TITI GANTUNG  

Posted by Unknown in ,

By:Muhammad Nur

“Ya Allah, seandainya cobaan ini adalah tanda cinta-Mu padaku. Berikanlah aku kesempatan agar aku menyadari betapa cinta-Mu amatlah besar. Agar ku dapat mempersiapkan diri dengan segala amal yang dapat menghias diri untuk bercinta dengan-Mu.
Ya Allah, seandainya aku dapat memilih. Berikanlah cobaan ini hanya kepadaku dan jangan kepada keluargaku. Aku tak ingin anak-anakku memikul berat cobaan ini diusia mereka yang masih belia, juga istriku yang setia yang tak ingin kurengkuh lembut tangannya untuk bekerja lebih dariku.”


Mataku sembab membengkak. Tak tahan ku endap rasa sedihku atas segala cobaan yang datang ini. Hatiku merintih ingin menjerit, namun kemanakah harusku lepas kan segala kegalauan. Aku hanya bisa meratap diatas gulungan tikar yang merekang. Membentangkan sajadah kerinduan yang ingin kuadukan kepada Sang Maha Pengasih.
******
Kang ipul, orang-orang memanggil namaku. Walaupun sebenarnya nama asliku adalah Muhammad Syaiful Luthfi. Aku kerap dipanggil Ipul untuk memudahkan orang orang mengingatku. Aku hanya seorang pedagang buku asongan. Yang bekerja sehari-hari dengan menjajakan buku disekitar Jembatan titi gantung. Aku memiliki tiga orang anak perempuan yang masing-masing namanya kuambil dari nama para mujahidah islam yang aku kenal ketika belajar setamat MDA dahulu. Anakku yang pertama berusia 14 tahun, ku beri ia nama Fatimah masrurah.yang artinya Anak perempuan yang mandiri dan riang. Dengan harapan agar nantinya dapat menjadi pemandu kedua adiknya sepeninggalan aku dan istriku. Sekarang ia duduk dikelas II tsanawiyah tempat ibunya bersekolah dulu. Anakku ini sangat perhatian terhadap kedua orang tua, ia bercita-cita ingin menjadi pengusaha butik ketika ia besar nanti dengan alas an yang amat sederhana. Ingin membuatkan baju yang mewah, menggantikan pakaian yang sekarang ini melekat di tubuh keluarganya terutama kedua adiknya yang tercinta. Anakku yang kedua ku beri nama Aisyah musyfirah, yang bermakna perempuan riang. Dengan harapan Ia nantinya dapat menghadapi segala cobaan penuh dengan rasa bersyukur dan gembira, sehingga tidak menjadikan cobaan menjadi beban yang menghimpit hidupnya kelak. Ia berusia 12 tahun, anak yang cerdas dan cekatan tatkala Aku membutuhkan pertolongan. Si imut yang pantang menyerah, dan selalu berusaha untuk belajar. Itu tampak ketika ia selalu meminta penjelasan pelajaran kepadaku, ibunya, juga kakaknya tatkala menemukan soal-soal yang rumit. Seandainya tidak ada yang tahu, ia berusaha melihat dan membaca dari kumpulan buku bekas yang Aku jual. Sedangkan anakku yang ke-tiga kuberi nama Aminah adibah, usianya baru menginjak 6 tahun, namun sudah menmpakkan kelihaiannya dalam berpusi. Sesuai dengan namanya Aku harapan anakku ini menjadi seorang sastrawati yang nantinya dapat melukiskan kisah hidup kami disini dengan kejujuran dan setulus hati. Agar semua orang tahu bahwa kehidupan keluargaku penuh dengan harapan dan cita-cita, bukan sekedar orang miskin semata.
Aku ditemani istriku yang amat kucintai, ialah Syuhaidah Atifah yang manis wajahnya sungguh membuatku terpesona. Kesetiaannya padaku membuatku tegar menjalani lingkuk terjalnya hidup. Walaupun aku terkadang merasa minder dengan segala keterbatasanku ini, yang hanya dapat bekerja seadanya. Yakni sebagai penjajah buku bekas. Sudah tentu berapalah upah yang ku terima setiap harinya?, tak cukup kiranya untuk memenuhi semua kebutuhan keluarga. Istriku mencoba membantuku dengan membuka warung bakso disekitar Lapangan Merdeka. Dan Alhamdulillah, walaupun demikian mereka jarang mengeluh untuk sekedar mengadukan segala kekurangan yang tengah kami hadapi ini kepadaku.

Keseharian menjajah buku bekas memang bukan pekerjaan yang ringan. Terkadang orang melihat
bahwa ini adalah pekerjaan orang yang malas saja, duduk-duduk dipinggiran jalan sepanjang jembatan Titi Gantung. Hanya sekedar menunggu pelanggan yang membeli. Namun anggapan itu semestinya dilemparkan kepada orang-orang yang tahunya hanya bertumpuh sebelah tangan. Meminta-minta tanpa mau berusaha, enggan berbuat namun ingin hasil lebih dari apa yang diberikan tersebut. Sedangkan aku disini, masih mau berusaha walaupun harus seharian penuh, dari pagi sampai sore. Menawarkan buku-buku bekas yang kuperoleh dari anak-anak sekolahan yang sudah malas sekolah. Ataupun buku-buku yang telah lama disimpan setamat dari sekolah. Aku harus menyesuaikan standar buku dengan apa yang sedang dipelajari sekarang ini. Kalau tidak maka nilai jual bukuku ini akan mengalami penurunan besar, dan akan mengakibatkan kerugian banyak. Tak jarang aku menghadapi pembeli yang egois, tahunya hanya melihat, membongkar tumpukan buku yang tersusun, bahkan memintaku mencarikan buku yang sulit bagiku untuk menemukannya. Namun itu hanya formalitas saja, ia hanya ingin membandingkan kios bukuku dengan rekan-rekanku yang lain, yang pada dasarnya sama saja. Karena kami mengampil pasongan dari agen yang sama. Dengan harga yang tak jauh beda.
Hanya saja terkadang memang posisi kiosku yang kurang meyakinkan, karena tidak strategis. Kiosku terletak diperempatan jalan turunan dari jembatan yang menghubungkan dua jalan, antara Jalan Pulau Pinang dengan Lapangan Merdeka. Mungkin hanya sebagian saja yang tahu, dan itupun jarang sekali dihampiri pembeli. Jembatan Titi gantung ini terletak diatas jalanan Kereta Api yang berlalu lalang dari Medan-Tanjung Balai atau sebaliknya. Konon katanya, Jembatan ini merupakan situs sejarah modernisasi di Kota Medan. Sekilas sejarah yang pernah aku dengar, Titi Gantung ini dibangun ketika dibukanya Perusahaan Kereta Api Deli Spoorweg Maatschappij (DSM) pada tahun 1885. Merupakan perusahaan kereta api pertama di luar Pulau Jawa semasa Kolonial Belanda. Saat itu kereta api dijadikan sebagai sarana transportasi pengangkutan hasil kebun dan mengangkut penumpang. Geliat semangat modernisasi dan pertumbuhan perekonomian Kota Medan pada masa colonial Belanda ditandai dengan pembangunan stasiun kereta api tersebut. Karena itu, Titi Gantung dapat dikategorikan sebagai bagian saksi sejarah pertumbuhan kota.

Tatkala sore tiba, tak jarang banyak sekali orang-orang yang berkunjung untuk sekedar melepaskan lelah sehabis seharian bekerja. Muda-mudi yang ingin bercengkerama dengan senja menjadikan tempat ini menjadi salah satu objek wisata yang memikat hati. Terlebih ketika Jadwal kereta api akan berangkat atau berhenti. Apabila ada sanak saudara yang sedang ditunggu, Titi Gantung ini menjadi tempat yang diminati untuk sekedar melihat kereta yang berlalu diatas Jembatan.

Aku sendiri terkadang takjub dengan fenomena Jembatan yang penuh sejarah hidup ini. Aku dapat melihat suasana stasiun kereta api yang padat dengan penumpang yang hendak pulang pergi, ada juga yang sekedar memenuhi kebutuhan hidup dengan mencari pekerjaan di Kota Medan yang dikenal dengan kota terbesar Ketiga di Indonesia. Kentalnya adat melayu dan batak menjadikan kota medan sebagai kota pariwisata dengan bangunan-bangunan bersejarah. Setahuku banyak bangunan peninggalan colonial belanda ataupun kerajaan-kerajaan semasa dulu yang masih dapat terlihat sekarang ini. Diantaranya London Sumatera, Kantor Pos Besar, Balai Kota yang terletak disekitar Lapangan Merdeka. Ada juga peninggalan kerajaan Deli yang terkenal dan dijadikan ikon medan yaitu seperti Istana Maimoen (maimoen palace), Masjid Agung Al-Mashun (The Grand Mosque Al Mashun) dll yang itu membuatku bangga dengan keberagaman bangunan sejarahnya. Namun, kerap kali Medan dikenal dengan suku Bataknya yang tersebar dipelbagai daerah, karena mungkin itulah yang sering dilihat orang dengan logat bicaranya yang khas. Seperti yang diperankan Dedi Mizwar, salah seorang Seniman idolaku. Ia mampu membawa adat medan dalam setingan filmnya Naga Bonar menjadi asumsi orang banyak di Indonesia khususnya. Betapa bangga aku sebagai orang Medan walaupun sebenarnya aku adalah keturunan orang jawa.

Namun suasana jembatan Titi Gantung tidak lagi dikenal sebagai tempat bersejarah seperti dahulu. Ia kerap dikenal dengan tempat penjualan buku bekas, seperti apa yang kulakoni ini. Inipun kulakukan karena ada beban moral yang harus kupenuhi atas keluargaku sendiri. Aku sangat menyayangkan sikap rekan-rekanku yang terkadang membuat banyak lapak dipinggiran jembatan yang secara tidak langsung telah menghalangi kelancaran pengendara berlalu lalang. Sekali lagi aku bersyukur, Karena kiosku berada dipinggiran jalan turunan menuju jalan Pulau Pinang. Otomatis aku merasa tidak mengganggu tertibnya jalanan pengendara. Seandainya ada yang merasa pun, insyaAllah Aku siap menerima masukkan, karena aku tidak ingin menjadi jamur pengrusak yang memanfaatkan inangnya. Biarlah aku seperti jamur, namun jamur yang menebarkan obat yang dapat membantu orang sembuh dari segala keterbelakangan.

Terkadang bau pesing juga menjadikan harmonisnya suasana sekitar jembatan terusik, akibat adanya individual yang tidak memiliki rasa malu juga rasa memiliki atas ikon sejarah yang semestinya dijaga. Membuang air kecil ditangga-tangga, bahkan ada yang membuang kotoran diujung jalan. Sudah tentu banyak orang yang terganggu dengan fenomena yang kerap menjadi parasit ini. Namun, kerap kali pedagang buku yang dijadikan dalang atas semua ini. Ada agen-agen tertentu yang dengan sengaja mengkambing hitamkan pedagang sebagai pertanggung-jawaban atas semua nya.
Tatkala sore hari istriku lebih dahulu pulang untuk mempersiapkan makan malam yang akan dihidangkan. Tak jarang ketiga anak perempuanku bergiliran menjemputku setiap harinya. Si Imah anakku yang pertama, lebih memusatkan diri membantu ibunya memasak. Lantas adiknya firah dan minah yang selalu setia menemaniku menutup kios dan kadang pula membawakan sebotol teh manis dingin menyegarkan tenggorokan yang kering seharian.
*****
“Yah, kata ibu guru sepatuku ini sudah tidak layak pakai lagi ni ya!, lihatlah tapaknya saja sudah robelk. Gimana mau bersepatu?” Si Minah anakku yang paling kecil mengeluh. Tidak biasanya ia bersikap seperti ini. Karena aku tahu Ia anaknya pendiam, dan selalu merenung. Jarang sekali ia mau mengadu kepadaku, paling tidak ia hanya sekedar meminta uang jajan saja setiap hari. Namun tidak untuk kali ini. Aku lihat tali sepatunya yang memang berurai. Kulitnya mengelupas seperti ular yang hendak berganti kulit. “Sungguh malangnya nasib anakku” batinku berbisik lembut. Tak tahu apa yang seharusnya kulakukan.
Tiba-tiba saja hatiku geram. tangan mengepal keras dipelukan anakku. jantungku berdegup kencang. ingin rasanya aku mengerang dan menjerit sekuatnya. Namun apa daya ku harus memendam segala rasa atas permbuatan orang-orang berkuasa. Yang selalu menginjak hak-hak rakyat jelata.
Tepat sebulan lamanya, setelah penggusuran yang dilakukan Pemko setempat atas nasib kami sebagai penjajah buku bekas. Masih jelas terbesit dimataku, nanar wajah yang beringas, berpakaian dinas berwarna coklat gagah. bermacam pangkat tertempel dipakaiannya yang serba ketat. menunjukkan lekuk bidang dada yang kekar. Tidak sebanding tubuhnya yang gagah dengan kami yang hanya seorang pedagang asongan. Mereka menendang bahkan merobohkan kios kami secara paksa.
Aku berusaha mengelak dan berdalih dengan berbagai alasan yang ingin ku ketahui. Bu' Ratmi temanku, menangis tatkala kiosnya dijadikan tempat lubang sampah. Buku-buku bertebaran dimana-mana. Tiang-tiang penyangga rubuh seketika.
" Mengapa tidak ada konfirmasi sebelumnya pak?. Aku berusaha membela diri karena memang ingin mendapat kepastian yang rill.
"Kalau saja ada konfirmasi sebelumnya, insyaAllah kami akan menaati itu Pak? sekali lagi suaraku mengelegar tajam kepada orang-orang yang tidak bertanggung jawab itu. Aku mengerang, kiosku tumbang, buku jajahanku berserakan dijalanan.

Sesaat setelah itu, akhirnya kami dikumpulkan. Turun dari mobil mewah, sesosok pria berkacamata mengenakan Jas hitam dengan dasi berwarna biru tua. Disampingnya, berdiri dua orang bodiguard yang masing-masing mengenakan baju kemeja hitam. Salah seorang bodiguardnya memegang tas yang dibawa pria misterius itu. Ia keluar dengan mendongakkan kepalanya menatap langit. Lantas menyampaikan maksud dan tujuan dilakukannya penggusuran. Dengan berdalihkan maslahat dan proyek besar masyrakat Medan, Ia berkelakar dengan kelihaian kata yang diolahnya menjadikan kami terhipnotis sejenak. Jembatan ini akan dijadikan Proyek wisata Medan yang diramu menjadi Taman Bacaan, melihat potensinya yang sudah dikenal sebagai ikon bangunan bersejrah bagi kota Medan. Mereka berjanji akan mengganti segala kerugian yang telah mereka lakukan atas penggusuran ini. Untuk mendapatkan kepercayaan lebih, mereka mendata keseluruhan nama para pedagang yang digusur, dengan berdalihkan akan memberikan kesempatan kepada kami menjajahkan dagangan kami usai dilaksanakan proyek besar ini yang diatas namakan Wali kota Medan yang sedang menjabat ketika itu.

Mereka pun berlalu dengan mobil dinas yang mengkilap. meninggalkan kami yang terperangah tidak percaya atas apa yang tengah kami alami ini. Diujung jembatan, kulihat sesosok anak kecil yang berdiri dengan menjinjing tas, menatap keadaan ketika itu. Ia berlari menghampiriku, ternyata anak itu adalah putriku Firah yang baru saja pulang dari sekolah. Ia memeluk erat tubuhku, jantungnya berdegup kencang. Mungkinkah karena Ia berlari, atau karena tidak tahan melihat kondisi kami ketika itu. Aku mengelus dahinya yang basah, matanya berkaca-kaca menatapku dengan penuh tanda tanya. Kututup bibirnya dengan telunjuk saat akan mengeluarkan sepatah kata, tanpa meneruskan apa yang akan ia katakan ketika itu. Ku gopoh tubuhnya yang mungil dibahuku. Kulangkahkan kaki dengan segala pertanyaan yang menghampiri, seakan bimbang atas apa yang telah kulihat dan terjadi siang itu. Segalanya berubah, Aku tak tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Satu-satunya mata pencaharianku telah disita. Usaha istriku menjual bakso tertunda dengan minimnya biaya yang ada. Ditambah mendesaknya kebutuhan sekolah Si Imah yang sedang menghadapi Ujian semester. Sudah barang tentu ini bukanlah hal yang mudah dihadapi untuk kondisiku saat itu.

Akhirnya aku harus menunggu sebulan lamanya. Tiada bukti yang nyata atas apa yang telah dijanjikan oleh Pemko setempat. Melihat kondisi saat ini, dengan turunnya Rahudman sebagai walikota yang kembali ingin mencalonkan diri. Otomatis proyek yang selama ini ia garap terbengkalai. Secara tidak langsung ini membuat hatiku semakin kacau. kebutahan hidup semakin mendesak. Anak-anakku tertunda bersekolah. uang tabunganku tak cukup untuk memenuhi kebutuhan yang lebih besar pasak dari pada tiang. Aku tak ambil diam, Aku mengajak rekan-rekan pedagang mengadakan aksi tuntutan ke Pemko setempat untuk sekedar meminta kejelasan kapan Taman Bacaan dikawasan Titi Gantung direalisasikan.
"Kami akan kembali membuka lapak dagangan awal Maret mendatang. Ini Kami lakukan karena sampai sekarang Pemko tak jelas membuka taman bacaan ini" Ujarku kepada salah satu Media yang mewancarai ku saat kami mengadakan aksi tuntuan didepan kantor Pemko.
"Saat digusur Pemko memang menjanjikan kalau kita akan diperbolehkan lagi berdagang buku disini. Bahkan nama-nama kami juga sudah didata. Tapi realisasinya tak jelas hingga sekarang. Sampai kapan kami harus menunggu, sementara kami membutuhkan biaya untuk anak dan istri," keluhku.
Sebelumnya, Aku mengaku sudah berulang kali menanyakan kapan realisasi taman bacaan dikawasan itu kepada Pemko Medan.
"Saya tanyakan Humas Pemko Medan, tapi tak juga ada jawaban yang pasti. Aplagi ini sudah mau Pilkada dan Pak Rahudman sudah tidak lagi menjabat Wali Kota Medan, jadi sampai kapan kami harus menunggu? Sebaiknya kalau membuat kebijakan itu dipikirkan juga nasib rakyat kecil seperti kami". Suaraku lantang, menggelegar seantero Kantor Pemko yang dihadang polisi ketika itu. Semangat ku menggelora, ditemani rekan-rekan yang juga menggugat kebijaksanaan Pemerintah setempat.

Namun apalah daya, Aku dan juga rekan-rekan hanya dapat berkelakar. Hanya sekedar mengapresiasi kejengkelan yang menggumpal dipikiran. Namun tak mampu mengubah apa yang terjadi saat itu. Aku meyadari segala kekurangan tidak mampu membarikan banyak solusi. yang harus kusadari saat ini adalah bagaimana caranya kudapat memenuhi kebutuhan keluargaku, ketiga anak perempuanku dan juga istriku. Aku tak ingin luput dalam kesedihan yang berlarut, karena itu akan menjadikan ku menjadi semakin lemah.
Pada akhirnya Aku harus menyadari bahwa cobaan ini adalah satu pembuktian cinta Allah kepadaku juga kepada keluargaku. Bagaimana Aku menyikapinya. Karena ku tahu ada maksud tersendiri atas apa yang Allah berikan saat ini, untuk membuktikan cintaku kepada-Nya.
Ku bentangkan Sajadah merah peraduan, kurangkai serpihan harapan. Mogakan senantiasa diberi ketabahan mengarungi samudera kehidupan.

Ya Allah....
Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan kuasa-Mu
Tiada keselamtan bagiku dari bencana dunia kecuali dengan penjagaan-Mu
Aku bermohon pada-Mu
dengan keindahan hikmah-Mu
dengan pelaksanaan kehendak-Mu
Jangan biarkan daku mencari karunia selain-Mu
Meskipun terlalu banyak noda hitam yang aku undang...
sepanjang usiaku hingga ke saat ini....







Terinsprasi saat membaca berita dikoran Sindo tentang penggusuran Pedagang buku bekas tanggal 5
Januari yang lalu.
Semoga bermanfaat, dan mohon kritikan untuk kekhilafan dalam penulisan

This entry was posted on Senin, 08 Maret 2010 at 09.22 and is filed under , . You can follow any responses to this entry through the comments feed .

0 komentar

Posting Komentar