[MENUNTUT ILMU ] “MERENDAH DIRI DAN TIDAK SOMBONG”  

Posted by Unknown in , , ,

Catatan Seorang Thalib’ilm Di Negeri Dua Nil
By: Abu Ayyash Al-Midany


“Berendah dirilah kamu terhadap orang-orang yang beriman. (QS. Al-Hijr 88)
“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri” (QS. Luqman 18)


Siapa sih, yang suka melihat orang yang sombong? Hmm, dari cara berjalannya saja sudah kelihatan tuh orang; belagu, muka sewot, cuek, angkuh, de el el, deh pokoknya. Yang penting sukanya hanya merendahkan orang lain, sombong terhadap diri sendiri. Sukanya memotong ucapan, seakan-akan dirinya yang paling benar. Dari segala sisi maunya hanya dirinyalah yang paling di unggulkan, baik itu ucapan maupun tindakan. Eiitzz…, Ntar dulu guys, Jangan-jangan sifat itu ada dalam diri kita pula lho…! Wal’iyyadzu billah…


Akhi wa Ukhti fillah, Itulah sedikit gambaran orang sombong yang sering terjadi di sekitar kita. Dan masih banyak lagi sifat-sifat lain yang mungkin dapat dikategorikan seperti di atas. Ternyata sifat madzmum ini amat berbahaya dampaknya. Bukan saja pada diri sendiri, tapi kepada orang lain juga.
Sombong merupakan awal maksiat dalam tatanan penciptaan yang dihadapkan Iblis terhadap Allah Subhanahu Wat’ala. Tatkala menganggap dirinya yang lebih baik dari Adam ‘Alaihissalam, manusia pertama ciptaan Allah.

وإذ قلنا للملائكة اسجدوا لآدم فسجدوا إلا إبليس قال ءأسجد لمن خلقت طينا
Dan (ingatlah), tatkala Kami berfirman kepada Para Malaikat: "Sujudlah kamu semua kepada Adam", lalu mereka sujud kecuali iblis. Dia berkata: "Apakah aku akan sujud kepada orang yang Engkau ciptakan dari tanah?" (Q.S. Al-Isra' 61)

Dalam sebuah hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:

(عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا : أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَى مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاء (صحيح البخاري ٥٣٣٧
Dari Ibnu Umar radliallahu 'anhuma bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Allah tidak akan melihat orang yang menjulurkan pakaiannya dengan sombong." (Shahih Bukhari 5337)

Khuyala’ yang dimaksud adalah takjubnya seseorang terhadap diri sendiri dengan menampakkannya kepada orang lain, baik itu berupa harta, tahta, maupun ilmu yang dimiliki. Kalau muaranya hanya didalam hati ia dikategorikan ‘I’jaabunnafsi. Nah, kalau sudah sampai menampakkannya kepada orang lain dengan sombong, inilah yang disebut dengan khuyala’. ( Syaikh Utsaimin, Syarh Hilyah Tholib ‘Ilm)

Keduanya sama-sama dilarang. Kalau dalam hati saja dilarang, bagaimana pula yang ditampak-tampakkan. Dalam puisi arab Seorang penya’ir berkata : “ I’jaabunnafsi daalatun ‘ala dho’fi ‘aqlihi” (Takjub terhadap diri sendiri tanda bahwa lemahnya akal yang dimiliki). Yang lebih parah lagi, ialah menampakkan diri yang bukan sebenarnya. Yakni, ibarat kisah seekor katak yang hasad kepada Sapi. Dengan ukuran tubuhnya yang kecil, ingin seperti Sapi yang memiliki tubuh yang besar. Begitu pula orang suka membangga-banggakan diri, sombong terhadap apa yang ia miliki. Karena sejatinya kita adalah makhluknya yang lemah yang berada dalam kuasa-Nya.

Bukan berarti kita menafikan nikmat yang telah diberikan. Akan tetapi rasa syukurlah yang hendaknya diwujudkan baik dalam keadaan ria atau sebaliknya. Betapa banyak kisah tauladan yang dicontohkan para leluhur kita para Nabi dan salafussholeh. Betapa indah kisah mereka yang pasrah kepada-Nya dengan dilukiskan dalam sebaik-baik kitab yang takkan luntur sepanjang zaman- red: Al-Qur'an. Salah satunya, Kisah Nabi Sulaiman ‘Alaihissalam dalam Surat An-Naml, yang jelas menampakkan ciri-ciri mereka yang merendah diri. Tatkala seruan seekor semut terdengar olehnya, saat hendak menghindari pijakan bala tentaranya.

"Maka Dia tersenyum dengan tertawa karena (mendengar) Perkataan semut itu. dan Dia berdoa: "Ya Tuhanku berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh". (Q.S An-Naml 19)

Sangat Jelas sekali kecaman Allah Subhanahu Wat’ala terhadap mereka yang menyombongkan diri dimuka bumi ini. Karena hanya Ialah yang patut untuk menyombongkan diri atas segala ciptaan-Nya. Hal ini seiring dengan sabda-Nya :

"Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung. (QS. Al-Israa’ 37)

Maka, Kepada Siapa hendak dibanggakan harta, kalaulah Qorun yang memiliki harta kekayaan melimpah, toh diazab dengan harta kekayaannya sendiri. Kepada siapa hendak sombong, kalaulah Fir'aun yang memiliki kekuasaan dan mengaku-ngaku Tuhan pada akhirnya ditenggelamkan dalam lautan. Kepada siapa pula hendak memalingkan wajah - karena sombong- kalau pada akhirnya tanah kuburlah yang akan menutup wajah.

Hingga Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam turut mewaspadai sifat ini, dan kerap menasehati para sahabat serta umatnya agar menjauhinya.

عَنْ عِيَاضِ بْنِ حِمَارٍ أَنَّهُ قَالَ :قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ أَوْحَى إِلَيَّ أَنْ تَوَاضَعُوا حَتَّى لَا يَبْغِيَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ وَلَا يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ
Dari Iyadh bin Himar ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku, hendaklah kalian bersikap rendah diri, hingga seseorang tidak berbuat aniaya kepada orang lain, dan seseorang tidak berlaku sombong kepada orang lain." ( Sunan Abu Daud 4250 )

Saya merinding kerap kali membaca dan mendengar kisah tiga orang yang masuk neraka, yang mana ketiganya adalah Penuntut ilmu, Mujahid, dan Orang yang bersedekah. Bagaimana tidak, apa yang mereka lakukan termasuk dalam kategori perbuatan yang mulia. Hanya dikarenakan 'Riya', terhapuslah amal perbuatan mereka.

Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu menuturkan: Aku pernah mendengar Rasulullah Shollallahu ‘alayhi wa Sallam bersabda:
“Sesungguhnya orang yang pertama kali diberi keputusan pada hari kiamat adalah seseorang yang mati syahid. Lalu ia didatangkan dihadapan Allah. Kemudian Allah memperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatanNya yang diberikan kepadanya. Lalu orang tersebut mengakuinya. Allah pun berfirman, ‘Apa yang kamu kerjakan padanya?’ Ia berkata, ‘Aku berperang karena diri-Mu, hingga aku mati syahid.’ Allah berfirman, ‘Engkau telah berdusta. Sesungguhnya engkau berperang agar dikatakan sebagai pemberani dan hal itu telah dikatakan.’ Kemudian diperintahkan agar orang tersebut dibawa lalu diseret mukanya hingga ia dilemparkan ke neraka.

Lalu seseorang yang belajar suatu ilmu kemudian mengajarkannya, dan membaca Al-Qur’an lalu didatangkan di hadapan Allah. Kemudian Allah memperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatanNya yang diberikan kepadanya. Lalu orang tersebut mengakuinya. Allah pun berfirman, ‘Apa yang kamu kerjakan padanya?’ Ia menjawab, ‘Aku mempelajari suatu ilmu dan mengajarkannya serta membaca al-Qur’an karena-Mu.’ Allah berfirman: ‘Engkau berdusta. Sebenarnya, engkau mempelajari suatu ilmu, mengajarkannya dan membaca al-Qur’an agar dikatakan bahwa engkau adalah orang yang ahli membaca. Dan hal itu telah dikatakan.’ Kemudian diperintahkan agar orang tersebut dibawa lalu diseret mukanya hingga ia dilemparkan ke api neraka.

Lalu ada seorang yang telah Allah berikan kepadanya kelapangan dan berbagai macam harta. Kemudian Allah memperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatanNya yang diberikan kepadanya. Lalu orang tersebut mengakuinya. Allah pun berfirman, ‘Apa yang kamu kerjakan padanya?’
Ia menjawab, ‘Tidak ada suatu jalan yang Engkau senang untuk diberi infak kecuali aku telah mengeluarkan infak padanya demi Engkau.’
Allah berfirman, ‘Engkau telah berdusta. Tapi engkau melakukannya agar dikatakan sebagai orang yang dermawan dan hal itu telah dikatakan.’ Kemudian diperintahkan agar orang tersebut dibawa, lalu diseret mukanya, kemudian dilemparkan ke dalam neraka.” (HR. Muslim)

Bagi seorang penuntut ilmu, hal ini perlu diwaspadai. Karena ia kerap kali dilupakan dan tidak disadari menyelinap dalam diri masing-masing. Syaikh Bakr Abu Zaid berkata : “Hendaklah [Seorang Tholib ‘ilm] berhias diri dengan adab sopan santun; saling memaafkan, berkasih-sayang, teliti, sabar, dan berendah diri kepada suatu yang haq. Ibarat seekor burung yang melayang diudara; tenang dan seimbang kedua sayapnya. Merendah diri dalam menuntut ilmu saat merasakan mulianya ilmu. Berhati-hatilah dari sifat ria ilmu. Karena ia merupakan penolak ilmu dan perbuatan. Sebab datangnya dosa dan malapetaka. Karena sesungguhnya para salaf sangat mewaspadai diri mereka dari sifat ini” (Hilyat Tholib Ilm)

Begitulah seharusnya seorang thalib ‘ilm. Berendah diri dalam kebenaran juga kepada makhluk ciptaan-Nya. Artinya, tatkala kebenaran telah jelas baginya janganlah berpaling darinya. Berhias diri dengan sifat merendah, karena ilmu bukan untuk dibanggakan, namun dijunjung kemuliaannya. Dengan sendirinya, oranglah yang akan menilai siapa empunya ilmu yang sejati. Ia akan menjauhi hal-hal buruk, tidak terburu-buru dalam mengambil sikap dan menghukumi suatu permasalahan. Sabar bila ia disakiti orang lain, kerabat, maupun guru yang mengajarinya.

Tetap istiqamah dan berjaga diri dari kesombongan. Jangan berlarut diri dari sebuah perdebatan, karena sejatinya ia akan menimbulkan benih-benih kesombongan dan menyebabkan kerasnya hati. Carilah kebenaran dan bukan pembenaran. Menerapkan dalil dahulu sebelum beri’tiqad (yakin) dalam perbuatan. Hingga pintu kebenaran benar-benar terbuka dan dimudahkan oleh-Nya.

Ya Rabb, Sang Pemberi Ilmu dan kekuasaan. Lembutkanlah hati kami dengan merendah diri, jauh dari 'ujub, riya', khuyala', dan takabbur'. Kami sadar bahwa diri kami teramat lemah atas kuasa-Mu. Maka, sadarkanlah kami atas kelemahan kami untuk menerima kebenaran dari-Mu.


Sobat..., masihkah Anda bersombong diri?


Khartoum, Sudan.
9/11/ 1433 H