[Aku Bangga Menjadi Santri] Satu Jam Bersama Penulis "Negeri 5 Menara"  

Posted by Unknown in ,

Alhamdulillah, kemarin pagi saya berkesempatan bertemu dengan Sang Maestro novel "Negeri 5 Menara", siapa lagi kalau bukan dengan Ust. A. Fuadi. Saya memanggilnya ustad tidak lain karena melihat latar belakang pendidikan beliau yang merupakan seorang santri. Yah, santri pondok modern Gontor lebih tepatnya. Juga dikarenakan sikap beliau yang tampak sederhana dan bersahaja, membuat saya terkesima sejenak dengan penampilan yang memasyarakat ini. Sebelumnya saya tidak mengetahui perihal kehadiran beliau kepondok, khususnya pagi kemarin. Karena memang tidak ada kabar angin yang terdengar, atau mungkin karena memang saya yang tidak mengehui perihal kehadiran beliau sama sekali, Wallahu A'lam.

Walaupun begitu saya tetap bersyukur karena mendapatkan kabar dari salah seorang teman saya dikamar pagi kemarin setelah shalat subuh perihal kehadiran beliau yang konon katanya ingin memberikan motivasi kepada adik-adik dimasjid setelah subuh. Walhasil, akhirnya saya dapat dipertemukan dengan beliau seusai memberikan arahan dan wejangan kepada adik-adik. Sungguh kesempatan yang sangat berharga bagi saya, karena dapat berjumpa dengan salah seorang penulis yang bukunya telah saya nikmati. Merupakan kebanggaan tersendiri tatkala sosok yang dielukan dengan kepiawaiannya mengolah kata, dapat bertatap muka secara langsung dimesjid jami' ini.

Satu jam bersama penulis, nah itu kiranya tema yang cocok untuk tulisan saya kali ini. Ya, coba-coba saja ikutan seperti acara di Tv One " Satu Jam Bersama". Tapi memang benar, saya perhitungkan waktu pertemuan itu sekitar satu jam lamanya. Wah, kebetulan sekali tuh..!!!hehe...

Bagi saya bertemu dengan seorang penulis, merupakan kesempatan bagi saya agar kiranya dapat menduplikasikan apa yang telah ia alami dengan pengalamannya menulis itu, dan akhirnya menjadi panduan dan motivasi yang menggugah diri agar senantiasa menulis. Karena sudah barang tentu, seorang penulis tidak akan rela menyia-nyiakan waktu untuk menimba lebih banyak ilmu dari empunya menulis. Seorang penulis bagi saya adalah semangat hidup yang patut diteladani. Seperti halnya hernowo yang mengidolakan J.K Rowling dan Sthepen King sebagai guru menulisnya, Juga penulis lainnya yang juga mengidolakan satu sama lain. Nah, tak salah juga saya mengidolakan seorang penulis yang patut saya tiru akan kesuksesannya dalam menulis, baik itu Pak Hernowo, Kang Abik, Mbak Helvi, juga Ust.A.Fuadi yang kemarin pagi bersama saya. Bukan hal sepele, tentunya seorang penulis ketika melakukan kegiatannya itu sudah pasti memerlukan energi serta kesabaran penuh demi terciptanya sebuah tulisan dan pastinya perlu adanya ilmu dan wawasan lebih untuk itu. Nah, ini pula yang ingin saya teladani dari setiap penulis yang berhasil menuliskan maha karyanya dan akhirnya disambut oleh masyrakat luas. Maka waktu satu jam ini tak ingin saya sia-siakan untuk meniliki sekilas ramuan yang dimiliki dan digunakan oleh Ust.Fuadi ketika ia memulai kegiatan menulisnya itu.

Mendengar kabar kedatangannya itu, saya segera mengambil buku "Negeri 5 Menara" di lemari, seraya bergegas menuju mesjid, guna meminta tanda tangan Ust. Fuadi sebagai tanda terima kasih saya akan karya yang membawa harum nama Santri ini. Mungkin disini saya terlihat orang yang layaknya baru pertama kali bertemu dengan seorang penulis, walaupun sebelumnya saya juga pernah bertemu dengan Kang Abik dan Mbak Helvi ketika mengikuti Seminar B. Arab Internasional di Universitas Sumatera Utara yang mana ia juga adalah seorang penulis masyhur. Namun, ini merupakan kesempatan yang sangat saya nantikan karena dapat secara langsung berdiri di sampingnya sembari memintanya berphoto bersama.



Saya berkesempatan makan bersamanya didapur ustad, dan saya mengamati kesederhanaan yang terpancar dari sosok beliau yang bersahaja. Ustad Rasyidin selaku Direktur pesantren sedikit berkelakar kepada Ust.Fuadi ketika makan bersama," Kalau Ustad makan di restaurankan sudah biasa. Nah, kalau mau makan di dapur ustad ini baru luar biasa." ketus Ust. Rasyidin ketika itu. Saat saya mendengarnya,terdetik dihati saya rasa haru, bersyukur dan bangga sebagai santri yang mengenyam pendidikan di pondok. Saya merasakan bagitu besarnya jasa para guru yang telah menanamkan jiwa kesederhanaan didalam diri para santrinya, sampai bilamana kesederhanaan dijadikan pilar kedua dari Panca Jiwa setelah Keikhlasan. Walaupun ada juga yang tidak menjadikannya sebagai pedoman hidup ketika mengenyam ataupun setamat dari pondok karena telah terpengaruh dengan budaya yang materialistik diluar pondok.
Namun saya melihat wujud yang berbeda dari seorang Ust.Fuadi saat makan bersamanya. Tampak ia tidak segan-segan ataupun malu untuk menunjukkan jati dirinya sebagai seorang santri, terkhusus ketika kini telah menjadi seorang penulis terkenal. Begitu lahapnya beliau ketika itu, walaupun hanya berlaukkan ikan sambal dan sayur jipang. Duduk disampingnya menambah aura semangat saya untuk mencapai seperti apa yang ia raih. Ia juga bercerita sedikit pengalamannya tatkala menjadi santri dahulu, ia menggemari sambal tempe yang konon katanya merupakan makanan terpavorit santri ketika itu. Bagaimana ia terhipnotis dengan sebuah kalimat "Man Jadda Wajada" diawal pengajaran dan menuntut ilmu dipondok yang menjadikannya seperti sekarang ini dan mewujudkan cita-citanya menuliskan kisah dibalik itu dalam bentuk novel. Wah memang satu jam yang berharga bagiku pagi ini..


" Mungkin jarang sekali ada buku yang mengupas seluk beluk kisah dibalik sebuah pondok yang
diramu dalam sebuah Novel dengan selipan humor khas pondok, dan menceritakan apa yang terjadi dibalik sebuah pondok yang penuh teka-teki". tutur Andi F. Noya dalam komentarnya mengenai Novel ini. Ya, betul sekali. Jarang didapati novel yang serat akan kisah pondok seperti ini. Ketika saya membacanya, saya mendapati sebuah kejujuran dari sesosok anak santri pondok yang mengalami secara langsung hitam-putih kehidupan didalamnya. Ketidak betahan, Kerinduan dengan orang tua yang meradang, mengahadapi hukuman bahasa, bahkan menjadi seorang Mudabbir--pengurus yang harus membimbing adik-adiknya diasrama. Ini semua merupakan pernak-pernik dan pembelajaran yang sulit didapatkan bahkan jarang untuk ditemui kecuali dengan adanya sebuah pondok. Bukan maksud saya ingin mengucilkan lembaga pendidikan lainnya, saya sangat menghargai dan menjunjung adanya lembaga-lembaga pendidikan yang berbasiskan kompetensi dan ilmu pengetahuan.
Namun, untuk sebuah lembaga yang berbentuk asrama sangat sulit sekali ditemui untuk sekarang ini yang menjanjikan akan menelurkan generasi-generasi emas bangsa. Seperti halnya tatkala melihat berita ditelevisi yang notabene menceritakan adanya sebuah lembaga yang mengajarkan anak didiknya dengan kekerasan dan menjurus hukuman fisik, dan lain sebgainya. Nah, dengan adanya Novel Lima Menara ini, masyarakat diberi pandangan akan kehidupan pesantren yang penuh teka-teki, juga ingin menepis adanya kabar-kabar yang kini sering menyudutkan pesantren sebgai lembaga pendidikan yang notabene akan kegiatannya. Baik itu, Hukuman fisik, pelanggaran HAM, sampai bilamana menjurus kepada Terorisme. Sungguh ini membuat miris hati siapa saja yang telah menyelami kehidupan pesantren sebenarnya, karena secara tidak langsung telah mencemarkan nama dari lembaga pendidikan yang konon katanya telah banyak memberikan banyak sumbangan moril kepada kemerdekaan bangsa Indonesia ini. Sungguh kehadiran Novel ini, telah memberikan banyak pandangan luas kepada para pembaca yang masih awam mengenai kehidupan pesantren yang kiranya dengan itu memperbaiki citra baik Lembaga pendidikan ini agar tidak disalah arti.

Dilain sisi, buku ini telah menjadi obat rindu yang mungkin kiranya dirasakan oleh banyak alumni pondok yang tersebar dan menjadi tokoh-tokoh dipelbaga tempat, baik didalam, maupun diluar negeri. Yang dengannya pembaca diajak kembali menelusuri kehidupan pondok. Sudah barang tentu buku ini kiranya bisa dijadikan buku wajib bacaan santri, karena telah menyuguhkan banyak kisah inspiratif sekaligus mengenang pengalaman menjadi santri tatkala telah merasakan manfaat filsafat-filsafat hidup didalamnya.

Akhir kata, saya ingin mengajak para kawan yang kiranya belum memiliki buku ini agar kiranya memilikinya segera. Terkhusus para santri yang kini telah mengenyam pendidikan dipondok, agar nantinya dapat menjadi penyemangat hidup selama menyelami pelbagai pernak-pernik kehidupan didalamnya. Sungguh satu jam bersama yang menginspirasi saya agar tetap menulis, menulis,dan menulis. Karena saya dan mungkin juga anda harus memiliki jiwa bangga menjadi santri walaupun pada hakikatnya ada juga yang belum merasakan menjadi santri, namun harus memiliki jiwa santri sebgai panutan hidup. Maka tidak salahnya diakhir tulisan ini saya ingin menuliskan Panca Jiwa Santri dan juga Motto Santri sebagai tanda bakti dan bangga saya menyandang "Predikat SANTRI" agar kiranya ini dapat saya amalkan nantinya untuk meraih apa yang akan menjadi tujuan agama "Menelurkan generasi bangsa yang Sukses Mulia".

PANCA JIWA SANTRI
1.KEIKHLASAN
2.KESEDERHANAAN
3.BERDIKARI
4.UKHUWAH ISLAMIYAH
5.KEBEBASAN.

MOTTO SANTRI
1.BERBUDI TINGGI
2.BERBADAN SEHAT
3.BERPENGETAHUAN LUAS
4.BERFIKIRAN BEBAS
5.BERAMAL IKHLAS
6.BERAMAL MULIA.


Semoga bermanfaat.....!!!!

This entry was posted on Minggu, 21 Maret 2010 at 10.41 and is filed under , . You can follow any responses to this entry through the comments feed .

0 komentar

Posting Komentar