- berbicara, dan amal-perbuatan. Maka selayaknya orang yang telah mengetahui mengiringi segala tingkah-laku dan amal perbuatannya dalam lingkup kehambaan kepada Tuhan alam semesta.

Mulajamah dalam ketakutan kepada Allah Ta’ala, baik secara dhohir maupun bathin dalam menjaga Syi’ar islim. Memunculkan sunnah serta mengamalkannya dalam berdakwah. Menunjukkan ilmu dan amal serta sikap dewasa dan pemberani. Karena ketakutan kepada Allah akan melekatkan ilmu yang ada. Serta menambah keimanan dan takwa.
“Dan orang-orang yang mendapat petunjuk, Allah akan menambah petunjuk pada mereka dan menganugerahi ketakwaan mereka” (Q.S. Muhammad, 17).

Imam Ahmad rahimahulllah berkata : “ Azas ilmu itu ialah ketakutan kepada Allah” . Dan ini benar adanya, bahwa dasar ilmu ialah rasa takut kepada Allah SWT. Dan ketakutannya itu ialah yang berdasarkan ilmu serta merasakan kebesaran-Nya. Manusia apabila mengenal Allah Ta’ala dengan sebaik-baiknya; ilmu. Hendaklah terpahat dihatinya rasa takut kepada Allah, karena ia telah mengetahui akan kebesaran-Nya, kekuatan, dan bahwa Ia Maha Mengetahui apa yang tersembunyi didalam hati. Yang dengannya ia akan terjaga dari hal-hal yang merusak amal ibadahnya.

3. Keterkaitan ilmu, rasa takut kepada Allah, dan amalan.

Apakah harus menjadi ulama dulu? Bukankah banyak dari ilmuan-ilmuan saintis yang telah lama bergelut di dunia riset, baik ke ruang angkasa maupun keperut bumi telah membuktikan kebesaran-Nya itu. Namun mengapa mereka tidak merasakan ketakutan kepada-Nya? Bahkan, ada dari kalangan ulama Nashara yang mengarang kitab-kitab arab yang banyak memberikan kontribusi dalam dunia keislaman. Mengetahui makna Al-qur’an dan hadis-hadis rasul yang menjadi sumber ilmu umat muslim. Tapi, mengapa hal itu justru membutakannya dari petunjuk?

Begitu jelasnya Allah memberikan suatu petunjuk bagi kita akan penting dan tingginya derajat orang-orang yang memiliki ilmu. Karena sesungguhnya orang yang berilmu secara tidak langsung telah mengetahui kebesaran penciptaan-Nya. Alam yang terbentang luas; bumi sebagai tiang, langit sebagai hamparan. Bintang-bintang melayang bebas di angkasa. Tiada yang sanggup mengetahui bahkan hal itu kecuali mereka para ulama.

Namun, seringkali ilmu yang didapat tidak dijadikan I’tibar dalam mencari petunjuk kekuasaan-Nya. Bahkan,-na’udzhubillah- ilmu tersebut dijadikan peluru yang menembak tubuh umat dari dalam. Mengkritisi agama lewat dialog-dialog kesesatan. Mengambil sepotong ayat-tidak keseluruhan- untuk dijadikan boomerang dalam berdalih sesuka hati. Ghozwul fikr, semboyan yang kini mewabah dan mulai menjangkit tubuh umat yang kian sakit. Jauh daripada kebenaran.

Sebagai Mubtadi Tholib’ilm (Pemula dalam menuntut ilmu), disinilah kita dituntut untuk menjadi pencari ilmu yang rabbani. Rabbani dalam artian, mencari ilmu semata-mata untuk mencari hakikat kebenaran dan bukan pembenaran. Mengetahui hakikat ilahi dan bukan khilafi-diskusi penyelewengan, yang terkadang membekukan hati dari kehakikian. Rabbani yang berarti dituntut untuk mengamalkan ilmunya terlebih dahulu sebelum mengajarkannya kepada orang lain. agar menjadi obat kepada umat yang mulai kronis.

Ali ibn Abi Thalib-radiallahu ‘anhu- berkata: “ Ilmu dijemput dengan amalan. Maka jemputlah, kalau tidak ia akan pergi”.
Hendaklah berbuat dengan apa yang diketahui, sebab amalan tanpa ilmu akan menjerumuskan ahlinya kepada jurang api neraka di hari akhir. Menjauhi taklid buta. Karena tidak ada alasan untuk mengelak. Risalah telah berakhir, kitab suci telah terukir. Tinggal bagaimana kita memanfaatkan dan mengalamalkan. Agar tidak mewarisi penyesalan dengan ilmunya yang didapatkan. Secara tidak langsung itu akan menghilangkan barakah ilmu yang didapat serta kelupaan.
Allah SWT bersabda; (Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, maka Kami melaknat mereka, dan kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka mengubah firman (Allah) dari tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian pesan yang telah diperingatkan kepada mereka. (Q.S. Al-Maidah, 13)

Kelupaan yang dimaksud mencakup lupanya pikiran dan perbuatan, karena nisyan (lupa) dalam bahasa arab dapat diartikan dengan “meninggalkan”. Akan tetapi apabila seseorang berbuat dengan ilmunya, sesungguhnya Allah SWT akan menambahkan baginya petunjuk serta ketaqwaan. (Q.S. Muhammad, 17). Maka apabila telah sedemikan, Allah tidak sungkan untuk menganugerahkan ilmu kepadanya dari apa  yang tidak diketahuinya sebelumnya.
Ya Rabb jadikanlah kami para penuntut ilmu yang rabbani, yang takut akan kebesaran-Mu. Agar kelak dapat mewarisi barakah ilmu. Jauhkanlah kami dari kesesatan, mudahkanlah kami mengamalkan ilmu yang kami dapatkan. Semoga bermanfaat, Amin ya Rabbal ‘Alamin. [El-Ahmady]
Wallahu A’lam bishowab.

_______________________________
 http://elahmady1809.blogspot.com/
Dakhiliyah Yajid Ibn Habib
Kamis, 09/06/2011
Khartoum, Sudan

MENUNTUT ILMU--" MENGIKUTI MANHAJ SALAFUS SHALEH"  

Posted by Unknown in

MENGIKUTI MANHAJ SALAFUS SHALEH
Catatan seorang Thalib’ilm di Negeri Dua Nil
By: El-Ahmady

Rasullullah Shalallahu 'alaihi wa salam : "Sebaik-baik manusia adalah generasiku (generasi Rasulullah & Shahabat), kemudian orang-orang sesudah mereka (Tabi'in) kemudian orang-orang sesudah mereka (Tabi'ut Tabi'in.)..." (HR. Bukhari IV/189, Muslim VII/184-185, Ahmad I/424 dll).

Ups, jangan berkerut dahi dahulu, Akhi wa ukhtil kariemah! Membaca judul diatas, tentu bagi Antum/Antunna yang kurang hobi membahas bahkan membaca tulisan-tulisan berat seperti ini, akan segera mengelak jauh. Belum sempat membaca, sudah buru-buru pergi, alias cuek bebek!. Sungguh miris kalau benar hal itulah yang terjadi, karena sebagai generasi penerus islam, kita dituntut untuk mengetahui dasar-dasar Agama yang tentunya tidaklah mudah. Perlu kesungguhan juga keinginan tinggi untuk mengorek kerak hingga kedasarnya. Salah satunya, peduli dengan problematika dalam membaca judul-judul berat seperti tulisan saya kali ini. Saya sendiri awalnya sempat pesimis kalau saja pembaca akan mengacuhkan tulisan seperti ini. Terlebih karena memang tidak terjun secara langsung dibidangnya. Namun, dengan berpikiran positif, saya berusaha untuk mengenyahkan pikiran negatif yang mencoba mengendurkan semangat saya untuk berdakwah. Semoga apa yang sudah tertulis dapat bermanfaat bagi Akhi/ ukhti fillah.

Saudaraku, tentu bagi Anda yang belum mengenal istilah ini timbul berbagai pertanyaan; Apa itu Manhaj Salafus Shaleh? Mengapa harus mereka yang dijadikan panduan dalam menuntut ilmu? Perlukah mengikuti mereka?, dlsb.  Baiklah saudaraku, dalam kesempatan ini saya ingin menjelaskan mengapa Syaikh memilih jalan ini, sebagai pedoman dalam menuntut ilmu. Tentunya saya akan menjelaskan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan Manhaj Salafus Shaleh.  

1.      Apa itu Manhaj Salafus Shaleh?
Salaf secara bahasa dapat diartikan sebagai; pendahulu, telah berlalu, sebelumnya. Dapat juga diartikan dengan perbuatan atau amal shaleh yang telah dilakukan. Jika digabungkan dengan Salaful umat, maka diartikan sebagai; umat terdahulu. Dalam Al-Qur’an Allah SWT bersabda: Maka Kami jadikan mereka sebagai (kaum) terdahulu, dan pelajaran bagi orang-orang yang kemudian.[Q.S. Zukhruf, 56]. Kalimat salaf dinisbahkan kepada para Salafus Shaleh, yaitu 3 generasi pendahulu sebagaimana hadis di awal tulisan. Berkata Ibnu Manzhur dalam Lisanul ‘Arab : “Dan As-Salaf juga adalah orang-orang yang mendahului kamu dari ayah-ayahmu dan kerabatmu yang mereka itu di atas kamu dari sisi umur dan keutamaan karena itulah generasi pertama dikalangan tabi’in mereka dinamakan As- Salaf Ash-Sholeh”.

Adapun secara Istilah Salaf dikalangan para‘ulama mempunyai dua makna ; secara khusus dan secara umum. Pertama : Makna Salaf secara khusus adalah generasi permulaan ummat Islam dari kalangan para shahabat, Tabi’in (murid-murid para Shahabat), Tabi’ut Tabi’in (murid-murid para Tabi’in)dalam tiga masa yang mendapatkan kemulian dan keutamaan. (Dirasah Manhajiyah Haula Manhaj Ahlusunnah wal Jama'ah, Darul Iman Iskandariyah, Hal 35, Abdullah Ibn Muhammad Al-Yajiri]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah (wafat th. 728 H) mengatakan:
“Bukanlah merupakan aib bagi orang yang menampakkan madzhab Salaf dan menisbatkan dirinya kepadanya, bahkan wajib menerima yang demikian itu darinya berdasarkan kesepakatan (para ulama) karena madzhab Salaf tidak lain kecuali kebenaran.” (Majmuu’ Fataawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, IV/149)

Beliau rahimahullah juga mengatakan:
“Telah diketahui bahwa karakter ahlul ahwa’ (pengekor hawa nafsu) ialah meninggalkan atau tidak mengikuti generasi Salaf.” (Majmuu’ Fataawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, IV/155)

-          Opini Tentang Pengertian Salaf.


Sebagian umat islam memiliki anggapan bahwa salafi adalah sebuah faham dan pemikiran yang belakangan menjadi kelompok, firqah atau “manhaj” yang berkembang didalam tubuh islam, yang dikenal memiliki keinginan dan komitmen yang kuat untuk berpegang teguh kepada aqidah ahlussunnah wal jama’ah, menjaga pengamalan dan pengimplementasian sunnah Rasulullah SAW dan mengamalkan ajaran agama islam sebagaimana generasi umat islam terbaik yaitu salafus shalih mengamalkan ajaran islam , sesuai dengan penisbahan kata“salafi” yang bermakna “faham orang – orang yang terdahulu dari generasi terbaik umat islam ”.

Namun ada juga yang berpandangan berbeda dari apa yang telah disebutkan diatas. Ketika  mendengar kata-kata salafi, terdapat sebagian dari kita yang merasa alergi dan mengansumsikannya ( salafi ) sebagai sebuah faham yang mengatasnamakan islam yang berkembang di masyarakat yang dikenal memiliki sikap ekstrem, radikal, suka mengkafir dan membid’ahkan amalan umat islam serta garang terhadap mereka yang berbeda faham.

Entah memang itu kenyataan yang terjadi di masyarakat yang selama ini langsung merasakan pergerakan yang mengatasnamakan “manhaj” ( cara beragama ) islam ini sehingga berasumsi demikian, atau kemungkinan besar terdapat sebagian kaum muslimin yang secara individu tidak memahami inti perjuangan dari kelompok ini sehingga salah mengartikan, atau memang ada sebagaian dari kaum muslimin yang memang bergerak didalam “manhaj” salafi  ini yang “tersilap” didalam  mengimplementasikan perjuangan islam yang mereka nisbahkan kepada pendahulu kita didalam agama ini yaitu salafus shalih.

Istilah Salaf bukanlah istilah baru.  Istilah tersebut sudah digunakan sejak zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Salaf tidaklah menunjuk kepada satu golongan tetapi menunjuk kepada orang-orang yang berpegang kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah menurut pemahaman yang benar. Karena umat ini sudah berpecah belah dan yang selamat pemahamannya hanya SATU.
Sebagian orang menyangka, dari apa yang mereka ketahui dan mereka menyelewengkan arti ketika disebutkan istilah Salafiyyah, bahwa Salafiyyah adalah label (istilah) baru dan madzhab baru bagi kelompok Islam yang baru melepaskan diri dari lingkaran Jama’ah Islamiyah yang utuh.

Sangkaan ini sama sekali tidak benar karena Salafiyyah maksudnya adalah Islam yang dibersihkan (disaring) dari kegagalan-kegagalan budaya klasik, dan warisan-warisan dari banyak kelompok dan sekte, dengan kesempurnaan dan keumumannya, baik dalam Al-Qur’an maupun as-Sunnah berdasarkan pemahaman Salaf yang terpuji.

Sangkaan ini sesungguhnya hanyalah muncul dari angan-angan kaum yang ingin menghindari kalimat yang baik dan berkah, yang akarnya menancap kuat dalam sejarah umat ini hingga sampai ke generasi pertama (Shahabat). Wallahu, a'lam!


2.      Mengapa harus mereka yang dijadikan panduan dalam menuntut ilmu? 
Saudaraku, menjadi suatu keharusan mutlak bagi setiap muslim, yang menginginkan kesuksesan dan merindukan kehidupan yang mulia, serta kemenangan di dunia dan di akhirat, bahwa dalam memahami Al Qur'an dan As Sunnah yang shahih harus dengan pemahaman muslimin yang terbaik yaitu para Sahabat Rasulullah dan Tabi'in (murid Sahabat), serta siapapun yang mengikuti jalan mereka dengan baik hingga hari kiamat.

Dipilihnya  metode ini, karena tidak dapat dibandingkan (dengan siapaun, selain dengan Rasulullah) kelurusan, kebenarannya, dalam fikrah, pemahaman dan manhaj yang lebih benar dan lebih lurus dibanding pemahaman dan manhaj Salafus Shalih (jalannya para Salaf yakni Sahabat Rasulullah, Tabi'in dan Pengikutnya, yang Shalih hingga hari kiamat). Oleh karena itu tidak akan pernah bisa baik kehidupan umat yang akhir ini kecuali dengan apa yang telah menjadikan baik generasi awal.

Apabila kita teliti dengan seksama dalil-dalil dari Al Qur'an maupun As Sunnah serta ijma' dan qiyas maka bisa disimpulkan dari dalil-dalil tersebut tentang wajibnya memahami Al Qur'an dan As Sunnah dalam bimbingan manhaj Salafus Sholih, karena itu merupakan pemahaman yang disepakati kebenarannya sepanjang abad perjalanan dakwah ini.
Oleh karena itu tidak dibernarkan bagi siapa saja,  setinggi  apapun kedudukannya,  memahami Islam ini selain pemahaman Salafus Sholih (pemahamannya dapat dilihat di tafsir Al Quran karya para Sahabat, penjelasan hadits dalam kitab-kitab Hadist dan tulisan-tulisan para Sahabat & pengikutnya). Dan siapapun juga yang membenci pemahaman Salaf lalu menggantinya dengan bid'ah-bid'ah orang belakangan (orang-orang sesudah generasi Salaf ) yang diracuni dengan berbagai pemahaman yang membahayakan dan yang tidak selamat dari pemahaman asing, akan mengakibatkan tercerai-berainya kamu muslimin.

Sesungguhnya Salafus Shalih Radiyallahu anhum telah nyata kebaikan mereka baik dalam nash maupun istimbat, Allah berfirman dalam surat At-Taubah ayat 100 : "Dan generasi yang terdahulu dan pertama-tama (masuk Islam) diantara kaum Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah telah ridha kepada mereka (Muhajirin & Anshar-Sahabat/Salafus Sholih) dan mereka ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya mereka kekal didalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang agung. (Q.S. At Taubah : 100)

Dengan dalil ayat ini- dapat diambil pemahaman bahwa Allah Sang Pencipta telah memuji terhadap mereka yang mengikuti kepada sebaik-baik manusia- telah diketahui bahwa apabila sebaik-baik manusia itu mengatakan suatu perkataan, kemudian ada seseorang yang mengikuti mereka, maka dia wajib untuk mendapatkan pujian dan berhak untuk mendapatkan keridhaan. Kalau seandainnya sikap ittiba' mereka tidak membedakan dengan selain mereka (yang tidak ittiba') maka dia tidaklah berhak mendapatkan pujian dan keridhaan. Siapakah sebaik-baik manusia itu? Mereka adalah para shahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, sebagaimana disebutkan dalam Al Qur'an : "Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shalih merekalah sebaik-baik manusia". (Q.S. Al Bayyinah : 7).  

3.       Perlukah mengikuti mereka?
Ya, Sudah pasti!. Allah berfirman dalam surat Ali Imran : "Kalian adalah umat terbaik yang telah ditampilkan untuk manusia, kalian telah beramar makruf dan bernahi munkar dan beriman kepada Allah". ( Q.S. Ali Imran : 110 ) Dari sini kita mendapatkan petunjuk bahwa Allah telah memuji dan menyatakan keutamaan mereka (Sahabat) atas segala umat, dan apabila ingin dipuji ALLAH juga, maka ummat ini harus istiqamah dalam segala hal mengikuti Salafus Sholih. Disamping itu Salafus Sholih sesungguhnya memang tidak pernah menyimpang dari cahaya (petunjuk Ilmu Al Quran dan Sunnah) yang terang benderang (Al Haq) ini.

Maka jika ada yang berkata : “Ini (gelar sebaik-baik umat, pen.) bersifat umum dalam umat ini, tidak hanya terbatas pada generasi Sahabat saja”,saya katakan bahwa mereka (para sahabat) adalah obyek pembicaraan yang pertama, dan orang yang mengikuti mereka dengan baik tidak masuk dalam pembicaraan ayat diatas, kecuali kalau ada penjelasan dengan qiyas atau dalil lain sebagaimana dalam dalil pertama.

Secara umum dan ini yang benar, Sahabat adalah yang pertama kali masuk dalam obyek pembicaraan karena merekalah yang pertama kali mengambil ilmu dan amal langsung dari Rasullullah Shalallahu 'alaihi wa salam tanpa perantara, dan merekalah yang mendapat kabar gembira dengan wahyu ini. Oleh karena itu, merekalah yang paling pertama masuk dalam pembicaraan ayat ini dibanding yang lain disebabkan sifat-sifat yang telah diberikan kecuali kepada mereka (para Sahabat). Pun kecocokan sifat dengan pensifatan Allah adalah merupakan bukti bahwa mereka lebih berhak mendapatkan pujian dari pada yang lain.
_________________________

Baiklah Saudaraku, setelah mengetahui alasan-alasan diatas, saya akan mengajak Anda kepada penjelasan Syaikh Utsaimin dalam men-Syarh kitab ‘Hilyah Thalib’lim’. Beliau berkata:


“Ini merupakan satu hal penting yang perlu diperhatikan, bahwa seorang tholib ‘Ilm harus mengikuti manhaj salafus shaleh di segala aspek agama. Baik itu masalah Tauhid, Ibadah, Mua’amalah, dll. hendaklah meninggalkan diskusi yang justru mengakibatkan pertikaian. Karena banyaknya bertikai-dalam permasalahan yang memang sudah jelas- akan mengunci jalan kebenaran itu sendiri. Dan itu akan membawa ahlinya kepada suatu perkataan yang menjurus kepada ‘keegoisan diri’ semata, walaupun perkara yang dibahas telah jelas kebenarannya.
Maka hanya ada dua kemungkinan;  yang pertama, bisa jadi ia mengingkari kebenaran itu secara mutlak. Dan yang kedua, ia akan berusaha mentakwil setiap perkataan yang haq dengan argumentasi sesuai hawa nafsunya. Maka, hendaklah seorang thalib’ilm menjauhi diri dari orang-orang semacam ini, Larilah darinya seperti larinya seekor buruan yang dikejar Singa”.
Begitu pula, hendaklah menjauhi diri dari ilmu Kalam. Karena hal itu hanya membuang waktu dengan sia-sia dengan suatu pertanyaan yang telah jelas kebenarannya, namun seringkali dicari celah untuk meragukannya.”


Dalam menjelaskan kitab hilyah ini, Syaikh Utsaimin menceritakan kepada murid-muridnya dalam suatu halaqah ilmu. Suatu ketika ia ditanya tentang defenisi Akal. Apa itu Akal? Sampai manakah batas Akal itu? jelaskan pengertian Akal secara bahasa, istilah, syar’I, dan kebiasaan? Syaikh mengatakan kepada murid-muridnya,


Untuk apa mencari defenisi Akal? Apakah Akal itu perlu penjelasan lebih? Subhanallah. Yang jelas bahwa apabila seseorang duduk memikirkan defenisi Akal; membuang banyak waktunya hanya untuk mentakwil kalimat yang sudah amat jelas didalam islam, ia akan bingung sendiri dikarenakan hal ini tidak ada jawabannya, juga tidak perlu didefenisikan.
“Akan tetapi mereka- Ahlul kalam- membatasi orang-orang dengan suatu kebenaran dan manhaj salafi yang sederhana dengan suatu syubhat, defenisi, serta batasan-batasan, dll. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah-rahimahullah, dalam kitabnya “Raad ‘Ala Mantiqiyyin” dan “Naqdhil Mantiq” banyak menjelaskan kebatilan mereka. Baik itu dalam bab Sifat dan Asma Allah SWT, maupun yang lainnya. Beliau berkata dalam Kitab Fatwa Hamawiyahnya: “Dan kebanyakan orang yang takut akan kesesatan, ialah mereka yang mutawasith dari ulama-ulama kalam. Dikarenakan mereka yang belum terjun didalamnya merekalah yang selamat dari kesesatan itu, dan bagi mereka-para ulama-ulama- yang telah terjun didalamnya akan menyadari betapa mereka telah terjun kepada suatu kerusakan dan kebatilan, sehingga mereka pun kembali kepada jalan yang benar” Oleh karena itu, hendaklah bagi seorang Thalib’ilm untuk meninggalkan hal-hal sedemikian yang terkadang hanya menghabiskan waktu semata. Jadikanlah ilmu Anda mudah sederhana.”


Ya, jadikanlah ilmu Anda mudah dan sederhana!. Jangan memperumit diri demi suatu hal yang justru membuat Anda bingung, harus berbuat apa. Tentunya kita dituntut untuk mengetahui dasar-dasar ilmu agama terlebih dahulu demi membentengi diri dari kesesatan pemikiran.

Untuk jaman sekarang ini, banyak kita dapati orang-orang sedemikian yang rela membuang banyak waktunya untuk memikirkan hal-hal seperti yang Syaikh Utsaimin katakan. Seperti halnya Jaringan Islam Liberal [JIL]- dan masih banyak lagi firqah maupun kelompok sesat lainnya- yang kerap gencar menyuarakan bahkan menggugat hukum qath’I yang sebenarnya tidak perlu dipertanyakan-dikarenakan telah jelas hukumnya.

Istilah-istilah baru, banyak kita jumpai bahkan mulai mempengaruhi cendikiawan muslim yang bergelut di bidang keislaman. Hermeunetika, Gender, Pluralisme, Sekulerism, dlsb. Pemikiran-pemikiran seperti ini, secara tidak langsung ingin menyebarkan skeptic- keraguan-keraguan- ditubuh umat yang jelas kebenarannya. Maka berusahalah untuk menjauhi, dan memerangi pemikiran-pemikiran seperti ini demi menjaga keorisinalan agama islam. Tentunya kita dituntut untuk memperdalami dan mengikuti manhaj para salafus shaleh sebagaimana pada penjelasan sebelumnya.

Semoga kita terhindar dari segala kesesatan dan kebatilan dalam menuntut ilmu. Agar kelak mendapat barakah dan pujian sebagaimana Para Salafus Shaleh yang telah pesankan Rasulullah SAW diatas. Semoga![El-Ahmady]
Wallahu A’lam Bishowab!

Kamis, 02/06/2011
Khartoum, Sudan.