BINTANG KESETIAAN  

Posted by Unknown in

Malam itu Mahmud duduk termenung menatap langit, bintang-bintang yang bertaburan seakan permata malam yang senyap, yang kian menghiasi pesona malam, tuk sekedar bertandang menemaninya dalam kesendirian. Tak kalah suara jangkrik menjadi melodi yang berpadu dan menyatu mengisahkan sandiwara hidup yang penuh dengan teka-teki yang ingin ia telusuri.
Tangan kanannya menopang dagu dan tangan kirinya menopang siku kanan. Melihat raut wajah dan gayanya saat ini, setiap yang melihatnya pasti dapat menerka, lelaki kurus dengan berahang petak itu sedang berpikiir serius atau sedang malamun menatap bulan dan bintang yang sesekali di tutupi kelam awan.
Belakangan ini Mahmud memang sedang memikirkan sesuatu yang terasa mengganjal dihatinya. Sesuatu yang terkadang membuatnya tertegun lama dan hanyut dengan lamunan panjang, seakan misteri yang tak dapat ia temukan jawaban atas lintasan-lintasan hatinya yang sangat mengganggu. Sampai –sampai tidurnya pun mulai terasa tidak nyaman belakangan ini.
Zulya, ya itulah nama wanita yang mengganggu Mahmud. Wanita berparas keindoan, cantik lagi jelita, yang telah tiga bulan ia nikahi, wanita yang menjadi impian seluruh lelaki lajang dikampung ini. Bahkan ada yang sudah memiliki isteri merasa menyesal lantas sempat berpikir untuk menceraikan isterinya, tatkala melihat Zulya atau setidaknya menyesal mengapa baru sekarang melihat paras wanita jelita ini. Setelah mereka menikah dengan wanita lain yang tentunya tak secantik Zulya.
Zulya dan kakeknya, Kiai Badrun, memang baru saja pindah dari kampungnya Pariaman beberapa tahun ini dan kini tinggal di kampung Perlanaan. Sebelumnya mereka bermukim dirumah isteri Kiai Badrun, seminggu setelah meninggalnya isterinya, yaitu tatkala gempa dahsyat meluluh lantakkan seluruh isi rumahnya juga kampung halamannya, terlebih isterinya yang saat itu sedang memasak didapur lantas tak sempat keluar melarikan diri. Pastinya Kiai Badrun tak ingin termakan waktu dengan kesedihan yang mereka alami, ia pun berinisiatif pindah kekampung itu. Begitu kira-kira sejarah singkat Kiai Badrun dengan cucunya yang jelita ini.
Maka tak heran, tatkala orang-orang tahu bahwa Mahmud mendapatkan Zulya, komentar bernada protes bermunculan dari bibir kaum lelaki. Jelas mereka tidak rela, Zulya yang begitu jelita dinikahi oleh lelaki kurus, pendek, berahang petak, dan berwajah pas-pasan seperti Mahmud. Ibarat dalam dunia pewayangan sosok petruk yang ingin menyunting Dewi Sinta. Benar-benar mengusik keadilan dan pemandangan dan tidak pantas, kira-kira demikian penilaian para lelaki dikampung itu.
Namun, Mahmud dengan penuh kesyukuran tetap bersih tegang ,mengarungi bahtera barunya bersama Zulya yang juga terlihat bahagia. Ia hanya berpikir waktu itu hanyalah bahwa Allah itu Maha Adil. Ia yang sejak kecil telah yatim piatu dan selalu didera penderitaan, tak pernah mengeluh atau menyesali nasibnya. Sangat wajar jika kini Allah memberinya sebagian karuniaNya sebagai imbalan atas kesabaran dan keikhlasannya. Begitu ia beranggapan.
Tapi, kebahagiaan itu tidak lama dinikmati Mahmud. Setelah tiga bulan menikah, ia mulai dihantui oleh perasaan gelisah. Ia mulai berpikir ada yang ganjil antara ia dan Zulya. Ya ia hanyalah seorang pemuda dengan bentuk fisik yang jauh dari menawan, ia juga hanya salah seorang anak angkat Haji Slamet, imam di kampung itu.
Adapun Zulya, ia adalah gadis yang secara fisik sangat mempesona. Meski gadis itu selalu menutup tubuhnya dengan baju panjang dan kerudung rapat, tetap saja mengundang lirikan kekaguman dari kaum lelaki yang melihatnya. Wajar jika Kiai Badrun selalu melarang cucunya itu bepergian sendiri, selain mengundang fitnah juga menjaga marwah seorang wanita. Demikian Kiai tersebut menasihatinya.
Dengan perbedaan yang begitu mencolok, bagaimana sesosok Mahmud yang punguk mendapatkan sosok rembulan yang mempesona seperti Zulya. Dari sisi Mahmud, jelas ia sangat bahagia mendapatkan sosok wanita jelita yang diidam-idamkan kaum lelaki juga sholehah. Tapi dari sisi Zulya ? tidakkah ia justru tersiksa seperti yang dibayangkan orang-orang kampung. Jangan-jangan Zulya dipaksa oleh Kiai Badrun untuk menerima lamarannya waktu itu. Sebab Kiai Badrun sangat menyayanginya dan Mahmud pun menganggap lelaki tua itu seperti kakeknya sendiri.
Mahmud memang sering berkunjung kerumah Kiai Badrun untuk belajar kitab kuning atau sekadar berbincang-bincang tentang agama, yang tidak sempat ia dapatkan selama masa didiknya.
Tapi sungguh, waktu itu ia tak pernah berniat mendekati Zulya. Ia sadar, Zulya bukanlah gadis yang diciptakan untuk menjadi pendampingnya kelak. Maka, ia pun selalu berpaling tiap kali bertemu gadis itu, takut hatinya terbuai setan nafsu melihat senyum Zulya. Dan lebih takut lagi, jika ia jadi berkhayal memiliki pendamping sepertinya.
Tapi takdir ternyata berkata lain. Zulya kemudian benar-benar menjelma di sisinya, menjadi permaisuri di kerajaan hatinya. Dan, ia pun tiba-tiba seperti menjadi seorang pangeran yang berbahagia. Tak terhitung berapa kali ia melakukan sujud syukur atas anugerah itu, anugerah yang tiga bulan kemudian malah membuatnya berubah menjadi seorang pelamun.
Ya, kini ia lebih sering melamun. Tak hanya di beranda rumahnya yang sederhana, tapi juga ketika mengajar anak-anak mengaji di masjid. Bahkan, Haji Slamet sempat menegur saat melihat ia melamun waktu menunggui toko kue milik ayah angkatnya itu. Dan, orang-orang mulai curiga melihat perubahan Mahmud belakangan ini. Bisik-bisik pun terdengar dari mulut ke mulut. Apa lagi kalau bukan mengenai isu keretakan rumah tangganya. Ah, suara-suara sumbang itu kian meresahkan hati Mahmud.
Rasanya ia semakin sadar bahwa ujian berupa kenikmatan jauh lebih sulit menjalaninya di banding ujian penderitaan. Wajar jika banyak orang yang tergelincir di dalamnya. Dan kini ia sendiri mengalaminya. Telah bertahun-tahun hidup susah, tak sekalipun ia mengeluh. Tapi, ketika kini ia mendapat karunia berupa isteri yang sangat cantik, tiga bulan saja telah membuatnya mengeluh lahir bathin.
*************
“Bang, coba ke sini sebentar !” panggil Zulya malam itu. Wanita jelita itu sedang duduk di beranda rumah, menikmati indahnya malam. Perlahan, Mahmud mendekat dan duduk di samping isterinya dengan mulut terbungkam.
“Belakangan ini, Abang sudah jarang menemani Zulya duduk menatap bintang. Dulu, Abang bilang, kemana pun Putri Sinta pergi, Pangeran Rahwana akan selalu menemaninya. Iya, kan? Lalu, kenapa sekarang sang pangeran mulai jarang menemani sang putri? Apakah Abang sudah tak suka bintang?”
Mahmud masih diam tak menjawab. “Ya, Tuhan, andai saja Kau mau mengubah hamba menjadi seorang pangeran tampan untuk beberapa detik saja, kebahagiaan ini pasti bisa hamba nikmati”, batinnya merintih.
“Hei, Abang kenapa? Apakah Abang sakit?” Tanya Zulya cemas. Direngkuhnya lengan suaminya penuh perhatian. Mahmud pun kian membisu.
“Sekarang, coba Abang lihat bintang yang di timur itu! Indah sekali, bukan? Cahayanya lebih gemerlap dibanding bintang yang lain. Ia seperti kebanggaan langit terhadap bumi.” Zulya menunjuk sebuah bintang dengan jarinya yang lentik.
Mahmud menelan ludah
“Zulya ingin bintang itu jadi milik Zulya seorang Bang. Dan Zulya yakin, jika kelak Zulya masuk surga Allah pasti akan memberikan bintang itu untuk Zulya.”
Mahmud masih diam seribu bahasa. Bahkan, untuk menatap wajah Zulya yang menjulang anggun di sampingnya, ia pun merasa berat. Ah, mengapa baru sadar bahwa pernikahan ini membuatnya terlihat tolol dan tak berharga? Mengapa waktu Kiai Badrun meyakinkannya tiga bulan yang lalu, ia tak sanggup menolaknya? Ia malah merasa begitu tersanjung dan seakan terbang ke awan.” Dasar bodoh! Tak tahu diri!” Kini, ia memaki dirinya sendiri.
“Abang! Kenapa diam terus?” suara Zulya merajuk.
“Abang sudah tak suka lagi menemani Zulya, ya? Abang sudah bosan mendengar Zulya bercerita tentang bintang-bintang? Tetang surga yang indah dan tentang……”
“Dik Zulya…” suara Mahmud akhirnya keluar juga. Tapi, wajahnya malah menunduk dalam. Sementara Zulya menatapnya heran, mengapa suara suaminya terdengar sendu begitu? Perlahan dilonggarkan rengkuhan tangannya di lengan Mahmud.
“Abang kenapa?”
Mahmud menarik napas berat. “Abang merasa bersalah”
“Bersalah kenapa? Zulya kian heran.
“Kenapa dulu Abang nekad melamar Dik Zulya dan kenapa Abang percaya saja ketika Kiai meyakinkan Abang akan pernikahan ini” Zulya tertegun.
“Seharusnya Abang sadar bahwa pernikahan ini adalah sebuah siksaan bagi Dik Zulya. Yang pada akhirnya akan menjadi siksaan juga bagi Abang karena melihat Dik Zulya menderita. Dik Zulya…, Abang tidak pantas untuk Dik Zulya. Sangat tidak pantas!”
“Abang bicara apa? Istighfar, Bang!” seru Zulya dengan mata membulat.
“Apakah Dik Zulya tidak melihat betapa jauhnya perbedaan kita?” Kalimat lelaki itu mulai terbawa emosi. “Apakah Dik Zulya tidak melihat buruknya sosok lelaki yang menjadi suami Dik Zulya ini? Sangat bertolak belakang dengan Dik Zulya yang cantik rupawan. Lihatlah, Dik! Kita bukanlah pasangan Pangeran dan Putri seperti dalam cerita-cerita. Sebab, Abang tak pantas menjadi seorang pangeran!” ia menutup mukanya dengan telapak tangan.
Zulya terpana tak percaya.
“Dik Zulya tak kan pernah bisa mencintai Abang sebagaimana layaknya seorang wanita mencintai laki-laki. Itu tidak mungkin!” tubuh lelaki itu bergetar menahan goncangan di dadanya. Bibir Zulya juga bergetar. Inilah yang dikhawatirkannya. Suaminya mulai kehilangan rasa percaya diri. Jika pernikahan mereka kandas, sungguh ia kecewa. Ia akan kehilangan kesempatan emas untuk membangun mahligai di surga. Sejak dulu, ia selalu percaya pada apa yang dikatakan kakeknya bahwa memiliki seorang suami yang sholeh adalah langkah awal untuk meraih surga. Dan bersabar atas segala kekurangannya adalah langkah selanjutnya.
“Jika kau bisa menjalaninya dengan ikhlas sampai akhir hayat, insya Allah surga adalah balasan yang pantas bagimu,” ujar kakeknya waktu itu. Dan Zulya sangat percaya akan hal itu.
“Bang, maukah Abang mendengarkan Zulya?” Tanya Zulya sesaat kemudian. Mahmud hanya diam, tetap menutup mukanya.
“Jika Abang mengukur kecintaan Zulya secara fisik, itu artinya Abang juga mencintai Zulya hanya sekedar fisik. Tahukah Abang bahwa Abang telah salah memaknai cinta kita. dan sungguh, ini membuat Zulya kecewa. Zulya tidak menyangka Abang sepicik itu. Karena ketika Zulya memutuskan untuk menerima lamaran Abang, pada saat itu Zulya merasa telah menerima lamaran seorang lelaki saleh, yang kemuliaannya kelak bisa Zulya banggakan di hadapan Allah dan para malaikat.”
Hening. Mahmud tetap dalam diamnya.
“Zulya yakin, cara Kakek meyakinkan kita tidak berbeda. Beliau sama-sama membukakan mata hati kita untuk melihat hakikat cinta yang sungguhnya. Dan, Zulya semakin yakin ketika mendapati Abang tak pernah melewatkan satu malam pun tanpa bertahajjud. Tak pernah melewatkan satu hari tanpa menamatkan satu juz Al-Qur’an. Dan, tak pernah pula melewati hari Senin dan Kamis tanpa puasa sunnah. Lalu , salahkah jika Zulya seperti melihat surge di sisi Abang… dan ingin meraihnya?” Suara Zulya tetap bening meski jelas kesedihan mewarnainya.
Mahmud mulai terguncang dari diamnya.
“Di kampung ini, tak seorang pun pemuda yang seperti itu. Mereka lebih banyak menghabiskan waktu dengan sia-sia, bahkan tak jarang dilumuri dosa. Hal itu membuat Zulya yakin bahwa memang Abanglah yang telah di utus Allah untuk menjadi pendamping Zulya. Dan kini…? Setelah kita mulai melangkah, tiba-tiba Abang ingin berbalik arah. Abang ingin menghentikan langkah kita yang begitu manis. Abang benar-benar membuat Zulya kecewa…” kalimat wanita itu mulai tersendat dihadang tangis.
“Jika Abang bisa bersyukur atas segala kelebihan Zulya, lalu mengapa Zulya tidak boleh bersabar atas segala kekurangan Abang? Zulya tahu, Abbang bukanlah lelaki yang gagah dan tampan seperti seorang pangeran. Tapi bukan itu yang membuat Zulya melabuhkan cinta pada Abang. Lagi pula, apalah arti seorang pangeran jika ia tak mampu mengantarkan Zulya ke surga? Zulya….”
“Cukup, Dik…! Jangan teruskan lagi,” potong Mahmud parau. Perlahan, ia mengangkat kepalanya. Dicobanya memandang wajah jelita yang terlihat sendu itu. Mata indahnya mulai digenangin air bening. Ah, sungguh Mahmud tak tega melihat Zulya menangis digenggamnya jemari lentik Zulya sambil menenangkan guncangan di dadanya sendiri. Dan untuk beberapa jenak, mereka hanya saling membisu, menenangkan hati yang sempat dibawa oleh arus yang berpusar entah kemana.
“Abang memang salah. Abang larut dalam keraguan yang memperdaya, hingga makna cinta itu bergeser dari tempatnya.” Akhirnya, Mahmud memecah keheningan setelah mengembuskan napas panjang. “ Hampir saja Abang berbuat khilaf. Tapi…, untunglah Abnag didampingi oleh seorang wanita penghuni surga seperti Dik Zulya.”
Zulya menghapus airmatanya. “ Abang sungguh sungguh tidak akan berpikir seperti tadi lagi?”
Mahmud mengangguk pelan. “Ya. Sebab, Abang tidak ingin Dik Zulya kehilangan bintang itu,” jawabnya sambil menunjuk kearah timur.
Zulya tersenyum lega. Ditatapnya wajah Mahmud yang tengah menengadah memandang langit. “Ah, andai saja ia tahu bahwa sinar bintang itu tak lebih indah dari gemerlap wajahnya…”, batin Zulya berbisik kagum.
“Bang, tahukah Abang bahwa sebenarnya Zulya telah memiliki satu bintang yang begitu gemerlap ? dan, Zulya tak lagi menginginkan bintang di atas sana. Biarlah ia tetapa menjadi kebanggaan langit selamanya,” ujat Zulya sambil kembali merengkuh lengan suaminya penuh sayang.
“Benarkah?” Mahmud menatapnya heran.
Zulya hanya tersenyum penuh arti. Dan sungguh tak ada lagi yang perlu dijelaskan. Dan bintang-bintangpun menjadi saksi bisu cinta mereka.
“Allaumma tsabbit Quluubana A’la Dinika wa A’la tho’atik, Subhanaka Inna Kunna Min Adhzolimin.”



This entry was posted on Kamis, 28 Januari 2010 at 20.09 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the comments feed .

0 komentar

Posting Komentar