THOLIB AL-'ILM & THOLIB AS-SYAHADAH  

Posted by Unknown in

“Barangsiapa yang mempelajari ilmu dari apa-apa yang dia cari dengannya wajah Allah Azza wa Jalla. Tidaklah dia belajar kecuali untuk memperoleh bagian dari dunia (Suatu kebanggaan), maka dia tidak akan mencium wangi syurga pada hari kiamat.”(HR Ibnu Majah, Al Muqadimah 1/252 dan Ahmad, Al Musnad 2/338).

Bermula dari mendengar perbincangan ringan dengan beberapa teman tatkala makan malam tiba. Saat itu saya bersama yang lainnya baru saja pulang dari pelajaran Muw atha’ Imam Malik. Di saat asyik menyantap hidangan di piring besar, salah seorang teman arab yang lebih dahulu makan, tiba-tiba melontarkan pertanyaan kepada kami; “Akhi, antum laa takhaafuu al-imtihan? Antum tidak takut ujian, ya? Ko’ masih ikutan dars diluar materi ujian? Tanyanya bercanda.

Tersentak dengan pertanyaan itu, seorang teman saya- sebut saja Si A, di samping saya menjawab santai pertanyaan tersebut. “Akhi….akhi…, ha huwadza farqu baina thalibul jami’ah wa thalibu’ilm. Itulah perbedaannya Tholibul Jami’ah dengan tholibul’ilm, akhi!” Lantas, seorang teman saya, Si B, ikut nimbrung jawaban awal; “Lebih tepatnya, itulah perbedaan Tholibul’ilm (Pencari ilmu) dengan Tholibul’ Syahadah (Pencari Ijazah) Akhi!

Mendengar jawaban dari teman saya itu. Saya hanya bisa tersenyum-sipuh. Satu jawaban yang menggelitik pikiran untuk mengeja makna yang tersirat. Saya mencoba memahami maksud pertanyaan teman arab itu. Dari intonasi dan gaya bicaranya, tampak ia heran dengan sikap kami yang dalam bahasa muda-mudi sekarang; cuek bebek alias tidak peduli dengan ujian yang ada. Karena kami masih saja ikut pelajaran diluar materi yang akan diujikan ketika itu. Hal ini mungkin sulit bagi sebagian mahasiswa untuk menjalaninya. Ada sih, beberapa orang, namun mungkin saja karena ia telah mempersiapkannya jauh hari. Atau dengan alasan lain, bahwa memang orang tersebut tidak menjadikan ujian sebagai alasannya untuk belajar. Wallahu A'lam...



Bagi saya khususnya, hal-hal semacam ini amat membantu saya untuk mempelajari hal-hal baru yang bisa dijadikan bahan renungan; baik dilihat, maupun didengar. Karena memang ilmu itu bagi saya adalah hal yang bersifat dzatiyah- objektif. Utamanya dari Al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber ilmu. Bisa pula didapat darimana diri berada, dari kejadian alam, maupun langsung kepada seorang ahlinya, “Maka Tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui” (QS. Al-Anbiya’ 7). Tentunya setelah adanya penyaringan yang berdampak positif untuk diri. Saya mencoba membuka pikiran saya untuk merenungi kembali hakikat dalam mencari ilmu. Karena hal ini berkaitan erat dengan posisi yang kini sedang Saya jalani. Yaitu sebagai “Thalib’ilm”.

Ya, terkadang tidak ada salahnya juga untuk mempersiapkan diri sejak dini. Sebagai antisipasi, khususnya bagi orang yang memang belum mempersiapkan diri sejak awal untuk menghadapi ujian. Oleh karenanya memfokuskan diri untuk belajar materi yang akan diujikan, merupakan langkah yang tepat untuk dilakukan agar tidak menyesal dikemudian hari. Teringat istilah arab ketika nyantri di pondok yang artinya; "Celakalah bagi seseorang yang tidak mengetahui hakikat -kadar- dirinya". Tentunya alasan ini hendaknya pula dibarengi dengan pepatah arab yang juga mengatakan "Apabila seseorang tahu jauhnya perjalanan hendaklah bersiap-bersiap". Ya, tidak menjadikan ujian sebagai alasan untuk belajar. Karena pada hakikatnya seorang penuntut ilmu harus mengambil sebab, yakni dengan belajar terlebih dahulu, untuk menerima akibat- ujian- yang akan dihadapi. Belajar untuk diuji, bukan diuji untuk belajar. Belajar dari kegagalan, dan bukan kegagalan dari pembelajaran. Tentu hal itulah yang saya pahami maksud dari jawaban teman A.

Ujian universitas bukanlah akhir dari segala tuntutan. Karena ujian yang sebenarnya adalah tuntutan umat kepada kita sepulang ketanah air. Dalam pandangan Objektif bahwa ilmu yang didapat- khususnya diuniversitas sekarang ini- masih sangat kurang kondusif untuk melahirkan seorang alim-ulama rabbani yang mumpuni. Diperburuk lagi dengan kurangnya keikhlasan dalam menuntut ilmu. Dikarenakan Ilmu yang dicari hanya untuk mencari gelar dan kebanggaan semata, bukan didasari maslahat umat menghilangkan kejahiliaan modern yang kini mewabah. Maka minim sekali kita temukan sekarang ini, ulama yang dapat menjadi panutan dan mampu mencari solusi untuk umat yang terbutakan oleh nafsu duniawi.  Yang ada hanyalah sebuah gelar dan berbagai macam titel yang tersemat tanpa ada isi- ilmu yang berarti”
Adapun dengan jawaban teman saya, Si B. Saya berusaha menyerap hikmah, seraya  timbul dua pertanyaan menyikapi perbincangan dengan teman saya tersebut; Pentingkah sebuah pengakuan terhadap suatu bidang keilmuan yang kita dalami dan pelajari? Dan haruskah suatu gelar, Ijazah, dan titel disandangkan untuk menyatakan bahwa ialah adalah seorang ahli ilmu?

Pertanyaan ini membawa saya untuk melihat kembali realita yang ada dan kini terjadi. Tentunya dengan merujuk kepada sejarah dan tuntunan para pendahulu, baik itu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, sahabat, tabi’in, dan para ulama salaf sebagai uswatun hasanah yang telah berusaha menegakkan kalimatillah dengan mewariskan ilmu para Nabi. Adakah mereka mengharapkan nama mereka dikenal dan dikenang? Adakah mereka menyematkan nama mereka dengan istilah-istilah seperti yang ada sekarang ini; Prof, Dr, Lc, Bclr, dll? Adakah mereka mengharapkan imbalan lebih berupa harta dan tahta dari ilmu yang telah mereka wariskan?

Fenomena Universitas Masa Kini.

Belajar dari sejarah. Setelah perputaran zaman, dari kejayaan Islam kemasa kemundurannya, berubahlah keadaan Islam dan kaum muslimin. Jika kita merenung kembali proses pendidikan para ulama dalam mendidik dan mencetak generasi Rabbani, maka sungguh indah jalan yang mereka tempuh. Pendidikan melalui talaqqi di Masjid-masjid menghasilkan berjuta-juta ulama disetiap tahunnya. Melahirkan sosok alim-ulama yang multitalenta dengan berbagai bidang keilmuan baik ilmu agama maupun bidang sains. Sayangnya hal itu jarang, bahkan amat sedikit sekali kita temukan di zaman kita sekarang ini.

Setelah Khilafah Islamiyah runtuh, kaum Muslimin  dengan kekayaan budaya dan ilmu pun berada di bawah hukum orang-orang kafir dan munafik. Sedikit demi sedikit sendi-sendi kehidupan kamu muslim dirubah. Mulai dari model berpolitik, berhukum, berekonomi, bahkan sampai model pendidikan. Imbasnya kini yang kita rasakan, generasi umat semakin melemah disebabkan kurang faqih dalam permasalahan, utamanya tentang agamanya. Hukum Syari’at yang jelas merupakan azas pergerakan umat di segala lini kehidupan tidak lagi dihiraukan. Aqidah wala’ wal bara’ terhadap kaum kuffar yang seharusnya tertanam kuat dalam benak umat melemah dengan alasan Walhasil, proses pembelajaran yang merupakan awal kebangkitan para pendahulu kita, sangat jarang kita temukan untuk sekarang ini.

Proses belajar generasi islam dirubah dari Masjid ke model sekolah dan Universitas. Dengan adanya tingkatan-tingkatan belajar, S 1, S2, S3, dengan melahirkan berjuta-juta sarjana setiap tahunnya. Tidak sedikit dari generasi muslim menempuh pendidikan Universitas hanya untuk meraih Syahadah dan gelar-gelar semata. Hal ini sangat mempengaruhi pola pikir mahasiswanya. Ketahuilah! Bahwa fitnah besar inilah yang dirancang rapi untuk jangka panjang oleh para musuh-musuh islam untuk meminimalisir lahirnya ulama-ulama dari kalangan muslimin. Mereka mengetahui betul, bahwa selama ulama banyak dikalangan kaum muslimin, maka mereka akan kesulitan untuk mempengaruhi generasi Muslim untuk mengikuti agama, manhaj atau pikiran mereka. Semua ini merupakan scenario apik yang mereka lakukan dalam proses penghancuran Islam. Maka jangan heran jika anda mendapatkan seorang doctor tapi sangat bodoh terhadap agamanya. Seorang ulama yang nyatanya hanya menjadi ‘pesanan’ penguasa. Seorang pelajar yang hanya mencari gelar dan titel semata.

Saya jadi teringat dengan sebuah hadis Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam yang mengatakan : “Barangsiapa yang mempelajari ilmu dari apa-apa yang dia cari dengannya wajah Allah Azza wa Jalla. Tidaklah dia belajar kecuali untuk memperoleh bagian dari dunia (Suatu kebanggaan), maka dia tidak akan mencium wangi syurga pada hari kiamat.” (HR Ibnu Majah, Al Muqadimah 1/252 dan Ahmad, Al Musnad 2/338)
.
Dari hadis ini tampak jelas perbedaan antara mereka yang menuntut ilmu lillahi ta’ala, dengan mereka yang hanya ingin mendapatkan pengakuan semata. Karena Seorang tholib’ilm pada dasarnya ialah mencari ilmu, bukan mencari gelar atau tahta. Bukan pula ingin dikenal atau diingat. Karena sejatinya mereka akan dikenang dan diketahui dengan sendirinya. Segala usaha dan upaya dikerjakan demi ilmu. Waktunya dipergunakan sebaik mungkin demi mencari ilmu. Beda posisinya dengan mereka yang hanya ingin dikenal, dan mencari ijazah untuk meraih kedudukan di mata dunia.

Mengutip beberapa faktor yang dipaparkan dari sebuah buletin yang pernah saya baca; Al-Mustaqim (Salah satu buletin Mahasiswa Indonesia di Sudan), Edisi ke-11, 7 Dzulhijjah 1432 H, berjudul Fenomena Universitas Masa Kini. Berbicara tentang dampak negatif yang ada pada Universitas masa kini kaitannya dengan rancangan musuh-musuh islam demi merusak pondasi umat melalui jalur pendidikan, dan diindikasi yang ditimbulkannya, diantaranya:

- Kehadiran mahasiswa sangat tergantung dengan adanya absen. Tidak dipungkiri terdapat nilai positif di dalamnya. Yakni mengurangi dampak malasnya mahasiswa untuk berbolos, dan tidak masuk kelas. Namun dibalik itu, ini sangat mempengaruhi pola pikir mahasiswanya. Yakni dengan menjadikan tujuan utama kehadiran hanya untuk absen, dan menjadikan ilmu sebagai nomor kesekian.

- Pola pembelajaran bertingkat yang kini popular dikalangan masyarakat, dengan status tamat S1, S2, S3 belajar hanya berpatokan kepada pelajaran-pelajaran yang ada tingkatannya. Sehingga apabila telah melewati tingkatan itu, pelajaran, buku, atau materi yang telah diajarkan dilalaikan begitu saja. dengan adanya tingkatan ini, seakan-akan doctor adalah puncak akhir dari menuntut ilmu. Setiap tingkatan diberi penghargaan. Dan alhasil semua itu berkerucut pada niat Mahasiswa berkuliah hanya untuk meraih gelar dan titel saja.

- Ikhtilath ( bercampurnya laki-laki dan perempun) dalam suatu universitas. Hal ini merupakan kerusakan paling fatal diantara kerusakan yang lainnya. Dampaknya bisa kita rasakan sekarang, seorang muda-mudi tidak segan-segan menggoda antara satu sama lain yang bukan muhrimnya. Yang pada akhirnya menjurus kepada perzinahan. Nau’udzubillah min dzalik…keberkahan ilmu manakah yang kita dapatkan dari hal semacam ini? Padahal islam mengajarkan pentingnya menjaga martabat dan harga diri.

- Manhaj Nabawiyah dalam mendidik ummatnya adalah dengan menguatkan aqidah terlebih dahulu, yang berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Beda halnya sekarang, lihatlah, sudah berapa banyakkah generasi umat yang terbutakan oleh pemikiran-pemikiran orientalis dan filsafat sesat. Ketika salah dalam menanamkan dasar, maka slah pula arahnya. Maka jangan heran jika Anda menemukan mahasiswa yang baru semester satu atau dua, sudah berani menuntut Allah, menuduh Allah dan Rasulnya dengan tuduhan-tuduhan keji. Seakan merekalah pengatur di permukaan bumi.

Dan masih banyak lagi. Itulah keberhasilan mereka merubah manhaj belajar generasi muslim dari halaqah ke model tingkatan Universitas. Bagaimana pula dengan bidang yang lain baik itu yang nyata maupun tersembunyi yang sedang mereka rancang? Tidak kita sadari, segalanya pasti akan terjadi. bahwa lamban laun, kejayaan umat akan terkikis apabila kita segera bertindak dan terus berbenah dari segala keterpurukan baik moral dan materil. Baik itu aqidah maupun sumber daya manusianya sendiri.

Solusi;
Syaikh Utsaimin ketika ditanya oleh seorang muridnya tentang bagaimana menghilangkan keraguan dalam diri ketika dihadapkan antara ilmu dan Syahadah (Ijazah) khususnya bagi seorang penuntut ilmu. Beliau berujar;
- Jangan meniatkan Syahadah tersebut secara dzat-subjektif. akan tetapi niatkanlah sebagai perantara untuk suatu pekerjaan yang bermanfaat. Dikarenakan dijaman sekarang ini pelbagai pekerjaan diperlukan adanya syahadah- akreditas. Dan kebanyakan orang tidak mampu mencapai manfaat tersebut kecuali dengan perantara syahadah. Maka niatkanlah yang baik untuk suatu tujuan yang baik.
- Bahwa suatu ketika seseorang meniatkan diri belajar, namun tidak mendapatkannya kecuali dengan ada  adanya syahadah tersebut. Maka bukan suatu masalah baginya memanfaatkannya syahadah tersebut sebagai wasilah untuk beribadah dan berkhidmat kepada umat.

- Bagi seseorang yang ingin mendapatkan dua kebaikan; dunia dan akhirat. Begitu pula halnya, bukanlah masalah untuk memanfaatkannya. Alloh Subhanahu Wata’ala berfirman; “ Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan membuka jalan keluar baginya, dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka (QS. At-Talaq 3-2) Dan ini merupakan hasrat ketakwaan dalam urusan dunia.

- Apabila timbul suatu pertanyaan, bagaimana dikatakan ia ikhlas sedangkan ia bekerja untuk dunia? Syaikh menjawab: Ia ikhlas beribadah bukan karena makhluk, bukan pula untuk dilihat atau dipuji. Akan tetapi berniat agar perbuatannya bernilai ibadah kepada Allah Ta’ala. Apabila untuk dilihat dan pujian semata, maka ketahuilah bahwa ia telah melakukan perbuatan syirik. [Kitab Ilm Hal 103-102]

Metode itu bernama “TALAQQI”

Adalah talaqqi, metode yang paling diutamakan oleh para salaf-pendahulu- kita. Metode ini semacam pertemuan antara seorang Syaikh [Guru] dengan Muridnya, dengan menyimak secara penuh apa yang disampaikan Guru tersebut dengan cara berduduk lama di majlis ilmu tempat Syaikhnya mengajar. Dengan mendengar, mendiskusikan sebuah buku, menuliskan penjelasan dan kutipan yang disampaikan, dll. Hal ini tidaklah mudah, karena harus memiliki kesabaran untuk duduk dan mendengar dalam jangka waktu yang cukup lama. Talaqqi biasa dilakukan di Mesjid, Surau, atau bahkan dirumah Syaikh sekaligus. Fokus dan teliti menuliskan setiap kata yang keluar dari ucapan Guru. Kalau tidak, periwatan atau penyampaian dalam mewariskan ilmu tidak diterima kecuali dengan sanad -silsilah penyampaian orang-orang yang terpercaya dengan hukum periwatan yang disepakati.

Karena sangat pentingnya metode ini, maka para ulama terdahulu rela berkeliling dunia untuk menimba ilmu dari berbagai ulama di pelbagai belahan dunia. Oleh karena itu kita dapat menyaksikan bagaimana kualitas keilmuan mereka. Hal itu dapat kita saksikan pada karang-karangan ilmiyah yang terukir abadi dan kini kita dengar. Sebagai contoh dalam hal ini adalah Imam Ahmad. Ia rela berkeliling ke Negeri-negeri arab demi mendengarkan ilmu secara langsung dari lisan para ulama’. Dalam suatu riwayat shohih dikisahkan bahwa Imam Ahmad pernah mengadakan safar dari Iraq menuju Yaman dengan berjalan kaki hanya untuk mendengarkan ilmu hadits, secara langsung dari Imam Abdurrazzaq Ash-Shan’any. Imam Bukhori yang menjadikan talaqqi sebagai syarat menuliskan kitab Shohihnya, tidak cukup dengan sekedar Mu'ashoroh (mendengar dari ulama semasanya) dalam mengambil sanad dan riwayat, ia menjadikan syarat utama luqyah (bertemunya dirinya dengan syaikh) perawi secara langsung untuk menguatkan derajat sanad hadis yang ia dapat.
Begitu pula Imam Muslim memulai rihlah ilmiah diusianya yang masih belia, sebagaimana dalam riwayat bahwa beliau memulai rihlahnya tatkala usia 14 tahun menuju Makkah, Kufah, Iraq, Madinah, dan Mesir demi menuntut ilmu. dan masih banyak kisah lain yang menunjukkan bahwa metode talaqqi merupakan metode yang dipilih oleh para ulama salaf kita.

Kenyataannya kini, dengan metode yang turun temurun dilaksanakan telah melahirkan ulama-ulama yang karya mereka tidak ditelan jaman. Nama-nama mereka dikenal bukan atas keinginan mereka, bahkan lebih dari sekedar gelar. Yaitu berupa doa yang senantiasa disematkan setiap kali dibacakan namanya; Radhiallahu 'Anhu (Semoga Alloh ta'ala meridhoinya) Rahimahullah (Semoga Alloh merahmatinya)- Hafidzahullah (Semoga Alloh menjaganya), dll. Hal ini dikarenakan barakah ilmu yang senantiasa mengalir dari jerih payah dan buah dari usaha yang mereka tanam dan wariskan. Sehingga setiap kali karya mereka dibaca, doa pun mengalir begitu derasnya dari setiap lisan yang ingin mencicipi samudera hikmah ilmu mereka.

Kesimpulan.

Dengan anggapan ini, bukan berarti saya menafikan secara keseluruhan pembelajaran yang ada dengan meniadakan kurikulum yang berlaku. Pasti ada nilai positif-negatifnya.  Ada kelebihan dan kekurangnnya. Dan pastinya dengan membenahi pembelajaran yang ada merujuk kepada kedua pedoman kita; Al-Qur'an dan Sunnah serta suri tauladan para ulama salaf. Metode Talaqqi dan rihlah ilmiah ( Ke Negeri Muslim) sebagaimana penjabaran singkat diatas adalah salah satu solusi untuk mengembalikan kemuliaan agama kita, untuk mengenal, mengkaji, dan mengajarkan agama yang murni kepada generasi muslim selanjutnya. Karenanya kita mengetahui, bahwa musibah yang dialami umat muslim dewasa kini ialah, miskin dan minimnya ulama yang mampu memberikan solusi kepada umat. Dan yang perlu dilakukan sebagai seorang muslim , mengutip perkataan Syaikh Amin Al-Haj salah seorang ulama di Sudan

"Sibuk dan simpati terhadap ilmu Syar'i, dan menyertainya dengan perbuatan. Permasalahan umat yang sebenarnya terletak antara kebodohan generasi islam itu sendiri- terhadap agamanya- dan tipu daya musuh-musuh islam. Mempelajari ilmu Syar'i merupakan solusi yang tepat, dalam upaya mengembalikan kemuliaan agama setelah menunaikan kewajiban-kewajiban yang ada"
["Maa yanbaghi an yastaqbila bihi al-muslimun 'aamuhum al-hijri" - Kewajiban seorang muslim menyambut tahun Hijriyah. Syaikh Amin Al-Haj Muhammad Ahmad, Ro'is Robithah Ulama Sudan dan  Dunia Islam]

Wallahu A'lam Bishowab. [Doc]

Ibnu Amier
Khartoum, Sudan
23/1/2012

This entry was posted on Selasa, 06 Maret 2012 at 13.37 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the comments feed .

0 komentar

Posting Komentar